Monday, December 8, 2008

ASMA BRONKIAL, PPOK, DAN BRONKIEKTASIS

1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Paru (pulmo) mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pertukaran gas antara oksigen dan karbondioksida. Selanjutnya oksigen ini akan diedarkan ke seluruh tubuh manusia sampai ke jaringan sasaran melalui pembuluh darah dan kapiler. Oksigen yang disampaikan ke jaringan akan digunakan untuk respirasi intrasel yang menghasilkan ATP. Oksigen yang disampaikan ke jaringan tubuh sebagian besar diangkut oleh hemoglobin. Satu molekul hemoglobin mampu mengikat 4 molekul oksigen. Paru manusia secara embriologis akan terbentuk setelah embrio mempunyai panjang 3 mm. Pembentukan paru dimulai dari sebuah groove yang berasal dari foregut. Selanjutnya pada groove ini terbentuk dua kantung yang dilapisi oleh suatu jaringan yang disebut primary lung bud. Bagian proksimal foregut membagi diri menjadi dua, yaitu esofagus dan trakea. Pada perkembangan selanjutnya, trakea akan bergabung dengan primary lung bud. Primary lung bud merupakan cikal bakkal bronki dan cabang-cabangnya. Bronchial tree terbentuk setelah embrio berumur 16 minggu, sedangkan alveol baru berkembang setelah bayi lahir dan jumlahnya terus meningkat hingga anak berumur 8 tahun. Ukuran alveol bertambah besar sesuai dengan perkembangan dinding toraks. Jadi, pertumbuhan dan perkembangan paru berjalan terus menerus tanpa terputus sampai pertumbuhan somatik berhenti.
Saluran napas (tracheobronchial tree) berfungsi sebagai suatu saluran udara yang mengalir dari dan ke alveolar-capillary complexes. Saluran napas terdiri atas trakea dan bronkus utama kanan dan kiri serta cabang-cabangnya, dengan cara membagi diri secara dikotomi hingga ke generasi 23 dan 24, malahan ada yang menghitung sampai generasi ke-27. Cabang bronki ini dikenal sebagai bronki(-us) lobar, segmental, subsegmental, hingga cabang bronki yang lebih kecil lagi dan cabang ini berakhir pada bronkioli(-us). Selanjutnya bagian distal bronki terdiri dari bronkioli respiratorius, duktus alveolaris dan sakus alveolaris. Bagian distal saluran napas ini bersama-sama dengan sistem pembuluh darah membentuk satu unit yang disebut alveolar-capillary complexes.
Dari skenario 1 Blok Respirasi, ada beberapa masalah penting, yaitu :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Seorang perempuan umur 20 tahun merasakan batuk yang tidak berkurang sejak 3 hari yang lalu, batuk mula-mula disertai dahak akan tetapi sejak tadi pagi mulai batuk berdahak bahkan mendadak menjadi sesak napas, penderita juga mengalami demam.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
(tidak ada keterangan di skenario)
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Dijelaskan oleh penderita bahwa sebelum mengalami keluhan-keluhan tersebut, penderita membersihkan rak buku-buku lama ayahnya yang penuh dengan debu.
- Dalam keluarganya, kakak penderita juga menderita penyakit yang pada rontgen toraksnya menunjukkan gambaran honeycomb appearance tetapi tidak pernah ditemukan wheezing.
- Pada pemeriksaan fisik, didapatkan hasil: wheezing yang jelas saat auskultasi.
- Dokter memberikan 2 macam obat kepada pasien tersebut yang berbeda fungsinya.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas, antara lain :
a. Anatomi dan histologi sistem reapirasi
b.Fisiologi sistem respirasi
c. Tanda dan gejala umum penyakit pada sistem respirasi
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Mengetahui gejala-gejalanya lebih lanjut dan penatalaksanaannya.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem kerja pernapasan (sistem respirasi) dan penyelesaiaannya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dan melingkupi sistem respirasi meliputi anatomi, histologi dan fisiologi.
b. Menjelaskan proses respirasi secara fisiologis.
c. Menjelaskan tentang proses ventilasi dan transportasi yang terjadi di dalam paru-paru
d. Menjelaskan tentang proses sirkulasi pulmoner dan perubahan/pertukaran gas dalam paru-paru.
e. Menjelaskan perkembangan saluran pernapasan, pertahanan saluran pernapasan dan kontrol feed back dalam sistem pernapasan.
f. Menjelaskan mekanisme batuk dan gejala umum gangguan pernapasan yang lainnya.
g. Menjelaskan mekanisme terjadinya kelainan pada sel/organ pada penyakit-penyakit sistem respirasi meliputi patogenesis, patologi, dan patofisiologinya.
h. Menjelaskan jenis-jenis kelainan pada sistem respirasi meliputi kausa, patogenesis, patologi, patofisiologi, gejala, komplikasi, prognosis, dan dasar terapi pada kelainan karena kondisi obstruksi, kondisi restriktif, insufisiensi pernapasan, penyakit kardiovaskular dan paru, infeksi, penyakit lingkungan, dan neoplasma.
i. Melakukan pemeriksaan yang menunjang diagnosis penyakit paru.
j. Menjelaskan komplikasi yang ditimbulkan pada penyakit-penyakit di sistem respirasi.
k. Menjelaskan manajemen/penatalaksanaan penyakit pada sistem respirasi meliputi dasar-dasar terapi: medikamentosa, konservatif, diet, operatif, rehabilitasi, dll.
l. Menjelaskan symptom dan sign penyakit-penyakit pada sistem respirasi.
m. Menjelaskan penegakan diagnosis penyakit pada sistem respirasi.
n. Menyusun data dari gejala, pemeriksaan fisik, prosedur klinik, dan pemeriksaan laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis sementara dan diagnosis banding pada penyakit sistem respirasi.
o. Menentukan prosedur klinik penunjang diagnosis penyakit sistem respirasi.

2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Histologi Sistem Respirasi
Trakea terdiri dari 16 sampai 20 cincin tulang rawan yang berbentuk setengah lingkaran atau bulan sabit (cresent-shaped). Tulang rawan yang bersifat elastis kuat ini, bersama-sama membentuk trakea dalam arah anterolateral sehingga trakea menjadi kaku. Bagian posterior trakea dibentuk oleh jaringan elastis bersama-sama dengan otot polos. Kedua jaringan ini membentuk suatu lapisan yang disebut pars membranasea dari trakea. Otot di daerah ini akan aktif berkontraksi pada saat ekspirasi dalam atau batuk sehingga lumen trakea menyempit. Pada bagian dalam lapisan otot dan tulang rawan ini didapatkan suatu lapisan jaringan ikat yang mengandung serabut saraf dan kelenjar mukus. Lebih dalam lagi ke arah lumen terdapat membran mukosa yang mengandung sel goblet, sel bersilia, dan terakhir sel-sel epitel. Bronki(-us) dimulai dari bagian distal trakea yang membagi dua menjadi bronkus utama kanan dan kiri. Selanjutnya bronkus utama ini membagi diri menjadi bronkus generasi kedua yang disebut bronkus lobar dengan penampang 0,7 cm, setelah itu terbentuk pula bronkus segmental dengan penampang 0,5 cm. Generasi keempat merupakan bronkus terakhir diberi nama bronkhus subsegmental, generasi kelima hingga kesepuluh disebut bronkus kecil dengan penampang 0,1 sampai 0,4 cm. Seperti halnya dengan trakea, tulang rawan pada bronki besar berbentuk ladam kuda dengan otot polos menghubungkan kedua ujungnya. Pada bronki yang lebih kecil tulang rawan berbentuk lempengan kecil, semakin kecil, bentuk tulang rawan juga berubah membentuk lempeng atau batang kecil, dan pada bronkioli(-us) bentuk tulang rawan ini hilang sama sekali. Di bagian dalam setiap bronki dijumpai suatu jaringan yang terbentuk dari jaringan elastis, jaringan retikuler, otot polos, kapiler, jaringan limfatik, serta serabut saraf. Diantara jaringan tadi dapat dijumpai sel-sel radang PMN, sel limfosit dan sel mast. Lapisan lebih dalam lagi diapatkan membran basalis dan lapisan epitel, yang terdiri dari sel bersilia dan sel goblet. Jumlah sel goblet paling banyak ditrakea dan bronki utama, jumlahnya makin menurun sesuai dengan makin kecilnya bronki. (Mukty, et.al., 2005)
