Wednesday, May 27, 2009

SINDROM OVARIUM PLIKISTIK (SINDROM STEIN LEVANTHAL)


1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sindrom ovarium polikistik (SPOK) dikenal juga sebagai sindrom stein-leventhal atau hiperandrogen ovarium fungsional; merupakan suatu gangguan endokrin kompleks yang ditandai dengan anovulasi dan hiperandrogen. Karena itu, keadaan yang dapat menyebabkan hiperandrogen seperti hiperprolaktinemia, tumor yang menyekresi hormon androgen dan hiperplasia adrenal kongenital harus disingkirkan terlebih dulu. Manifestasi klinis SOPK meliputi gangguan menstruasi, tanda-tanda hiperandrogen dan obesitas. Sindrom ini dikaitkan dengan meningkatnya risiko diabetes melitus tipe 2 dan gangguan kardiovaskular. Sindrom ovarium polikistik dapat menyebabkan infertilitas dan dalam jangka panjang menyebabkan diabetes melitus tipe 2 serta gangguan kardiovaskular. Sekitar70 persen wanita yang menderita SOPK memiliki hormon androgen yang tinggi dengan manifestasi klinik berupa hirsutisme atau acne. Hirsutisme merupakan kelainan pertumbuhan rambut yang tidak sesuai pada daerah yang sensitive terhadap androgen seperti di daerah dagu, di atas bibir, leher, dada, punggung atas dan bawah, abdomen atas dan bawah, lengan atas, paha, perineum.
Namun, tidak semua wanita dengan hirsutisme memiliki hormon androgen yang tinggi dan tidak semua wanita dengan hiperandrogen memiliki manifestasi hirsutisme. Pada suatu penelitian besar, 5060 persen dari 400 wanita SOPK dengan hiperandrogen tidak dijumpai hirsutisme. Sindrom ovarium polikistik terjadi pada 510 persen wanita usia reproduksi dan merupakan salah satu penyebab tersering kasus infertilitas. Pada wanita yang mengalami amenorea sekunder 10 persen dijumpai kasus SOPK dan 75 persen wanita dengan oligomenorea mengalami SOPK. Sebagian besar wanita dengan SOPK memiliki masalah obesitas dan resistensi insulin. Pada keadaan resistensi insulin, tubuh akan berusaha memasukkan glukosa ke dalam sel dengan meningkatkan produksi hormon insulin sehingga akan terjadi hiperinsulinemia yang dapat menyebabkan keadaan hiperandrogen di ovarium dan menurunnya produksi sex hormone binding globulin (SHBG). Resistensi insulin terjadi pada lebih dari 60 persen kasus SOPK dengan obesitas dan 40 persen kasus SOPK tanpa obesitas. Wanita dengan SOPK kebanyakan akan mengalami masalah gangguan menstruasi (oligomenorea dan amenorea) atau infertilitas.
Resistensi insulin menyebabkan keadaan hiperandrogen di ovarium sehingga dapat menyebabkanperkembangan folikel dan siklus anovulasi. Untuk mengidentifikasi SPOK, bisa dilakukan beberapa pemeriksaan, seperti pemeriksaan fisik. Pertama dengan indeks massa tubuh. Sebagian besar wanita dengan SOPK mengalami masalah obesitas dengan nilai indeks massa tubuh > 25 atau lingkar pinggang > 88 cm. Kedua, tekanan darah; pemeriksaan tekanan darah merupakan salah satu pemeriksaan yang dapat menggambarkan sindrom metabolik pada pasien (tekanan darah 140/90 mmHg). Adanya tanda-tanda hiperandrogen atau resistensi insulin seperti hirsutisme, acne/seboroik, hormon androgen menstimulasi kelenjar sebasea sehingga bila terjadi sumbatan pada pori-pori dapat menyebabkan terjadinya acne dan acanthosis nigricans. Hiperpigmentasipada kulit biasanya didapatkan di daerah punggung, leher, di bawah payudara, sekitar vulva atau pada lipatan tubuh lainnya.
Pasien dengan gambaran acanthosis nigricans memiliki risiko terhadap resistensi insulin, dislipidemia, diabetes melitus tipe 2 dan hipertensi. Selain pemeriksaan fisik yang utama, ada juga pemeriksaan penunjang yang bertujuan membuktikan hiperandrogen sepertitestosteron total atau free testosterone. Pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan lain penyebab hiperandrogen adalah TSH (gangguan tiroid), prolaktin (hiperprolaktinemia), hidroksiprogesteron, dan dehydroepiandrosteron. Pemeriksaan untuk menilai gangguan metabolik dilakukan dengan tes toleransi glukosa oral dan pemeriksaan kolesterol total, HDL, LDL, serta trigliserida. Adapula pemeriksaan yang disebut ultrasonografi transvaginal. Pemeriksaan ini untuk menunjukkan adanya ovarium polikistik (12 folikel berukuran 2-9 mm) yang merupakan karakteristik SOPK. Namun, gambaran ovarium polikistik dapat juga dijumpai pada wanita normal. Untuk melakukan penilaian terhadap SOPK ada yang disebut dengan diagnosis diferensial. Diagnosis diferensial SOPK adalah semua kelainan yang mungkin menyebabkan hiperandrogen seperti tumor yang menyekresi hormon androgen, hiperplasia adrenal kongenital, sindroma cushing atau hiperprolaktinemia. Manajemen SOPK sangat tergantung pada gejala spesifik yang ditimbulkan danhubungannya dengan fertilitas.
Tujuan penatalaksanaan SOPK meliputi penekanan terhadap hormon androgen dan gejala yang ditimbulkannya (hirsutisme dan acne), mengatur siklus haid dan mencegah komplikasi jangka panjang yang dapat ditimbulkan. Terapi standar SOPK adalah penurunan beratbadan, latihan fisik dan pengobatan medisinalis. Penurunan berat badan dan latihan fisik dapat menurunkan level insulin, meningkatkan sensitivitas insulin dan meningkatkan SHBG.
Dari skenario 2 Blok Sistem Reproduksi, adapun ringkasan dari skenario tersebut, adalah :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Seorang wanita 19 tahun, belum menikah, badannya mengalami obesitas.
- Setahun ini, menstruasinya tidak teratur, rata-rata 2 bulan sekali baru mendapat menstruasi, namun dia tidak merasa terganggu dengan keadaan tersebut.
- Saat datang ke puskesmas, mengeluhkan menstruasinya yang sudah tidak datang 4 bulan ini.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- (tidak ada data)
Ø Riwayat Penyakit Keluarga, berupa:
- (tidak ada data)
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Hasil pemeriksaan PP test, hasilnya negatif.
- Dokter puskesmas menyarankan agar penderita dirujuk ke RSUD Dr. Moewardi untuk menjalani beberapa pemeriksaan lebih lanjut.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas sebagai dasar teori, antara lain :
a. Fisiologi siklus menstruasi
b.Gangguan pada siklus haid
c. Patologi ovarium
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Mengetahui penegakkan diagnosis melalui berbagai pemeriksaan yang dilakukan.
