KEJANG DEMAM
Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2 % - 4 % dari populasi anak 6 bulan- 5 tahun. 80 %
merupakan kejang demam sederhana, sedangkan 20% kasus adalah
kejang demam kompleks. 8% berlangsung lama (lebih dari 15
menit), 16 % berulang dalam waktu 24
jam..1 Pasien pada kasus ini berumur 4 tahun 2 bulan
sehingga sesuai dengan prevalensi usia kejang demam.
Definisi
Kejang demam
adalah bangkitan kejang pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun dengan suhu tubuh 38°C
(100.4°F)
perrektal atau lebih, bukan
disebabkan oleh infeksi atau kelainan sistem saraf pusat maupun faktor
metabolik lain seperti ketidakseimbangan elektrolit, tanpa disertai riwayat
kejang tanpa demam sebelumnya.2,3 Dari anamnesis kasus ini, pasien
anak usia 4
tahun 2 bulan, datang dengan
keluhan kejang yang didahului demam. Pasien
ini tidak memiliki riwayat kejang sebelumnya, muntah, diare, atau penurunan
kesadaran.
Manifestasi Klinis
Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok yaitu kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana yaitu kejang demam yang berlangsung singkat
dengan lama kejang kurang dari 15 menit, dan umumnya
akan berhenti sendiri tanpa pemberian obat. Kejang berbentuk general tonik dan atau
klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang
demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam. 2,3,4
Kejang
demam kompleks merupakan kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:
1.
Kejang lama > 15 menit
2.
Kejang fokal atau parsial satu
sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
3.
Berulang atau lebih dari 1 kali
dalam 24 jam.2,3
Diagnosis
Pasien mengalami kejang 1 kali dalam 24 jam, tidak berulang, kejang seluruh tubuh, tidak ada kelainan
neurologis sebelum dan sesudah kejang, kejang didahului
oleh demam tinggi, sehingga sesuai dengan kriteria kejang demam sederhana.
Etiologi
Hingga kini
etiologi kejang demam belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan
oleh :
1.
Infeksi saluran pernafasan
atas,
2.
Otitis media,
3.
Pneumonia,
4.
Gastroenteritis, dan
5.
Infeksi saluran kemih.
Kejang
tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang yang tidak begitu tinggi
dapat menyebabkan kejang. Dari suatu penelitian deskriptif retrospektif dengan pendekatan
cross sectional didapatkan penyebab kejang demam sederhana terbanyak adalah
ISPA sebanyak 55 balita (76,3 %), gastroenteritis 9 balita (12,5 %), penyakit
tropis 3 balita (4,2 %), penyakit ISK 3 balita (4,2 %), dan karena penyakit
stomatitis sebanyak 2 balita (2,8 %). Pada kasus ini,
pelacakan penyebab demam, didapatkan faring hiperemis sehingga menyebabkan
nafsu makan pasien menurun, caries dentis pada semua gigi, dan kemerahan pada
mukosa telinga. Tidak didapatkan muntah, maupun diare sebelumnya. Ini sesuai dengan
gejala dan tanda faringitis akut.3,5-8
Patofisiologi
Karakteristik
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap bangkitan kejang demam:
1.
Faktor demam
Anak dengan kejang
usia kurang dari dua tahun mempunyai risiko bangkitan kejang demam 3-4 kali
lebih besar dibanding yang lebih dari dua tahun.9,10
2.
Faktor riwayat kejang dalam
keluarga
Anak dengan riwayat
kejang dalam keluarga terdekat (first degree relative) mempunyairisiko
untuk menderita bangkitan kejang demam 4-5 kali lebih besar dibanding yang
tidak.10
3.
Faktor perinatal dan pascanatal
Hasil
uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara kategori umur
ibu saat hamil dengan bangkitan kejang demam, faktor
usia kehamilan preterm dan post term, dan kejadian asfiksia dan bayi berat
lahir rendah. 10
Pada
anamnesis pasien tidak didapatkan riwayat kejang dalam keluarga. Usia pasien 4 tahun 2 bulan dan demam
merupakan faktor yang berpengaruh pada bangkitan kejang demam.
Untuk
mempertahankan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu energi yang didapat
dari metabolisme. Bahan baku untuk memetabolisme otak yang terpenting
adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan
dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem
kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses
oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.11-12
Sel
dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipid
dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat
dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion
natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya
kosentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ menjadi
rendah sedangkan di luar sel neuron terjadi keadaan sebaliknya. Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat
perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk
menjaga keseimbangan petensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim
Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan petensial
membran ini dapat diubah oleh adanya perubahan
konsentrasi ion diruang ekstraseluler,
rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis,
kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya,
dan perubahan dari patofisiologi dari membran
sendiri karena penyakit atau keturunan. 11
Pada
keadaan demam, kenaikan 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat sampai 20%. Jadi pada
kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran
sel neuron, dan dalam waktu yang singkat dapat terjadi difusi ion kalium listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun ke membran tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmitter dan terjadilah kejang.12
Pemeriksaan
Pemeriksaan
fisis yang diperlukan adalah pemeriksaan status kesadaran, tanda vital.
Pemeriksaan spesifik untuk neurologi antara lain pemeriksaan tanda rangsang
meningeal (kaku kuduk, Brudnizki I dan II, Kernique, Laseque), nervus kranial,
peningkatan tekanan intrakranial (ubun-ubun besar membonjol, papil edema),
refleks fisiologis, refleks patologis, tonus. Pemeriksaan fisis tambahan untuk
menyingkirkan penyebab kejang demam.
Pasien pada
kasus ini dalam pemeriksaan fisik ditemukan tonsil yang membesar dan hiperemis,
faring hiperemis, dan terdapat ujud kelainan kulit berupa papul eritema pada
kaki dan tangan, serta ditemukan sariawan dan bibir pecah-pecah. Pemeriksaan
ini bisa menunjukkan adanya proses infeksi spesifik.
Pemeriksaan penunjang laboratorium darah tidak dikerjakan
secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi
sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis
dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
misalnya darah rutin,
morfologi darah tepi, elektrolit dan gula darah.3 Pemeriksaan penunjang
pada penderita ini tidak menunjukkan adanya gangguan elektrolit, urinalisis dan kultur urin menunjukkan
adanya infeksi saluran kemih.
Pada pemeriksaan morfologi darah tepi menyokong proses infeksi sebagai etiologi
kejang demam pada pasien ini.
Terapi
Biasanya kejang demam berlangsung
singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang
dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang (potong kejang) adalah diazepam
yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg
perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan
dosis maksimal 20 mg.2,3
Penatalaksanaan kejang demam pada anak
mencakup dalam tiga hal.
1.
Pengobatan fase akut yaitu membebaskan jalan napas dan memantau fungsi vital tubuh. Saat
ini diazepam intravena atau rektal merupakan obat pilihan utama, oleh karena
mempunyai masa kerja yang singkat. Jika tidak ada diazepam, dapat digunakan
luminal suntikan intramuskular
atau yang lebih praktis midazolam intranasal.12
2.
Mencari dan mengobati penyebab kejang demam. Penyebab demam dilacak dengan pemeriksaan
fisis dan pemeriksaan
penunjang sesuai indikasi. Pada pemeriksaan fisik dapat dicari fokal infeksi
yang dapat menjadi port de entry
patogen dan pemeriksaan penunjang yang dapat membantu diagnosis penyebab demam
sehingga kejang dapat dicegah.
3.
Pengobatan profilaksis.
a. Intermiten:
anti konvulsan segera diberikan pada waktu pasien demam (suhu rektal lebih dari 38oC)
dengan menggunakan diazepam oral, klonazepam atau kloralhidrat supositoria.
b.
Rumatan: memberikan fenobarbital atau asam valproat setiap hari untuk mencegah berulangnya
kejang demam dengan syarat tertentu.
Diberikan pengobatan rumatan ini jika kejang lama lebih dari 15 menit, kejang
fokal, terdapat kelainan neurologi yang nyata sebelum atau sesudah kejang.
Dipertimbangkan bila kejang berulang 2 kali atau lebih
dalam 24 jam, kejang demam pada bayi kurang dari 12 bulan, kejang demam ≥ 4
kali per tahun. Pemberian obat-obatan untuk
penatalaksanaan kejang demam pada anak, harus dipertimbangkan antara khasiat
terapeutik obat dan efek sampingnya.9,11,12
Pasien ini diberikan terapi diet nasi lauk 1500 kkal/hari, infus D1/2 NS 12 tetes per menit makro, injeksi
diazepam (0.3 mg/kgbb/kali): 4.5 mg iv
pelan bila kejang, injeksi ampisilin (25 mg/kgBB/6 jam) = 500 mg/6 jam,
parasetamol (15 mg/kgbb/kali): 4x2 cth (240
mg) per oral, diazepam (0.3
mg/kgBB/kali) = 4.5 mg peroral jika suhu ≥ 38.5 oC. Pasien ini diberikan antikejang intermiten tetapi
tidak diberi terapi antikejang rumatan karena tidak memenuhi kriteria pemberian
antikejang rumatan.
Prognosis
Prognosis dari kejadian kejang demam adalah :
1.
Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan
neurologis
Kejadian kecacatan
sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental
dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.
Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada
sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan
kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.
2.
Kemungkinan mengalami kematian
Kematian
karena kejang demam tidak pernah dilaporkan
3.
Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan
berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang demam antara
lain adalah riwayat kejang demam dalam keluarga, usia kurang dari 12 bulan, temperatur
yang rendah saat kejang, serta cepatnya kejang setelah demam.
Bila seluruh
faktor di atas didapatkan pada pasien, kemungkinan berulangnya kejang demam
adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan
berulangnya kejang demam hanya 10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam
paling besar pada tahun pertama.Pada suatu penelitian menyebutkan bahwa riwayat
keluarga dengan kejang demam merupakan faktor risiko terhadap berulangnya
kejang demam.3 Pada anamnesis tidak didapatkan keluarga dengan riwayat kejang baik
dengan maupun tanpa demam, usia pasien saat kejang pertama 2 tahun 4 bulan dan
kejang disertai demam.
HAND, FOOT, AND MOUTH DISEASE (HFMD)
Etiologi
Penyakit
HFMD adalah penyakit yang disebabkan oleh enterovirus non polio seperti coxsackievirus A5, A7, A9, A10, A16, B1,
B2, B3, B5, echovirus, dan enterovirus lainnya. Penyebab tersering
dari penyakit ini adalah virus coxsackievirus
A-16 dan enterovirus 71. Enterovirus termasuk dalam famili Pikornaviridae
yang artinya virus RNA yang kecil. Subkelompok enterovirus yaitu coxsackievirus,
ekovirus, dan poliovirus. Penamaan Coxsakie karena sewaktu ditemukan, virus ini
berasal dari sampel tinja yang normal dari orang di daerah Coxsakie, New York. Coxsakievirus termasuk virus kecil
tanpa envelope dengan single stranded, panjangnya 7400
nukleotida.13
Patogenesis
Infeksi Coxsackievirus
merupakan infeksi yang sangat menular. Masa inkubasi enterovirus dan coxsackievirus
rata-rata 3-6 hari. Transmisi terjadi melalui kontak langsung melalui droplet, sekresi oral atau feses dalam rute
fekal-oral atau oral-oral. Implantasi enterovirus
terjadi pada faring dan saluran cerna bagian bawah. Enterovirus menginvasi dan
membelah diri (replikasi) pada saluran cerna. Dalam 24 jam infeksi menyebar ke
nodus limfa regional. Pada sekitar hari ke 3 terjadi viremia minor yang
melibatkan banyak tempat-tempat sekunder. Multiplikasi virus di tempat ini
terjadi bersama dengan mulainya gejala klinis. Penyakit dapat bervariasi dari
ringan ke infeksi yang mematikan. Viremia mayor terjadi selama periode
multiplikasi pada tempat-tempat sekunder, biasanya berakhir pada hari ke 3-7
infeksi. Selama 7 hari, kadar neutralizing antibody akan meningkat dan virus akan dieliminasi
dari tubuh.13,14
Manifestasi Klinis
Setelah
masa inkubasi penyakit HFMD yaitu sekitar 3 sampai 6 hari timbul gejala
prodromal selama 12 sampai 24 jam berupa demam yang tidak terlalu tinggi, malaise, dan nyeri abdominal atau gejala
respiratorik lainnya. Dua puluh
lima persen pasien dapat mengalami limfadenopati submandibular dan atau servikal.
Gejala
klinis ditandai dengan adanya ulserasi berupa lesi di sekitar mulut yang sangat
pedih sehingga menyebabkan anak tidak mau makan. Lesi di mulut berupa makula
yang dapat berkembang menjadi vesikel, dengan daerah tersering timbul yaitu di
palatum, lidah, serta mukosa pipi (buccal).
Lesi mukokutaneus yang terjadi berupa timbul makula sampai papula yang
berkembang cepat menjadi vesikel dengan dikelilingi dasar yang kemerahan
(eritem). Vesikel cepat mengalami erosi yang dikelilingi halo yang kemerahan. Lesi sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut.15
Penatalaksanaan
Penyakit
HFMD ini
merupakan suatu penyakit yang bersifat self-limiting
disease yang dapat sembuh dalam
waktu 7-10 hari. Pengobatan
yang dilakukan bersifat simptomatik. Tatalaksana sistemik diantaranya berupa
terapi simptomatik yaitu pemberian antipiretik untuk mengatasi demam dan
analgesik untuk mengatasi arthralgia.13-15
TONSILOFARINGITIS AKUT
Definisi
Tonsilofaringitis
akut digunakan untuk menunjukkan semua infeksi faring dan tonsil yang
berlangsung hingga 14 hari. Tonsilofaringitis merupakan peradangan membran
mukosa faring dan struktur lain di sekitarnya.16
Etiologi
Faringitis
merupaka salah satu penyakit yang sering terjadi pada anak. Keterlibatan tonsil
pada faringitis tidak menyebabkan perubahan derajat beratnya penyakit.
Tonsilofaringitis biasanya terjadi pada anak, meskipun jarang terjadi pada anak
di bawah usia 1 tahun. Insiden meningkat sesuai dengan beratambahnya usia,
mencapai puncak pada umur 4-7 yahun, dam berlanjut hingga dewasa. Insiden
tonsilofaringitis streptokokus tertinggi pada usia 5-18 tahun, jarang di bawah
usia 3 tahun dan sebanding antara laki-laki dengan perempuan.17
Tonsilofaringitis
dapat disebabkan oleh bakteri atau virus. Oleh karena itu diperlukan strategi
untuk malakukan diagnosis dan memberikan tatalaksana agar dapat membedakan
pasien-pasien yang membutuhkan antibiotik, dan mencegah serta meminimalkan
penggunaan medikomentosa yang tidak perlu.
Berbagai
bakteri dan virus dapat menjadi penyebab tonsilofaringitis, baik sebagai
penyakit tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus merupakan
etiologi terbanyak tonsilofaringitis akut, terutama pada anak berusia ≤3 tahun
(pra sekolah). Virus penyebab penyakit respiratori seperti Adenovirus, Rhinovirus,
Parainfluenza virus, dapat menjadi penyebab tonsilofaringitis. Virus
Epstein Barr (EBV) dapat menyebabkan tonsilofaringitis, tetapi disertai dengan
gejala infeksimononukleosis seperti splenimegali dan limfadenopati
generalisata. Infeksi sistemik seperti infeksi virus campak, virus Rubella,
Citomegalovirus (CMV), dan berbagai virus lainnya juga dapat menyebabkan gejala
tonsilofaringitis akut.16,17
Streptokokus
beta hemolitikus grup A (SBHGA) adalah penyebab terbanyak tonsilofaringitis
akut. Bakteri tersebut mencakup 15-30% dari tonsilofaringitisakut pada anak,
sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5-10% kasus. Strptokokus grup A biasanya
bukan penyebab yang umum pada anak usia prasekolah, tetapi pernah dilaporkan
terjadi di tempat penitipan anak.17
Patogenesis
Nasofaring
dan orofaring adalah tempat untuk organisme ini, kontak langsung dengan mukosa
nasofaring atau orofaring yang terinfeksi atau dengan benda yang terkontaminasi
seperti sikat gigi merupakan cara penularan yang kurang berperan, demikian juga
penularan melalui makanan.
Penyebaran
SBHGA memrlukan pejamu yang rentan dan difasilitasi dengan kontak yang erat.
Infeksi jarang terjadi pada nak berusia di bawah 2 tahun, mungkin karena kurang
kuatnya SBHGA melekat pada sel-sel epitel. Remaja biasanya telah menalami kontak
dengan organisme beberapa kali sehingga terbentuk kekebalan, oleh karena itu
infeksi SBHGA jarang terjadi pada kelompok ini.
Bakteri
maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring yang kemudian
menyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus
menyebabkan iritasi mukosa faring
sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian besar peradangan melibatkan nasofaring,
uvula, dan palatum mole. Perjalanan penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari
agen infeksius di faring yang menyebabkan peradangan lokal, sehingga
menyebabkan eritema faring, tonsil, atau keduanya. Infeksi streptokokus
ditandai dengan invasi lokal serta penglepasan toksin ekstraselular dan
protease. Transmisi dari virus yang khusus dan SBHGA terutama terjadi akibat
kontak tangan dengan sekret hidung dibandingkan dengan kontak oral. Gejala akan
tampak setelah masa inkubasi yang pendek, yaitu 24-72 jam.18
Manifestasi Klinis
Gejala
tonsilofaringitis khas akibat bakteri berupa nyeri tenggorokan dengan awitan
mendadak, disfagia dan demam. Urutan gejala yang biasa dikeluhkan oleh anak
berusia di bawah 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Selain
itu juag dilaporkan demam yang dapat mencapai suhu 40˚C, beberapa jam kemudian
terdapat nyeri tenggorok. Gejala seperti rinorea, suara serak, batuk,
konjungtivitis, dan diare biasanya disebabkan oleh virus. Kontak dengan pasien
rinitis juga dapat ditemukan dalam anamnesis.18,19
Pada
pemeriksaan fisik, pasien tonsilofaringitis akut menunjukkan tanda infeksi
streptokokus, yaitu eritema pada tonsil dan faring yang disertai dengan
pembesaran tonsil.
Penatalaksanaan
Usaha
untuk membedakan tonsilofaringitis bakteri atau virus bertujuan agar pemberian
antibiotik sesuai indikasi. Tonsilofaringitis streptokokus grup A merupakan
satu-satunya tonsilofaringitis yang memiliki indikasi kuat dan aturan khusus
dalam penggunaan antibiotik.
Penggunaan
antibiotik tidak diperlukan pada tonsilofaringitis virus karena tidak akan
mempercepat waktu penyembuhan atau mengurangi derajat keparahan. Istirahat
cukup dan pemberian cairan intravena yang sesuai terpi suportif yang dapat
diberikan. Selain tiu, pemberian obat kumur dan obat hisap, pada anak yang
cukup besar dapat meringankan keluhan nyeri tenggorok. Apabila terdapat nyeri atau
demam, dapat diberikan paracetamol atau ibuprofen. Pemberian antibiotik pada faringitis
harus berdasar pada gejala
klinis dan hasil
kultur positif pada pemeriksaan usapan tenggorok.16-19
DAFTAR PUSTAKA
1.
Oluwabusi T, Sood SK. Update on the management of simple
febrile seizures: emphasis on minimal intervention. Curr Opin Pediatr.
2012;24:259-65.
2.
Mikati M, Hani A. Febrile seizures. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St Geme JW, Schor NF, penyunting. Nelson textbook
of pediatrics. Edisi ke-20. Philadelphia: Elsevier; 2016. h.
4072-4
3.
Pusponegoro H, Widodo D, Ismael S. Konsensus
penatalaksanaan kejang demam. Jakarta : IDAI; 2005.
4. Girodias JB,
Benoit B. Approach to the febrile child: a challenge
bridging the gap between the literature and clinical practice. Paediatr Child Health. 2003;8:76-82.
5. Baumann RJ. Pediatric febrile seizures. 2015 Oct
14 [diakses tanggal 20 Maret 2016]. Tersedia di:
http://emedicine.medscape.com/article/1176205-overview
6.
Sadleir LG, Scheffer IE. Febrile seizures. BMJ. 2007;334:307-11.
7. Mohammadi M. Febrile seizures: four steps
algorithmic clinical approach. Iran J Pediatr. 2010;20:5-15.
8.
Delpisheh A,
Veisani Y, Sayehmiri K, Fayyazi K. Febrile seizures: etiology, prevalence, and
geographical variation. Iran J Child Neurol. 2014;8:20-7.
9.
Bauchner H. Febrile seizures: guideline for
the neurodiagnostic evaluation of the child with a simple febrile seizure.
AAP. 2011;127:389.
10. Ostergaard JR. Febrile seizures. Acta Paediatr. 2009;98:771-3.
11. Mewasingh LD. Febrile seizures.
Systematic review 324. BMJ Clinical Evidence. 2014 Jan
[diakses tanggal 20 Maret 2016]. Tersedia di:
12. Timmins WS. Managing febrile seizures. BMJ. 2015;351:4240.
13. Goksugur N. Hand, foot, and mouth disease. N Engl J Med. 2010;362:49-52.
14. Frydenberg A, StarrM. Hand, foot,
and mouth disease. Aust Fam Physician. 2003;32:594-5.
15. Stock I. Hand, foot, and mouth
disease – more than a harmless “childhood disease”. Med Monatsschr Pharm.
2014;37:4-10.
16. Scholz H. Streptococcal-A tonsillopharyngitis: a 5-day
course of cefuroxime axetil versus a 10-day course of penicillin V. results
depending on the children's age. Chemotherapy. 2004;50:51-4.
17. Stelter K. Tonsillitis and sore
throat children. GMS Curr Top
Otorhinolaryngol Head Neck Surg. 2014;13:3205-10.
18. Bisno AL. Acute pharyngitis. N Engl
J Med. 2011;344:205-11.
19. Wessels MR.
Streptococcal pharyngitis. 2011;364:648-55