Bronkioli(-us), merupakan generasi ke-11 dengan penampang 0,15 sampai 0,1 cm. Dinding bronkioli mengandung jaringan elastis yang berjalan secara longitudinal dan menutup serabut-serabut otot polos. Bronkioli yang lebih kecil membagi diri menjadi bronkioli terminalis dengan penampang alveolaris. Perubahan yang dilihat pada bronkioli antara lain tulang rawan tidak ada, epitel berbentuk kuboid dan tidak mempunyai silia. Makin ke perifer, jumlah sel goblet dan kelenjar mukus makin berkurang. Sekret mukus yang dihasilkan oleh sel goblet dan kelenjar mukus melapisi bagian luar sel silia. Otot polos merupakan suatu komponen yang penting di dalam saluran pernapasan. Otot polos terletak di bagian posterior dan menghubungkan kedua ujung tulang trakea dan bronkus utama. Pada bronki kecil, bronkioli generasi ke-5 dan seterusnya, serabut otot polos ini menyusun diri dalam bentuk spiral dan double helical. Bentuk spiral otot polos ini dapat dijumpai sampai ke alveoli(-us). Duktus alveolaris dan alveolus merupakan perluasan bronkioli respiratorius. Alveoli yang merupakan kantung-kantung berdinding tipis tersusun berkelompok pada duktus alveolaris sehingga struktur yang membentuk keduanya juga serupa. Pada seorang laki-laki dewasa diperkirakan terdapat 300x106 alveoli dan alveoli ini mengambil tempat 55 sampai 60% dari seluruh volume paru. Dinding alveoli yang disebut juga alveolar-capillary membrane berperane berperan dalam pertukaran gas dari udara ke darah. Orang dewasa diperkirakan mempunyai luas alveoli sekitar 80 m2, begitu pula luas permukaan kapiler sama besarnya. Permukaan alveoli merupakan tempat biosintesis bahan surfaktan dan terdapat pula sel histiosit dan makrofag yang bersifat fagositosis. Tebal alveolar-capillary membrane 0,2 sampai 2,5 mikron dan merupakan tempat pertukaran gas secara pasif. Lapisan alveolus dan endotel kapiler mempunyai hubungan yang sangat erat. Keduanya dihubungkan oleh jaringan interstitial yang terdiri dari jaringan elastis, retikuler dan kolagen. Serabut yang membentuk jaringan intersititial ini dapat mencegah terjadinya perluasan yang berlebihan dari alveoli serta memberi sifat elastis pada paru. Alveoli mempunyai ukuran 200 hingga 300 mikron, dan pada dinding alveolus terdapat suatu lubang yang berhubungan dengan alveolus lain, lubang ini disebut Porus dari Khon. Lobus paru terdiri dari primary lobules (asini) dan secondary lobules dari Miller yang terdiri dari 5 sampai 10 asini dengan diameter 1-2 cm. Terminal respiratory unit merupakan struktur paru yang terletak distal dari bronkioli terminalis atau disebut juga asini(-us). Sedangkan secondary lobules merupakan gabungan dari beberapa terminal respiratory unit. (Mukty, et.al., 2005)
Selain hal-hal di atas, akan dibahas juga mengenai alveolar-capillary plexus secara lebih dalam. Arteri pulmonalis merupakan pembuluh darah yang menyertai saluran pernapasan dan berfungsi membawa darah vena dari ventrikel kanan ke paru. Setiap arteri pulmonalis memberi cabang kecil ke bronkioli respiratorius dan berakhir di sakus alveolaris dengan membentuk plexus capillary. Dengan adanya pleksus ini darah akan lebih efektif memperoleh udara (oksigen) dari alveoli. Selanjutnya darah yang meninggalkan alveolar-capillary plexus yang kaya oksigen menuju sistem vena pulmonalis dan berakhir di atrium kiri jantung. Pembuluh darah bronkial memberi vaskularisasi untuk paru. Arteri bronkial yang kaya oksigen juga menyertai saluran pernapasan. Arteri ini membawa makanan untuk saluran pernapasan sampai ke bronkioli terminalis. Darah yang berasal dari arteri bronkial ini mengalir ke kapiler dan selanjutnya menuju sistem pembuluh darah pulmonal atau sistem vena bronkial. Sistem saraf saluran napas dan paru dilakukan oleh sistem saraf otonom. Ada tiga tipe jalur yang ditempuh, yaitu aferen otonomik, eferen parasimpatik, eferen simpatik. Serabut aferen otonomik seperti serabut aferen lain ysng berasal dari stretch receptor di dalam alveol dan sama dengan reseptor iritan yang berada di bronki dan bronkioli bersama-sama menuju ke nervus vagus setelah melalui pleksus pulmonalis. Serabut saraf yang berasal dari reseptor iritan lain, seperti di trakea dan reseptor batuk yang berada di laring akan mencapai sistem saraf pusat melalui nervus vagus. Kemoreseptor yang berada di sinus karotikus dan arkus aorta juga akan bergabung dengan serabut aferen. Serabut saraf yang berasal dari sinus karotikus dan badan karotis melalui nervus glossopharyngeus, sedangkan reseptor lain yang terdapat di hidung dan sinus paranasalis, serabut aferennya bergabung di dalam n. trigeminus dan n. glossopharynge us. Semua serabut saraf eferan parasimpatis yang menuju ke saluran pernapasan bergabung di dalam n. vagus dan pleksus pulmonalis. Serabut eferen ini akan membawa semua impuls yang menuju otot polos dan kelenjar yang berada di saluran pernapasan. Impuls yang bersifat kolinergik menyebabkan kontraksi otot polos bronkial, pengeluaran sekresi kelenjar dan dilatasi pembuluh darah. Serabut saraf eferen postganglionikyang bersifat simpatik berasal dari trunkus simpatis langsung masuk ke toraks melalui ganglia toraksis. Serabut saraf ini, semuanya bersifat adrenergik dan akan mencapai paru setelah melalui pleksus pulmonalis. Rangsangan simpatis akan menyebabkan relaksasi otot polos bronkial, menghambat pengeluaran sekresi dari kelenjar serta menimbulkan vasokonstriksi pada pembuluh darah. (Mukty, et.al., 2005)
Otot-otot skelet yang membungkus dinding toraks berfungsi untuk inspirasi dan ekspirasi. Otot inspirasi utama seperti m. intercostalis externus, yang mempunyai fungsi mengangkat iga (fungsi elevasi). Otot intercartilagineus parasternalis, mrupakan otot elevasi yang menghubungkan bagian antar tulang rawan iga. Otot pernapasan yang paling penting ialah diafragma, berfungsi melebarkan rongga dada dalam dimensi longitudinal serta menyebabkan elevasi tulang iga bagian bawah. Otot inspirasi tambahan ialah m. sternocleidomastoideus mengangkat sternum ke bagian depan dan atas, sedangkan m. scalenus anterior, medius, dan posterior, mempunyai fungsi elevasi serta memfiksir tulang iga bagian atas. Pada saat bernapas biasa, bernapas normal atau quiet breahing, ekspirasi merupakan gerakan pasif sebagai hasil dari rekoil paru. Jika ekspirasi dilaksanakan secara pasif, maka otot-otot yang berperan adalah m. intercostalis internus kecuali m. intercartilagineus parasternalis. Kelompok otot ini berfungsi menekan iga ke arah dalam. Otot bdomen seperti m. rectus abdominis, m. abdominis externa obliqua, m. internal obliqua dan m. transversus abdominis akan melakukan penekanan pada iga bagian bawah serta kompresi isi perut. (Mukty, et.al., 2005)
B. Fisiologi Sistem Respirasi
Proses fisiologi pernapasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke dalam jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagi menjasi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan keluar paru. Stadium kedua, transportasi, yang harus ditinjau dari beberapa aspek: (1) difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan antara darah sistemik dan sel-sel jaringan; (2) distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam alveoli; dan (3) reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan darah. Respirasi sel atau respirasi interna, merupakan stadium akhir respirasi, yaitu saat zat-zat dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru. (Wilson, 2007)
Proses ventilasi adalah proses udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan yang tedapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot. Otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengankat iga-iga. Toraks membesar ke tiga arah: anteroposterior, lateral, dan vertikal. Peningkatan volume ini menybabkan penurunan tekanan intrapleura, dari sekitar -4 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfer) menjadi sekitar -8 mmHg bila paru mengembang pada waktu inspirasi. Pada saat yang sama tekanan intrapulmonal atau tekanan jalan napas menurun sampai sekitar -2 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfer) dari 0 mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara jalan napas dan atmosfer menyebabkan udara mengalir ke dalam paru sampai tekanan jalan napas pada akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer. Dan ekspirasi dapat terjadi ketika rongga toraks berkurang volumenya dan hal ini akan meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal sekarang meningkat dan mencapai sekitar 1 sampai 2 mmHg di atas tekanan atmosfer. Selisih tekanan antara jalan napas dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru sampai tekanan jalan napas dan tekanan atmosfer menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi. Dan perlu diingat bahwa tekanan intrapleura selalu di bawah tekanan atmosfer slama siklus pernapasan. (Wilson, 2007)
Proses transportasi erat hubungannya dengan proses difusi dan perfusi. Proses difusi adalah suatu proses di mana gas-gas dalam udara pernapasan melintasi dinding alveolus. Adanya perpindahan gas ini dapat terjadi oleh karena adanya kekuatan pendorong untuk pemindahan ini yang berupa tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial O2 (PO2) dalam atmosfer pada permukaan laut besarnya sekitar 159 mmHg (21% dari 760 mmHg). Namun, pada waktu oksigen sampai di trakea, tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekitar 149 mmHg karena dihangatkan dan dilembabkan oleh jalan napas (760-47 x 0,21) mmHg atau sekitar 149 mmHg. Tekanan uap air pada suhu tubuh adalah 47 mmHg. Tekanan oksigen kapiler (40 mmHg) lebih rendah daripada tekanan oksigen dalam alveolus (103 mmHg) sehingga oksigen lebih mudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan tekanan antara CO2 di kapiler darah (46 mmHg) dan tekanan CO2 di alveolus (40 mmHg) yang jauh lebih rendah (6 mmHg) menyebabkan CO2 berdifusi je dalam alveolus. Dalam keadaan istirahat normal, difusi dan keseimbangan antara oksigen di kapiler darah paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak selama 0,75 detik. Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler. Dengan perkataan lain, ventilasi dan perfusi unit pulmonar harus sesuai. Sirkulasi pulmonar dengan tekanan dan resistensi rendah mengakibatkan aliran darah di basis paru lebih besar daripada di apeks paru, hal ini disebabkan oleh karena gaya tarik bumi. Pada orang normal dengan posisi tegak dan dalam keadaan istirahat, ventilasi dan perfusi hampir seimbang kecuali pada apeks paru. Rasio antara ventilasi dan perfusi dinilai sebesar V/Q = 0,8. Angka ini didapatkan dari rasio rata-rata laju ventilasi alveolar normal (4L/menit) dibagi dengan curah jantung normal (5L/menit). Menurut konsep V/Q, ada 3 macam kelainan akan ventilasi dan perfusi, yaitu suatu unit ruang mati, unit pirau, dan unit diam. Dikatakan sebagai unit ruang mati jika rasio V/Q tidak terhingga karena laju ventilasi normal tetapi laju perfusi tidak ada. Unit pirau adalah jika rasio V/Q adalah nol (0) karena laju ventilasi tidak tetapi perfusi normal sehingga perfusi terbuang sia-sia. Dan terdapat unit diam yaitu suatu keadaan saaat tidak terdapat ventilasi maupun perfusi. Hal tersebut merupakan kasus ekstrim, ada suatu gabungan dari kasus-kasus tersebut sehingga memberikan suatu keadaan ruang mati dengan rasio V/Q lebih dari 0,8 dan suatu keadaan pirau dengan rasio V/Q kurang dari 0,8. (Wilson, 2007)
Selain adanya ventilasi dan perfusi, penting diketahui pula adanya transpor oksigen dalam darah. Oksigen diangkut dari paru ke jaringan-jaringan melalui 2 cara, yaitu secara fisik larut dalam plasma atau secara kimia berikatan dengan Hb sebagai oksiHb (HbO2). Ikatan Hb dengan oksigen inilah memberikan kontribusi sebesar 99% dalam proses transportasi. Ikatan antara Hb dengan O2 bersifat reversibel dan jumlah sesungguhnya yang diangkut dalam HbO2 memiliki hubungan nonlinear dengan tekanan parsial O2 dalam darah arteri (PaO2), yang ditentukan oleh jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma darah. Selanjutnya jumlah O2 yang larut dalam plasma mempunyai hubungan langsung dengan tekanan parsial oksigen dalam alveolus (PAO2). Jumlah O2 juga ditentukan oleh daya larutnya dalam plasma. Hanya sekitar 1% dari jumlah O2 total yang diangkut ke jaringan-jaringan ditranspor dengan cara ini. Satu gram Hb dapat mengikat 1,34 mL O2. Konsentrasi Hb rata-rata dalam darah laki-laki dewasa sekitar 15 g per 100 mL sehingga 100 mL darah dapat mengangkut (15 x 1,34) atau sekitar 20,1 mL O2 bila O2 jenuh (SaO2) adalah 100%. Tetapi sedikit darah vena campuran dari sirkulasi bronkial ditambahkan ke darah yang meninggalkan kapiler paru dan sudah teroksigenasi. Proses pengenceran ini menjelaskan mengapa hanya kira-kira 97% darah yang meninggalkan paru menjadi jenuh sehingga hanya 19,5(0,97 x 20,1) vol% yang diangkut ke jaringan. Pada tingkat jaringan, oksigen akan melepaskan diri dari Hb ke dalam plasma dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan bervariasi, namun sekitar 75% Hb masih berikatan dengan oksigen pada waktu Hb kembali paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi hanya sekitar 25% O2 dalam darah arteri yang digunakan untuk keperluan jaringan. Hb yang telah melepaskan O2 pada tingkat jaringan disebut Hb tereduksi. Hb tereduksi ini berwarna ungu dan menyebabkan warna kebiruan pada darah vena, seperti yang kita lihat pada vena superfisial, misalnya pada tangan, sedangkan HbO2 berwarna merah terang dan menyebabkan warna kemerah-merahan pada darah arteri. (Wilson, 2007)
Disosiasi oksihemoglobin perlu dijelaskan dalam hal ini karena diperlukan untuk memahami kapasitas angkut O2, selain itu juga diperlukan pengetahuan akan afinitas Hb terhadap O2 karena suplai O2 untuk jaringan maupun pengambilan O2 oleh paru yang sangat bergantung pada hubungan tersebut. Jika darah lengkap dipajankan terhadap berbagai tekanan parsial oksigen dan persentase kejenuhan Hb diukur, maka didapatkan kurva berbentuk huruf S bila kedua pengukuran tersebut digabungkan. Kurva inilah yang dikenal dengan kurva disosiasi oksihemoglobin dan menyatakan afinitas Hb terhadap oksigen pada berbagai tekanan parsial. Normalnya, hubungan afinitas antara oksigen dengan Hb berada pada suhu tubuh normal (37°C) dan pada pH darah sebesar 7,4. Fakta fisiologis yang sangat penting untuk diperhatikan tentang kurva ini, yaitu adanya bagian atas yang datar dan dikenal sebagai bagian arteri (A), dan bagian vena (V) yang lebih curam di sebelah bawah, sedikit ke kanan. Pada bagian atas kurva yang datar, perubahan yang besar pada tekanan oksigen akibat sedikit perubahan pada kejenuhan HbO2. Ini berarti bahwa jumlah oksigen yang relatif konstan dapat disuplai ke jaringan bahkan pada ketinggian yang tinggi saat PO2 dapat sebesar 60 mmHg atau kurang. Ini juga berarti bahwa pemberian oksigen dalam konsentrasi tinggi (udara normal=21%) pada pasien-pasien dengan hipoksemia ringan (PaO2 = 60-75 mmHg) adalah sia-sia karena HbO2 hanya dapat ditingkatkan sedikit sekali. Sesungguhnya pemberian oksigen konsentrasi tinggi dapat meracuni jaringan paru dan menimbulkan efek yang merugikan. Pelepasan oksigen ke jaringan dapat ditingkatkan oleh hubungan PO2 terhadap SaO2 pada kurva bagian vena yang curam. Pada bagian ini perubahan-perubahan besar pada HbO2 merupakan akibat dari sedikit perubahan pada PO2. Afinitas Hb terhadap O2 dipengaruhi oleh banyak faktor lain yang menyertai metabolisme jaringan dan dapat diubah oleh penyakit. (Wilson, 2007)
Kurva HbO2akan bergeser ke kanan apabila pH darah menurun atau saat pCO2 meningkat. Dalam keadaan ini pada PO2 tertentu, afinitas Hb terhadap O2 berkurang sehingga O2 yang dapat diangkut darah berkurang. Keadaan patologis yang dapat menyebabkan asidosis metabolik, seperti syok (pembentukan asam laktat berlebihan akibat metabolisme anaerobik) atau retensi CO2 (seperti yang ditemukan pada banyak penyakit paru) akan menyebabkan pergeseran kurva ke kanan. Pergeseran kurva sedikit ke kanan seperti yang digambarkan oleh vena kurva normal (pH 7,38) akan membantu pelepasan oksigen ke jaringan. Pergeseran ini dikenal dengan nama efek Bohr. Sedikit peningkatan keasaman terjadi akibat pelepasan CO2 dari jaringan. Faktor lain yang menyebabkan pergeseran kurva ke kanan adalah peningkataan suhu dan 2,3 difosfogliserat (2,3-DPG) yaitu fosfat organik dalam sel darah merah yang mengikat Hb dan mengurangi afinitas Hb terhadap O2. Pada anemia dan hipoksemia kronik, 2,3-DPG sel darah merah meningkat. Saat kurva bergeser ke kanan, memang kemampuan transpor O2 oleh Hb menurun akan tetapi kemampuan Hb untuk melepaskan O2 ke jaringan dipermudah. Karena itu, pada anemia dan hipoksemia kronik, pergeseran kurva ke kanan merupakan suatu proses kompensasi. Pergeseran kurva ke kanan yang disertai dengan peningkatan suhu, selain menggambarkan adanya peningkatan metabolisme sel dan peningkatan kebutuhan oksigen , juga merupakan proses adaptasi dan menyebabkan lebih banyak oksigen yang dilepaskan ke jaringan dari aliran darah. (Wilson, 2007)
Saat terjadi peningkatan pH darah (alkalosis) atau penurunan PCO2, suhu, dan 2,3-DPG akan menyebabkan pergeseran kurva disosiasi HbO2 kiri. Pergeseran ke kiri menyebabkan peningkatan afinitas Hb terhadap O2. Akibatnya ambilan O2 paru meningkat pada pergeseran ke kiri tetapi pelepasan O2 ke jaringan terganggu. Karena itu dapat terjadi hipoksia (insufisiensi O2 jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme) pada keadaan alkalosis berat, terutama apabila disertai dengan hipoksemia. Keadaan ini terjadi selama proses mekanisme overventilasi dengan respirator atau pada tempat yang tinggi akibat hiperventilasi. Karena hiperventilasi juga diketahui dapat menurunkan aliran darah serebral karena penurunan PaCO2, iskemia serebral juga menjadi sebab atas gejala berkunang-kunang yang sering terjadi pada kondisi tersebut. Darah yang disimpan akan kehilangan aktivitas 2,3-DPG sehingga afinitas Hb terhadap O2 meningkat. Afinitas Hb terhada O2 diberi batasan melalui PO2 yang dibutuhkan untuk menghasilkan kejenuhan 50% (P50). Dalam keadaan normal, P50 sekitar 27 mmHg. Terbukti bahwa P50 akan meningkat, bila kurva disosiasi bergeser ke kanan (pengurangan afinitas Hb terhadap O2) sedangkan pada pergeseran kurva ke kiri (peningkatan afinitas Hb terhadap O2), P50 akan menurun. Afinitas karbonmonoksida (CO) terhadap Hb sekitar 250 kali lebih besar daripada afinitas O2 terhadap Hb. Bila CO terhirup maka zat tersebut akan berikatan dengan Hb membentuk karboksihemoglobin. Bila O2 berikatan dengan karboksihemoglobin maka reaksi tersenut tidak reversibel sehingga jumlah Hb yang tersedia untuk transpor O2 berkurang. Selain itu, terdapat pergeseran Hb normal yang tersisa ke kiri sehingga pelepasan O2 ke jaringan kurang memadai. (Wilson, 2007)
Selain hal tersebut, masih ada satu hal lagi yang penting yaitu transpor CO2 dalam darah. Homeostasis CO2 juga suatu aspek penting dalam kecukupan respirasi. Transpor CO2 dari jaringan ke paru untuk dibuang dilakukan dengan tiga cara. Sekitar 10% CO2 secara fisik larut dalam plasma, karena tidak seperti O2, CO2 mudah larut dalam plasma. Sekitar 20% CO2 berikatan dengan gugua amino pada Hb (karbaminohemoglobin) dalam sel darah merah, dan sekitar 70% diangkut dalam bentuk bikarbonat plasma (HCO3-). CO2 berikatan dengan air dengan reaksi berikut:
CO2 + H2O ↔ H2CO3 ↔ H+ + HCO3-
Reaksi ini reversibel dan disebut persamaan buffer asam bikarbonat-karbonat. Keseimbangan asam-basa tubuh ini sangat dipengaruhi oleh fungsi paru dan homeostasis CO2. Pada umumnya hiperventilasi (ventilasi alveolus dalam keadaan kebutuhan metabolisme yang berlebihan) menyebabkan alkalosis (peningkatan pH darah melebihi pH normal 7,4) akibat ekskresi CO2 berlebihan dari paru; hipoventilasi (ventilasi alveolus yang tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolisme) menyebabkan asidosis (penurunn kadar pH darah di bawah pH normal 7,4) akibat retensi CO2 oleh paru. Dengan memeriksa persamaan, terbukti bahwa penurunan PCO2 seperti yang terjadi pada hiperventilasi akan menyebabkan reaksi bergeser ke kiri sehingga menyebabkan penurunan konsentrasi H+ (kenaikan pH), dan peningkatan PCO2 menyebabkan reaksi menjurus ke kanan menimbulkan kenaikan H+ (penurunan pH). Hipoventilasi terjadi pada banyak keadaan yang memengaruhi pompa pernapasan. Retensi CO2 juga dihubungkan dengan emfisema dan bronkitis kronik akibat udara yang terperangkap dalam paru. Sama seperti jumlah O2 yang diangkut dalam darah yang berkaitan dengan PO2 pada darah tersebut, demikian juga jumlah CO2 dalam darah berkaitan dengan PCO2. Tidak seperti kurva disosiasi HbO2 yang bentuknya seperti huruf S, kurva disosiasi CO2 hampir linear pada batas-batas fisiologis PCO2. Ini berarti bahwa kandungan CO2 dalam darah berhubungan langsung dengan PCO2. Selain itu, tidak ada sawar yang bermakna terhadap difusi CO2. Karena itu, PaCO2 merupakan petunjuk yang baik tentang kecukupan ventilasi. (Wilson, 2007)
C. Tanda dan Gejala Umum Penyakit pada Sistem Respirasi
Tanda dan gejala yang paling umum yang terdapat pada penyakit-penyakit dalam sistem respirasi adalah batuk, pengeluaran sputum, hemoptisis, dispnea, dan nyeri dada. Walaupun masih ada banyak tanda khas lainnya pada penyakit sistem respirasi tetapi tanda-tanda tersebut merupakan tanda-tanda yang paling khas. Berikut akan sedikit dibicarakan mengenai tanda-tanda tersebut.
Batuk merupakan refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi percabangan trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme yang penting untuk membersihkan saluran napas bagian bawah, dan banyak orang dewasa normal yang batuk beberapa kali setelah bangun tidur pada pagi hari untuk membersihkan trakea dan faring dari sekret yang terkumpul selama tidur. Batuk juga merupakan gejala tersering penyakit pernapasan. Segala jenis batuk yang berlangsung lebih dari tiga minggu harus diselidiki untuk memastikan penyebabnya. Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk adalah rangsangan mekanik, kimia, dan peradangan. Inhalasi asap, debu, dan benda-benda asing kecil merupakan penyebab batuk yang paling sering. Prokok seringkali menderita batuk kronik karena terus menerus mengisap benda asing (asap), dan saluran napasnya sering mengalami peradangan kronik. Rangsangan mekanik dari tumor (ekstrinsik maupun intrinsik) terhadap saluran napas merupakan penyebab lain yang dapat menimbulkan batuk (tumor yang paling sering menimbulkan batuk adalah karsinoma bronkogenik). Setiap proses peradangan saluran napas dengan atau tanpa eksudat dapat mengakibatkan batuk. Bronkitis kronik, asma, tuberkulosis, dan pneumonia merupakan penyakit yang secara tipikal memiliki batuk sebagai gejala yang mencolok. Batuk dapat bersifat produktif, pendek, dan tidak produktif, keras dan parau (seperti ada tekanan pada trakea), sering, jarang, atau paroksismal (serangan batuk yang intermiten). (Wilson, 2007)
Orang dewasa normal menghasilkan mukus sekitar 100 mL dalam saluran napas setiap hari. Mukus ini diangkut menuju faring dengan gerakan pembersihan normal silia yang melapisi saluran pernapasan. Kalau terbentuk mukus yang berlebihan, proses normal pembersihan mungkin tidak efektif lagi sehingga akhirnya mukus tertimbun. Bila hal ini terjadi, membran mukosa akan terangsang dan mukus dibatukkan keluar sebagai sputum. Pembentukan mukus yang berlebihan mungkin disebabkan oleh gangguan fisik, kimiawi, atau infeksi pada membran mukosa. Kapan saja seorang pasien membentuk sputum, perlu dievaluasi sumber, warna, volume, dan konsistensinya. Sputum yang dihasilkan sewaktu membersihkan tenggorokan kemungkinan besar berasal dari sinus atau saluran hidung, dan bukan dari saluran napas bagian bawah. Sputum yang banyak sekali dan purulen menyatakan adanya proses supuratif, seperti abses paru, sedangkan pembentukan sputum yang terus meningkat perlahan dalam waktu bertahun-tahun merupakan tanda bronkitis kronik atau bronkiektasis. Warna sputum juga penting. Sputum yang berwarna kekuning-kuningan menunjukkan infeksi. Sputum yang berwarna hijau merupakan petunjuk adanya penimbunan nanah. Warna hijau timbul karena adanya verdoperoksidase yang dihasilkan oleh leukosit polimorfonuklear (PMN) dalam sputum. Sputum yang berwarna hijau sering ditemukan pada bronkiektasis karena penimbunan sputum dalam bronkiolus yang melebar dan terinfeksi. Banyak penderita infeksi pada saluran napas bagian bawah mengeluarkan sputum berwarna hijau pada pagi hari tetapi semakin siang semakin menjadi kuning. Fenomena ini mungkin disebabkan karena penimbunan sputum yang purulen di malam hari, disertai pengeluaran verdoperoksidase. Sifat dan konsistensi sputum juga dapat memberikan informasi yang berguna. Sputum yang berwarna merah muda dan berbusa merupakan tanda edema paru akut. Sputum yang berlendir, pekat dan berwana abu-abu atau putih merupakan tanda bronkitis kronik. Sedangkan sputum yang berbau busuk merupakan anda abses paru akut atau bronkiektasis. (Wilson, 2007)
Sputum dapat bercampur dengan darah atau dapat juga seluruh cairan yang dikeluarkan dari paru berupa darah. Hemoptisis adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk darah atau sputum yang berdarah. Setiap proses yang mengganggu kesinambungan pembuluh darah paru dapat mengakibatkan perdarahan. Batuk darah merupakan suatu gejala yang serius dan dapat merupakan manifestasi pertama dari tuberkulosis aktif. Penyebab hemoptisis lain yang sering adalah karsinoma bronkogenik, infark paru, bronkiektasis, dan abses paru. Sputum yang mengandung darah (sehingga berwarna seperti karat) merupakan ciri khas yang dapat ditemukan pada pneumonia pneumokokus. Sputum yang terlihat seperti jelly buah kismis (merah bata) terdapat pada pneumonia Klebsiella. Jika darah atau sputum yang mengandung darah dibatukkan, perlu ditentukan apakah memang sumbernya berasal dari saluran napas bagian bawah dan bukan dari saluran hidung atau saluran cerna. Darah yang berasal dari saluran cerna (hematemesis) biasanya berwarna gelap (seperti warna kopi) dan disertai mual, muntah, dan anemia. Darah yang berasal dari saluran napas bawah (di bawah glotis) biasanya berwarna merah cerah, berbusa, dan terdapat riwayat batuk dengan atau tanpa anemia. Darah yang berasal dari saluran napas atas (misalnya, darah dari hidung setelah tonsilektomi) bila sering ditelan, dapat terlihat seperti darah dari bagian pencernaan ketika dimuntahkan. (Wilson, 2007)
Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas dan merupakan gejala utama dari penyakit kardiopulmonar. Seorang yang mengalami dispnea sering mengeluh napasnya menjadi pendek atau merasa tercekik. Gejala objektif sesak napas termasuk juga penggunaan otot-otot pernapasan tambahan (sternokleidomastoideus, scalenus, trapezius, pectoralis mayor), pernapasan cuping hidung, takipnea, dan hiperventilasi. Sesak napas tidak selalu menunjukkan adanya penyakit; orang normal akan mengalami hal yang sama setelah melakukan kegiatan fisik dalam tingkat-tingkat yang berbeda. Pemeriksa harus dapat membedakan sesak napas dari gejala dan tanda lain yang mungkin memiliki perbedaan klinis yang mencolok. Takipnea adalah frekuensi pernapasan yang cepat, lebih cepat dari pernapasan normal (12 hingga 20 kali per menit) yang dapat muncul dengan atau tanpa dispnea. Hiperventilasi adalah ventilasi yang lebih besar daripada jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan pengeluaran CO2 normal, hal ini dapat diidentifikasi dengan memantau tekanan parsial CO2 arteri, atau tegangannya (PaCO2), yaitu lebih rendah dari angka normal (40 mmHg). Dispnea sering dikeluhkan pada sindrom hiperventilasi yang sebenarnya merupakan seseorang yang sehat dengan stres emosional. Selanjutnya, gejala lelah yang berlebihan juga harus dibedakan dengan dispnea. Seseorang yang sehat mengalami lelah yang berlebihan setelah melakukan kegiatan fisik dalam tingkat yang berbeda-beda, dan gejala ini juga dapat dialami pada penyakit kardiovaskular, neuromuskular, dan penyakit lain selain paru. Sumber penyebab dispnea bisa bermacam-macam, misalnya: (1) reseptor-reseptor mekanik pada otot-otot pernapasan, paru, dan dinding dada; dalam teori tegangan panjang, elemen-elemen sensoris, gelondong otot pada khususnya, berperan penting dalam membandingkan tegangan dalam otot dengan derajat elastisitasnya; dispnea terjadi jika tegangan yang ada tidak cukup besar untuk satu panjang otot (volume napas tercapai); (2) kemoreseptor untuk tegangan CO2 dan O2 (PCO2 dan PO2) (teori hutang oksigen); (3) peningkatan kerja pernapasan yang mengakibatkan sangat meningkatnya rasa sesak napas; dan (4) ketidakseimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasi. Mekanisme tegangan panjang yang tidak sesuai adalah teori yang paling banyak diterima karena teori tersebut menjelaskan paling banyak kasus klinis dispnea. Besarnya tenaga fisik yang dikeluarkan untuk menimbulkan dispnea bergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat, jenis latihan fisik, dan terlibatnya emosi dalam melakukan hal tersebut. Selain itu, terdapat beberapa variasi gejala umum dispnea. Ortopnea adalah sesak napas pendek yang terjadi pada posisi berbaring dan biasanya keadaan diperjelas dengan penambahan sejumlah bantal atau penambahan elevasi sudut untuk mencegah perasaan tersebut. Penyebab tersering ortopnea adalah gagal jantung kongestif akibat peningkatan volume darah di vaskularisasi sentral pada posisi berbaring. Ortopnea juga merupakan gejala yang sering muncul pada banyak gangguan pernapasan. Ada juga bentuk lain berupa dispnea nokturnal paroksismal menyatakan timbulnya dispnea pada malam hari dan memerlukan posisi duduk dengan segera untuk bernapas. Membedakan dispnea nokturna paroksismal dengan ortopnea adalah aktu timbulnya gejala setelah beberapa jam dalam posisi tidur. Penyebabnya sama dengan penyebab ortopnea yaitu gagal jantung kongestif, dan waktu timbulnya yang terlambat itu karena mobilisasi cairan edema perifer dan penambahan volume intravaskular pusat. Pasien dengan gejala utama dispnea biasanya memiliki satu dari keadaan ini, yaitu penyakit kardiovaskular, emboli paru, penyakit paru interstitial atau alveolar, gangguan dinding dada dan otot-otot, penyakit obstruktif paru, atau kecemasan. Dispnea adalah gejala utama edema paru, gagal jantung kongestif, dan penyakit katup jantung. Emboli paru ditandai dengan dispnea mendadak. Dispnea merupakan gejala paling nyata pada penyakit yang menyerang percabangan trakeobronkial, parenkim paru, dan rongga pleura. Dispnea biasanya dikaitkan dengan penyakit restriktif yaitu terdapat peningkatan kerja pernapasan akibat meningkatnya resistensi elastik paru (pneumonia, atelektasis, kongesti) atau dinding dada (obesitas, kifoskoliosis) atau pada penyakit jalan napas obstruktif dengan meningkatnya resistensi nonelastik bronkial (emfisema, bronkitis, asma). Tetapi jika beban keja pernapasan meningkat secara kronik maka pasien yang bersangkutan dapat menyesuaikan diri dan tidak mengalami dispnea. Dispnea juga bisa terjadi jika otot pernapasan lemah, misalnya pada miastenia gravis, selain itu juga pada lumpuh (pada poliomielitis, sindrom Guillain-Barre), letih akibat meningkatnya kerja pernapasan, atau otot pernapasan kurang mampu melakukan kerja mekanis (contohnya, emfisema yang berat atau pada obesitas). (Wilson, 2007)
Ada berbagai penyebab nyeri dada tetapi nyeri dada yang paling khas pada penyakit paru adalah nyeri akibat radang pleura (pleuritis). Hanya lapisan parietalis pleura yang merupakan sumber nyeri karena pleura viseralis dan parenkim paru dianggap sebagai organ yang tidak peka. Umumnya pleuritis terjadi mendadak tetapi juga dapat timbul secara bertahap. Nyeri terjadi pada tempat yang mengalami peradangan dan biasanya tempat peradangan dapat diketahui dengan tepat. Nyeri itu bagaikan teriris-iris dan tajam, diperberat dengan batuk, bersin dan napas yang dalam sehingga pasien sering bernapas cepat dan dangkal serta menghindri gerakan-gerakan yang tidak diperlukan. Nyeri dapat sedikit diredakan dengan menekan daerah yang terkena peradangan tersebut. Penyebab utama nyeri pleuritik ini adalah infeksi paru atau infark meskipun keadaan seperti itu juga dapat diderita tanpa timbulnya nyeri. Pasien dengan pneumotoraks atau ateletaksis yang berat kadang-kadang dapat mengalami nyeri dada yang diduga akibat tarikan pada pleura parietalis karena adanya perlekatan dengan pleura viseralis. Nyeri pleura harus dibedakan dari penyebab nyeri dada yang lain, seperti iskemia miokardial, perikarditis, kostokondrosis, dan herpes zoster (disebabkan terkenanya nervus interkostalis). (Wilson, 2007)

3. DISKUSI DAN BAHASAN
Dalam diskusi, kelompok kami membahas mengenai asma dan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) sebagai diagnosis utama untuk pasien dalam skenario. Diagnosis utama ditujukan untuk asma bronkial, sedangkan PPOK sebagai diagnosis bandingnya. Pada bagian ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai asma bronkial dan PPOK.
Asma merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh hipersensitivitas cabang trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan dan keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan jalan napas secara periodik an reversibel akibat bronkospasme. Perubahan patologis yang mendasari adanya obstruksi jalan napas terjadi pada bronkus ukuran sedang dan bronkiolus berdiameter 1 mm. Penyempitan jalan napas disebabkan oleh bronkospasme, edema mukosa, dan hipersekresi mukus yang kental. Asma dapat dibagi menjadi tiga kategori. Asma ekstrinsik, atau alergik, ditemukan pada sejumlah kecil pasien dewasa, dan disebabkan oleh alergen yang diketahui. Bentuk ini biasanya dimulai pada masa kanak-kanak dengan keluarga yang mempunyai riwayat penyakit atopik termasuk hay fever, ekzema, dermatitis, dan asma. Asma alergik disebabkan oleh kepekaan individu terhadap alergen (biasanya protein) dalam bentuk serbuk sari yang terhirup, bulu halus binatang, spora jamur, debu, serat kain, atau yang lebih jarang, terhadap makanan seperti susu atau coklat. Pajanan terhadap alergen meskipun hanya dalam jumlah yang sangat kecil, dapat mengakibatkan serangan asma. Sebaliknya, pada asma intrinsik, atau idiopatik, ditandai dengan sering tidak ditemukannya faktor-faktor pencetus yang jelas. Faktor nonspesifik (seperti flu biasa, latihan fisik, atau emosi) dapat memicu serangan asma. Asma intrinsik lebih sering timbul pada usia lebih dari 40 tahun, dan serangan timbul sesudah infeksi sinus hidung atau pada percabangan trakeobronkial. Makin lama serangan, makin sering dan makin hebat sehingga keadaan ini akhirnya berlanjut menjadi bronkitis kronik dan kadang-kadang emfisema. Banyak pasien menderita asma campuran, yang terdiri dari komponen-komponen asma ekstrinsik dan intrinsik. Sebagian besar pasien asma intrinsik akan berlanjut menjadi bentuk campuran; anak yang menderita asma ekstrinsik sering sembuh sempurna saat dewasa muda. Secara ringkas perubahan patologi asma adlah bronkospasme, sembab mukosa, infiltrasi sel radang, sekresi mukosa, pengelupasan (deskuamasi) sel epitel permukaan, penebalan membrana basalis, dan hiperplasia sel goblet.
Klasifikasi menurut imunologi menjelaskan asma ada 2 macam, yaitu asma ekstrinsik dan asma kriptogenik. Asma ekstrinsik jenis atopik, memiliki sifat-sifat yang beragam. Penyebabnya adalah rangsangan alergen eksternal spesifik dan dapat diperlihatkan dengan reaksi kulit tipe 1. Gejala klinik dan keluhan cenderung timbul pada awal kehidupan; 85% kasus timbul sebelum usia 30 tahun. Sebagian besar asma tipe ini mengalami perubahan dengan tiba-tiba pada waktu puber, dengan serangan asma yang berbeda-beda. Prognosis tergantung pada serangan pertama dan berat ringannya gejala yang timbul. Jika serangan pertama pada usia muda disertai gejala yang lebih berat, maka prognosis menjadi jelek. Perubahan alamiah terjadi karena ada kelainan dari kekebalan tubuh pada IgE, yang timbul terutama pada awal kehidupan dan cenderung berkurang di kemudian hari. Kenyataan ini tampak dengan adanya respons asma atopik yang makin berkurang sesuai dengan bertambahnya usia. Asma bentuk ini akan memberikan tes kulit yang positif. Dalam darah menunjukkan kenaikan kadar IgE spesifik. Ada riwayat keluarga yang menderita asma merupakan sifat spesifik dari jenis asma ini. Dan sifat yang lain adalah dengan pengobatan memberikan perbaikan yang cepat. Asma ekstrinsik jenis nonatopik merupakan serangan asma yang timbul karena berhubungan dengan bermacam-macam alergen yang spesifik; seringkali terjadi pada waktu melakukan pekerjaan atau timbul setelah mengalami paparan dengan alergen yang berlebihan. Tes kulit memberi reaksi alergi tipe segera, tipe lambat dan ganda terhadap alergi yang tersensitisasi dapat menjadi positif. Dalam serum didapatkan IgE dan IgG yang spesifik. Timbulnya gejala, cenderung pada saat akhir dari kehidupan atau di kemudian hari. Hal ini dapat diterangkan karena sekali sensitisasi terjadi, maka respons asma dapat dicetuskan oleh berbagai macam rangsangan nonimunologik, seperti emosi, infeksi, kelelahan dan faktor sirkadian dari siklus biologis yang sulit untuk dijelaskan. Kemudian asma kriptogenik (baik jenis intrinsik maupun idiopatik), asma jenis ini alergennya sebagai pencetus sukar ditentukan. Tidak ada alergen ekstrinsik sebagai penyebab dan tes kulit memberikan hasil negatif. Merupakan kelompok yang heterogen, respons untuk terjadinya asma dicetuskan oleh penyebab dan melalui mekanisme yang berbeda-beda. Sering ditemukan pada penderita dewasa, dimulai pada umur di atas 30 tahun dan disebut juga late onset astma. Serangan sesak pada asma tipe ini dapat berlangsung lama dan seringkali menimbulkan kematian apabila pengobatan tanpa disertai kortikosteroid. Perubahan patologi yang terjadi sama dengan asma ekstrinsik namun tidak dapat dibuktikan dengan keterlibatan IgE. Kadar IgE dalam serum normal tetapi eosinofil dapat meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ama ekstrinsik. Selain itu tes serologi dapat menunjukkan adanya faktor rematoid, missalnya sel LE. Perbedaan lain dengan ekstrinsik asma ialah riwayat keluarga alergi yang jauh lebih sedikit, sekitar 12 ssampai 48%. Polip hidung dan sensitivitas terhadap aspirin lebih sering dijumpai pada asma jenis ini.
Perlu dijelaskan sedikit mengenai patogenesis terjadinya asma bronkial yang pada dasarnya adalah hiperaktivitas bronkus dan inflamasi. Gambaran histopatologi sel saluran napas penderita asma, merupakan faktor penting pendukung konsep inflamasi sebagai dasar patogenesis asma bronkial. Pada asma berat, hasil biopsi saluran napas akan tampak pengelupasan sel epitel, plak mukus di saluran napas, penebalan membran basalis, infiltrasi sel-sel radang (terutama eosinofil) pada dinding saluran napas dan hipertrofi otot polos. Pada asma ringan pun menunjukkan kerusakan epitel, penebalan membran basalis, degranulasi sel mast, menempelnya eosinofil, neutrofil, monosit dan platelet pada endotel pembuluh darah saluran napas serta didapatkan infiltrasi eosinofil pada lamina propria. Hiperaktivitas bronkus merupakan gambaran klinis penting pada asma. Bila dibandingkan dengan orang normal, penderita asma menunjukkan sensitivitas yang sangat ekstrem terhadap rangsangan saluran napas baik secara spesifik maupun nonspesifik. Derajat hiperaktivitas saluran napas tersebut mempunyai korelasi positif dengan berat ringan gejala klinis dan obat yang diperlukan untuk pengobatan. Hiperaktivitas merupakan gambaran yang sering dijumpai, oleh karena banyak pakar yang percaya bahwa untuk memahami secara menyeluruh patogenesis asma, akan bergantung pada penentuan patogenesis hiperaktivitas bronkus. Akan tetapi harus diingat bahwa keterkaitan antara hiperaktivitas bronkus dengan asma adalah sangat kompleks sebab adnya hiperaktivitas tidak selalu berhubungan dengan asma secara klinis. Dari beberapa penelitian telah diketahui bahwa hiperaktivitas bronkus pada manusia dan hewan percobaan dapat terjadi karena saluran napas terpapar oleh antigen, infeksi virus atau inhalasi gas seperti ozon. Namun bagaimana tepatnya tiap-tiap agen tersebut menginduksi terjadinya hiperaktivitas belum diketahui secara pasti. Banyak pakar mengatakan bahwa inflamasi saluran napas oleh rangsangan imunologi maupun nonimunologi mendasari perkembangan hiperaktivitas bronkus. Kebanyakan penderita asma yang sensitif terhadap antigen yang spesifik menunjukka respons bronkokonstriksi ganda setelah inhalasi antigen. Respons bronkokonstriksi segera (immediate) mencapai puncaknya dalam waktu 30 menit dan menghilng dalam waktu 1-2 jam. Respons bronkokonstriksi lambat (late) mencapai puncaknya secara lambat dalam 4-6 jam dan menghilang dalam 12-24 jam. Pada manusia dan hewan percobaan, selama respons bronkokonstriksi lambat, timbul hiperaktivitas bronkus dan peningkatan tersebut menghilang dalam beberapa minggu. Dua tipe respons bronkokonstriksi tersebut mempunyai karakteristik masing-masing. Respons segera yang terjadi sebelum inflamasi saluran napas, tidak sensitif terhadap obat antiinflamasi kortikosteroid dan tidak berhubungan dengan peningkatan hiperaktivitas bronkus. Sebaliknya fase lambat terbukti berhubungan dengan inflamasi saluran napas, relatif resisten terhadap bronkodilator, namun dapat dihilangkan dengan kortikosteroid dan berkaitan dengan terjadinya hiperaktivitas bronkus. Inflamasi saluran napas oleh sebab-sebab nonimunologi juga dihubungkan dengan timbulnya hiperaktivitas bronkus. Sebagai contoh, inhalasi ozon dan infeksi virus merusak epital bronkus dan menyebabkan respons inflamasi di saluran napas. Akibat paparan alergen, virus atau noxious gas akan terjadi pelepasan mediator dari sel-sel saluran napas seperti sel mast, sel epitel, dan sel saraf. Mediator-mediator seperti histamin dapat menimbulkan bronkospasme dengan merangsang kontraksi otot polos saluran napas atau meningkatkan pelepasan neurotransmiter dari saraf kolinergik terminal yang menginervasi otot. Mediator lain seperti PAF (platelet activating factor) mungkin tidak menyebabkan bronkospasme langsung, namun bersifat menarik sel radang yang nantinya akan melepaskan mediator yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler, produksi mukus dan timbulnya hiperaktivitas bronkus. Pada beberapa penderita asma, terdapat antigen spesifik yang dapat menimbulkan inflamasi dan hiperaktivitas bronkus, melalui mekanisme IgE dependen. Namun bukti-bukti epidemiologi menunjukkan bahwa mekanisme IgE dependen juga berperan pada patogenesis asma dewasa jenis intrinsik. Reaksi radang yang diperankan oleh IgE adalah hasil aktivasi sel mast, basofil, dan platelet. Sel-sel tersebut kaya akan mediator yang dicurigai menjadi penyebab terjadinya patogenesis asma bronkial dan dapat diaktifkan melalui mekanisme IgE dependen atau nonimunologi. Sebagai contoh: sel mast dapat terangsang untuk melepaskan mediator baik karena interaksi antara natigen dan IgE pada permukaan sel mast atau neuropeptida substansi P. Beberapa mediator yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag bersifat menarik sel radang lain seperti eosinofil dan sel-sel radang lain tersebut juga melepaskan mediator baru. Contoh-contoh mediator yang dapat ditemukan misalnya adalah histamin, prostaglandin D2, leukotrien B4, leukotrien C4 dan D4, adenosin, NCF dan ECF, chymase, dan trypase. Sindroma sesak napas yang disebut asma bronkial merupakan salah satu jenis penyakit yang pelik karena patogenesisnya sangat kompleks. Alergi dan kepekaan yang berlebihan dari saluran napas sampai saat ini masih dianggap sebagai penyebab utama dari serangan asma sehingga patogenesis, pengobatan medikamentosa dan pencegahan juga atas dasar alergi dan kepekaan yang berlebihan dari saluran napas tersebut. Namun sampai sekarang harus diakui bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan tetapi hanya dapat dikendalikan. Pada penderita asma telah terjadi perubahan periodik yang dapat menimbulkan kontraksi otot polos dengan intensitas berubah-ubah disertai hipersekresi mukus. Keadaan ini disebabkan oleh faktor imunologis, sedangkan pada penderita lain mungkin faktor keturunan yang lebih berperan, malahan pada sebagian penderita lain tidak jelas faktor apa yang menjadi penyebab. Tetapi kalau dilihat dari faktor keturunan, maka untuk menegakkan diagnosis asma bronkial yang penting diketahui adalah riwayat atopi di dalam keluarga penderita.
Manifestasi klinis asma mudah dikenali. Setelah pasien terpajan alergen penyebab atau faktor pencetus, segera akan timbul dispnea. Pasien merasa seperti tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha penuh mengerahkan tenaga untuk bernapas. Berdasrkan perubahan-perubahan anatomis yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kesulitan utama terletak pada saat ekspirasi. Percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang selama inspirasi, tetapi sulit untuk memaksakan udara keluar dari bronkiolus yang sempit, mengalami edema dan terisi mukus, yang dalam keadaan normal akan berkontraksi sampai tingkatan tertentu pada ekspirasi. Udara terperangkap pada bagian distal tempat penyumbatan sehingga terjadi hiperinflasi progresif paru. Akan timbul mengi ekspirasi memanjang yang merupakan ciri khas asma sewaktu pasien berusaha memaksakan udara keluar. Serangan asma seperti ini dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam, diikuti batuk produktif dengan sputum berwarna keputih-putihan. Pengobatannya terdiri atas pemberian bronkodilator, desensitisasi spesifik yang lama, menghindari alergen yang sudah dikenal, dan kadang-kadang obat kortikosteroid. Selang waktu antara dua serangan biasanya bebas dari kesulitan bernapas. Asma dapat dibedakan dengan bronkitis kronik dan emfisema karena sifatnya yang intermiten dan berdasarkan kenyataan bahwa emfisema destruktif jarang terjadi. Serangan asma yang berlangsung terus menerus selama berhari-hari dan tidak dapat langsung ditanggulangi dengan cara pengobatan biasa dikenal dengan nama status asmatikus. Dalam kasus ini fungsi ventilasi dapat sangat memburuk sehingga mengakibatkan sianosis dan kematian.
PPOK merupakan salah satu pola obstruktif penyakit paru yang mencakup gangguan konduksi jalan napas atau asinus yang ditandai dengan menurunnya kemampuan menghembuskan udara. Istilah PPOK menunjukkan dua gangguan yang secara umum terjadi bersamaan, adalah bronkitis kronik dan emfisema. Bronkitis kronik didiagnosis berdasarkan gejala klinis: batuk kronik dengan pengeluaran sputum minimum 3 bulan setiap tahunnya, sekurang-kurangnya selama 2 tahun. Emfisema sendiri adalah diagnosis yang didasarkan pada keadaan anatomi patologik: dilatasi dan destruksi rongga udara sebelah distal bronkiolus terminalis, duktus alveolaris, dan dinding alveolar. Perubahan patologis utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi kelenjar penyekresi mukosa dan sel goblet dalam trakea dan bronkus yang diperlihatkan sebagai peningkatan volume mukus. Perubahan patologis pada bronkitis kronik akibat merokok biasanya dimulai dari bronkiolus yang paling kecil, jauh sebelum penemuan lanjutan yang berkaitan dengan bronkitis kronik dan emfisema. Sumbatan mukus edema mukosa dan spasme otot menyebabkan penyempitan saluran napas dan obstruksi pada bronkitis kronik. Emfisema yang menyeluruh adalah dilatasi permanen berbagai bagian asinus pernapasan dengan destruksi jaringan tanpa jaringan parut. Emfisema menyebabkan hilangnya rekoil elastik jaringan paru dan menurunkan kekuatan ekspirasi. Dua pola emfisema generalisata adalah sentrilobular dan panlobular.
Emfisema sentrilobular (CLE) menyerang bagian sentral lobulus, menyebabkan kerusakan dinding dan pembesaran bronkiolus respiratorius. CLE adalah bentuk emfisema yang paling sering dan penyebarannya tidak merata ke seluruh paru, lebih berat menyerang bagian atas paru dan berkaitan dengan merokok, bronkitis kronik, dan peradangan pada saluran napas distal. Patogenesis CLE tampaknya berkaitan dengan sekresi protease ekstraseluler oleh sel-sel radang lokal. Merokok sigaret juga dapat menghambat efek alfa1-antitripsin inhibitor protease sehingga menyebabkan kerusakan. Emfisema panlobular (PLE) melibatkan seluruh lobulus respiratorius: bronkiolus respiratorius, duktus dan sakus alveolaris, serta alveoli. PLE seringkali berkaitan dengan merokok dan cenderung menyebar ke seluruh paru dan lebih menyerang ke bagian dasar paru. Patogenesis PLE seperti juga CLE berhubungan dengan aktivitas protease ekstraseluler yang berlebihan. Seseorang dengan defisiensi alfa1-antitripsin herediter yang berat, khususnya homozigot ZZ, PLE akan muncul pada usia muda. Pasien dengan PPOK digolongkan dalam 2 kelompok berdasarkan gejala klinisnya: emfisema predominan (pink puffer) dan bronkitis predominan (blue bloaters).
Gambaran klinis PPOK pada emfisema predominan mencakup kecenderungan diafragma menjadi tipis, datar, dan berbentuk tong karena udara terperangkap, terdapat riwayat dispnea, batuk dan produksi sputum yang minimal; istilah “pink puffer” digunakan karena, pada awal penyakit, pasien mampu mempertahankan gas darah dan warna yang cukup normal dengan hiperventilasi. Hanya pada tahap akhir pasien mengalami hipoksemia, hiperkapnia, dan kor pulmonale. Gambaran klinis PPOK pada bronkitis predominan mencakup kecenderungan pasien menjadi gemik, namun diameter anteroposterior dada normal atau hanya sedikit meningkat , terdapat riwayat merokok sigaret yang lama, infeksi pernapasan bagian atas yang sering, batuk dan produksi sputum, khususnya selama musim dingin; hipoksemia, hiperkapnia, dan polisitemia kompensatoris berkembang pada awal penyakit, memberi gambaran sianotik sehingga disebut blue bloater. Pasien juga mengalami hipertensi paru dan kor pulmonale lebih awal pada proses penyakit daripada pasien dengan PPOK emfisematosa predominan. Umumnya terdapat ketidakseimbangan V/Q yang bermakna.
Pengobatan PPOK mencakup berhenti merokok, antibiotik untuk infeksi pernapasan bagian atas, vaksin influenza dan pneumokokal profilaktik, obat-obat bronkodilator untuk bronkospasme, hidrasi, fisioterapi dada, latihan bernapas, aliran rendah O2 yang terus menerus, dan progrm olahraga. Terapi peningkatan alfa1-antitripsin serta terapi reduksi volume paru untuk pasien dengan defisiensi herediter masih bersifat eksperimental.
Kakak pasien di skenario mempunyai gambaran sarang tawon (honeycomb appearence) pada pemeriksaan radiologi, hal tersebut khas sekali pada pasien dengan bronkiektasis. Bronkiektasis adalah dilatasi abnormal bronkus dan bronkiolus berukuran sedang yang permanen dengan disertai peradangan dan infeksi. Bronkiektasis biasanya dimulai saat anak-anak setelah infeksi saluran pernapasan bawah berulang sebagai komplikasi campak, pertusis, influenza, bronkitis, atau pneumonia. Gejala dan tanda bronkiektasis yang utama adalah batuk kronik dengan produksi sputum mukopurulen yang banyak, sputum yang berbau busuk, malnutrisi dan jari tabuh. Pengobatan bronkiektasis mencakup terapi antibiotik, perkusi, dan drainase postural. Terapi profilaktik mencakup vaksin pada anak-anak untuk mencegah campak dan pertusis.

4. KESIMPULAN
¨ Hal yang aneh yang terjadi pada seorang perempuan berusia 20 tahun adalah merasakan batuk yang tidak berkurang sejak 3 hari yang lalu, batuk mula-mula disertai dahak akan tetapi sejak tadi pagi mulai batuk berdahak bahkan mendadak menjadi sesak napas, penderita juga mengalami demam.
¨ Hasil pemeriksaan fisik, didapatkan hasil berupa wheezing yang jelas saat auskultasi.
¨ Tanda dan gejala umum asma bronkial, antara lain setelah pasien terpajan alergen penyebab atau faktor pencetus, segera akan timbul dispnea. Pasien merasa seperti tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha penuh mengerahkan tenaga untuk bernapas. Berdasrkan perubahan-perubahan anatomis yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kesulitan utama terletak pada saat ekspirasi. Percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang selama inspirasi, tetapi sulit untuk memaksakan udara keluar dari bronkiolus yang sempit, mengalami edema dan terisi mukus, yang dalam keadaan normal akan berkontraksi sampai tingkatan tertentu pada ekspirasi. Udara terperangkap pada bagian distal tempat penyumbatan sehingga terjadi hiperinflasi progresif paru. Akan timbul mengi ekspirasi memanjang yang merupakan ciri khas asma sewaktu pasien berusaha memaksakan udara keluar. Serangan asma seperti ini dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam, diikuti batuk produktif dengan sputum berwarna keputih-putihan. Selang waktu antara dua serangan biasanya bebas dari kesulitan bernapas. Asma dapat dibedakan dengan bronkitis kronik dan emfisema karena sifatnya yang intermiten dan berdasarkan kenyataan bahwa emfisema destruktif jarang terjadi.
¨ Tanda dan gejala umum PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), antara lain: pada emfisema predominan mencakup kecenderungan diafragma menjadi tipis, datar, dan berbentuk tong karena udara terperangkap, terdapat riwayat dispnea, batuk dan produksi sputum yang minimal; istilah “pink puffer” digunakan karena, pada awal penyakit, pasien mampu mempertahankan gas darah dan warna yang cukup normal dengan hiperventilasi. Hanya pada tahap akhir pasien mengalami hipoksemia, hiperkapnia, dan kor pulmonale. Pada bronkitis predominan mencakup kecenderungan pasien menjadi gemik, namun diameter anteroposterior dada normal atau hanya sedikit meningkat , terdapat riwayat merokok sigaret yang lama, infeksi pernapasan bagian atas yang sering, batuk dan produksi sputum, khususnya selama musim dingin; hipoksemia, hiperkapnia, dan polisitemia kompensatoris berkembang pada awal penyakit, memberi gambaran sianotik sehingga disebut blue bloater. Pasien juga mengalami hipertensi paru dan kor pulmonale lebih awal pada proses penyakit daripada pasien dengan PPOK emfisematosa predominan.
¨ Terapi asma bronkial antara lain dengan pemberian bronkodilator, desensitisasi spesifik yang lama, menghindari alergen yang sudah dikenal, dan kadang-kadang obat kortikosteroid.
¨ Terapi PPOK mencakup berhenti merokok, antibiotik untuk infeksi pernapasan bagian atas, vaksin influenza dan pneumokokal profilaktik, obat-obat bronkodilator untuk bronkospasme, hidrasi, fisioterapi dada, latihan bernapas, aliran rendah O2 yang terus menerus, dan progrm olahraga. Terapi peningkatan alfa1-antitripsin serta terapi reduksi volume paru untuk pasien dengan defisiensi herediter masih bersifat eksperimental.
¨ Prognosis penyakit pada pasien di skenario adalah tidak dapat disembuhkan karena asma bronkial tidak dapat disembuhkan, hanya bisa dikendalikan dan dicegah kekambuhannya (pencegahan eksaserbasi asma).

5. DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Maitra, A., V. Kumar. 2007. Paru dan Saluran Napas Atas. Dalam: Kumar, V., R. S. Cortran, dan S. L. Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 509-70.
McFadden, E. R. 2007. Penyakit Asma. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1311-8.
Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.

No comments: