Monday, December 22, 2008

TUBERKULOSIS DAN KOMPLIKASINYA

1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi (Daniel, 2007) dan oleh hipersensitivitas yang diperantai oleh sel (cell-mediated hypersensitivity) (Wright, 2007). Menurut buku Depkes disebutkan, tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan ke dalam paru. Kemudian kuman menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfa, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di luar paru. Penyakit ini biasanya terletak di paru tetapi dapat juga mengenai organ lain (TB ekstra paru). Yang penting untuk dipahami pada patogenesis tuberkulosis adalah mengenali bahwa M. tuberculosis mengandung banyak zat imunoreaktif (Daniel, 2007). Lipid permukaan pada mikobakterium dan komponen peptidoglikan dinding sel yang larut air merupakan tambahan yang penting yang dapat menimbulkan efeknya melalui kerja primernya pada makrofag pejamu. Mikobakterium mengandung suatu kesatuan antigen polisakarida dan protein (Daniel, 2007), sebagian mungkin spesifik spesies tetapi yang lainnya secara nyata memiliki epitop yang luas di seluruh genus (Wallace, 2007). Hipersensitivitas yang diperantai sel khas untuk tuberkulosis dan merupakan determinan yang penting pada patogenesis penyakit.
Di Indonesia, tuberkulosis masih merupakan masalah utama yang harus segera ditangani. Dalam ‘Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis’ yang dikeluarkan Departemen kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) tahun 2003, diperkirakan terdapat 8 juta kasus baru terjadi di seluruh dunia setiap tahun dan hampir 3 juta orang meninggal sebagai akibat langsung dari penyakit ini. Kasus tuberculosis pada anak terjadi sekira 1,3 juta setiap tahun dan 450.000 di antaranya meninggal dunia. Laporan World Health Organization (WHO), tahun 1997, menyebutkan Indonesia menempati urutan ketiga dunia dalam hal jumlah kasus TB setelah India dan Cina. Pada tahun 1999 WHO memperkirakan, dari setiap 100.000 penduduk Indonesia akan ditemukan 130 penderita baru TB paru dengan bakteri tahan asam (BTA) positif. Dan pada tahun 2004, setiap tahun terdapat 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. Prof. Dr. Cissy B. Kartasasmita, SpA, dokter spesialis konsultan penyakit paru anak, dalam makalahnya, ‘Pencegahan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak’ ( tahun 2002) menyebutkan, karena sulitnya mendiagnosa TB pada anak, angka kejadian TB anak belum diketahui secara pasti. Namun bila angka kejadian TB dewasa tinggi dapat diperkirakan kejadian TB anak akan tinggi pula. Hal ini terjadi karena setiap orang dewasa dengan basil tahan asam (BTA) positif akan menularkan 10 orang di lingkungannya, terutama anak-anak. Karenanya sangat penting untuk mendeteksi TB pada dewasa dan menelusuri rantai penularannya. Sehingga setiap anak yang mempunyai risiko tertular dapat dideteksi dini dan diberi pencegahan. Beberapa hal yang diduga berperan pada kenaikan angka kejadian TB antara lain adalah, diagnosis dan pengobatan yang tidak tepat, kepatuhan yang kurang, migrasi penduduk, peningkatan kasus HIV/AIDS, dan strategi DOTS ( Directly Observed Therapy Short-course) yang belum berhasil. Strategi DOTS adalah program yang direkomendasikan oleh WHO. Sejak tahun 1995 program ini dilaksanakan untuk menanggulangi pemberantasan tuberkulosis paru di Indonesia. Walaupun begitu, penyebab utama lainnya meningkatnya beban masalah TB adalah kemiskinan, kegagalan program penanggulangan TB, perubahan demografik karena perubahan jumlah penduduk dan perubahan struktur penduduk, serta dampak pandemik HIV. Kegagalan program penanggulangan TB bisa disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan program penanggulangan TB, tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, obat tidak terjamin penyediaannya, pelaporan tidak tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan program penanggulangan TB, tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, obat tidak terjamin penyediaannya, pelaporan tidak standar dan sebagainya), tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat tidak standar), salah persepsi terhadap manfaat dan efektivitas vaksinasi BCG, dan infrastruktur kesehatan yang buruk.
Dari skenario 3 Blok Respirasi, ada beberapa masalah penting, yaitu :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Seorang laki-laki, 30 tahun, datang ke IGD dengan keluhan utama batuk darah sebanyak 250 cc sejak 1 hari yang lalu.
- Ada keluhan batuk dengan dahak sulit keluar sejak 2 bulan diikuti demam yang hilang timbul dan keringat malam.
- Tidak mau makan 2 hari ini, berat badan menurun 4 kg.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- Tiga tahun yang lalu penderita pernah sakit paru dengan suara serak dan telah mendapat pengobatan dari Puskesmas selama 6 bulan.
- Saat mendapatkan pengobatan itu, penderita pernah dirawat di rumah sakit karena muntah-muntah dan mata kuning.
Ø Riwayat Penyakit Keluarga, berupa:
- Ayah penderita meninggal karena penyakit paru menular dan penyakit jantung 6 tahun yang lalu.
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Penderita memiliki kebiasaan merokok.
- Tekanan darah penderita adalah 100/60.
- Pada pemeriksaan didapatkan konjungtiva pucat, auskultasi terdapat suara amforik pada paru kanan, dan didapatkan pembesaran kelenjar leher.
- Pemeriksaan darah belum ada hasil.
- Pada foto toraks tampak gambaran fibroinfiltrat dan kavitas di paru kanan, gambaran sarang tawon pada apeks paru kiri.
- Direncanakan pemeriksaan sputum, biopsi jarum halus pada kelenjar leher, dan bila perlu dilakukan bronkoskopi di atas meja operasi.
- Penderita dibuat tenang untuk dapat merasa mudah mengeluarkan dahak dan kemudian ditampung untuk diukur volumenya.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas, antara lain :
a. Tuberkulosis paru
b.Bronkiektasis
c. Tumor ganas paru
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Menegakkan diagnosis melalui berbagai pemeriksaan yang dilakukan.