Ø Mengetahui gejala-gejala penyakit tersebut lebih lanjut serta penatalaksanaannya.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem reproduksi wanita dan penyelesaiaannya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu menjelaskan :
a. Ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dengan sistem reproduksi, meliputi: biologi, anatomi, histologi, fisiologi, dan biokimia, dan sebagainya.
b. Klasifikasi macam-macam penyakit pada sistem reproduksi.
c. Keadaan normal dan patologis pada kasus-kasus obstetrik meliputi: fisiologi organ reproduksi, ANC-kehamilan, maternal fisiologis persalinan, puerperium/nifas.
d. Keadaan normal dan patologis pada kasus-kasus ginekologi meliputi: kondisi anatomi organ, kelainan genetik dan kongenital, infeksi, tumor, perdarahan abnormal pada uterus dan kelainan pada payudara.
e. Penyebab-penyebab terjadinya gangguan pada sistem reproduksi beserta mekanismenya.
f. Faktor-faktor pencetus terjadinya gangguan pada sistem reproduksi.
g. Manajemen/penatalaksanaan penyakit pada sistem reproduksi, meliputi dasar-dasar terapi meliputi medikamentosa, konservatif, diet, operatif, rehabilitasi.
h. Prosedur klinik penunjang diagnosa penyakit sistem reproduksi meliputi: radiologi:USG, HSG, Tomografi: aksial hipofisis, dll.
i. Pemeriksaan laboratorium penunjang diagnosa penyait sistem reproduksi meliputi: mikroskopik yaitu pemeriksaan sekret vagina: bau, pH, usap vaginal, pemeriksaan dengan NaCl, dengan potasium hidroklorida, usap endoservikal dan servikal, mikrobiologi: etiologi infeksi: gram, kimia: FSH serum.
j. Prognosis secara umum tentang penyakit pada sistem reproduksi.
k. Penyususnan data dari simtom/gejala, pemeriksaan fisik, prosedur klinik, dan pemeriksaan laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis sementara dan diagnosis banding pada penyakit sistem reproduksi.
l. Prosedur keterampilan klinik untuk mendiagnosis penyakit pada sistem reproduksi meliputi pemeriksaan perineal, pemeriksaan genitalia wanita, pemeriksaan ginekologik dan obstetrik, dll.
m. Tindakan promotif dan preventif penyakit pada sistem reproduksi dengan mempertimbangkan faktor-faktor pencetus.
n. Perancangan penatalaksanaan penyakit-penyakit pada sistem reproduksi.
o. Ketrampilan kegiatan di lapangan dalam upaya pencegahan pada kelainan di sistem reproduksi.


2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Fisiologi Siklus Mentruasi
Berikut akan dijelaskan mengenai siklus bulanan endometrium dan menstruasi yang termasuk perdarahan normal atau fisiologis pada wanita, penjelasan tersebut sebagai berikut (Guyton, 2007; Hall, 2007) :
Fase proliferasi atau fase estrogen siklus endometrium; terjadi sebelum ovulasi
o Akibat menstruasi, endometrium berdeskuamasi, hanya selapis tipis stroma endometrium yang tertinggal dan sel-sel epitel yang tertinggal adalah sel-sel epitel yang terletak lebih dalam dari kelenjar yang tersisa serta pada kripta endometrium.
o Oleh karena pengaruh estrogen yang disekresi terlalu besar oleh ovarium selama bagian pertama siklus ovarium, sel-sel stroma dan sel-sel epitel berproliferasi dengan cepat. Permukaan endometrium mengalami epitelisasi kembali dalam waktu 4-7 hari setelah menstruasi.
o Selama 1 minggu berikutnya, ketebalan endometrium mencapai puncaknya (sebelum ovulasi), sel stroma bertambah banyak dan adanya pertumbuhan kelenjar endometrium serta pembuluh darah yang baru yang sangat cepat ke dalam endometrium sehingga saat ovulasi tebal endometrium bisa mencapai 3-5 mm.
o Untuk menyambut ovulasi, kelenjar endometrium (khususnya serviks) akan mensekresi mukus yang encer mirip benang dan tersususn di sepanjang kanalis servikalis yang membentuk suatu saluran, membantu mengarahkan sperma ke arah yang tepat dari vagina sampai dengan uterus.
Fase sekretorik atau fase progestasional siklus endometrium; terjadi setelah ovulasi
o Setelah ovulasi, progesteron dan estrogen bersama-sama disekresi dalam jumlah sangat besar oleh korpus luteum (terutama progesteron).
o Estrogen akan memberikan efek sedikit proliferasi sel tambahan pada endometrium selama fase siklus ini.
o Progesteron akan memberikan efek pembengkakan yang nyata dan perkembangan sekretorik dari endometrium, kelenjar makin berkelok-kelok, kelebihan substansi sekresinya bertumpuk di epitel kelenjar, sitoplasma sel stroma bertambah banyak, simpanan lipid dan glikogen semakin meningkat dalam sel stroma, suplai darah ke dalam endometrium lebih lanjutnya meningkat sebanding dengan perkembangan aktivitas sekresi, pembuluh darah menjadi sangat berkelok-kelok.
o Satu minggu setelah ovulasi, tebal endometrium menjadi 5-6 mm.
o Tujuan dari fase ini adalah menghasilkan endometrium yang sangat sekretorik, menghasilkan berbagai nutrien yang membentuk kondisi yang cocok bagi implantasi ovum yang sudah dibuahi selama separuh dari akhir siklus bulanan.
o Setelah ovum yang dibuahi masuk ke kavum uteri dari tuba falopii (3-4 hari setelah ovulasi) dan berimplantasi (7-9 hari setela ovulasi), uterus akan menghasilkan suatu sekret yang disebut “susu uterus” yang menyediakan makanan bagi pembelahan awal ovum. Kemudian sel-sel trofoblas dari ovum pada permukaan blastokis yang berimplantasi mulai mencerna endometrium dan mengabsorbsi substansi yang disimpan endometrium.
Fase menstruasi dan leukorea
o Jika ovum tidak dibuahi, kira-kira 2 hari sebelum akhir siklus bulanan, korpus luteum di ovarium tiba-tiba berinvolusi dan hormon-hormon ovarium (progesteron dan estrogen) menurun dengan tajam sampai kadar sekresi yang rendah.
o Menstruasi, disebabkan utama oleh kadar progesteron yang menurun drastis pada akhir siklus ovarium bulanan. Efek-efek yang terjadi antara lain:
a. Efek I, terjadi penurunan rangsangan terhadap sel-sel endometrium oleh kedua hormon tersebut dan diikuti secara cepat oleh involusi endometrium sendiri menjadi kira-kira 65% dari ketebalan semula.
b. Efek II, 24 jam sebelum menstruasi, pembuluh darah yang berkelok-kelok yang mengarah ke lapisan mukosa endometrium akan menjadi vasopastik, mungkin karena involusi, disertai dengan pelepasan bahan vasokonstriktor (misalnya, prostaglandin).
c. Efek III, vasopasme, penurunan nutrisi endometrium, dan hilangnya rangsangan hormonal akan berakibat pada proses nekrosis endometrium khususnya dari pembuluh darah.
o Efek III berakibat pada merembesnya darah ke lapisan vaskular endometrium dan daerah perdarahan menjadi tambah besar dengan cepat dalam waktu 24-36 jam.
o Lapisan nekrotik bagian luar endometrium terlepas dari uterus dan sampai kira-kira 48 jam setelah menstruasi, semua lapisan superfisial endometrium sudah berdeskuamasi.
o Massa jaringan deskuamasi, darah di dalam kavum uteri, ditambah efek kontraksi dari prostaglandin dan zat-zat lain di dalam lapisan yang berdeskuamasi sehingga semua itu akan merangsang kontraksi uterus yang menyebabkan dikeluarkannya semua isi uetrus.
o Selama menstruasi normal, kira-kira 40 mL dan 35 mL cairan serosa dikeluarkan. Cairan menstruasi, dalam bentuk normal bukanlah sebagai bekuan karena fibrinolisin dilepaskan bersama dengan bahan nekrotik endometrium. Jadi jika ada perdarahan berlebih dari permukaan uterus, mungkin karena jumlah fibrinolisin tidak cukup untuk mencegah pembekuan. Adanya bekuan darah selama menstruasi, sering dijadikan sebagai bukti klinis adanya kelainan patologi uetrus.
o Dalam waktu 4-7 hari sesudah awal menstruasi, pengeluaran darah berhenti karena endometrium sudah mengalami epitelisasi kembali.
o Leukore saat menstruasi memang suatu keadaan fisiologis di mana leukosit dihasilkan dalam jumlah banyak saat menstruasi oleh karena rangsangan dari banyaknya substansi yang dikeluarkan dari uterus karena nekrosis endometrium.
Maka dari itu, saat menstruasi, uterus menjadi sangat resisten terhadap infeksi, walaupun permukaan endometrium telah berdeskuamasi. Dan hal ini merupakan perlindungan yang sangat penting.
B. Gagguan pada Siklus Haid
Keadaan saat dimulainya haid sebagai pertanda adanya pubertas, dinamakan sebagai menarche, dan saat terhentinya haid dinamakan menepouse. Kelainan dalam banyaknya darah dan lamanya perdarah haid: hipermenorea atau menorhagia, dan hipomenorea. Kelainan siklus: polimenorea, oligomenorea, dan amenorea. Perdarahan di luar haid: metroragia. Gangguan lain yang ada hubungannya dengan haid: premenstrual tension (ketegangan prahaid), mastodinia, Mittelschmerz (rasa nyeri pada ovulasi), dan dismenorea.
Hipermenorea adalah perdarahan haid yan lebih banyak dari normal, atau lebih lama dari normal (lebih dari 8 hari). Sebab kelainan ini terletak pada kondisi dalam uterus, misalnya ada mioma uteri dengan permukaan endometrium lebih luas dari biasa dan dengan kontraktilitas yang terganggu, polip endometrium, gangguan pelepasan endometrium pada waktu haid (irregular endometrial shedding), dan sebagainya. Pada gangguan pelepasan endometrium biasanya terdapat juga gangguan dalam pertumbuhan endometrium yang diikuti dengan gangguan pelepasannya pada waktu haid. Hipomenorea adalah perdarahan haid yang lebih pendek dan/atau lebih kurang dari biasa. Sebab-sebabnya dapat terletak pada konstitusi penderita, pada uterus (misalnya sesudah miomektomi), pada ganguan endokrin, dan lain-lain. (Simanjuntak, 2008)
Pada polimenorea, siklus haid lebih pendek dari biasa (kurang dari 21 hari). Perdarahan kurang lebih sama atau lebih banyak dari haid biasa. Hal yang terakhir ini disebu dengan polimenoragia atau epimenoragia. Polimenorea dapat disebabkan oleh gangguan hormonal yang mengakibatkan gangguan ovulasi, atau menjadi pendeknya masa luteal. Sebab lain ialah, kongesti ovarium karena peradangan, endometriosis, dam lain sebagainya. Jika siklus haid lebih panjang, lebih dari 35 hari, disebut dengan oligomenorea. Apabila panjangnya siklus lebh dari 3 bulan, hal itu sudah mulai dinamakan amenorea. Perdarahan pada oligomenorea biasanya berkurang. Oligomenorea dan amenorea seringkali mempunyai dasar yang sama, perbedaannya terletak dalam tingkatan saja. Pada kebanyakan kasus oligomenorea, kesehatan wanita tidak terganggu, dan fertilitas cukup baik. Siklus haid biasanya juga ovulatoar dengan masa proliferasi lebih panjang daripada biasa. (Simanjuntak, 2008)
Amenorea adalah keadaan di mana tidak adanya haid untuk sedikitnya 3 bulan berturut-turut.Dibagi atas amenorea primer (usia 18 tahun ke atas tidak dapat haid) dan sekunder (penderita pernah mendapat haid dan kemudian tidak haid lagi). Istilah kriptomenorea merupakan keadaan dimana tidak tampak adanya haid karena darah tidak keluar berhubung ada yang menghalangi, seperti pada himen yang tidak berlubang, penutupan saluran serviks, dan lain-lain.
Sebab-sebab pada amenorea primer dan sekunder (Simanjuntak, 2008):
- Gangguan organik pusat
- Gangguan kejiwaan: syok emosional, psikosis, anoreksia nervosa, dan pseudosiesis (hamil palsu)
- Gangguan poros hipotalamus-hipofisis: sindrom amenorea-galaktorea, sindrom Stein-Leventhal, amenorea hipotalamik
- Gangguan hipofisis: sindrom Sheehan, penyakit Simmonds, tumor (misalnya adenoma basofil: penyakit Cushing, adenoma asidofil: akromegali dan gigantisme, adenoma kromofob: sindrom Forbes-Albright)
- Gangguan gonad: kelainan kongenital (misalnya disgenesis ovarii/sindrom Turner, sindrom feminisasi testicular), menopause prematur, penghentian fungsi ovarium karena operasi, karena radiasi, karena radang dan sebagainya
- Gangguan glandula suprarenalis: sindrom adrenogenital, sindrom crushing, penyakit Addison
- Gangguan glandula tiroidea: hipotiroidea, hipertiroidea, kretinisme
- Gangguan pankreas: diabetes melitus
- Gangguan uterus dan vagina: aplasia dan hipoplasia uteri, sindrom Asherman, endometritis tuberkulosa, histerektomi, aplasia vaginae
- Penyakit-penyakit umum: penyakit umum, gangguan gizi, dan obesitas
C. Patologi Ovarium
Ovarium jarang menjadi tempat primer penyakit, kecuali neoplasma. Memang, karsinoma ovarium lebih banyak menyebabkan kematian daripada gabungan kanker serviks dan uterus. Yang menyebabkan tumor ini demikian berbahaya bukanlah frekuensinya, tetapi letalitasnya (karena pertumbuhannya yang tidak menimbulkan gejala). Kista nonneoplastik sering ditemukan, tetapi bukan masalah serius. Peradangan primer ovarium jarang ditemukan, tetapi salpingitis tuba sering menyebabkan suatu reaksi periovarium yang disebut salpingo-ooforitis. Ovarium sering terkena secara sekunder pada endometriosis. (Cotran, et. al., 2007)
Kanker ovarium merupakan penyebab kematian terbanyak dari semua kanker ginekologi. Di Amerika Serikat pada tahun 2001 diperkirakan jumlah penderita Kanker Ovarium sebanyak 23.400 oarng yang diperkirakan meninggal sebanyak 13.900 orang. Angka kematian yang tinggi ini disebabkan karena penyakit ini pada awalnya bersifat asimptomatik dan baru menimbulkan keluhan apabila sudah terjadi metastasis, sehingga 60% - 70% pasien datang pada stadium lanjut, sehingga penyakit ini disebut juga sebagai ”silent killer ” Angka kejadian penyakit ini di Indonesia belum diketahui dengan pasti karena pencatatan dan pelaporan penyakit di negeri kita kurang baik. Kanker ovarium erat hubungannya dengan wanita yang mempunyai tingkat kesuburan yang rendah atau Intenfertilitas. Study epidemiologik menyatakan beberapa faktor resiko yang penting sebagai penyebab kanker ovarium adalah wanita nullipara, melahirkan pertama kali pada usia diatas 35 tahun dan wanita yang mempunyai keluarga dengan riwayat ovarium, kanker payudara atau kanker kolon. Sedangkan wanita dengan riwayat kehamilan pertama terjadi pada usia dibawah 25 tahun, penggunaan pil kontrasepsi dan menyusui akan menurunkan kanker ovarium sebanyak 30 – 60%. Faktor lingkungan seperti penggunaan talk, konsumsi galaktose dan sterilisasi ternyata tidak mempunyai dampak terhadap perkembangan penyakit ini. Kanker ovarium sebagian besar berbentuk tumor kistik (kista ovarium) dan sebagian kecil berbentuk tumor padat. Kebanyakan wanita dengan kanker ovarium tidak menimbulkan gejala dalam waktu yang lama. Bila gejala umumnya sangat bervariasi dan tidak spesifik pada stadium awal dapat berupa gangguan haid. Jika tumor sudah menekan rektum atau kandung kemih mungkin terjadi konstipasi atau sering berkemih. Dapat juga terjadi peregangan atau penekanan daerah panggul yang menyebabkan nyeri spontan atau nyeri pada saat bersenggama. Pada stadium lanjut gejala yang terjadi berhubungan dengan adanya asites (penimbunan cairan dalam rongga perut) penyebaran ke omentum (lemak perut) dan organ-organ didalam rongga perut lainnya seperti usus-usus dan hati seperti perut membuncit, kembung, mual, gangguan nafsu makan, gangguan buang air besar dan buang air kecil. Penumpukan cairan bisa juga terjadi pada rongga dada akibat penyebaran penyakit ke rongga dada yang mengakibatkan penderita sangat merasa sesak napas.
Kista dalam ovarium, bermacam-macam, antara lain akan dijelaskan sebagai berikut. Pertama adalah kista fungsional, merupakan kista yang terbentuk dari jaringan yang berubah pada saat fungsi normal haid. Kista normal ini akan mengecil dan menghilang dengan sendirinya dalam kurun 2-3 siklus haid. Terdapat 2 macam kista fungsional: kista folikular dan kista korpus luteum. Kista folikular, adalah folikel sebagai penyimpan sel telur akan mengeluarkan sel telur pada saat ovulasi bilamana ada rangsangan LH (Luteinizing Hormone). Pengeluaran hormon ini diatur oleh kelenjar hipofisis di otak. Bilamana semuanya berjalan lancar, sel telur akan dilepaskan dan mulai perjalannya ke saluran telur (tuba falloppi) untuk dibuahi. Kista folikuler terbentuk jika lonjakan LH tidak terjadi dan reaksi rantai ovulasi tidak dimulai, sehingga folikel tidak pecah atau melepaskan sel telur, dan bahkan folikel tumbuh terus hingga menjadi sebuah kista. Kista folikuler biasanya tidak berbahaya, jarang menimbulkan nyeri dan sering hilang dengan sendirinya antara 2-3 siklus haid. Kista korpus luteum, bilamana lonjakan LH terjadi dan sel telur dilepaskan, rantai peristiwa lain dimulai. Folikel kemudian bereaksi terhadap LH dengan menghasilkan hormon estrogen dan progesteron dalam jumlah besar sebagai persiapan untuk pembuahan. Perubahan dalam folikel ini disebut korpus luteum. Tetapi, kadangkala setelah sel telur dilepaskan, lubang keluarnya tertutup dan jaringan-jaringan mengumpul di dalamnya, menyebabkan korpus luteum membesar dan menjadi kista. Meski kista ini biasanya hilang dengan sendiri dalam beberapa minggu, tetapi kista ini dapat tumbuh hingga 4 inchi (10 cm) diameternya dan berpotensi untuk berdarah dengan sendirinya atau mendesak ovarium yang menyebabkan nyeri panggul atau perut. Jika kista ini berisi darah, kista dapat pecah dan menyebabkan perdarahan internal dan nyeri tajam yang tiba-tiba.
Kedua, adalah kista dermoid, merupakan kista ovarium yang berisi ragam jenis jaringan misalnya rambut, kuku, kulit, gigi dan lainnya. Kista ini dapat terjadi sejak masih kecil, bahkan mungkin sudah dibawa dalam kandungan ibunya. Kista ini biasanya kering dan tidak menimbulkan gejala, tetapi dapat menjadi besar dan menimbulkan nyeri. Jenis ketiga, adalah kista endometriosis, merupakan kista yang terbentuk dari jaringan endometriosis (jaringan mirip dengan selaput dinding rahim yang tumbuh di luar rahim) menempel di ovarium dan berkembang menjadi kista. Kista ini sering disebut juga sebagai kista coklat endometriosis karena berisi darah coklat-kemerahan. Kista ini berhubungan dengan penyakit endometriosis yang menimbulkan nyeri haid dan nyeri sanggama. Keempat, kistadenoma, merupakan kista yang berkembang dari sel-sel pada lapisan luar permukaan ovarium, biasanya bersifat jinak. Kistasenoma dapat tumbuh menjadi besar dan mengganggu organ perut lainnya dan menimbulkan nyeri. Dan jenis terakhir dari kista ovarium, adalah polikistik ovarium, suatu keadaan di mana ovarium berisi banyak kista yang terbentuk dari bangunan kista folikel yang menyebabkan ovarium menebal. Ini berhubungan dengan penyakit sindrom polikistik ovarium yang disebabkan oleh gangguan hormonal, terutama hormon androgen yang berlebihan. Kista ini membuat ovarium membesar dan menciptakan lapisan luar tebal yang dapat menghalangi terjadinya ovulasi, sehingga sering menimbulkan masalah infertilitas.


3. DISKUSI DAN BAHASAN
Diagnosis utama mengenai keadaan yang dialami pasien dalam skenario tersebut adalah amenorea akibat obesitas. Karena dalam skenario tidak diberikan keterangan lebih lanjut mengenai keadaan obesitas lebih lanjut, maka diambil keputusan untuk membahas sindrom ovarium polikistik (SOPK) atau disebut juga sindrom Stein-Levanthal. Sindrom ini memiliki keterkaitan antara wanita yang mengalami obesitas dengan tanda-tanda amenorea dan gejala infertilitas. Untuk selanjutnya, dalam bab ini akan dibahas lebih lanjut mengenai SOPK.
Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) merupakan kelainan endokrinopati yang paling banyak dijumpai pada wanita usia reproduksi. Sindrom ini ditandai dengan kumpulan beberapa gejala seperti gangguan haid, gangguan ovulasi, hiperandrogenism dan gambaran ovarium polikistik . Kurang lebih 60-70% wanita dengan berat badan lebih, dan 40-50% wanita dengan berat badan normal dapat menunjukkan gejala seperti tersebut di atas. Tentu saja hal ini menjadi terkait erat dengan kondisi infertilitas (gangguan kesuburan), terutama yang terkait dengan siklus yang tidak berovulasi. Sindrom ini juga memiliki kaitan erat dengan kondisi resistensi insulin. Tatalaksana SOPK dengan masalah gangguan kesuburan pertama adalah memperbaiki gaya hidup seperti berolahraga teratur, menciptakan berat badan yang ideal dan menjaga pola makan, kedua adalah menggunakan obat-obatan pemicu kesuburan dan yang ketiga jika memang terdapat resistensi insulin dapat diberikan obat yang dapat meningkatkan sensitivitas insulin. Tindakan operatif “drilling” ovarium dengan laparoskopi atau pembuatan bayi tabung merupakan upaya terakhir jika cara pengobatan lainnya tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Gejala yang sering dikeluhkan penderita SOPK antara lain adalah siklus haid yang sering terlambat atau tidak datang haid untuk waktu yang lama. Disamping itu terdapat pula gejala lain yang terkait dengan hiperandrogenism seperti wajah yang mudah berjerawat atau tumbuh rambut yang berlebihan pada tempat-tempat yang khas untuk pria, misal kumis, janggut, jambang, dada, perut, punggung dan sebagainya.
Kondisi gangguan ovulasi menyebabkan SOPK menjadi salah satu penyebab dari gangguan kesuburan. Kondisi oligo/anovulasi dapat dikenali dari adanya perubahan siklus haid. Jika siklus haid yang normal adalah berkisar antara 21-35 hari, maka perubahan siklus haid yang pada awalnya dikeluhkan oleh penderita SOPK ini adalah siklus haid yang jarang (melebihi 35 hari) atau bahkan tidak mendapat haid lebih daripada 3 bulan. Jika kondisi ini telah terjadi menahun maka keluhan gangguan haid lain yang akan dikeluhkan adalah adanya siklus haid yang ireguler atau tidak teratur. Haid menjadi lama, kadang hanya bercak-bercak darah saja, dan kadang menjadi banyak.
Kemandulan adalah gejala yang sering dialami wanita yang didiagnosis memiliki sindrom ovarium polikistik. Dalam sebuah penelitian di luar negeri didapatkan tujuh dari sepuluh wanita yang mengalami infertilitas karena gangguan ovulasi ternyata mengidap sindrom ovarium polikistik. Angka ini cukup memberikan gambaran bahwa sindrom ovarium polikistik merupakan salah satu penyebab utama kemandulan (infertilitas). Banyak hal yang mengakibatkan penderita sindrom ovarium polikistik ini terpaksa menanti kehadiran seorang anak lebih lama, antara lain karena penderita sindrom ovarium polikistik mengalami gangguan keseimbangan hormon berupa peningkatan hormon Luteinizing Hormon (LH) yang menetap sehingga mencegah terjadinya ovulasi (pengeluaran sel telur) dari indung telur. Kadar LH yang meningkat menyebabkan sel teka yang aktif menghasilkan androgen dalam bentuk androstenedion dan testosteron. Keadaan hiperandrogenik ini menyebabkan lingkungan internal folikel bersifat dominan androgen sehingga tidak dapat berkembang dan menjadi atresia. Dalam pemeriksaan laboratorium dapat dilihat dengan rasio LH/FSH > 2,5. Ketidakseimbangan hormon ini jugalah yang mengakibatkan mudahnya penderita sindrom ovarium polikistik yang berhasil hamil mengalami keguguran dan tidak jarang keguguran ini terjadi berulang. Sehingga tidak jarang penderita sindrom ovarium polikistik ini mengalami depresi berat, selain karena tekanan lingkungan budaya Indonesia yang masih mengutamakan keturunan dalam sebuah pernikahan, sehingga kemandulan adalah aib bagi seorang wanita, juga karena ancaman keguguran terhadap kehamilan yang diperolehnya dengan perjuangan yang membutuhkan waktu lama, biaya yang tidak sedikit dan cara yang tidak mudah.
Penderita sindrom ovarium polikistik juga cenderung memiliki kadar hormon pria (androgen) yang tinggi dalam darahnya dibandingkan wanita normal dan ini memberikan gejala berupa tampilan fisik yang menyerupai pria seperti tumbuhnya rambut di tempat-tempat yang lazimnya dimiliki pria seperti jenggot, rambut di daerah perut, rambut di daerah dada atau tumbuhnya rambut yang begitu lebat. Selain ketidakteraturan haid, gejala sindrom ovarium polikistik nampak begitu tersembunyi. Dengan gejala yang tidak begitu jelas seringkali sindrom ini baru ditemukan setelah seorang wanita menikah dan lama tidak kunjung dikaruniai seorang anak.
Pada remaja wanita yang sedang puber hal ini lebih sulit lagi dideteksi karena pada usia puber tersebut hormon reproduksi mereka belum stabil sehingga ketidakteraturan haid sering dianggap suatu hal yang biasa oleh para orang tua. Satu hal penting yang bisa dijadikan pegangan oleh para orang tua adalah siklus haid remaja memang belum seteratur wanita dewasa, namun siklus ini akan perlahan menjadi stabil dalam waktu satu sampai dua tahun sesudah haid pertama. Dengan demikian ketika seorang putri mengeluh haidnya belum teratur atau bahkan sampai beberapa bulan tidak haid sama sekali satu atau dua tahun sesudah haid pertamanya maka ini bisa menjadi tanda-tanda orang tua untuk waspada bahwa putrinya menderita sindrom ovarium polikistik. Beberapa keluhan lain yang mungkin timbul adalah ketika sang putri merasa malu menjadi manusia bulu karena banyaknya rambut yang tumbuh di badannya, lebat seperti pria, namun sekali lagi ini pun hal yang sering dianggap biasa oleh orang tua sehingga pencukuran rambut, pemakaian obat pelepas rambut pun menjadi pilihan utama.
Hal mendasar yang berperan dalam patogenesis SOPK adalah resistensi insulin dan gangguan sekresi luteinizing hormone (LH). Peningkatan kadar insulin yang terjadi akibat adanya resistensi insulin di jaringan perifer akan merangsang produksi androgen ovarium. Insulin juga menekan sex hormone binding globulin (SHBG) sehingga androgen bebas meningkat. Didapatkan juga metabolisme androgen dan estrogen yang abnormal. Keadaan tersebut mengakibatkan tingginya konsentrasi hormon androgen dalam serum seperti testosteron, androstenedion, dan dehidroepiandrosteron. Peningkatan androgen ini akan mempengaruhi lingkungan ovarium menjadi androgenik, menekan aromatisasi androgen menjadi estrogen sehingga memicu terjadinya atresia folikel lebih dini. Namun pada beberapa kasus, kadar hormon androgen tersebut dapat pula ditemukan normal. Hiperinsulinemia dikaitkan dengan dislipidemia dan peningkatan kadar plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1). Peningkatan kadar PAI-1 menjadi faktor risiko trombosis intravaskular.
Ketika SOPK ditemukan pada usia remaja membuat remaja tersebut mengalami gangguan pada self esteem karena kelainan tampilan fisiknya seperti jerawat yang berlebih dan tidak hilang, atau rambut tumbuhnya yang lebat seperti pria. Jika ditemukan pada wanita yang sudah menikah maka beban timbul karena kemandulan yang dialaminya dan ternyata tidak hanya sekedar kemandulan namun mereka juga terancam dari penyakit-penyakit yang berat di kemudian harinya. Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwasannya kelainan utama sindrom ovarium polikistik adalah tidak beresponsnya tubuh terhadap kadar insulin yang normal. Kelainan yang sama diidap oleh sebagian besar penderita diabetes mellitus. Resistensi insulin ini mengakibatkan pankreas bekerja lebih keras menghasilkan insulin sehingga kadar insulin dalam darah begitu tinggi sementara kadar gula yang tidak terolah pun meningkat. Beberapa penelitian menyimpulkan gangguan metabolisme insulin inilah yang mengakibatkan wanita penderita sindrom ovarium polikistik terancam mengalami penyakit diabetes mellitus tiga kali lebih besar daripada wanita normal.
Tidak hanya diabetes mellitus, sebuah penelitian menyatakan bahwa wanita penderita sindrom ovarium polikistik memiliki resiko mengalami penyakit jantung dan komplikasinya 7 kali lebih banyak dari wanita normal. Salah satu contoh adalah pada penyempitan pembuluh darah jantung sebagai salah satu penyebab utama serangan jantung. Adanya penyempitan lazim diperiksa dengan melihat kadar simpanan kalsium pada pembuluh darah jantung. Empat dari sepuluh wanita penderita sindrom ovarium polikistik memiliki kadar simpanan kalsium yang tinggi pada pembuluh darah jantungnya sementara pada wanita sehat hanya satu dari sepuluh wanita yang memiliki kadar simpanan kalsium yang tinggi di dalam pembuluh darah jantungnya.7 Wanita penderita sindrom ovarium polikistik dengan gejala anovulasi, hiperandrogenisme dan resistensi insulin memiliki gambaran faktor risiko penyakit jantung yang sama dengan pria seperti penurunan kadar total HDL dan HDL2 dan peningkatan kadar trigliserida, kadar kolesterol total dan kadar LDL puasa. Kondisi ini memudahkan seorang wanita dengan sindrom ovarium polikistik mengalami penyempitan pembuluh darah jantung bahkan sumbatan pembuluh darah.
Sebuah studi di Amerika ingin mencari hubungan antara sindrom ovarium polikistik dengan faktor risiko penyakit jantung. Dari penelitian yang melibatkan wanita normal dan penderita sindrom ovarium polikistik ditemukan bahwa penderita sindrom ovarium polikistik memiliki peningkatan kadar androgen, kadar insulin puasa dan gambaran profil lipid yang terbalik jika dibandingkan wanita normal. Gambaran yang sama juga ditemukan pada 143 pasien yang menjalani angiografi koroner di sebuah rumah sakit pendidikan dan ditemukan sindrom ovarium polikistik pada 40% pasien dengan peningkatan kadar trigliserida dan C-peptide serta penurunan kadar LDL. Bahkan wanita dengan sindrom ovarium polikistik cenderung memiliki penyakit pembuluh koroner yang lebih luas dibandingkan wanita normal seusianya.
Beberapa penelitian lainnya menyimpulkan wanita penderita sindrom ovarium polikistik memiliki resiko terkena hipertensi tiga kali lebih besar daripada wanita normal dan memiliki resiko terkena serangan jantung (infark miokard) tujuh kali lebih banyak daripada wanita normal dengan usia yang sama.
Hal yang paling penting dari semua penelitian di atas adalah wanita yang menderita sindrom ovarium polikistik memiliki resiko terkena penyakit jantung atau menderita serangan jantung pada usia yang jauh lebih muda dibandingkan wanita normal. Hal ini tentu akan merubah gambaran umum penderita penyakit jantung wanita karena umumnya wanita mengalami resiko terkena penyakit jantung sesudah menopause akibat perubahan hormon di dalam tubuhnya, namun penderita sindrom ovarium polikistik memiliki ancaman terkena penyakit jantung lebih awal bahkan jauh sebelum usia menopause karena kelainannya. Jika diagnosis sindrom ovarium polikistik tidak ditemukan seawal mungkin maka akan lebih banyak lagi wanita yang menderita penyakit jantung atau terkena serangan jantung pada usia yang masih muda.
Anovulasi pada SOPK terjadi karena terjadi peningkatan rangsangan pada sel teka ovarium. Sel teka memproduksi androgen (testosteron dan androstenedion). Oleh karena pada SOPK, kadar follicle stimulating hormone (FSH) yang dihasilkan relatif lebih sedikit dibandingkan LH, maka sel granulosa ovarium tidak mampu mengaromatisasi androgen menjadi estrogen. Akibatnya, kadar estrogen menurun dan terjadilah anovulasi.
Di samping itu, ada pula pendapat lain mengenai anovulasi. LH mempunyai dua fungsi yang saling bertolak belakang pada folikel preovulasi. Pada awal preovulasi, LH meningkatkan proses steroidogenesis. Folikel mulai berkembang menuju kematangan. Kemudian, pada fase ovulasi dimana kadar LH meningkat (LH surge), LH berfungsi sebaliknya yaitu menekan proses mitosis dari folikel dan mengakhiri proses differensiasi sel granulosa. Pada SOPK, kadar LH sudah tinggi sejak awal. Diduga tingginya kadar LH “tidak mengizinkan” berlangsungnya proses mitosis folikel. Akibatnya, tidak ada folikel matang yang siap diovulasi.
Dalam hubungannya dengan obesitas, secara normal ada peran leptin untuk mengatur berat badan seseorang. Leptin berarti “kurus” – adalah sitokin berbentuk heliks yang tergolong dalam kelompok tumor necrosis factor. Telah banyak diketahui bahwa leptin sering dikaitkan dengan lemak tubuh. Leptin disekresi oleh sel adiposit pada jaringan lemak dan merupakan hormon yang berperan penting dalam pengaturan berat badan. Semakin banyak lemak yang tersimpan maka semakin banyak pula leptin yang tersekresi dalam darah. Penelitian menunjukkan ekspresi RNA messenger leptin lebih banyak pada lemak subkutan daripada lemak visceral.
Ikatan leptin dengan reseptornya yang banyak terdapat di hipotalamus ventromedial akan menekan neuropeptida Y – neuropeptida yang perannya berlawanan dengan leptin – sehingga terjadi penurunan nafsu makan dan peningkatan metabolisme basal. Hubungan leptin dengan neuropeptida Y dikenal dengan aksis leptin-neuropeptida Y. Selain regulasi berat badan, ternyata aksis leptin-neuropeptida Y berperan juga dalam fungsi reproduksi. Hal itu dapat dilihat pada penelitian dimana tikus yang mengalami defisiensi leptin akan infertil dan memiliki konsentrasi gonadotropin di bawah nilai normal.
Obesitas pada perempuan SOPK ditandai dengan meningkatnya jumlah lemak visceral dibandingkan lemak subkutan. Oleh karena itu, kadar leptin perempuan SOPK lebih rendah daripada perempuan normal. Pernyataan itu didukung oleh hasil studi kohort yang menunjukkan kadar leptin lebih rendah 20% pada perempuan SOPK daripada normal. Tentunya, neuropeptida Y akan lebih “leluasa” untuk meningkatkan nafsu makan sehingga penderita akan makin gemuk.
Melalui penelitian yang dilakukan oleh Sierra-Honingmann dkk dalam Science 1998, leptin dikabarkan berperan dalam faktor angiogenesis. Pada folikel ovarium, efek angiogenik dari leptin akan menentukan folikel mana yang akan berkembang matang dan menjadi korpus luteum.
Seiring dengan kemajuan ilmu genetika, SOPK diduga diturunkan secara autosom dominan. Akhir-akhir ini bahkan kelainan gen dituduh menjadi penyebab utama dari SOPK. Gen-gen tersebut adalah gen yang mengatur metabolisme glukosa dan biosintesis steroid, seperti gen CYP11a dan polimorfisme VNTR (variable number tandem repeats). Adanya variasi ekspresi dari gen CYP11a mengakibatkan terjadinya variasi pula pada jumlah steroid (testosteron) yang diproduksi. Sementara itu, perempuan yang ‘membawa’ alel kelas III yang terletak pada gen insulin VNTR (kromosom 11p15.5) lebih rentan mengalami hiperinsulinemia dan gangguan menstruasi.
Diagnosis SOP biasanya ditegakkan berdasarkan kombinasi dari gejala klinis, gambaran ultrasonografi (USG), dan hasil laboratorium biokimia. Perempuan yang mengalami oligomenorrhea dapat dikatakan menderita SOP apabila ia mempunyai 1 atau lebih dari 3 gejala berikut yaitu gambaran ovarium polikistik pada USG, hirsutisme, dan hiperandrogenemia.
Menurut kesepakatan National Institute of Health – National Institute of Child Health and Human Development (NIH-NICHD) April 1997, diagnosis SOP ditetapkan bila paling sedikit memenuhi 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Kriteria mayor: anovulasi, hiperandrogenemia. Kriteria minor: resistensi insulin, hirsutisme, obesitas, nisbah LH/FSH >2.5, USG menunjukkan gambaran ovarium polikistik. Dari keterangan tersebut dapat dilihat bahwa resistensi insulin termasuk dalam kriteria minor. Terdapat beberapa cara menentukan resistensi insulin antara lain uji toleransi glukosa oral, uji toleransi insulin, infus glukosa secara berkesinambungan, nisbah gula darah puasa/insulin puasa dan teknik klem euglikemik. Teknik yang terakhir merupakan cara baku emas untuk mengukur sensitivitas jaringan terhadap insulin.
Gambaran ovarium polikistik pada USG yang khas adalah kalung mutiara hitam (black pearl necklace). Struktur ovarium polikistik dikelilingi oleh kapsul yang tebal dan avaskular disertai hiperplasia sel teka. Ovarium polikistik pada SOP dikatakan bermakna melalui USG apabila memenuhi kriteria seperti terurai pada tabel 2. Pemeriksaan USG transvaginal menjadi pilihan utama untuk mendeteksi kelainan ovarium polikistik. USG transabdominal juga dapat berperan serupa tetapi visualisasinya sulit dinilai pada perempuan obesitas.
Kriteria diagnostik ovarium polikistik dengan USG adalah sebagai berikut. USG transabdominal: volume ovarium > 10 cm3, folikel dengan ukuran 5-8 mm > 5 buah. USG transvaginal: volume ovarium > 8 cm3, folikel dengan ukuran > 6 mm > 11 buah, ukuran folikel rata-rata <> 7,6 cm2.
Kadar hormon yang meningkat pada SOP diantaranya adalah gonadotropin, androgen, estrogen, prolaktin, dan hormon pertumbuhan. Pemeriksaan hormonal yang digunakan untuk mendiagnosis adanya SOP adalah kadar progesteron, LH, testosteron, androstenedion, nisbah LH/FSH, nisbah testosteron/SHBG, nisbah gula darah puasa/insulin puasa.
Diagnosis banding dari SPOK antara lain sebagai berikut. Banyak kelainan endokrin yang memiliki manifestasi hampir sama dengan SOPK diantaranya adalah hiperprolaktinemia, akromegali, dan hiperplasia adrenal kongenital. Pada ketiga penyakit tersebut dapat juga ditemukan gangguan siklus menstruasi dan hirsutisme. Untuk membedakannya dengan SOPK, perlu dilakukan pemeriksaan radiologi dan biokimia. Sebagai contoh, SOPK dibedakan dengan hiperplasia adrenal kongenital non-klasik dengan cara mengukur 17a-hidroksiprogesteron. Bila terdapat hirsutisme, jangan lupa memikirkan kemungkinan adanya tumor ovarium atau adrenal yang memproduksi androgen sebagai diagnosis banding, apalagi didukung pula dengan kadar testosteron serum yang lebih dari 200 ng/dL (7 nmol/L).
Jika penderita SOPK memiliki IMT yang lebih dari pada 25 kg/m2 maka pilihan terapi utama untuk mengatasi gangguan kesuburan adalah menurunkan berat badan. Penurunan berat badan dapat memperbaiki resistensi insulin dan juga sekaligus dapat mengatasi masalah ovulasi pada SOPK dengan masalah kelebihan berat badan. Prinsip tatalaksana ini adalah memperbaiki gaya hidup. Olah raga teratur, mengurangi asupan kalori yang berlebih, sehingga tercapai berat badan tertentu. Penurunan berat badan sebesar 5% dapat memperbaiki resistensi insulin dan sekaligus dapat meningkatkan kejadian ovulasi sebesar 50% . Penurunan berat badan sebanyak 5% sudah cukup untuk memperbaiki siklus menstruasi sebesar 80%. Disamping itu penurunan berat badan sebesar 5-10% saja sudah dapat melindungi penderita SOPK dengan resistensi insulin terhadap tipe 2 diabetes melitus dan dislipidemia.
Program penurunan berat badan bagi pasien dengan indeks masa tubuh (IMT) antara 27-30 kg/m2 merupakan hal yang sangat penting bagi penderita SOPK. Pengurangan kalori antara 300-500 kalori per hari dapat menurunkan berat badan sebanyak 10% dalam 6 bulan. Bagi penderita SOPK dengan IMT >35 kg/m2, pengurangan kalori sebanyak 500-1000 kalori per hari dapat menurunkan berat badan 500-1000 gram per minggu. Diet rendah lemak dan gula serta banyak makan sayuran sangat dianjurkan bagi pasien dengan berat badan berlebih atau obesitas. Olahraga aerobik teratur seperti berjalan kali selama 30 menit per hari dapat bermanfaat untuk menurunkan berat badan. Kegiatan lain seperti yoga, relaksasi, meditasi dan sebagainya dapat dimanfaatkan untuk menurunkan kadar gula darah puasa dan kadar kolesterol.
Anovulasi pada penderita SOPK umumnya ditangani dengan pendekatan bedah dan non-bedah. Klomifen sitrat menjadi pilihan pertama pengobatan non-bedah. Namun terdapat sekitar 25% kasus SOPK yang tidak memberi respon terhadap klomifen sitrat. Kegagalan itu sering dihubungkan dengan berbagai faktor seperti hiperinsulinemia, kegemukan dan hiperandrogenemia. Maka dari itu, faktor-faktor tersebut perlu pula ditatalaksana agar kinerja klomifen sitrat dapat optimal. Hiperandrogenemia misalnya, dapat ditekan dengan pemberian dexamethason atau prednison. Di samping itu, dapat pula digunakan antiandrogen seperti cryproterone asetat dan spironolakton. Spironolakton adalah antagonis mineralokortikoid yang juga berperan sebagai antagonis reseptor androgen. Akan tetapi, efek samping yang dapat timbul dari spironolakton adalah perdarahan vagina. OIeh karena itu, digunakan dosis yang rendah. Obat lain yang bisa dibilang antiandrogen “murni” adalah flutamide. Efek samping dari antiandrogen antara lain letargi, perubahan mood, kehilangan libido.
Apabila tetap tidak berhasil, pilih regimen lain seperti gonadotropin. Sayangnya, obat ini masih mahal. Selain itu, gonadotropin dinilai kurang efektif. Hanya sedikit yang mengalami kehamilan bahkan beberapa diantaranya dapat mengalami sindrom hiperstimulasi ovarium. Sindrom hiperstimulasi ovarium merupakan komplikasi dari hiperstimulasi ovarium yang bersifat iatrogenik yang ditandai dengan keluhan perut tegang atau tidak nyaman, mual, muntah, diare, ovarium membesar 5-12 cm pada derajat ringan. Derajat sedang ditandai dengan asites, sedangkan derajat berat ditemukan adanya hidrotoraks, kesulitan bernafas, perubahan volume darah, peningkatan viskositas oleh karena hemokonsentrasi, gangguan pembekuan, dan berkurangnya perfusi dan fungsi ginjal.
Pada perempuan SOPK yang gemuk, dosis klomifen sitrat dapat dinaikkan. Akan tetapi, risiko efek samping bertambah. Di sisi lain, kegemukan menjadi faktor risiko resistensi insulin dan hiperinsulinemia. Oleh karena itu, muncul pemikiran untuk menurunkan kadar insulin dan memperbaiki kepekaan jaringan terhadap insulin guna meningkatkan keefektivitasan klomifen sitrat. Beberapa cara yang dapat ditempuh antara lain modifikasi diet dan pemberian obat yang meningkatkan kepekaan jaringan terhadap insulin seperti metformin atau troglitazon.
Mekanisme kerja utama metformin adalah memperbaiki sensitivitas jaringan perifer (otot lurik) dan hati terhadap insulin, ditandai oleh penurunan kadar glukosa dan insulin puasa. Pada pemakaian selama 12 minggu didapatkan perbaikan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer sekitar 18-29% dan penurunan produksi glukosa hati mencapai 9-30% (penghambatan glukoneogenesis). Selain itu, metformin juga meningkatkan penggunaan glukosa oleh usus dan menekan oksidasi asam lemak. Efek positif lain dari metformin adalah menurunkan kadar insulin, androgen, IMT, LH, PAI-1, meningkatkan SHBG, memperbaiki profil lipid plasma, dan memulihkan siklus haid.
Ketika obat-obatan sudah tak mampu lagi mengembalikan fungsi ovarium seperti sedia kala, teknik bedah dapat dipertimbangkan. Bahkan hasilnya cukup memuaskan. Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI-RSCM menyimpulkan, pada 72 perempuan SOPK dengan infertilitas berusia 24-39 tahun yang telah mendapat laparoscopic ovarian drilling ternyata memiliki tingkat ovulasi dan kehamilan yang meningkat.

4. KESIMPULAN
¨ Pasien, seorang wanita 19 tahun, belum menikah, badannya mengalami obesitas. Setahun ini, menstruasinya tidak teratur, rata-rata 2 bulan sekali baru mendapat menstruasi, namun dia tidak merasa terganggu dengan keadaan tersebut. Saat datang ke puskesmas, mengeluhkan menstruasinya yang sudah tidak datang 4 bulan ini. Namun hasil pemeriksaan PP test, hasilnya negatif, jadi bukan menunjukkan tanda-tanda kehamilan
¨ Diagnosis utama mengenai keadaan yang dialami pasien dalam skenario tersebut adalah sindrom ovarium polikistik (SOPK) tetapi jika hanya didasarkan atas data yang disajikan dalam skenario saja, tetap masih belum bisa dipastikan kalau pasien mengalami SOPK. Tetap diperlukan pemeriksaan penunjang lainnya, misalnya USG.
¨ Tanda dan gejala SOPK yang dapat digunakan sebagai penegakan diagnosis adalah sebagai berikut. Kriteria mayor: anovulasi, hiperandrogenemia. Kriteria minor: resistensi insulin, hirsutisme, obesitas, nisbah LH/FSH >2.5, USG menunjukkan gambaran ovarium polikistik.
¨ Diagnosis bandingnya antara lain kelainan endokrin yang memiliki manifestasi hampir sama dengan SOPK diantaranya adalah hiperprolaktinemia, akromegali, dan hiperplasia adrenal kongenital. Pada ketiga penyakit tersebut dapat juga ditemukan gangguan siklus menstruasi dan hirsutisme.
¨ Penatalaksanaannya yang paling tepat adalah dengan penurunan berat badan terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan induksi ovulasi, jika masih belum berhail, terpaksa diambil keputusan terakhir yaitu terapi bedah.

5. DAFTAR PUSTAKA
Crum, C. P., S. C. Lester, dan R. S. Cotran. 2007. Sistem Genitalia Perempuan dan Payudara. Dalam: Kumar, V., R. S. Cortran, dan S. L. Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 759-88.

Cunningham, F. G., N. F. Gant, K. J. Leveno, L. C. Gilstrap III, J. C. Hauth, K. D. Wenstrom. 2005. Obstetri Williams . Edisi 21. Volume 1. Editor: Profitasari, et. al. Terjemahan: Hartono, A., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Cunningham, F. G., N. F. Gant, K. J. Leveno, L. C. Gilstrap III, J. C. Hauth, K. D. Wenstrom. 2005. Obstetri Williams . Edisi 21. Volume 2. Editor: Profitasari, et. al. Terjemahan: Hartono, A., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Simanjuntak, P. 2008. Haid dan Siklusnya. Dalam: Prawirohardjo, S. 2008. Ilmu Kandungan. Edisi 2. Editor: Saifuddin, A. B., et. al. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp: 204-29

Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.

No comments: