BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Banyak orang yang bermasalah dengan hidungnya, sangat menyiksa bagi mereka karena setiap saat tersumbat sehingga menyulitkan untuk bernafas. Ada beberapa gejala apakah seseorang itu menderita alergi/sensitif pada hidung, yaitu bersin-bersin lebih dari 5 kali secara berurutan disertai ingus yang bening dan encer dan atau tiba-tiba hidung sering tersumbat, hal ini dapat juga disertai rasa gatal di hidung dan mata. Berdasarkan istilah kedokteran penyakit ini disebut rhinitis alergi atau secara awam bisa disebut alergi hidung.
Alergi hidung sering kali muncul bersama dengan asma, hal ini disebabkan karena hidung dan saluran nafas merupakan satu saluran. Sakit kepala, berat di muka, sinusitis dan polip dapat merupakan komplikasi yang sering terjadi apabila sumbatan hidung berlangsung terus menerus dan berat. Menghindari penyebab merupakan pengobatan yang paling baik, dapat juga dilakukan fisioterapi dengan cara menghangatkan daerah hidung, bila hal ini tidak dapat dilakukan baru diperlukan pemberian obat.
Umumnya alergi hidung ada pencetusnya, itu yang harus disadari oleh para penderita, karena jika pencetus/penyebabnya tidak dihindari, akan menambah parah baik sumbatan dan bersin-bersin, begitu juga sebaliknya jika kita hindari akan berkurang secara bertahap sampai hilang.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Adakah hubungan antara gejala yang diderita sejak kecil dengan keluhan sekarang?
2. Bagaimana perjalan penyakit pasien tersebut?
3. Mengapa pengobatan yang didapatkan di Puseksamas (sebanyak 2 kali) tidak menolong atau meringankan keluhan pasien?
4. Apakah hal tersebut (pertanyaan c) berhubungan dengan peningkatan kadar gula darah sewaktu?
5. Bagaimana mekanisme timbulnya semua gejala di skenario tersebut?
6. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan yang ada di skemario tersebut?
7. Diagnosis banding: Rhinitis Alergika, Sinusitis Alergika, dan Polip.
8. Bagaimana penatalakasanaan dan prognosis pasien di skenario tersebut?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Tujuan
a. Mengetahui hal yang mendasari diagnosis penyakit yang diderita melalui pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
b. Mengetahui gejala-gejala penyakit tersebut lebih lanjut serta penatalaksanaannya (kuratif dan rehabilitatif).
c. Mengetahui prognosis pasien yang terdapat di skenario tersebut.
d. Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan kesehatan THT-KL sehingga bisa dilakukan tindakan promotif dan preventif
2. Manfaat
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu menjelaskan :
a. Ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dengan kesehatan THT-KL, meliputi: anatomi, histologi, dan fisiologi.
b. Klasifikasi macam-macam penyakit pada kesehatan THT-KL menurut lokasi, fungsi, dan penyebab.
c. Faktor-faktor yang mempegaruhi/predisposisi dan pencetus timbulnya penyakit/kelainan yang mengenai kesehatan THT-KL.
d. Mekanisme patogenesis, patofisiologi, dan patologi penyakit/kelainan dalam kesehatan THT-KL.
e. Penegakan diagnosis penyakit/kelainan yang mengenai kesehatan THT-KL dari gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan.
f. Diagnosis banding penyakit/kelainan yang mengenai kesehatan THT-KL.
g. Penatalaksanaan penyakit/kelainan yang mengenai kesehatan THT-KL secara komprehensif (medikamentosa, operasi, perilaku, nutrisi, dan rujukan).
h. Prognosis penyakit/kelainan yang mengenai kesehatan THT-KL.
i. Pencegahan (promotif, preventif, dan rehabilitatif) penyakit/kelainan mengenai kesehatan THT-KL di masyarakat.
D. HIPOTESIS
Pasien diduga menderita sinusitis kronik akibat rhinitis alergi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN HISTOLOGI CAVUM NASI ET SINUS PARANASALIS
1. Cavum Nasi
Anatomi
Cavum nasi dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi cavum nasi kanan dan kiri. Pintu masuk cavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut koana, yang menghubungkan cavum nasi dengan nasofaring. Tepat dibelakang nares anterior terdapat vestibulum yang dilapisi oleh kulit. Vestibulum memiliki banyak kelenjar sebasea dan rambut- rambut yang disebut vibrise.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah concha, berturut-turut dari yang terbesar: concha inferior, concha media, concha superior dan concha suprema (biasanya rudimenter). Diantara concha-concha dan dinding lateral hidung terdapat rongga kecil yang disebut meatus. Berdasarkan letaknya terdapat 3 meatus:
a. Meatus inferior, dimuarai oleh duktus nasolakrimalis
b. Meatus medius, dimuarai oleh sinus frontal, sinus maksila dan sinus ethmoidalis anterior
c. Meatus superior, dimuarai oleh sinus ethmoidalis anterior dan sinus sfenoid.
Histologi
a. Mukosa Olfactoria
Menutup permukaan atas concha superior dan recessus sphenoethmoidalis (1/3 bagian atas cavum nasi). Fungsinya menerima rangsang penghidu. Mukosa olfactoria dilapisi oleh pseudo stratified columnar non ciliated epithelium. Epitelnya dibentuk oleh 3 macam sel yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu.
Sel penyokong memiliki apeks silindris yang lebar dan basis yang lebih sempit. Pada permukaan bebasnya terdapat mikrofili, yang terendam dalam selapis cairan. Sel basal berukuran kecil, berbentuk bulat atau kerucut, membentuk lapisan pada basis epitel. Di bawah inti sel penyokong, terdapat sel olfaktorius, dimana pada apeksnya (dendrite) terdapat 6–8 silia yang panjang dan non motil.
Silia ini berespon terhadap zat pembau dengan membangkitkan suatu potensial reseptor. Silia ini sangat memperluas permukaan reseptor. Akson afferent dari neuron bipolar ini bergabung dalam berkas kecil yang mengarah ke SSP, tempat akson tersebut bersinaps dengan neuron dari lobus olfaktorius otak. Lamina propria di epitel olfaktorius memiliki kelenjar Bowman, dimana secret yang dihasilkannya mampu membersihkan silia, sehingga memudahkan akses zat pembau yang baru.
b. Mukosa respiratoria
Melapisi cavum nasi bagian bawah, permukaannya dilapisi oleh pseudo stratified columnar epithelium yang memiliki silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.
Pengondisian Udara
Sewaktu udara memasuki hidung, vibrissae besar menahan partikel kasar debu. Saat udara mencapai fossa nasalis, zat renik dan gas-gas terperangkap dalam lapisan mukus. Mukus ini, bersama sekret serosa, juga berfungsi melembabkan udara yang masuk, yang melindungi lapisan alveoli yang halus agar tidak menjadi kering. Jalinan superfisial yang luas juga menghangatkan udara yang masuk.
Fisiologi hidung
· Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
· Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b.. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.
· Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh :
b. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
c. Silia
d. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
e. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.
· Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
· Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
· Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.
· Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
2. Sinus Paranasalis
Merupakan pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga berbentuk rongga di dalam tulang. Terdapat 4 pasang sinus paranasalis mulai dari yang terbesar, yaitu:
a. Sinus maxillaris
Merupakan sinus paranasal yang terbesar. Ostium dari sinus ini berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris infundibulum etmoid. Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah 1). Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis; 2). Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita; 3). Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia. Lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit, sehingga radang pada infundibulum dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.
b. Sinus frontalis
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Sinus ini dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.
c. Sinus ethmoidalis
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontalis. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila.
d. Sinus sphenoidalis
Sinus sphenoid terletak dalam os. sphenoid di belakang sinus etmoid postrior. Sinus sphenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersphenoid.
Sinus paranasal dilapisi oleh epitel thoraks bertingkat semu bersilia dengan sel goblet. Lamina proprianya mengandung sedikit kelenjar kecil dan menyatu dengan periosteum di bawahnya. Sinus paranasal berhubungan langsung dengan rongga hidung melalui lubang-lubang kecil. Mukus yang dihasilkan di dalam rongga ini terdorong ke dalam hidung sebagai akibat aktivitas sel-sel epitel bersilia.
B. RHINITIS ALERGI
Rinitis alergi adalah reaksi inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut. Di Amerika Serikat terdapat hampir sekitar 20% rata- rata angka kejadian penderita rhinitis alergi (Anonim, 2009). Sementara di Indonesia, prevalensinya berkisar antara 4-40% (Ikawati, 2009).
Timbulnya gejala hiperresponsif hidung pada rinitis alergi adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulanya. Pada fase ini, selain faktor spesifik alergen, iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakeyan, dan Rusmono, 2007).
Degranulasi mastosit dan basofil akan menyebabkan terlepasnya histamin yang akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinorea. Histamin juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellulular Adhesion Mollecule 1 (ICAM 1). Di samping histamin, mediator lain seperti prostaglandin dan leukotrien yang dihasilkan dari metabolisme asam arakidonat atas perintah fosfolipase A2 akan berperan pada fase lambat (Baratawidjaja, 2002). Komplikasi rhinitis alergi yang sering adalah polip hidung, otitis media efusi yang sering residif dan sinusitis paranasal.
C. SINUSITIS
Agen etiologi sinusitis adapat berupa virus, bakteri, dan jamur. Sinusitis dapat dibagi berdasarkan waktu menjadi sinusitis akut dan kronik. Berikut adalah pembagian sinus :
1. Sinusitis Akut
· Sinusitis Maksilaris
Sinusitis maksilaris akut biasanya menyusul infeksi saluran napas atas yang ringan. Alergi hidung kronik, benda asing, dan deviasi septum nasi merupakan faktor-faktor predisposisi lokal yang paling sering ditemukan. Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi. Selama berlangsungnya sinusitis maksilaris akut, pemeriksaan fisik akan mengungkapkan adanya pus dalam hidung. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Gambaran radiologik sinusitis akut mula-mula berupa penebalan mukosa, selanjutnya opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang membengkak hebat, atau akibat akumulasi cairan yang memenuhi sinus. Biakan bakteri yang muncul biasanya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, bakteri anaerob, Branghamella catarrhalis. Sinusitis Maksilaris akut biasanya diterapi dengan antibiotik spektrum luas seperti amoksilin, ampisilin atau eritromisin plus sulfonimid, dengan alternatif lain berupa amoksisilin, sefaklor, sefuroksim, dan trimetoprin plus sulfonamid.
· Sinusitis Etmoidalis
Sinus ini terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Pada dewasa, seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris, serta dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tak dapat dielakkan. Gejalanya nyeri dan nyeri tekan di antara kedua mata dan di atas jembatan hidung, drainase dan sumbatan hidung. Pada anak, dinding lateral labirin etmoidalis (lamina papirasea) seringkali merekah sehingga menjadi selulitis orbita. Pengobatannya antibiotik sistemik.
· Sinusitis Frontalis
Sinus frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus etmoidalis anterior. Sinus frontalis berkembang dari sel-sel udara etmoidalis anterior dan duktus nasalis frontalis berlekuk-lekuk berjalan amat dekat dengan sel-sel ini. Selain daripada gejala infeksi yang umum pada sinus frontalis terdapat nyeri kepala yang khas. Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda menjelang malam.
· Sinusitis Sfenoidalis
Sinusitis sfenoidalis akut terisolasi sangat jarang. Sinus ini dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke verteks kranium.
2. Sinusitis Kronik
Per definisisi, sinusitis kronik berlangsung selama beberapa bulan atau tahun. Gambaran patologis sinusitis kronik adalah kompleks dan ireversibel. Etiologi dan faktor predisposisi sinusitis kronik cukup beragam. Pada era pra-antibiotik, sinusitis hiperplastik kronik timbul akibat sinusitis akut berulang dengan penyembuhan yang tidak lengkap. Gejala sinusitis kronik tidak jelas. Kadang terdapat nyeri kepala, hidung tersumbat, batuk kronis. Pengobatan harus berupa terapi infeksi dan faktor penyebab infeksi secara berbarengan. Tindakan bedah sederhana pada sinusitis maksilaris kronik adalah membuat lubang drainase yang memadai. Prosedurnya nasoanostromi atau pembentukan fenestra nasoantral.
D. POLIP
Polip adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan didalam rongga hidung, berwarna putihkeabu-abuan yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Pembentukan polip diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom serta predisposisisi genetic, menurut teori Bernstain, terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang berturbulensi terutama di daerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitilisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium,, oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip.
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vascular yang mengatakan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan mengakibatkan edema dan lama-kelamaan menjadi polip.
Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab akan membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai.
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien dalam skenario 1 blok XVII THT-KL datang ke Puskesmas dengan keluhan hidung tersumbat. Keluhan ini dapat terjadi oleh beberapa faktor sehingga anamnesis perlu dilakukan secara teliti seperti apakah keluhan sumbatan ini terjadi terus menerus atau hilang timbul, pada satu atau kedua lubang hidung atau bergantian; adakah sebelumya riwayat terpapar bahan alergen seperti debu, tepung sari, bulu binatang, trauma hidung, pemakaian obat tetes hidung dekongestan untuk jangka waktu yang lama, perokok atau peminum alkohol yang berat; maupun apakah mulut dan tenggorok merasa kering.
Hasil anamnesis mengenai riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga diperlukan dalam memecahkan permasalahan kasus ini. Dalam skenario 1 disebutkan bahwa sejak kecil penderita sering bersin-bersin lebih dari 5 kali pada pagi hari, dan menghilang siang hari, disertai hidung gatal dan mata berair. Berdasarkan gejala-gejala ini pasien kemungkinan menderita rinitis alergi sejak kecil dengan faktor pemicu berupa udara dingin. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 bahwa rinitis alergi memiliki gejala-gejala pada hidung seperti bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh imunoglobulin E (Ig E).
Mekanisme terjadinya gejala-gejala tersebut diawali pada kontak pertama dengan alergen atau tahap tersensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell /APC) akan menangkap alergen yang menempel di mukosa permukaan hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA (Human Leucocyte Antigen) kelas II membentuk kompleks peptida MHC (Major Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Selanjutnya sel penyaji akan melepas sitokin seperi interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Ig E. Ig E di sirkulasi darah akan masuk jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai Ig E akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (preformed mediators) terutama histamin.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule (ICAM 1). Refleks bersin dan hipersekresi sebenarnya juga adalah refleks fisiologik yang berfungsi protektif terhadap antigen yang masuk melalui hidung. Iritasi sedikit saja pada daerah mukosa dapat seketika menimbulkan respons hebat di seluruh mukosa hidung. Selanjutnya melalui saluran penghubung kelenjar air mata, iritasi tersebut berlanjut dengan ditandai respons mata berair walaupun respons ini tidak terjadi pada semua kasus.
Selain histamin juga dikeluarkan newly preformed mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien D4 (LT D4), leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin (IL 3, IL 4, IL4, IL5, dan IL 6), serta Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF). Efek mediator ini menyebabkan vasodilatasi dan meningkatnya permeabilitas vaskular sehingga menyebabkan gejala hidung tersumbat (nasal blockage), meningkatnya sekresi kelenjar sehingga menimbulkan gejala beringus kental (mucous rhinorrhoe).
Sejumlah mediator peptida (sitokin) berperan dalam proses terjadinya eosinofilia. Sitokin biasanya diproduksi oleh limfosit T, tapi dapat juga oleh sel mast, basofil, makrofag, dan epitel. IL-4 berperan merangsang sel limfosit B melakukan isotype switch untuk memproduksi IgE, di samping berperan juga meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada epitel vaskuler (VCAM-1) yang secara selektif mendatangkan eosinofil ke jaringan. IL-3 berperan merangsang pematangan sel mast. IL-5 berperan secara selektif untuk diferensiasi dan pematangan eosinofil dalam sumsum tulang, mengaktifkan eosinofil untuk melepaskan mediator, dan memperlama hidup eosinofil dalam jaringan. Akibat meningkatnya eosinofil dalam jaringan maka terjadilah proses yang berkepanjangan dengan keluhan hidung tersumbat, hilangnya penciuman, dan hipereaktivitas hidung.
Kurang lebih 50% rinitis alergik merupakan manifestasi reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat. Gejala baru timbul setelah 4-6 jam pasca pajanan alergen akibat reaksi inflamasi jaringan yang berkepanjangan. Prostaglandin (PGD2) banyak terdapat di sekret hidung ketika terjadi fase cepat, tetapi tidak terdapat pada fase lambat, karena mediator ini banyak dihasilkan oleh sel mast. Fase cepat diperankan oleh sel mast dan basofil, sedangkan fase lambat lebih diperankan oleh basofil. (Irawati, Kasakeyan dan Rusmono, 2007)
Kesehatan sinus dipengaruhi patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar di dalam Kompleks Ostio-Meatal (KOM). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial. Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen dan berbau. Keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil, inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista yang pada skenario ditandai dengan adanya massa soliter dengan permukaan halus yang menggantung di nasopharynx sampai oropharynx yang berwarna keabu-abuan. Karena tekanan atmosfer yang lebih tinggi dibanding tekanan dalam telinga karena berisi eksudat, maka udara menekan membran timpani ke dalam sehingga pada pemeriksaan telinga, membran timpani tampak retraksi dan cone of light mengecil sebagai akibat dari gangguan pada tuba auditiva. Tekanan ini juga meyebabkan sekret hidung masuk ke dalam nasopharynx atau tenggorok yang disebut post nasal drip (+). Keluhan nyeri atau rasa tekan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis akut yang kadang-kadang terasa nyeri juga di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, yang dapat menjalar ke nyeri gigi dan telinga (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).
Dari proses / mekanisme kronis yang melatarbelakangi terjadinya gejala-gejala yang terjadi pada pasien diatas pada kenyataannya tidak berhenti hingga fase tersebut. Seperti yang disampaikan dalam beberapa literatur bahwa ada hubungan antara proses terjadinya rinitis dengan polip nasi serta sinusitis. Beberapa hal yang perlu diketahui bersama berkaitan dengan proses yang mengawali patogenesis timbulnya polip nasi yakni: 1) inflamasi kronik; 2) disfungsi saraf otonom; 3) kelainan genetik. Kemudian sebagaimana teori yang disampaikan oleh Bernstein, polip nasi timbul akibat proses inflamasi yang mendasarinya. Mekanisme inflamasi akan menyebabkan terjadinya edema pada mukosa yang melapisi hidung. Sebagaimana yang telah dijelaskan juga sebelumnya, terjadinya edema akibat peningkatan permeabilitas membrane vaskuler dan pelebaran sinus yang ada di daerah hidung itu sendiri. Melalui mediator perantara yang paling dianggap bertanggungjawab terhadap terjadinya rinitis alergi, histamin1 serta terjadinya peningkatan Ig E sebagai substansi yang menjembatani antara organ efektor dengan mediator tersebut di atas. Perubahan mukosa hidung ini juga dipicu oleh aliran udara yang bertubulensi, terutama terjadi di daerah sempit osteomeatal. Daerah kompleks osteometal merupakan celah sempit pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh concha media dan lamina papiraceae. Dengan demikian daerah kompleks osteomeatal ini menjadi penting sebagai unit yang berperan sebagai tempat ventilasi serta drainase sinus-sinus yang letaknya di anterior seperti sinus maksila, sinus ethmoidalis anterior dan sinus frontal. Sehingga kerusan pada sinus ini, terutama oleh terjadinya perubahan mukosa yang melapisinya, merupakan jalan yang menjembatani terjadinya gangguan sinus-sinus yang terkait. Dalam kasus ini terutama terjadi gangguan drainase sinus maksilaris sebagaimana yang akan nampak pada pemeriksaan X-foto sinus paranasal, sebagai gambaran kabut di daerah sinus maksilaris.
Selanjutnya kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung juga akan diikuti dengan prolaps submukosa serta reepitelisasi dan pembentukan kelenjar yang baru. Di dalam lapisan submukosa sendiri terdapat tunika propria yang kaya akan pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. Pembentukan lapisan epitel mukosa yang baru serta kolaps submukosa yang baru ini pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya peningkatan penyerapan natrium oleh sel-sel epitel mukosa hidung. Natrium sendiri memiliki kemampuan / efek untuk menarik air yang ada di vaskuler, sehingga ada keadaan akhir akan terjadi retensi air yang membentuk suatu polip.
Proses yang demikian nampaknya terus berlanjut pada pasien ini, sehingga menyebabkan mukosa menjadi sembab dan polip yang terbentuk oleh proses yang kronik ini akan mulai turun dari tempat asal perkembangannya (yakni yang ada di kompleks osteomatal di meatus medius) menuju rongga hidung serta membentuk tangkai.
Gambaran yang akan terlihat pada pemeriksaan adalah terbentuknya suatu massa bertangkai dengan permukaan licin, berbentuk bulat/ lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening, lobuar dan pada kasus ini adalah soiter, walaupun bisa juga terbentuk multiple. Ada pendapat juga yang menyatakan bahwa polip yang berkaitan dengan rinitis alergi ini biasa terbentuk bilateral, artinya bisa jadi polip ini terbentuk di cavum nasi dextra dan sinistra. Sedangkan dalam kasus ini terbentuk hanya unilateral kanan. Polip yang terjadi terus menerus tanpa pengobatan yang adekuat akan berkembang lebih lanjut menjadi polip choane atau disebut juga sebagai polip antero choane. Polip choane / anterochoane ini merupakan polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring, seperti yang nampak pada pasien ini yang bahkan mencapai orofaring.
Berdasarkan jenis sel peradangannya polip dikelompokkan menjadi dua yakni polip tipe eosinofilik, dan tipe neutrofilik. Pasien dalam skenario menderita polip eosinofilik di mana polip ini merupakan manifestasi penyakit lanjutan karena rinitis alergi. Selain itu dilihat dari pembagian stadium polip ada 3 tingkat menurut Mackay dan Lund (1997). Stadium 1: polip masih terbatas di meatus medius; stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidug tapi belum memenuhi rongga hidung; stadium 3: polip yang massif. Sesuai dengan pembagian ini pasien telah mencapai polip stadium 3 dimana massa yang terbentuk telah mencapai nasofaring bahkan nampak di orofaring. (Mangunkusumo dan Wardani, 2007)
Terjadinya post nasal drip (+) dapat disebabkan oleh adanya infeksi sekunder, yang ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan swab nampak kuman Staphillococcus aureus. Walupun keabsahan akan terjadinya infeksi oleh kuman spesies ini belum dapat dipastikan dengan pemeriksaan swab, karena pemeriksaan ini dilakukan di daerah vestibulum nasi. Walau demikian tetap perlu diwaspadai dengan dilakukan pemeriksaan yang lebih akurat agar pasien dapat memperoleh terapi yang sesuai, dengan indikasi post nasal drip (+). Pada pengobatan yang diberikan sebelumnya oleh dokter puskesmas tidak memberikan efek yang diharapkan disebabkan penyakit ini telah berjalan cukup lama, sehingga dimungkinkan terjadinya akumulasi sitokin-sitokin yang sangat banyak. Proses kronik yang terjadi pada rinitis alergi menyebabkan sekret yang dihasilkan oleh sel-sel goblet menjadi berlebihan, diikuti terjadinya reepitelisasi pada kompleks osteomeatal juga merupakan predisposisi terjadinya keluhan bau amis, karena sekret yang dihasilkan merupakan kumpulan dari kuman-kuman maupun sel-sel yang nekrotik yang kemudian terkumpul tanpa adanya drainase yang baik.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
1. Pasien menderita sinusitis kronis.
2. Rinitis alergi yang diderita pasien sejak kecil merupakan faktor predisposisi terjadinya polip dan sinusitis.
B. SARAN
Perlu dilakukan pemeriksaan ulang terhadap kadar gula darah sewaktu, ditambah dengan pemeriksaan gula darah puasa dan gula darah 2 jam post prandial. Hal ini dimaksudkan untuk mengecek adakah penyakit diabetes mellitus pada pasien. Jika ternyata hasil pemeriksaan menunjukkan diabetes mellitus, perlu dilakukan koreksi sebelum diadakan operasi.
Pemeriksaan resistensi antimikroba dapat dilakukan untuk menentukan medikamentosa yang tepat. Apalagi riwayat pengobatan pasien menunjukkan pernah diterapi antibiotik sampai 2 kali tetapi tidak memberikan perubahan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Rinitis Alergi. http://www.klikdokter.com. (5 September 2009)
Baratawidjaja, Karnen Garna. 2002. Imunologi Dasar Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ikawati,Zullies. 2009. Allergic Rhinitis. http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id. (5 September 2009)
Irawati,N., Kasakeyan, E., dan Rusmono, N. 2007. Rinitis Alergi in Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Mangunkusumo, E. dan Soetjipto, D. 2007. Sinusitis in Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.Mangunkusumo, E. dan Wardani, R.S. 2007. Sinusitis in Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
No comments:
Post a Comment