Ø Mengetahui gejala-gejalanya lebih lanjut dan penatalaksanaannya.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem kerja pernapasan (sistem respirasi) dan penyelesaiaannya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dan melingkupi sistem respirasi meliputi anatomi, histologi dan fisiologi.
b. Menjelaskan proses respirasi secara fisiologis.
c. Menjelaskan tentang proses ventilasi dan transportasi yang terjadi di dalam paru-paru
d. Menjelaskan tentang proses sirkulasi pulmoner dan perubahan/pertukaran gas dalam paru-paru.
e. Menjelaskan perkembangan saluran pernapasan, pertahanan saluran pernapasan dan kontrol feed back dalam sistem pernapasan.
f. Menjelaskan mekanisme batuk dan gejala umum gangguan pernapasan yang lainnya.
g. Menjelaskan mekanisme terjadinya kelainan pada sel/organ pada penyakit-penyakit sistem respirasi meliputi patogenesis, patologi, dan patofisiologinya.
h. Menjelaskan jenis-jenis kelainan pada sistem respirasi meliputi kausa, patogenesis, patologi, patofisiologi, gejala, komplikasi, prognosis, dan dasar terapi pada kelainan karena kondisi obstruksi, kondisi restriktif, insufisiensi pernapasan, penyakit kardiovaskular dan paru, infeksi, penyakit lingkungan, dan neoplasma.
i. Melakukan pemeriksaan yang menunjang diagnosis penyakit paru.
j. Menjelaskan komplikasi yang ditimbulkan pada penyakit-penyakit di sistem respirasi.
k. Menjelaskan manajemen/penatalaksanaan penyakit pada sistem respirasi meliputi dasar-dasar terapi: medikamentosa, konservatif, diet, operatif, rehabilitasi, dll.
l. Menjelaskan symptom dan sign penyakit-penyakit pada sistem respirasi.
m. Menjelaskan penegakan diagnosis penyakit pada sistem respirasi.
n. Menyusun data dari gejala, pemeriksaan fisik, prosedur klinik, dan pemeriksaan laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis sementara dan diagnosis banding pada penyakit sistem respirasi.
o. Menentukan prosedur klinik penunjang diagnosis penyakit sistem respirasi.

2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini merupakan kuman batang aerobik dan tahan asam, merupakan organisme patogen dan saprofit. Tempat masuk kuman M. tuberculosis adalah saluran pernapasan, saluran pencernaan (GI), dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. TB adalah penyakit yang dikendalikan oleh respons imunitas diperantai sel. Sel efektor adalah makrofag, dan limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunoresponsif. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh oleh limfosit dan limfokinnya. Respons ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas seluler (lambat). (Price dan Standridge, 2007)
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil; gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada di dalam ruang alveolus, biasanya di bagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas alveolus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri tetapi tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama, leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi, dan timbul pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya sehingga tidak ada sisa yang tertinggal atau proses dapat berjalan terus, dan bakteri dapat terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju yang disebut dengan nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblas menimbulkan respons berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut kolagenosa yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel. Lesi primer paru disebut fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer disebut kompleks Ghon. Kompleks Ghon yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin. Namun, kebanyakan infeksi TB paru tidak terlihat secara klinis atau dengan radiografi. Respons lain pada daerah nekrosis adalah pencairan, yaitu bahan cair lepas ke dalam bronkus yang berhubungan dan menimbulkan kavitas. Bahan tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke dalam percabangan trakeobronkial. Proses ini dapat berulang kembali di bagian lain dari paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah atau usus. Walaupun tanpa pengobatan, kavitas yang kecil dapat menutup dan meninggalkan jaringan parut fibrosis. Bila peradangan mereda, lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat dengan taut bronkus dan rongga. Bahan perkijuan dapat mengental dan tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkijuan, dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif. (Price dan Standridge, 2007)
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah sedikit, yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfo-hematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya enyebabkan TB milier; hal ini akan terjadi jika fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskular dan tersebar ke organ-organ tubuh. (Price dan Standridge, 2007)
Manifestasi klinis TB bisa bermacam-macam, antara lain batuk produktif yang berkepanjangan (lebih dari 3 minggu), nyeri dada, dan hemoptisis. Gejala sistemik yang ditimbulkan juga bisa bermacam-macam, antara lain demam menggigil, keringat malam, kelemahan, hilangnya nafsu makan, dan mengalami penurunan berat badan. Seseorang yang dicurigai TB harus dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan fisik, tes tuberkulin, foto toraks, dan pemeriksaan bakteriologi ataupun histologi. Tes tuberkulin harus dilakukan oleh seluruh pasien yang dicurigai TB walaupun tes tersebut bisa memberikan hasil negatif palsu, misalnya pada orang-orang dengan imunosupresif. Walaupun tes tuberkulin intradermal negatif, bagi pasien yang menderita TB dengan batuk produktif dan hemoptisis harus menjalani foto toraks untuk penegakan diagnosis. Kasus TB juga diperkuat oleh adanya kultur bakteriologi dan anamnesis mengenai riwayat pajanan pasien terhadap droplet dan mungkin infeksi TB sebelumnya seta kondisi kesehatan pasien (HIV, malnutrisi, dan lainnya). (Daniel, 2007)
Bila kultur bakteriologi untuk organisme M. tuberkulosis positif, maka dipercaya sebagai kasus TB. Reaksi positif pada uji tuberkulin mengindikasikan adanya infeksi tetapi tidak berarti terdapat penyakit secara klinis. Namun, uji ini merupakan alat diagnosis yang penting dalam mengevaluasi seseorang secara individu dan juga berguna dalam menentukan prevalensi TB dalam masyarakat. Untuk reaksi hipersensitivitas, patogenitas basil tidak berasal dari keracunan intrisik apapun tetapi dari kemampuannya untuk menimbulkan reaksi hipersensitivitas pada pejamu. Reaksi tersebut merupakan produk dari basil yang berupa tuberkuloprotein. Respons peradangan dan nekrosis jaringan adalah akibat dari respons hipersensitivitas seluler (tipe lambat) terhadap pejamu terhadap basil TB. (Daniel, 2007)
B. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah keadaan yang ditandai dengan dilatasi kronik bronkus dan bronkiolus ukuran sedang. Teradapat dua bentuk anatomis yang lazim, yaitu sakular dan silindris. Bronkiektasis sakular adalah dilatasi berupa rongga yang bulat seperti kavitas, seringkali ditemukan pada bronkus yang mengalami dilatasi dan khas pada orang dewasa. Bronkiektasis timbul apabila dinding bronkus melemah akibat perubahan peradangan kronik yang mengenai mukosa serta lapisan otot. Bahan-bahan purulen terkumpul pada daerah yang melebar ini dan mengakibatkan infeksi yang menetap pada segmen atau lobus yang terserang. Infeksi kronik selanjutnya semakin merusak dinding bronkus. Tidak ada penyabab tunggal yang khas dari bronkiektasis karena penyakit ini dilandasi oleh suatu kelainan anatomis. Bronkiektasis paling sering timbul pada masa kanak-kanak akibat infeksi berulang saluran pernapasan bagian bawah, yang mungkin timbul sebagai komplikasi penyakit campak, batuk rejan, atau infleunza. Penyumbatan bronkus akibat neoplasma atau aspirasi benda asing juga dapat menimbulkan bronkiektasis dan infeksi sekunder pada percabangan bronkus bagian distal. Bronkiektasis pada lobus atas dapat dikaitkan dengan tuberkulosis meskipun keadaan ini seringkali tidak menimbulkan gejala karena drainase bronkus dapat terjadi dengan bantuan gravitasi. Fibrosis kistik dan sindrom Kartagener , merupakan contoh-contoh penyakit kongenital yang berkaitan dengan bronkiektasis. Gambaran klinis utama dari bronkiektasis adalah batuk kronik yang jarang, bersifat produktif dengan banyak sputum mukopurulen yang berbau busuk. Batuk semakin berat jika pasien berubah posisi. Jumlah sputum yang dikeluarkan bergantung pada stadium penyakit, tetapi pada kasus yang berat bisa mencapai 200 mL sehari. Hemoptisis sering terjadi, biasanya berupa sputum yang mengandung darah. Gambaran penyakit lanjut dan tidak diobati adalah pneumonia rekuren, malnutrisi, jari-jari tabuh, kor pulmonale, dan gagal jantung kanan. (Wilson, 2007)
Pengobatan yang paling penting adalah pembersihan bronkus setiap hari dengan seksama, disertai drainase postural yang biasanya harus dilanjutkan seumur hidup. Bronkodilator yang digunakan untuk menurunkan kejadian obstruksi jalan napas dan untuk membantu pembersihan sekret, berguna pada pasien dengan saluran napas yang hipereaktif. Pemberian antibiotik untuk mengontrol infeksi juga merupakan terapi lain yang penting. Vaksinasi yang diberikan tepat pada waktunya terhadap penyakit anak-anak yang sering disertai komplikasi pneumonia, penggunaan antibiotik yang benar dan pengobatan lain pada pneumonia, serta pengangkatan segera benda asing yang daspirasi, semuanya merupakan tindakan pencegahan. (Wilson, 2007)
C. Tumor Ganas Paru
Dalam hal ini akan ditinjau dari segi karsinoma bronkogenik saja. Karsinoma bronkogenik disebabkan oleh beberapa hal, yaitu merokok, bahaya industri, dan polusi udara. Adanya suatu karsinogen yang ditemukan dalam udara polusi dan juga pada asap rokok, yaitu 3,4 benzopiren. Bahaya industri yang sangat penting dalam timbulnya karsinoma bronkogenik adalah asbes. Tumor yang spesifik akan pajanann asbes ini adalah mesotelioma jinak lokal atau ganas difus dari pleura. Selain karena pajanan asbes, juga oleh karena pajanan uranium, kromat, arsen, esi, dan oksida besi. Dua faktor yang lain yang berperan dalam timbulnya kanker adalah makanan dan kecenderungan familial. Karsinoma bronkogenik biasanya dibagi menjadi kanker paru sel kecil (small cell lung cancer, SCLC) dan kanker paru sel tidak kecil (non small cell lung carcinoma, NSCLC). Yang termasuk ke dalam NSCLC adalah karsinoma epidermoid, adenokarsinoma, karsinoma sel-sel besar, atau campuran dari ketiganya. (Wilson, 2007)
Karsinoma sel skuamosa (epidermoid), merupakan tipe histologik karsinoma bronkogenik yang paling sering ditemukan, berasal dari permukaan epitel bronkus. Perubahan epitel termasuk metaplasia, atau displasia akibat merokok jangka panjang, secara khas akan mengawali sebelum tumor. Karsinoma sel skuamosa biasanya terletak sentral di sekitar hilus dan menonjol ke dalam bronki besar. Diameter tumor jarang melebihi beberapa sentimeter dan cenderung menyebar secara langsung ke kelenjar getah bening hilus, dinding dada, dan mediastinum. Karsinoma sel skuamosa sering disertai dengan batuk dan hemoptisis akibat iritasi atau ulserasi, pneumonia, dan pembentukan asbes akibat osbtruksi dan infeksi sekunder. Karena tumor ini cenderung agak lamban dalam bermetastasis, maka pengobatan dini dapat memperbaiki prognosis. (Vinai dan Kumar, 2007)
Adenokarsinoma, memperlihatkan susunan seluler seperti kelenjar bronkus dan dapat mengandung mukus. Kebanyakan jenis tumor ini timbul di bagian perifer segmen bronkus dan kadang-kadang dapat dikaitkan dengan jaringan parut lokal pada paru dan fibrosis intersitital kronik. Lesi seringkali meluas ke pembuluh darah dan limfe pada stadium dini, dan sering bermetastasis jauh sebelum lesi primer menyebabkan gejala-gejala. (Vinai dan Kumar, 2007)
Karsinoma sel bronkial alveolar, merupakan subtipe adenokarsinoma yang jarang ditemukan, dan yang berasal dari epitel alveolus dan bronkiolus terminalis. Awitan pada umumnya tidak nyata, disertai tanda-tanda yang menyerupai pneumonia. Pada beberapa kasus, secara makroskopis neoplasma ini mirip konsolidasi uniform pneumonia lobaris. Secara mikroskopis, tampak kelompok-kelompok alveolus yang dibatasi oleh sel-sel jernih penghasil mukus, dan terdapat banyak sputum mukoid. Prognosisnya buruk kecuali kalau dilakukan pembuangan lobus yang terserang pada saat penyakit masih dini. Adenokarsinoma adalah satu-satunya tipe histologi kanker paru yang tidak mempunyai kaitan jelas dengan merokok. (Vinai dan Kumar, 2007)
Karsinoma sel besar, adalah sel-sel ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam-macam. Sel-sel ini cenderung timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat-tempat yang jauh. (Vinai dan Kumar, 2007)
Karsinoma sel kecil, seperti tipe sel skuamosa, biasanya terletak di tengah di sekitar percabangan utama bronki. Tidak seperti kanker paru yang lain, jenis tumor ini timbul dari sel-sel Kulchitsky, komponen normal epitel bronkus. Secara mikroskopis, tumor ini terbentuk dari sel-sel kecil (sekitar 2 kali ukuran limfosit) dengan inti hiperkromatik pekat dan sitoplasma sedikit. Sel-sel ini sering sering menyerupai biji sel oat sehingga sering diberi nama karsinoma sel oat. Karsinoma sel-sel kecil memiliki waktu pembelahan yang tecepat dan prognosis yang terburuk dibandingkan dengan berbagai jenis karsinoma bronkogenik lain. Metastasis dini ke mediastinum dan kelenjar limfe hilus, demikian pula dengan penyebaran hematogen ke organ-organ distal juga sering dijumpai. (Vinai dan Kumar, 2007)
Gejala kanker paru yang paling sering biasanya berupa manifestasi lokal penyakit yang telah lanjut, termasuk batuk persisten, dispnea, hemoptisis, nyeri pleura atau nyeri dada, jari yabuh, dan adanya osteoartropati hipertrofik (HOA). Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelelahan adalah manifestasi kanker paru yang lanjut. Manifestasi penyebaran lokal kanker paru adalah sindrom vena kava, sindrom Horner, tamponade jantung, keterlibatan pleksus brakialis yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri dan kelemahan pada pundak dan lengan, penekanan pada nervus laringeus rekuren sehingga timbul suara serak, pneumonia berulang, dan efusi pleura. Penyebran metastatik merupakan gambaran kanker paru yang sering terjadi. Metastasis kanker paru di bagian ekstratoraks yang sering terjadi adalah pada kelenjar getah bening skalenus, adrenal, hati, otak, tulang, dan ginjal. Efek klinis metastasis distal adalah aktifnya temapt-tempat pertumbuhan sekunder. (Wilson, 2007)
Tingkatan atau stadium kanker paru jenis NSCLC berdasar atas T, N, S dan stadium akan mempengaruhi jenis terapi. Pada NSCLC stadium I, II, dan IIIA terapi yang dianjurkan adalah reseksi bedah. Untuk NSCLC stadium IIIB dan IV, digunakan terapi kombinasi antara kemoterapi dan radiasi. Sedangkan stadium pada SCLC digunakan sistem 2 stadium, yaitu penyakit stadium terbatas dan penyakit stadium berat. Untuk SCLC stadium terbatas, artinya terbatas pada satu hemitoraks dan kelenjar getah bening regional. Pilihan terapi yang digunakan adalah terapi kombinasi antara kemoterapi dan radiasi pada bagian dada yang terserang. SCLC satdium berat artinya mengacu pada berbagai tumor yang meluas hingga keluar batas definisi tingkat penyakit terbatas. Pilihan terapi yang digunakan adalah kombinasi terapi kemoterapi dan radiasi yang secara umum digunakan untuk mengobati daerah metastasis, khususnya pada otak atau tulang dan untuk memulihkan obstruksi vena kava. (Wilson, 2007)

3. DISKUSI DAN BAHASAN
Dalam diskusi, kelompok kami membahas mengenai tuberkulosis sebagai diagnosis utama dan diagnosis banding paling dekat adalah bronkiektasis.
Penyakit infeksi TB pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu infeksi primer dan infeksi post primer. Pada infeksi primer (keradangan permulaan) gambaran patologis berupa gambaran bronkopneumonia yang dikelilingi oleh sel radang lokal. Pada tahap permulaan, fokus primer dapat memberikan keluhan atau tanda seperti suhu badan meningkat ringan atau seubfebril, anak tampak sakit, nyeri pada persendian, malaise, anorekasia, terlihat lelah, dan uji kulit dengan tuberkulin menunjukkan rekasi negatif. Setelah infeksi primer berjalan kurang lebih 12 minggu, yaitu setelah timbul kekebalan spesifik terhadap basil tuberkulosis, maka akan terjadi pembesaran kelenjar limfe ragional sebagai akibat penyebaran limfogen. Dan dengan hal ini, ada beberapa perubahan tanda dan gejala, misalnya rekasi tuberkulin menjadi positif, batuk-batuk oleh karena ada pembesaran kelenjar yang menekan saluran pernapasan (bronkus), pembesaran kelenjar limfe yang tampak pada foto toraks (kelenjar bagian hilus, trakea, dan leher), tampak infiltrat halus yang tersebar luas pada seluruh lapang paru (TB paru milier), panas badan meninggi, dan mungkin juga kejang karena meningitis. Infeksi primer yang terjadi stelah terbentuknya kekebalan/imunitas spesifik, dapat sembuh sendiri dengan meninggalkan atau tanpa meninggalkan bekas berupa fibrotik dan kalsifikasi (dilihat melalui foto toraks).
Reaksi tubuh terhadap TB paru post primer, mengalami keradangan endogen: berasal dari fokus lama (dormant) di dalam paru yang mengalami kekambuhan. Dan keradangan eksogen: karena infeksi baru yang berasal dari luar. TB post primer biasanya, merupakan infeksi ulang, hal ini ditunjukkan dengan adanya proses keradangan pada daerah subklavikula dan bukan pada puncak paru. Gambaran patologisnya ada 2 macam yang penting, yaitu pneumonia lobular dan fokus asinus. Pneumonia lobular ini bisa sembuh sendiri secara sempurna, atau bisa mengalami proses nekrosis yang terbungkus kapsul dan kemudian sembuh dengan meninggalkan sisa pengapuran, atau juga bisa mengalami perkejuan (perlunakan) dan akhirnya akan membentuk rongga atau kavitas atau kaverne (kavitas berdinding tebal). Untuk gambaran fokus asinus, terbentuk sebagai akibat dari penyebaran basil TB secara bronkogen, berasal dari kaverne atau karena proses penyembuhan yang meninggalkan jaringan ikat atau fibrosis.
Pada TB paru primer, permulaan infeksi, basil TB masuk ke dalam tubuh yang belum mempunyai kekebalan, selanjutnya tubuh mengadakan perlawanan dengan cara yang umum yaitu melalui infiltrasi sel-sel radang ke jaringan tubuh yang mengandung basil TB. Reaksi tubuh ini disebut reaksi nonspesifik (Tahap pra-alergis) yang berlangsung kurang lebih 3-7 minggu. Pada tahap ini tubuh akan menunjukkan reaksi-reaksi radang. Setelah tahap reaksi radang nonspesifik dilampaui, reaksi tubuh memasuki tahap alergis yang kira-kira berlangsung selama 3-7 minggu juga. Pada saat itu sudah terbentuk zat anti sehingga tubuh dapat menunjukkan reaksi yang khas, yaiu tanda-tanda keradangan umum ditambah uji tuberkulin yang positif. Berdasar atas hal tersebut, TB primer akan diklasifikasikan menjadi 3 macam, yaitu TB primer sederhana (secara radiologis tidak tampak kelainan, uji tuberkulin positif), TB primer dengan kelainan radiologis (pada gambaran radiologis tampak pembesaran kelenjar limfe mediastinum, uji tuberkulin positif), TB primer dengan kelainan radiologis lain (gambaran radiologis tampak adanya kelainan pada parenkim paru dan pleura, uji tuberkulin positif).
TB primer sering disertai dengan penyulit, misalnya pembesaran kelenjar servikal superfisial, pleuritis TB, efusi pleura, TB milier, dan meningitis TB. Pada pembesaran kelenjar servikal superfisial, terjadi penyebaran langsung TB ke kelenjar limfe mediastinum bagian atas dan para trakea berasal dari kelenjar hilus. Paling sering menyerang kelenjar limfe supraklavikula dan servikal anterior. Kelainan di kelenjar tersebut bereaksi sangat lambat terhadap obat anti TB (OAT). Bila terjadi abses pada kelenjar dilakukan pembedahan. Pleuritis TB, adalah kelainan pada pleura yang juga merupakan penyulit dini TB primer dan terjadi 6-8 bulan setelah serangan awal. Sering disertai kelainan pada kulit yaitu eritema nodusum. Efusi pleura, juga merupakan penyulit TB primer yang biasanya jernih. Pada keadaan ini, prognosis penyakit masih baik. Reaksi terhadap OAT seringkali dramatis karena dapat memberikan resolusi sempurna dalam 1-2 minggu akan tetapi kemungkinan untuk menderita TB post primer si kemudian hari lebih besar. TB milier, kelainan ini paling dini dibandingkan dengan penyulit TB primer yang lain. Proses TB milier terjadi 8 bulan setelah timbul TB primer, gambaran radiologis tampak 2 minggu setelah gejala klinis. Karena penyebaran yang meluas ke seluruh organ, maka perlu dicari kemungkinan adaya tuberkel di fundus okuli, sumsum tulang, dan hati.Sedangkan untuk meningitis TB, dapat terjadi sebagai akibat dari penyebaran hematogen atau fokus pengkejuan yang pecah di rongga subarakhnoid pada tahap akhir TB milier.
TB post primer sering diistilahkan sebagai TB progresif (progressive TB), TB tipe dewasa (adult type TB), phthysis, dan lain-lain. Infeksi bisa didapatkan dari luar maupun dari dalam. Infeksi dari luar (eksogen), misalnya adalah infeksi ulang pada tubuh yang pernah menderita TB. Sedangkan infeksi dari dalam (endogen), misalnya adalah infeksi dari basil yang sudah berada di dalam tubuh, merupakan proses lama yang pada mulanya tenang dan oleh suatu keadaan menjadi aktif kembali.
Secara umum proses awal TB paru menahun berupa satu atau lebih pneumonia lobular yang juga disebut fokus dari “Asmann”. Fokus ini mengambil tempat di daerah subklavikula yang sesuai dengan daerah posterolateral dari lobus superior atau di lapangan tengah paru yang sesuai dengan segmen superior dari lobus inferior, walaupun lokasi ini jaraang dijumpai. Lesi infiltrat dini tersebut tidak stabil. Dapat sembuh dengan jalan resorbsi menjadi fibrosis, mengalami kalsifikasi atau dapat menjadi progresif yang proses eksudatifnya menjadi bertambah luas, disertai dengan perkejuan-perkejuan dan berakhir dengan timbulnya kavitas. Proses dikatakan menahun apabila progresivitasnya berjalan perlahan-lahan atau ada kavitas yang disertai penyembuhan di satu bagian, sedangkan di bagian lain dari paru proses masih tetap aktif dan meluas. Proses tersebut dapat meluas melalui 4 cara, yaitu:
- Penyebaran langsung basil TB ke daerah sekitarnya.
- Penyebaran basil TB melalui saluran pernapasan (brongenik, duktal, canalicular dissemination).
- Penyebaran basil TB melalui saluran limfe (limfogen). Penyebaran secara limfogen inilah yang bertanggung jawab atas proses di pleura, dinding toraks dan tulang belakang.
- Penyebaran basil TB dengan cara hematogen. Hal inilah yang menimbulkan TB milier, dengan syarat: proses berasal dari paru dan telah meluas sampai menembus vena pulmonalis, pecahnya proses yang terdapat di dinding vena sehingga basil TB ikut aliran darah ke tempat lain, basil TB berasal dari kelenjar mediastinum yan pecah (umumnya pada TB primer), dan penyebaran yang berasal dari TB ekstrapulmonar.
Tanda dan gejala yang umum pada TB tidaklah khas dan bisa bervariasi. Batuk, yang timbul dini merupakan gangguan yang sering dikeluhkan. Biasanya batuk ringan sehingga dianggap batuk biasa atau akibat rokok. Proses yang paling ringan ini menyebabkan sekret akan terkumpul pada waktu penderita tidur dan dikeluarkan saat penderita bangun pagi hari. Bila proses destruksi berlanjut, sekret dikeluarkan terus menerus sehingga batuk menjadi lebih dalam dan sangat mengganggu penderita pada waktu siang maupun malam hari. Bila yang terkena trakea dan/atau bronkus, batuk akan terdengar sangat keras, lebih sering atau terdengar berulang-ulang (paroksismal). Bila laring yang terserang, batuk terdengar sebagai hollow sounding cough, yaitu batuk tanpa tenaga dan disertai suara serak. Dahak juga sebagai petunjuk utama. Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit kemudian berubah menjadi mukopurulen/kuning atau kuning hijau sampai purulen dan kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi pengejuan dan perlunakan. Dahak jarang berbau busuk, kecuali bila ada infeksi anaerob. Batuk darah sering terjadi pada penderita TB. Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpaln-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak (profus). Batuk darah jarang merupakan tanda permulaan dari penyakit TB atau initial symptom karena batuk darah merupakan tanda telah terjadinya ekskavasi dan ulserasi pembuluh darah pada dinding kavitas. Batuk bisa terjadi secara masif bila terjadi kerobekan aneurisma Rassmussen pada dinding kavitas atau ada perdarahan yang berasal dari bronkiektasis atau ulserasi trakeo-bronkial. Keadaan ini bisa menyebabkan kematian karena adanya penyumbatan saluran napas oleh bekuan darah. Batuk darah yang disebabkan oleh TB paru, pada pemeriksaan radiologis akan tampak pada kelainan keculai bila penyebab batuk tersebut adalah trakeobronkitis. Pada pasien TB yang sudah sembuh, masih sering terdapat batuk darah, hal ini dikarenakan robekan jaringan paru atau darah berasal dari bronkiektasis pada penyakit paru. Pada keadaan seperti inilah dahak sering dinyatakan BTA -. Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Wheezing pada TB paru dikarenakan oleh penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan oleh sekret, bronkostenosis, radang, jaringan granulasi, ulserasi. Dispnea merupakan late symptom dari proses lanjut TB paru akibat adanya restriksi dan obstruksi saluran pernapasan serta loss of vascular bed yang dapat berakibat pada gangguan difusi, hipertensi pulmonal dan korpulmonal. Gejala umum lainnya adalah panas badan, menggigil, keringat malam, ganggan menstruasi, anoreksia, dan lemah badan.
Akibat adanya proses infeksi TB paru, hal ini berakibat pada perubahan tanda-tanda fisik pada pasien. Perubahan volume paru misalnya, pada keadaan fibrosis, atelektasis dan kavitas memperkecil volume jaringan paru yang terkena sehingga menarik jaringan sekitar seperti trakea, mediastinum, fosa supraklavikularis dan infraklavikularis, ditambah lagi dengan penebalan pleura. Konsolidasi pada parenkim tidak mengubah volume paru. Perubahan pergerakan pernapasan yang merupakan perubahan fisik lainnya, dikarenakan oleh daerah yang terkena penyakit akan berkurang gerakannya. Perubahan penghantaran suara akibat konsolidasi dan fibrosis pada parenkim paru dengan saluran pernapasan yang masih terbuka akan meningkatkan penghantaran getaran suara sehingga fremitus suara meningkat. Suara napas menjadi bronkovesikular atau bronkial, didapatkan bronkofoni atau suara bisikan yang disebut dengan whispered pectoriloque. Atelektasis obstruktif dan penebalan pleura akan menghambat penghantaran getaran suara tetapi atelektasis parsial meningkatkan penghantaran getaran suara. Sekret yang berada di dalam bronkus akan menimbulkan suara tambahan berupa ronki basah. Suara ronki kasar atau halus tergantung dari tempat sekret berada. Penyempitan saluran pernapasan menimbulkan ronki kering, dan jika penyempitan ini disertai kavitas, dapat terdengar suara yang disebut hollow sound sampai amforik.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan, antara lain:
- Dahak merupakan sampel yang sangat patognomonis untuk TB paru. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis (dengan pengecatan tertentu) untuk menentukan BTA + sangat berguna untuk penegakan diagnosis TB paru.
- Pemeriksaan cairan pleura dilakukan untuk pasien TB paru yang diduga dengan penyulit efusi pleura. Pemeriksaan ini dilakukan secara makroskopis maupun mikroskopis.
- Pemeriksaan darah tidak bisa digunakan sebagai pegangan untuk diagnosis TB paru karena pemeriksaan darah tidak menunjukkan gambaran TB yang khas. Setidaknya, pemeriksaan darah dapt digunakan untuk membantu menentukan aktivitas penyakit.
- Pemeriksaan laju endap darah (LED) sering meningkat pada proses aktif tetapi LED yang normal tidak dapat mengesampingkan proses TB aktif.
- Pemeriksan leukosit daapt normal atau sedikit meningkat pada proses yang aktif.
- Pemeriksaan hemoglobin menunjukkan anemia pada penyakit TB berat akibat penyakit kronis dan mungkin juga karena anemia defisiensi besi.
- Uji tuberkulin merupakan pemeriksaan untuk menunjukkan reaksi imunitas seluler yang timbul setelah 4-6 minggu penderita mengalami infeksi pertama dengan basil TB.
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Tahap awal (intensif) pasien mendapatkan obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA + menjadi BTA – (konversi) dalam 2 bulan. Untuk tahap lanjutan, pasien mendapat jenis obat lebih sedikit tetapi dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan ini penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Obat yang diberikan sebagai OAT, antara lain:
Jenis OAT, Sifat, Dosis Harian (mg/kgBB), Dosis 3 x 1 minggu (mg/kgBB):
Isoniazid (H), Bakterisid, 5 (4-6), 10 (8-12)
Rifampicin (R) ,Bakterisid ,10 (8-12) ,10 (8-12)
Pyrazinamide (Z), Bakterisid, 25 (20-30), 35 (30-40)
Streptomycin (S), Bakterisid, 15 (12-16), 15 (12-18)
Ethambutol (E), Bakteriostatik, 15 (15-20), 30 (20-35)
Pada program pemerintah, menggunakan 4 macam jenis program OAT. Ada OAT kategori 1 yang merupakan 2(HRZE)/4(HR)3: artinya pada tahap intensif diberikan OAT-KDT yang berisikan HRZE selama 2 bulan (56 hari) dan diminum setiap hari, dan pada tahap lanjutan diberikan OAT-KDT yang berisikan HR selama 4 bulan (16 minggu) dan diminum 3 kali seminggu. OAT kategori 2 yang merupakan 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3: artinya pada tahap intensif selama 2 bulan pertama (56 hari) akan diberikan OAT-KDT yang berisikan HRZE yang diminum setiap hari dan S injeksi yang diberikan setiap hari, kemudian tahap intensif 1 bulan berikutnya (28 hari) akan diberikan OAT-KDT yang berisikan HRZE dan diminum setiap hari, sedangkan pada tahap lanjutannya akan diberikan OAT-KDT berisikan HR selama 5 bulan (20 minggu) diminum 3 kali seminggu dan diberikan E selama 5 bulan (20 minggu) juga diminum 3 kali seminggu. OAT sisipan yang merupakan (HRZE), jadi diberikan OAT-KDT yang berisikan HRZE selama 1 bulan (28 hari) dan diminum setiap hari. Dan yang terakhir adalah OAT kategori anak yang merupakan 2 (HRZ)/4(HR), yang berarti pada tahap intensif akan diberikan OAT kombipak yang terdiri atas HRZ selama 2 bulan dan diminum setiap hari, sedangkan untuk tahap lanjutan diberikan OAT kombipak yang terdiri atas HR selama 4 bulan dan diminum setiap hari juga.
OAT-KDT atau FDC adalah obat yang didalamnya merupakan kombinasi 2 atau 4 macam jenis obat dari keempat macam OAT, yaitu H, R, Z, atau E. Untuk OAT kategori anak, sementara ini hanya tersedia dalam bentuk kombipak, jadi OAT jenis H, R, atau Z diperoleh dalam sediaan terpisah. Paket kombipak (terpisah) H, R, Z, atau E untuk dewasa juga disediakan dalam bentuk blister yang akan diberikan pada pasien TB dewasa jika pasien tersebut mengalami efek samping pada pemberian OAT-KDT. OAT di Puskesmas Gilingan didapatkan dari WHO dan tersedia dalam bentuk paket dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan atau kontinuitas pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan. KDT sendiri memiliki beberapa keuntungan, yaitu dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan (BB) sehingga menjamin efektivitas obat dan mengurangi efek samping, mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan risiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep, jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
OAT kategori 1 diindikasikan untuk pasien baru TB paru BTA positif dan pasien TB ekstra paru. OAT kategori 2 diindikasikan untuk pasien TB BTA positif yang telah diobati sebelumnya dengan hasil pasien kambuh, pasien gagal, dan pasien dengan pengobatan setelah putus berobat. OAT kategori 1 juga diindikasikan untuk pasien TB paru BTA negatif dengan foto toraks positif. Pengobatan TB ini juga berdasar atas berat badan pasien, dengan ketentuan: jika berat badan pasien TB dewasa adalah 30-37 kg diberikan 2 tablet OAT-KDT, 38-54 kg diberikan 3 tablet OAT-KDT, 55-70 kg diberikan 4 tablet OAT-KDT, untuk berat badan pasien lebih dari atau sama dengan 71 kg diberikan 5 tablet OAT-KDT. Untuk pasien TB anak-anak kurang dari 5 kg harus dirujuk ke Rumah Sakit, untuk berat badan 6-10 kg diberikan setengan wadah kombipak, untuk berat badan 10-20 kg diberikan satu wadah kombipak, dan untuk berat badan 20-30 kg diberikan 2 wadah kombipak. Sedangkan untuk tahap lanjutan, pemberian S injeksi diberikan berdasar atas berat badan juga, yaitu 30-37 kg diberikan 500 mg S inj, 38-54 kg diberikan 750 mg S inj, 55-70 kg diberikan 1000 mg S inj, dan jika berat badan lebih dari atau sama dengan 71 kg juga diberikan 1000 mg inj.
Pengobatan kategori 1 menggunakan paket kombipak ada 2 macam ketentuan:
- Pengobatan intensif setiap harinya selama 2 bulan (56 hari, 56 kali menelan obat) diberikan 1 tablet H (@ 300 mg), 1 kaplet R (@ 450 mg), 3 tablet Z (@ 500 mg), dan 3 tablet E (@ 250 mg).
- Pengobatan lanjutan selama 4 bulan (16 minggu) dan setiap 3 kali seminggu (48 kali menelan obat) diberikan 2 tablet H (@ 300 mg) dan 1 kaplet R (@ 450 mg).
Pengobatan kategori 2 menggunakan paket kombipak ada 4 macam ketentuan pula:
- Pengobatan intensif setiap harinya selama 2 bulan pertama (56 hari, 56 kali menelan obat) diberikan 1 tablet H (@ 300 mg), 1 kaplet R (@ 450 mg), 3 tablet Z (@ 500 mg), 3 tablet E (@ 250 mg), dan S inj (0,75 g).
- Pengobatan intensif setiap harinya selama 1 bulan berikutnya (28 hari, 28 kali menelan obat) diberikan 1 tablet H (@ 300 mg), 1 kaplet R (@ 450 mg), 3 tablet Z (@ 500 mg), dan 3 tablet E (@ 250 mg).
- Pengobatan lanjutan selama 5 bulan (20 minggu) dan setiap 3 kali seminggu (60 kali menelan obat) diberikan 2 tablet H (@ 300 mg), 1 kaplet R (@ 450 mg), 1 tablet E (@ 250 mg), dan 2 tablet E (@ 400 mg).
- Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan.
Pengobatan kategori OAT sisipan terdapat beberapa ketentuan:
- Tahap intensif menggunakan kombipak selama 1 bulan (28 hari, 28 kali menelan obat) diberikan 1 tablet H (@ 300 mg), 1 kaplet R (@ 450 mg), 3 tablet Z (@ 500 mg), dan 3 tablet E (@ 250 mg).
- Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.
Dalam penanganan pasien TB perlu dilakukan evaluasi atas keberhasilan pengobatan. Untuk prosedur penjaringan suspek sampai pengobatan sudah dibahas di bagian sebelumnya. Jadi pada bagian ini akan dibahas mengenai tahap akhir program penatalaksanaan TB di Puskesmas Gilingan. Tahap akhir setelah pengobatan dengan pilihan kategori OAT yang tepat adalah pemeriksaan dahak ulang, dengan ketentuan sebagai berikut:
- Jika pasien baru BTA + dengan OAT kategori 1, pada pemeriksaan dahak akhir tahap intensif memberikan hasil BTA -, maka tahap lanjutan dimulai tetapi jika hasil BTA +, dilanjutkan dengan OAT sisipan selama 1 bulan dan bila setelahnya masih tetap BTA +, tahap lanjutan tetap diberikan. Pada pemeriksaan dahak sebulan sebelum AP atau pada akhir AP, jika didapatkan negatif (BTA -) dinyatakan sembuh tetapi jika hasilnya BTA + maka dinyatakan gagal dan harus diganti dengan OAT kategori 2 dimulai dari awal.
- Jika pasien baru BTA – dan Rontgen (RO) + dengan OAT kategori 3, pada pemeriksaan dahak pada akhir tahap intensif memberikan hasil BTA -, maka pasien diberikan OAT tahap lanjutan sampai selesai dan dianggap pengobatan lengkap tetapi jika didapatkan hasil BTA +, maka harus diganti dengan OAT kategori 2 dan dimulai dari awal.
- Jika pasien dengan terapi OAT kategori 2, pada pemeriksaan dahak akhir tahap intensif, diperoleh BTA -, maka diteruskan ke pengobatan tahap lanjutan tetapi jika siperoleh hasil BTA +, maka diberikan sisipan 1 bulan dan bila setelahnya masih positif, pengobatan diteruskan ke tahap lanjutan (bila perlu juga dilakukan uji kepekaan obat). Pada pemeriksaan dahak sebulan sebelum AP atau pada akhir AP diperoleh negatif keduanya, berarti pasien sembuh tetapi jika diperoleh hasil BTA +, kasus TB termasuk kasus kronik dan harus dirujuk ke unit pelayanan spesialistik.
Pencegahan penyakit TB bisa dilakukan dengan berbagai cara, yaitu pencegahan terhadap infeksi TB dan meningkatkan daya tahan tubuh, serta memberikan pengobatan sampai tuntas pada penderita TB. Pencegahan infeksi TB dilakukan dengan melakukan pencegahan terhadap sputum yang infeksius. Hal ini bisa dilakukan dengan jalan case finding dengan pemeriksaan BTA, pemeriksaan foto toraks, dan uji tuberkulin dengan Mantoux. Selain itu bisa dilakukan dengan isolasi penderita dan mengobati penderita, serta membuat lingkunagan atau ruangan dengan ventilasi baik dan mendapatkan sinar matahari yang cukup. Dalam meningkatkan daya tahan tubuh harus dilakukan dengan memperbaiki standar dan kualitas hidup, dan perlu peningkatan daya tahan tubuh terhadap infeksi TB dengan melakukan vaksinasi BCG.
Pada pasien di atas tidak diberikan keterangan lebih lanjut mengenai pengobatan paket untuk penyakit paru yang diderita sebelumnya sehingga kita tidak bisa mengetahui apakah sebenarnya pasien sebelumnya sudah sembuh atau putus obat. Mata kuning dan muntah-muntah yang dialami pasien mungkin karena jenis obat , dalam hal ini adalah OAT, yang diberikan kepada pasien melaui paket obat. Rifampisin dan etambutolmemberikan efek samping muntah dan mual. Mata kuning mungkin disebabkan oleh isoniazid dan rifampisin. Adanya kelainan ikterik ini, setelah pengobatan atau selama pengobatan, perlu dilakukan tes fungsi hati (SGPT dan SGOT) pada pasien yang bersangkutan.
Pembahasan dilanjutkan pada bronkiektasis. Bronkiektasis biasanya bukan merupakan penyakit yang bisa berdiri sendiri dengan satu macam penyebab yang spsesifik karena bronkiektasis biasanya disebabkan oleh penyakit lain dan juga bisa menjadi penyulit penyakit paru lainnya. Misalnya penyakit infeksi kronik seperti TB paru. Bronkiektasis adalah pelebaran atau dilatasi bronkus lokal dan permanen sebagai akibat dari kerusakan struktur dinding.
Radang pada saluran pernapasan menyebabkan silia dari sel epitel bronkus tidak berfungsi. Epitel kolumnar mengalami degenerasi dan diganti menjadi epitel bertatah. Selanjutnya elemen kartilago muskularis mengalami nekrosis dan jaringan elastis yang terdapat di sekitarnya akan mengalami kerusakan sehingga berakibat dinding bronkus menjadi lemah, melebar tak beraturan, dan permanen. Bila ulserasi mengenai pembuluh darah, dapat terjadi batuk darah berulang. Selain itu timbul hipertrofi dari pembuluh darah serta terbentuk banayak anstomosis antara vena bronkialis dengan vena pulmonaris (right to left shunt) dengan akibatnya timbul hipoksemia kronis dan berakhir dengan kor pulmonal kronis. Selain akibat peradangan, bronkiektasis juga bisa sebagai akibat faktor mekanik. Bisa karena distensi mekanis sebagai akibat dari dinding bronkus yang lemah, sekret yang menumpuk dalam bronkus, adanya tumor atau pembesaran kelenjar limfe. Peningkatan tekanan intrabronkial distal dari penyempitan batuk juga merupakan penyebab mekanik, selain itu mungkin karena penarikan dinding bronkus oleh karena fibrosis jaringan paru, sebagai akibat timbulnya perlekatan lokal yang permanen dari dinding bronkus.
Gambaran klinik pada pasien bronkiektasis bervariasi yang pada dasarnya hampir sama dengan penyakit paru lainnya. Gejala klinik timbul akibat gangguan fungsi silia dan adanya stasis sekret sehingga memungkinkan sekret terkumpul di segmen yang mengalami dilatasi. Penderita tampak kurus, astenia, dan anoreksia. Adanya panas badan akibat infeksi sekunder dan sesan napas. Penderita bronkiektasis mengeluh batuk produktif yang sering bersifat menahun yang disertai dahak purulen dalam jumlah banyak. Pada pemeriksaan radiologi akan tampak infiltrat pada paru bagian basal dengan daerah radiolusen yang multipel menyerupai sarang lebah (honey comb appearence). Bronkografi merupakan cara untuk mendiagnosis bronkiektasis yang pasti karena bisa menampakkan adanya ektasis dengan menggunakan bahan kontras.
Untuk diagnosis kanker diperlukan pemeriksaan lebih lanjut, biasanya diagnosis pasti ditegakkan melalui pemeriksaan biopsi, sitologi, dan pemeriksaan adiologi, serta bronkoskopi. Bronkoskopi yang disertai biopsi merupakan teknik yang paling baik dalam mendiagnosis karsinoma sel skuamosa. Biopsi kelenjar skalenus adalah cara terbaik untuk mendiagnosis kanker-kanker yang tidak terjangkau oleh bronkoskopi. Pemeriksaan sitologi sputum, bilasan bronkus, dan pemeriksaan cairan pleura juga penting dilakukan untuk diagnosis kanker paru. Jadi,rencana biopsi jarum halus di skenario dimungkinkan untuk mengetahui adanya kanker paru yang telah bermetastasis secara limfogen atau penyulit TB yang berupa pembesaran kelenjar limfe sevikal.

4. KESIMPULAN
¨ Hal yang aneh yang terjadi pada seorang laki-laki, 30 tahun, adalah batuk darah sebanyak 250 cc sejak 1 hari yang lalu, ada keluhan batuk dengan dahak sulit keluar sejak 2 bulan diikuti demam yang hilang timbul dan keringat malam, dan tidak mau makan 2 hari ini, berat badan menurun 4 kg.
¨ Keadaan umum dan hasil pemeriksaan fisik, didapatkan hasil: konjungtiva pucat, auskultasi terdapat suara amforik pada paru kanan, dan didapatkan pembesaran kelenjar leher. Pada foto toraks tampak gambaran fibroinfiltrat dan kavitas di paru kanan, gambaran sarang tawon pada apeks paru kiri.
¨ Tanda dan gejala umum TB antara lain batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih, dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun atau tidak bertambah selama 3 bulan, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam dan meriang lebih dari satu bulan
¨ Terapi TB adalah dengan pemberian OAT kombinasi dosis tetap, misalnya Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Ethambutol, dan Streptomisin injeksi dengan ketentuan dan dosis tertentu.
¨ Pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis TB bisa dilakukan dengan pemeriksaan mikrobiologi sputum dan foto toraks.
¨ Tanda dan gejala umum bronkiektasis antara lain batuk kronik yang jarang, bersifat produktif dengan banyak sputum mukopurulen yang berbau busuk, panas badan, astenia, kurus, dan anoreksia.
¨ Terapi bronkiektasis meliputi mengobati penyakit dasar, drainase postural, penggunaan antibiotika dengan cepat dan segera, pemberian mukolitik dan ekspektoran, atau bahkan pembedahan. Indikasi dilakukan pembedahan adalah batuk darah berulang, proses ektasis lokal/soliter.
¨ Pemeriksaan penujang untuk penegakan diagnosis bronkiektasis adalah dengan pemeriksaan radiologis dan bronkografi.
¨ Apabila memang hasil biopsi jarum halus tidak menunjukkan adanya kanker paru berarti penegakan diagnosis semnetara ini untuk pasien di skenario adalah TB (merupakan penyakit infeksi kronis) tipe post primer, kemudian komplikasi dari TB tersebut adalah bronkiektasis dan penyulit TB di skenario adalah pembesaran kelenjar limfe servikal.

5. DAFTAR PUSTAKA
Daniel, T. M. 2007. Tuberkulosis. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 2. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 799-808.
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Frances K. Widmann. 1995. Clinical Interpretation of Laboratory Tests. 9th ed. Philadelphia : F. A. Davis Company.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Madoff, L. C. dan D. L. Kasper. 2007. Pendahuluan pada Penyakit Menular: Interaksi Pejamu-Parasit. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 2. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 540-4.
Maitra, A., V. Kumar. 2007. Paru dan Saluran Napas Atas. Dalam: Kumar, V., R. S. Cortran, dan S. L. Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 509-70.
Mukty, A.,et.al. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press.
Onderdonk, A. B. 2007. Pemeriksaan Laboratorium untuk Diagnosis Penyakit Infeksi. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 2. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 545-50.
Price, S. A. dan M. P. Standridge. 2007. Tuberkulosis Paru. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 852-62.
Siti Boedina Kresno, et.al. 1995. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium. 9th ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Siti Boedina Kresno. 2003. IMUNOLOGI : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. 4th ed. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Speizer, F. E. 2007. Penyakit Paru karena Lingkungan. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1322-30.
Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.
Wilson, L. M. 2007. Pola Obstruktif pada Penyakit Pernapasan. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 783-93.
Wilson, L. M. 2007. Tanda dan Gejala Penting pada Penyakit Pernapasan. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 773-81.
Wright, P. W. dan R. J. Wallace. 2007. Obat Antimikobakterium. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 2. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 794-8.

No comments: