Tuesday, March 17, 2009

GAGAL JANTUNG


1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu penyakit yang paling penting yang harus diobati oleh seorang dokter adalah gagal jantung. Keadaan tersebut dapat terjadi akibat dari semua kondisi jantung yang menyebabkan penurunan kemampuan jantung untuk memompa darah. Biasanya penyebabnya adalah penurunan kontraktilitas miokardium akibat berkurangnya aliran darah koroner. Namun demikian, kegagalan dapat juga disebabkan oleh kerusakan katup jantung, tekanan eksternal di sekitar jantung, defisiensi vitamin B, penyakit otot jantung primer, atau segala kelainan lain yang dapat membuat pemompaan jantung menjadi kurang efektif. Jadi intinya, gagal jantung dapat didefinisikan sebagai kegagalan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Dari skenario 3 Blok Kardiovaskular, ada beberapa masalah penting, yaitu :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Seorang laki-laki umur 54 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan sesak napas kumat-kumatan sejak 1 bulan yang lalu, memberat sejak 1 minggu terakhir.
- Sesak napas yang dialami timbul saat aktivitas ringan dan mau tidur, disertai batuk berdahak warna merah muda, berdebar-debar, sukar tidur, kencing berkurang, kedua kaki tidak membengkak.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- Satu tahun yang lalu, pernah dirawat di rumah sakit karena menderita penyakit serupa.
- Waktu itu, diberikan obat-obatan dan istirahat di rumah sakit, kemudian keadaannya membaik.
Ø Riwayat Penyakit Keluarga, berupa:
- (tidak ada data)
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Pada pemeriksaan fisik didapatkan data: tekanan darah 180/100 mmHg, heart rate 120 kali/menit (regular), kecepatan respirasi 32 kali/menit, suhu badan 36,5oC, JVP tidak meningkat.
- Pada inspeksi diperoleh hasil bahwa dinding dada simetris, iktus kordis ke lateral bawah.
- Pada palpasi diperoleh hasil iktus kordis bergeser ke lateral bawah di SIC 6, 2 cm lateral linea medioclavicularis.
- Pada perkusi diperoleh batas jantung kiri bergeser ke lateral bawah, batas jantung kanan di SIC 5 linea parasternalis kanan.
- Pada auskultasi diperoleh hasil bunyi jantung 1 intensitasnya meningkat, bunyi jantung 2 normal, bising pansistolik di apeks menjalar ke lateral, irama gallop positif.
- Pada pemeriksaan paru menunjukkan bunyi vesikuler normal, ronki basah basal halus.
- Pemeriksaan abdomen menunjukkan tidak ada hepatomegali, tidak ada asites.
- Pemeriksaan laboratorium menunjukkan Hb 14 gr/dL, serum ureum 65, dan serum kreatinin 1,4.
- Pemeriksaan EKG menunjukkan LAH (Left Atrium Hypertrophy) dan LVH (Left Ventricle Hypertrophy).
- Pemeriksaan foto toraks menunjukkan kardiomegali (CTR= 0,6), apeks ke lateral bawah, pinggang jantung menonjol, dan vaskularisasi paru meningkat.
- Hasil analisis gas darah adalah asidosis metabolik terkompensasi.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas, antara lain :
a. Fisiologi aliran kapiler dan ruang interstitial
b.Fisiologi pengaturan tekanan darah
c. Fisiologi keseimbangan asam basa tubuh
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Menegakkan diagnosis melalui berbagai pemeriksaan yang dilakukan.
Ø Mengetahui gejala-gejala penyakit tersebut lebih lanjut.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem jantung dan pembuluh darah (sistem kardiovaskular) dan penyelesaiaannya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu menjelaskan:
a. Ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dan melingkupi sistem kardiovaskular meliputi anatomi, histologi dan fisiologi.
b. Sistem keseimbangan suplai oksigen di jantung dengan besarnya kebutuhan oksigen di miokardium.
c. Klasifikasi macam-macam penyakit pada sistem kardiovaskular.
d. Penyebab-penyebab terjadinya gangguan pada sistem kardiovaskular beserta mekanismenya.
e. Faktor-faktor pencetus terjadinya gangguan pada sistem kardiovaskular.
f. Mekanisme terjadinya kelainan pada sel/organ pada penyakit-penyakit sistem kardiovaskular meliputi patogenesis, patologi, dan patofisiologinya.
g. Mekanisme terjadinya gangguan/kelainan pada jantung yang dikarenakan ketidakseimbangan suplai oksigen, aliran darah yang melalui katup jantung dalam keadaan normal dan abnormal, kelainan irama, penyakit infeksi pada jantung, dan gangguan pada sistem vaskular perifer (arteri dan vena).
h. Komplikasi yang ditimbulkan pada penyakit-penyakit di sistem kardiovaskular.
i. Manajemen/penatalaksanaan penyakit pada sistem kardiovaskular meliputi dasar-dasar terapi meliputi medikamentosa, konservatif, diet, operatif, rehabilitasi, dll.
j. Tanda dan gejala penyakit-penyakit pada sistem kardiovaskular.
k. Penegakan diagnosis penyakit pada sistem kardiovaskular.
l. Patogenesis, patologi, dan patofisiologi pada sistem kardiovaskular.
m. Prognosis secara umum tentang penyakit pada sistem kardiovaskular.
n. Penyususnan data dari tanda dan gejala, pemeriksaan fisik, prosedur klinik, dan pemeriksaan laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis sementara dan diagnosis banding pada penyakit sistem kardiovaskular.
o. Prosedur klinik penunjang diagnosis penyakit sistem kardiovaskular, meliputi: EKG, Ekokardiogram, Radiologi Sinar-X, Venografi, USG, Pengukuran Impedansi, Kateterisasi Jantung, Radionucleotide Scanning.
p. Pemeriksaan laboratorium penunjang diagnosis penyakit sistem kardiovaskular meliputi kimia darah: kreatin fosfokinase (CPK/CK), glutamat oksaloasetat transaminase (SGOT/GOT), laktat dehidrogenase (LDH), dll.
q. Prosedur keterampilan klinik untuk mendiagnosis penyakit pada sistem kardiovaskular, meliputi: pemeriksaan fisik (inspeksi, palpasi dan auskultasi: bunyi jantung), tes jasmani/treadmill test.
r. Perancangan tindakan promotif dan preventif penyakit pada sistem kardiovaskular dengan mempertimbangkan faktor-faktor pencetus.
s. Perancangan penatalaksanaan penyakit-penyakit pada sistem kardiovaskular.

2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Fisiologi Aliran Kapiler dan Ruang Interstitial
Aliran darah dalam kapiler dilakukan secara intermiten, artinya mengalir dan berhenti setiap beberapa detik atau beberapa menit. Bila kecepatan pemakaian oksigen oleh jaringan cukup besar sehingga konsentrasi oksigen dalam jaringan turun di bawah normal, aliran darah yang intermiten ini lebih sering terjadi dan periode setiap aliran menjadi lebih lama dengan demikian memungkinkan darah kapiler untuk membawa lebih banyak lagi oksigen (dan zat makanan lainnya) ke jaringan. Ketika darah mengalir dalam kapiler, banyak zat nutrisi, air, dan zat-zat lainnya yang harus berdifusi ke dalam ruang interstitial (RIS) yang kemudian akan menjadi komponen cairan interstitial (CIS). Difusi disebabkan oleh pergerakan termal molekul air dan zat terlarut dalam cairan, yaitu bebrbagai molekul dan ion yang mula-mula bergerak dalam satu arah dan kemudian akan bergerak ke arah lainnya, yang menumbuk secara acak di setiap arah. Zat yang larut dalam lemak akan dapat berdifusi secara langsung melalui membran sel kapiler tanpa harus melalui pori-pori, sedangkan zat yang larut air dan tidak larut lemak harus berdifusi melalui pori-pori antarsel pada membran kapiler. Jumlah pori-pori yang ada membran kapiler sangatlah sedikit tetapi pergerakan termal molekul dalam celah begitu besar sehingga dengan daerah yang kecil dan sedikit tersebut, sudahlah cukup untuk memungkinkan sejumlah besar difusi air dan zat larut air melalui celah atau pori tersebut. (Guyton dan Hall, 2007)
Cairan yang berdifusi dari kapiler ke RIS sangatlah sedikit mengandung protein hal ini disebabkan oleh sulitnya molekul protein untuk berdifusi melalui membran kapiler. Cairan yang sudah masuk ke RIS akan disebut sebagai CIS. Namun, hampir seluruh CIS akan terperangkap dalam filamen proteoglikan (salah satu struktur terbesar dalam RIS) dan akan menjadi suatu bentukan seperti gel yang disebut gel jaringan. Gel jaringan ini tidak dapat mengalir dan hanya berdifusi dari konsentrasi tinggi ke rendah. Sebesar kurang dari 1% dari jumlah CIS akan mengalir secara bebas di dalam vesikel dan sungai cairan bebas dalam RIS. (Guyton dan Hall, 2007)
Filtrasi cairan yang melewati kapiler ditentukan oleh tekanan hidrostatik dan osmotik kolid, serta koefisien filtrasi kapiler. Tekanan hidrostatik dalam kapiler cenderung untuk mendorong cairan dan zat-zat terlarutnya melewati pori-pori kapiler ke dalam RIS. Sebaliknya, tekanan osmotik yang ditimbulkan oleh protein plasma (yang disebut tekanan osmotik kolid) cenderung untuk menimbulkan pergerakan cairan secara osmosis dari RIS ke darah. Tekanan osmotik yang ditimbulkan oleh protein plasma ini pada keadaan normal akan mencegah hilangnya volume cairan yang cukup bermakna dari darah ke RIS. Adanya sistem limfatik juga akan mencegah hilangnya cairan berlebih dari darah ke dalam RIS karena kelebihan cairan ini akan dikembalikan ke kapiler secara lansung melalui sistem limfatik. (Guyton dan Hall, 2007)
Dikenal adanya 4 daya osmotik dan hidrostatik utama yang menentukan pergerakan cairan melalui membran kapiler. Daya-daya tersebut disebut sebagai “daya Starling”:
- Tekanan kapiler (Pc), yang cenderung mendorong cairan keluar melalui membran kapiler.
- Tekanan CIS (Pif), yang cenderung mendorong cairan ke dalam melalui membran kapiler bila nilai Pif positif tetapi keluar jika nilai Pif negatif.
- Tekanan osmotik koloid plasma kapiler (пp), yang cenderung menimbulkan osmosis cairan ke dalam melalui membran kapiler.
- Tekanan osmotik koloid CIS (пif), yang cenderung menimbulkan osmosis cairan keluar melalui membran kapiler.
Keempat dya tersebut akan membentuk suatu persamaan aljabar yang disebut dengan tekanan filtrasi netto (net filtration pressure/NFP), jika NFP bernilai positif maka akan terjadi filtrasi cairan netto yang mealalui kapiler ke RIS dan jika bernilai negatif, akan terjadi absorbsi cairan dari RIS ke dalam kapiler. NFP dirumuskan Pc – Pif – пp + пif. (Guyton dan Hall, 2007)
B. Fisiologi Pengaturan Tekanan Darah
Tekanan darah sistemik dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu cardiac output atau curah jantung (yang dipengaruhi oleh frekuensi denyut dan volume jantung sekuncup) dan resistensi perifer (yang dipengaruhi oleh jari-jari arteriol dan viskositas darah). Secara konstan, tekanan arteri rata-rata dipantau oleh baroreseptor dalam sirkulasi. Reseptor terpenting dalam pengaturan tekanan darah adalah sinus caroticus dan baroreseptor lengkung aorta. Dalam kondisi normal, peningkatan tekanan darah akan mempercepat pembentukan potensial aksi di neuron aferen baroreseptor sinus caroticus dan lengkung aorta. Melalui peningkatan kecepatan pembentukan potensial aksi tersebut, pusat kontrol kardiovaskular mengurangi aktivitas simpatis dan meningkatkan aktivitas parasimpatis. Sinyal-sinyal eferen tersebut akan menurunkan kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup, merangsang vasodilatasi arteriol dan vena sehingga sehingga curah jantung dan resistensi perifer turun. Hasil akhirnya adalah tekanan darah kembali normal. Namun, pada keadaan hipertensi, baroreseptor tidak berespons mengembalikan tekanan darah ke tingkat normal karena baroreseptor telah beradaptasi untuk bekerja pada tingkat yang lebih tinggi. (Guyton dan Hall, 2007)
Selain baroreseptor yang tidak berespons, pada hipertensi juga terjadi penurunan ekskresi Na+ yang berarti terjadi peningkatan retensi Na+. Hal ini memicu retensi osmotik H2O sehingga volume cairan plasma meningkat. Apabila volume cairan meningkat, maka volume darah akan meningkat, curah jantung akan meningkat, dan hasil akhirnya adalah tekana darah yang meningkat. Pada sebagian besar pasien hipertensi, terjadi peningkatan kadar renin. Sistem renin-angiotensin ternyata mempengaruhi homeostasis natrium dan retensi perifer. Renin yang dikeluarkan oleh sel juxtaglomerulus gunjal akan mengubah angiotensinogen plasma menjadi angiotensin I yang selanjutnya oleh ACE (angiotensin converting enzyme) akan diubah menjadi angiotensin II yang akan menyebabkan peningkatan tekanan darah dengan cara meningkatkan retensi perifer (sebagai efek langsung pada otot polos vaskular) dan volume darah (stimulasi sekresi aldosteron yang akan bekerja dalam peningkatan reabsorbsi natrium di dalam tubulus distal). (Guyton dan Hall, 2007)
C. Fisiologi Keseimbangan Asam Basa Tubuh
Ada 3 sistem utama yang mengatur konsentrasi H+ dalam cairan tubuh untuk mencegah asidosis dan alkalosis, yaitu: (1) sistem dapar asam basa kimiawi dalam cairan tubuh, yang dengan segera bergabung dengan asam atau basa untuk mencegah konsentrasi H+ yang berlebihan; (2) pusat pernapasan, yang mengatur pembuangan CO2 (dan oleh karena itu H2CO3) dari cairan ekstrasel; dan (3) ginjal, yang dapat mengekskresikan urin asam atau urin alkali sehingga menyesuaikan kembali konsentrasi H+ cairan ekstrasel menuju normal selama asidosis atau alkalosis. Bila terjadi perubahan dalam konsentrasi H+, sistem dapar cairan tubuh bekerja dalam waktu sepersekian detik untuk memperkecil perubahan ini. Sistem dapar tidak mengeluarkan H+ dari tubuh atau menambahnya ke dalam tubuh tetapi hanya menjaga agar ion H+ tersebut tetap terikat sampai keseimbangan tercapai kembali. Garis pertahanan kedua, sistem pernapasan, juga bekerja dalam beberapa menit untuk mengeluarkan CO2 dan oleh karena itu H2CO3 dari tubuh. Kedua garis pertahanan pertama ini menjaga konsentrasi H+ dari perubahan yang terlalau banyak sampai garis pertahanan ketiga yang bereaksi lebih lambat, yaitu ginjal, dapat mengeluarkan kelebihan asam atau basa dari tubuh. Walaupun ginjal relatif lambat memberi respons dibandingkan dengan pertahanan lain, ginjal merupakan sistem pengatur asam basa yang paling kuat selama beberapa jam hingga beberapa hari. (Guyton dan Hall, 2007)
Pendaparan ion hidrogen dalam cairan tubuh dilakukan dengan jalan reaksi kimia sebagai berikut: dapar + H+ ↔ dapar H. Pada contoh tersebut, H+ bebas bergabung dengan dapar untuk membentuk asam lemah (dapar H) yang dapat tetap sebagai molekul yang tidak terkait maupun yang dapat terurai kembali menjadi dapar dan H+. Bila konsentrasi H+ meningkat, reaksi dipaksa bergeser ke kanan dan lebih banyak H+ yang lebih berikatan dengan dapar, selama dapar masih tersedia. Sebaliknya, bila konsentrasi H+ menurun, reaksi bergeser ke arah kiri dan H+ dilepaskan dari dapar. Dengan cara ini, perubahan konsentrasi H+ dapat diperkecil. (Guyton dan Hall, 2007)
Sistem dapar bikarbonat terdiri dari larutan air yang mengandung dua macam unsur, yaitu: (1) asam lemah (asam karbonat, H2CO3); dan (2) garam bikarbonat, seperti NaHCO3. H2CO3 dibentuk dalam tubuh oleh reaksi CO2 dengan H2O dengan bantuan enzim karbonik anhidrase, dengan reaksi: CO2 + H2O ↔ H2CO3. Reaksi ini lambat dan sangat sedikit jumlah H2CO3 yang dibentuk keculai bila ada enzim tersebut. Enzim tersebut sangat banyak terutama di dinding alveoli paru, tempat CO2 dilepaskan, karbonik anhidrase juga ditemukan di sel epitel tubulus ginjal, tempat CO2 bereaksi dengan H2O untuk membentuk H2CO3. H2CO3 akan berionisasi secara lemah untuk membentuk sejumlah kecil H+ dan HCO3-, dengan reaksi: H2CO3 ↔ H+ + HCO3-. (Guyton dan Hall, 2007)
Komponen kedua dari ssitem dapar bikarbonat adalah garam bikarbonat yang terdapat secara dominan sebagai natrium bikarbonat (NaHCO3) dalam cairan ekstrasel. NaHCO3 berionisasi hampir lengkap untuk membentuk ion bikarbonat (HCO3-) dan ion-ion natrium (Na+) sebagai berikut: NaHCO3 ↔ Na+ + HCO3-. Akibat lemahnya penguraian H2CO3, konsentrasi H+ menjadi sangat kecil. Bila asam kuat seperti HCl ditambahkan ke dalam larutan dapar bikarbonat, peningkatan H+ yang dilepaskan dari asam (HCl → H+ + Cl-) didapar oleh HCO3-. Sebagai hasilnya akan semakin banyak H2CO3- yang terbentuk mengakibatkan peningkatan produksi CO2 dan H2O, sesuai reaksi: ↑H+ + HCO3- → H2CO3 → CO2 + H2O. Peningkatan CO2 ini akan merangsang pernapasan untuk mengeluarkannya dari cairan ekstrasel. Bila basa kuat seperti NaOH (NaOH → Na+ + OH-) ditambahkan ke dalam larutan dapar bikarbonat, maka OH- akan bergabung dengan H2CO3 untuk membentuk NaHCO3, sesuai reaksi: OH- + H2CO3 → NaHCO3 + H2O. Oleh karena itu hasil akhir dari rekasi tersebut adalah kecenderungan penurunan CO2 dalam darah, akan tetapi penurunan kadar CO2 ini akan mnghambat pernapasan dan menurunkan laju ekspirasi CO2. Peningkatan HCO3- akan dikompensasi dengan peningkatan ekskresi HCO3- oleh ginjal. (Guyton dan Hall, 2007)
Sistem dapar fosfat tidak begitu berperan dalam sistem dapar cairan ekstrasel tetapi sistem ini sangat berperan penting dalam pendaparan cairan di tubulus ginjal dan cairan intrasel. Elemen utama dalam sistem dapar fosfat adalah H2PO4- dan HPO42-. Bila suatu asam kuat, yaitu HCl, ditambahkan ke dalam campuran kedua zat ini, hidrogen diterima oleh basa HPO42- dan diubah menjadi H2PO4-. Suatu reaksi menunjukkan: HCl + Na2HPO4 → NaH2PO4 + NaCl, hasil dari reaksi ini bahwa asam kuat, yaitu HCl digantikan oleh sejumlah asam lemah tambahan, NaH2PO4, dan penurunan pH menjadi minimal. Bila suatu basa kuat, seperti NaOH ditambahkan ke dalam sistem dapar ini, maka OH- akan didaparkan oleh H2PO4- untuk membentuk sejumlah HPO42- dan H2O tambahan, sesuai dengan reaksi: NaOH + NaH2PO4 → Na2HPO4 + H2O. Dalam keadaan ini suatu basa kuat NaOH ditukar dengan suatu basa lemah, yaitu Na2HPO4 yang menyebabkan pH hanya meningkat sedikit. (Guyton dan Hall, 2007)

3. DISKUSI DAN BAHASAN
Dalam bagian ini akan dibahas lebih lanjut mengenai hipertensi dengan komplikasi gagal jantung dan gagal ginjal, serta edema paru akut dengan komplikasi gagal jantung.
Ada beberapa definisi mengenai gagal jantung (heart failure atau cardiac failure atau decompensatio cordis), antara lain:
- Ketidakmamapuan jantung memompa darah dengan kecepatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik jaringan atau kemampuan melakukan hal ini pada tekanan pengisian yang meningkat.
- Suatu keadaan patofisiologis di mana jantung gagal mempertahankan sirkulasi adekuat untuk kebutuhan tubuh meskipun tekanan pengisian cukup.
- Kegagalan jantung dalam memompa darah untuk mencukupi kebutuhan tubuh yang dapat dimanifestasikan oleh penurunan curah jantung dan/ atau pembendungan darah di vena sebelum jantung kiri atau kanan meskipun curah jantung mungkin normal atau kadang-kadang di atas normal.
Gagal jantung merupakan ekspresi dari final common pathway dengan berbagai etiologi berupa: kardiomiopati (dilatasi, hipertofik, dan restriktif), penyakit katup jantung (mitral dan aorta), hipertensi berat yang tidak diobati, konsumsi aklohol dan obat-obatan, dan lain-lain. Jadi semua bentuk penyakit jantung (baik pada otot jantung, pembuluh darah jantung, perikardial, kongenital, dan aritmia) dpat berakhir manjadi gagal jantung. Penyakit jantung koroner (PJK) dan hipertensi merupakan penyebab tersering pada masyarakat barat (>90% kasus). Sedangkan penyakit katup jantung dan defisiensi nutrisi mungkin lebih berperanan di negara berkembang. PJK menyebabkan berkurangya aliran darah ke otot jantung dan bisa menyebabkan suatu serangan jantung. Penyakit katup jantung bisa menyumbat aliran darah di antara ruang-ruang jantung atau di antara jantung dan arteri utama. Selain itu, kebocoran katup jantung bisa menyebabkan darah mengalir balik ke tempat asalnya. Keadaan ini akan meningkatkan beban kerja otot jantung yang pada akhirnya bisa melemahkan kekuatan kontraksi otot jantung. Penyakit lainnya secara primer menyerang sistem konduksi listrik jantung dan menyebabkan denyut jantung yang lambat, cepat, atau tidak teratur (aritmia) sehingga tidak mampu memompa darah secara efektif. Penyebab yang lain adalah kekakuan pada perikardium. Kekakuan ini menghalangi pengembangan jantung yang maksimal sehingga pengisian jantung juga menjadi tidak maksimal. Penyebab lain yang lebih jarang adalah penyakit pada bagian tubuh yang lain, yang menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen dan nutrisi sehingga jntung yang normal pun tidak mampu memenuhi peningkatan kebutuhan tersebut dan terjadilah gagal jantung. Obat-obatan seperti penyekat beta dan antagonis kalsium dapat menekan kontraktilitas miokad sedangkan obat kemoterapeutik seperti doksorubisin dapat menyebabkan kerusakan miokard. Alkohol bersifat kardiotoksik, terutama bila dikonsumsi dlam jumlah besar.
Berbagai faktor etiologi dapat berperan menimbulkan gagal jantung yang kemudian merangsang timbulnya meknisme kompensasi dan jika mekanisme kompensasi ini berlebihan, maka dapat menimbulkan gejala-gejala gagal jantung. Gagal jantung paling sering merupakan manifestasi dari kelainan fungsi kontraktilitas ventrikel (disfungsi sistolik) atau gangguan relaksasi ventrikel (disfungsi diastolik). Pada disfungsi sistolik, kontraktibilitas miokard mengalami gangguan sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, fatigue, menurunnya kemampuan aktivitas fisik, dan gejala hipoperfusi lainnya. Curah jantung yang menurun menyebabkan meningkatnya volume akhir sistolik sehingga saat darah dari vena pulmonalis kembali ke jantung yang sedang payah, volume ruangan jantung pada diastolik juga meningkt lebih besar dibandingkan pada jantung normal. Disfungsi sistolik ventrikel dapat disebabkan oleh gangguan kontraktilitas (infark miokard, iskemia miokard sementara, kardiomiopati dilatasi, kelebihan beban volume kronik akibat regurgitasi mitral atau aorta) atau kelebihan beban tekanan (stenosis aortik, hipertensi yang tidak terkontrol).
Pada disfungsi diastolik, terjadi gangguan relaksasi miokard akibat peningkatan kekakuan dinding ventrikel dan penurunan komplians sehingga pengisian ventrikel saat fase diastolik terganggu. Jantung masih memiliki fraksi ejeksi yang normal (>50%). Infark miokard akut dapat menghambat relaksasi, sedangkan hipertrofi ventrikel kiri atau kardiomiopati restriktif menyebabkan dinidng ventrikel menjadi kakau secara kronik. Disfungsi sistolik dan diastolik seringkali dijumpai bersamaan dan timbulnya gagal jantung sistolik bisa mempengaruhu fungsi diastolik. Diagnosis gagal jantung sistolik atau diastolik tidak dapat ditentukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja. Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan Doppler-ekokardiografi aliran darah mitral dan alirann vena pulmonalis.
Gagal jantung akut (GJA) didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala-gejala atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang banormal. Bila terjadi kerusakan mendadak pada jantung (misalnya pada infark miokard), maka kemampuan pemompaan jantung akan segera menurun. Disfungsi jantung bisa berupa disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik. Bila jantung mengalami kerusakan mendadak (misalnya pada infark miokardium), maka kemampuan pemompaan jantung segera menurun sehingga mengakibatkan penurunan curah jantung dan pembendungan darah di vena. Hal ini akan meningkatkan tekanann vena sistemik yang dapat dilihat melalui ven ajugularis eksterna. Segera setelah jantung mengalami kerusakan, penuruna curah jantung yang drastis masih cukup untuk kelangsungan hidup selama beberapa jam tetapi biasanya disertai dengan pingsan. Tahap akut ini biasanya hanay berlangsung beberapa detik karena segera timbl refleks simpatis yang dapat mengompensasi kerusakan jantung. Bila curah jantung turun sampai tahap yang membahayakan, maka banyak refleks sirkulasi yang teraktivasi, salah satunya adalah refleks baroreseptor yang diaktifkan oleh penurunan tekanan arteri. Refleks tersebut merangsang saraf simpatis dengan kuat dalam beberapa detik dan secara bersamaan terjadi penghambatan parasimpatis. Aktivasi dari sistem saraf simpatis ini akan menyebabkan tingginya kadar norepinefrin (NE). Perangsangan simpatis memberikan pengaruh pada jantung itu sendiri dan pada vaskularisasi perifer. Rangsangan simpatis akan memeperkuat miokard yang rusak atau memaksimalkan fungsi miokard yang masih normal melalui peningkatan frekuensi denyut jantung dan kontraksi jantung sehingga daya pompa jantung dapat meningkat hingga 100% lebih kuat. Perangsangan simpatis juga akan menyebabkan vasokonstriksi arteri dan vena sistemik sehingga meningkatkan tekanan pengisian (tekana perfusi) sistemik sebesar 12-14 mmHg (hampir 100% di atas normal). Hal ini sangat meningkatkan kecenderungan darah untuk menalir kembli ke jantung sehingg ajntung yang rusak menjadi terangsang dengan masukan darah yang lebih besar. Tekanan atrium kanan yang terus meningkat akan membantu jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang lebih besar. Dengan bantuan kompensasi refleks simpatis, curah jantung dapat kembali ke tingkat yang adekua untuk mempertahankan penderita gar tetap tenang meskipun nyeri mungkin tetap ada.
Gagal jantung kronik (GJK) didefinisikan sebgaai sindrom klinik yang kompleks yang disertai dengan keluhan gagal jantung berupa sesak, fatigue (baik dlam keadaan istirahat atau latihan), edema, dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat. Beberapa menit pertama setelah suatu serangan jantung akut, dimulailah fase sekunder yang panjang, yang terutama ditandai dengan 2 keadaan, yaitu retensi cairan oleh ginjal dan biasanya pemulihan progresif dari jantung setelah beberapa minggu atau bulan. Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan menurunkan perfusi (aliran darah) ginjal yang selanjutnya akan menurunkan pula laju filtrasi glomerulus. Keadaan ini akan memicu pengeluaran renin, yaitu suatu enzim yang dihasilkan oleh aparatus juxtaglomerulus ginjal. Dalam aliran darah, renin akan menghidrolisis angiotensinogen (suatu peptida yang dihasilkan oleh hati) yang kaan menghasilkan angiotensin I. Selanjutnya angiotensin I diubah menjadi angitensin II oleh ACE. Angiotensin II inilah yang merupakan senyawa pengendali. Angiotensin II akan ditangkap oleh reseptornya (ATR1: Angiotensin II Receptor Type 1). Bila hal ini terjadi pada resptor yang terdapat pada pembuluh darah (vascular ATR1), maka akan menimbulkan vasokonstriksi. Bila ditangkap oleh reseptor sel korteks kelenjar adrenal (adrenal ATR1), maka akan terjadi sekresi mineralokortikoid, yaitu aldosteron. Aldosteron kemudian akan ditangkap oleh reseptor aldosteron yang terdapat di ginjal. Pengikatan aldosteron kemudian akan membuka ENaC (Epithelial Natrium Channel) yang mengakibatkan peningkatan resorbsi ion natrium. Resorbsi ion Na ini akan disertai oleh resorbsi air yang selanjutnya akan meningkatkan volume plasma. Peningkatan volume plasma ini akan meningkatkan tekanan perfusi rata-rata yang menimbulkan gradien tekanan untuk meningkatkan aliran darah ke jantung. Selain itu, peningkatan volume plasma dapat menimbulkan distensi vena sehingga mempermudah aliran darah ke jantung. Jika kerusakan jantung tidak terlalu parah, maka mekanisme tersebut mamapu mengompensasi penurunan kemampuan pemompaan jantung hingga mengahasilkan curah jantung normal secara keseluruhan dalam keadaan istirahat. Akan tetapi, jika jantung telah mancapai kapasitas pemompaan maksimumnya, cairan yang berlebihan hasil reabsorbsi oleh ginjal ini tidak lagi memberi pengaruh yang berarti bagi sirkulasi. Sebaliknya cairan yang belebihan tersebut (haemodinamic overloading) akan meningkatkan tekanan hidrostatik kapiler melebihi tekanan onkotiknya sehingga timbul edema berat di seluruh tubuh yang dapat menjadi faktor perusak dan menimbulkan kematian. Penyebab kematian yang sering terjadi pada gagal jantung adalah edema paru akut yang sering terjadi pad apenderita gagal jantung kronis. Peningkatan beban ventrikel kiri yang sudah lemah (akibat peningkatan aliran balik vena dari sirkulasi perifer) dan kemampuan pompa jantung kiri yang terbatas menyebabkan darah mulai terbendung di paru-paru. Hal ini menigkatkan tekanan kapiler paru dan sejumlah kecil cairan mengalami transudasi ke dalam jaringan dan alveoli paru (kongesti paru) sehingga mengurangi derajat oksigenasi darah. Penurunanoksigen dalam darah melemahkan jantung lebih lanjut dan menyebabkan vasodilatasi perifer. Vasodilatasi perifer ini akan meningkatkan lebih banyak aliran balik vena dari sirkulasi perifer sehingga meningkatkan pembendungan darah lebih lanjut di paru. Jika mekanismme seperti ini berlangsung dalam kurun waktu yang lama, maka cairan yang sangat berlebihan ini mulai menimbulkan akibat fisiologis yang serius, yaitu terlalu regangnya jantung yang mengakibatkan hipertrofi miokard sehingga melemahkan jantung. Perubahan struktur pada ventrikel kiri akan memperburuk keadaan pada penderita gagal jantung. Perubahan tersebut tidak hanya membuat ukuran jantung lebih besar, tetapi juga akan mengubah bentuk jantung lebih sferis. Hal tersebut mengakibatkan ventrikel membutuhkan pengeluaran energi yang lebih banyak dan akhirnya terjadi peningkatan dilatasi ventrikel kiri, penurunan curah janutng, mupun peningkatan haemodinamic overloading. Selanjutnya, fibrosis vaskular dan miokardium mengakibatkan berkurangnya komplians vaskular dan meningkatkan kekakuan ventrikel. Selain itu, aldosteron dapat memperberat kegagalan jantung karena dapat memicu disfungsi sel endotel, disfungsi baroreseptor, dan inhibisi uptake NE serta melibatkan stres oksidatif dengan hasil akhir inflamasi pada jaringan. Keadan gagal jantung di mana kegagalan terus berlanjut menjadi lebih buruk disebut gagal jantung yang mengalami dekompensasi.
Gagal jantung kiri, secara sederhana memiliki skema seperti berikut:
kelemahan ventrikel kiri → peningkatan tekanan atrium kiri → peningakatan tekanan vena pulmonalis → kongesti paru → edema paru → sesak napas, batuk, terkadang hemoptisis. Manifestasi klinis dari penyakit ini antara lain: (1) penurunan kapasitas aktivitas; (2) dispneu, misalnya mengi, dispnea, dan paroxysmal nocturnal dyspneu; (3) batuk, hemoptisis; (4) letargi dan kelelahan; (5) penurunan nafsu makan dan berat badan; (6) kulit lembab dan pucat akibat vasokonstriksi perifer; (7) tekanan darah tinggi (pada kasus pemyakit jantung hipertensi), norml, atau rendah dengan perburukan disfungsi jantung; (8) denyut nadi lemah (isian rendah) dan irama mungkin normal atau ireguler akibat ektopik atau fibrilasi atrium, dapat ditemukan pulsus alterans (denyut nadi yang silih berganti, kuat dan lemah tanpa perubahan panjang siklus); (9) pergeseran apkes ke lateral (dilatasi ventrikel kiri); (10) pada auskultasi, mungkin didapatkan bunyi janutng ketiga (S3), gallop, dan murumur total dari regurgitasi mitral; (11) krepitasi paru akibat edema paru.
Gagal jantung kanan, secara sedehana memiliki skema seperti berikut:
Kelemahan ventrikel kanan → bendungan dan peningkatan tekanan di atrium kanan, v. cava superior, dan v. cava inferior → aliran balik vena berkurang → hipotensi. Gagal jantung kanan kronik → bendungan dan peningkatan tekanan di atrium kanan, v. cava superior, v. cava inferior, dan seluruh sistem vena → tekanan hidrostatik lebih besar daripada tekanan onkotik pembuluh kapiler → edema perifer, splenomegali, dan hepatomegali. Manifestasi klinis dari penyakit ini antara lain: (1) edema pergelangan kaki; (2) dispneu (tapi bukan ortopneu atau PND); (3) penurunan kapasitas aktivitas; (4) nyeri dada (akibat meningkatnya tekanan ventrikel kanan atau ventrikel kanan menjadi lebih dilatasi); (5) denyut nadi sama dengan pada gagal jantung kiri; (6) peningkatan JVP; (7) hepatomegali dan asites; (8) gerakan bergelombang parasternal (heave) akibat hipertrofi dan/ atau dilatasi ventrikel kanan; (9) terdengar S3 atau S4 ventrikel kanan.
Gagal jantung kongestif adalah gagal jantung kanan dan kiri. Biasanya dimulai lebih dahulu oleh gagal jantung kiri dan secara lambat diikuti oleh gagal janutng kanan. Gagal jantung kiri → peningkatan tekanan atrium kiri dan v. pulmonalis → edema paru → peningkatan tekanan a. pulmonalis → peningkatan beban ventrikel kanan → gagal jantung kanan. Manifestasi klinisnya, antara lain sesak napas yang disertai gejala-gejala bendungan cairan di vena jugularis, hepatomegali, splenomegali, asites, dan edema perifer.
Mekanisme kompensasi pada gagl jantung ada 3 macam, yaitu:
- Mekanisme Frank Starling. Berarti makin besar otot jantung diregangkan selama pengisian, makin besar kekuatan kontraksi dan makin besar pula jumlah darah yang dipompa ke dalam aorta atau arteri pulmonalis. Kontraksi ventrikel yang menurun akan mengakibatkan pengosongan ruang yang tidak sempurna sehingga volume darah yang menumpuk dalam ventrikel saat diastol (volume akhir diastolik) lebih besar daripada normal. Berdasarkan hukum Frank Starling, peningkatan volume ini akan meningkatkan daya kontraksi ventrikel sehingga dapat menghasilkan curah jantung yang lebih besar.
- Hipertrofi Ventrikel. Peningkatan volume akhir diastolik juga akan meningkatkan tekanan di dinding ventrikel yang jika terjadi terus menerus, maka akan merangsang pertumbuhan hipertrofi ventrikel. Terjadinya hipertrofi ventrikel berfungsi untuk mengurangi tekanan dinding dan meningkatkan massa serabut otot sehingga memelihara kekuatan kontraksi ventrikel. Dinding ventrikel yang mengalami hipertrofi akan meningkat kekakuannya (elastisitas berkurang) sehingga mekanisme kompensasi ini selalu diikuti dengan peningkatan tekanan diastolik ventrikel yang selanjutnya juga menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri.
- Aktivitas Neurohumoral. Perangsangan neurohumoral mencakup sistem saraf simpatik, sistem renin-angiotensin, peningkatan produksi hormon antidiuretik dan peptida natriuretik. Penurunan curah jantung → merangsang baroreseptor di sinus carotis dan arkus aorta → perangsangan simpatis dan penghambatan parasimpatis → peningkatan denyut jantung, kontraktilitas ventrikel, dan vasokonstriksi vena dan arteri sistemik → peningkatan curah jantung, peningkatan aliran balik vena ke jantung, peningkatan tahanan perifer.
Penurunan curah jantung → penurunan perfusi a. renalis → merangsang reseptor sel juxtaglomerulus → sintesis renin → hidrolisis angiotensinogen menjadi angiotensin I → konversi angiotensin I menjadi angiotensin II oleh ACE → vasokonstriksi dan sekresi aldosteron → peningkatan tahanan perifer, retensi natrium dan air → peningkatan aliran balik vena ke jantung → peningkatan curah jantung melalui mekanisme Frank Starling.
Penurunan curah jantung → merangsang baroreseptor dan peningkatan angiotensin II → sekresi hormon antidiuretik oleh hipofisis posterior → peningkatan retensi cairan oleh ginjal → peningkatan tahanan perifer → peningkatan aliran balik vena ke jantung → peningkatan curah jantung.
Jantung menyintesis beberapa Natriuretic Peptide yang teridiri dari Atrial Natriuretic Peptide (ANP), urodilantin, Brain Natriuretic Peptide (BNP), C-type Natriuretic Peptide (CNP), dan Dendroaspis Natriuretic Peptide (DNP). ANP diproduksi di atrium jantung dan BNP diproduksi di ventrikel jantung, keduanya diproduksi sebagai respons terhadap peningkatan tekanan intrakardiak akibat hipertrofi. ANP dan BNP berperan untuk menyekresi natrium dan air, menimbulkan vasodilatasi, inhibisi sekresi renin, dan mempunyai sifat inhibisi terhadap efek angiotensin II pada vasopresin dan sekresi aldosteron. Akan tetapi, peran natriuretic peptide menjadi sangat berkurang pada gagal jantung akibat tekanan perfusi yang rendah, defisiensi relatif, atau perubahan bentuk molekular natriuretic peptide atau penurunan fungsi dari reseptor natriuretic peptide.
Klasifikasi dari gagal jantung menurut New York Heart Association (NYHA), adalah sebagai berikut: (1) kelas I adalah tidak ada batasan aktivitas fisik; (2) kelas II adalah sedikit batasan pada aktivitas (rasa lelah, dispneu); (3) kelas III adalah batasan aktivitas bermakna (nyaman pada istirahat, tetapi sedikit aktivitas akan menimbulkan gejala); (4) kelas IV adalah timbul gejala pada waktu istirahat. Penegakan diagnosis dibuat berdasarkan gejala dan penilaian klinis yang didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto toraks, biomarker, tes darah lengkap, ekokardiografi, dan tes latihan fisik (treadmill test).
Tindakan dan pengobatan gagal jantung pada dasarnya ditujukan untuk mengurangi beban kerja jantung, memperkuat kontraktilitas miokard, mengurangi kelebihan cairan dan garam (Na), mengobati penyakit dasar dan menghindari faktor pencetusnya. Tindakan tersebut meliputi: (1) perbaikan gaya hidup (rokok, konsumsi alkohol, olahraga, pembatasan aktivitas sesuai berat keluhan, diet rendah garam dan rendah kolesterol, dan lain-lain); (2) terapi terhadap penyakit dasar; (3) terapi medikamentosa. Beban awal dapat dikurangi dengan pembatasan cairan, pemberian diuretika, nitrat, atau vasodilator lainnya. Beban akhir dikurangi dengan obat-obatan vasodilator seperti penghambat ACE (captopryl, dll), prazosin, dan hidralazin. Kontraktilitas miokard dapat ditingkatkan dengan obat-obat inotropik seperti digitalis, dopamin, dan dobutamin.
Renin-angiotensin-aldosteron (RAA) merupakan sistem yang penting untuk menjaga homeostasis dan hemodinamik kardiovaskuler. Hal ini karena ginjal mengeluarkan renin sebagai respons terhadap rangsangan seperti tekanan darah rendah, stres simpatik, dan berkurangnya volume darah. Bila keadaan tersebut normal maka sistem RAA tidak teraktivasi. Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut maupun kronik baik kelainan pada glomerulus maupun vaskuler. Hipertensi pada penyakit ginjal dikelompokkan menjadi:
- Penyakit glomerulus akut. Hipertensi terjadi karena retensi natrium yang menyebabkan hipovolemi. Retensi Na ini akibat dari peningkatan reabsorbsi Na di duktus koligentes. Peningkatan ini kemungkinan karena ada hormon Natriuretik Peptida dan peningkatan aktivitas pompa Na-K-ATPase.
- Penyakit vaskuler. Terjadi iskemik yang nerangsang sistem RAA.
- Gagal ginjal kronik. Hipertensi terjadi karena retensi natrium, peningkatan sistem RAA (akibat iskemik relatif karena kerusakan regional), aktivitas saraf simpatis meningkat (karena terjadi kerusakan endotel), dan pemberian eritropoietin.
- Penyakit glomerulus kronik. Sistem RAA adalah sautu hormonal enzimatik yang bersifat multikompleks yang berperan untuk menaikkan tekanan darah dan keseimbangan cairan tubuh serta elektrolit. Renin dihasilkan oleh jukstaglomerulus di ginjal yang kana mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I. Kemudian angiotensin I diubah menjadi angiotensin II oleh ACE yang dihasilkan paru, hati, dan ginjal. Selain melalui sistem ACE, angiotensin II dapat dibentuk langsung dari angiotensinogen. Sekresi renin dipengaruhi oleh: (1) mekanisme intrarenal: reseptor vaskular, makula densa; (2) mekanisme simpatoadrenergik; (3) mekanisme humoral. Selain sistem RAA, ada juga sistem Kalikrein-Kinin (KK) yang menyebabkan peningkatan tekanan darah. Kalikrein akan mengubah bradikinogen menjadi bradikinin kemudian bradikinin akan diubah menjadi bradikinin fragmen inaktif oleh ACE.
Pasien menunjukkan adanya asidosis metabolik terkompensasi, maksudnya terdapat penurunan pH dan peningkatan konsentrasi H+ cairan ekstrasel. Akan tetapi, pada keadaan ini, abnormalitas primernya adalah penurunan HCO3- plasma. Kompensasi primernya meliputi peningkatan kecepatan ventilasi, yang mengurangi PCO2, dan kompensasi ginjal, yang dengan menambahkan bikarbonat baru ke cairan ekstrasel, membantu mamperkecil penurunan awal konsentrasi HCO3- ekstrasel. Pada asidosis metabolik, kelebihan H+ melebihi HCO3- yang terjadi di dalam cairan tubulus secara primer disebabkan oleh penurunan filtrasi HCO3-, penurunan filtrasi ini disebabkan oleh karena penurunan konsentrasi HCO3- di cairan ekstrasel.

4. KESIMPULAN
¨ Hal yang aneh yang terjadi pada seorang laki-laki umur 54 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan sesak napas kumat-kumatan sejak 1 bulan yang lalu, memberat sejak 1 minggu terakhir, sesak napas yang dialami timbul saat aktivitas ringan dan mau tidur, disertai batuk berdahak warna merah muda, berdebar-debar, sukar tidur, kencing berkurang, kedua kaki tidak membengkak.
¨ Pada pemeriksaan fisik didapatkan data: tekanan darah 180/100 mmHg, heart rate 120 kali/menit (regular), kecepatan respirasi 32 kali/menit, suhu badan 36,5oC, JVP tidak meningkat. Pada inspeksi diperoleh hasil bahwa dinding dada simetris, iktus kordis ke lateral bawah. Pada palpasi diperoleh hasil iktus kordis bergeser ke lateral bawah di SIC 6, 2 cm lateral linea medioclavicularis. Pada perkusi diperoleh batas jantung kiri bergeser ke lateral bawah, batas jantung kanan di SIC 5 linea parasternalis kanan. Pada auskultasi diperoleh hasil bunyi jantung 1 intensitasnya meningkat, bunyi jantung 2 normal, bising pansistolik di apeks menjalar ke lateral, irama gallop positif. Pada pemeriksaan paru menunjukkan bunyi vesikuler normal, ronki basah basal halus. Pemeriksaan abdomen menunjukkan tidak ada hepatomegali, tidak ada asites. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan Hb 14 gr/dL, serum ureum 65, dan serum kreatinin 1,4. Pemeriksaan EKG menunjukkan LAH (Left Atrium Hypertrophy) dan LVH (Left Ventricle Hypertrophy). Pemeriksaan foto toraks menunjukkan kardiomegali (CTR= 0,6), apeks ke lateral bawah, pinggang jantung menonjol, dan vaskularisasi paru meningkat. Hasil analisis gas darah adalah asidosis metabolik terkompensasi.
¨ Hal yang perlu diperhatikan pada pasien tersebut adalah hipertensi yang berkomplikasi pada gagal jantung kiri dan gagal ginjal.
¨ Tanda dan gejala dari gagal jantung kiri, adalah (1) penurunan kapasitas aktivitas; (2) dispneu, misalnya mengi, dispnea, dan paroxysmal nocturnal dyspneu; (3) batuk, hemoptisis; (4) letargi dan kelelahan; (5) penurunan nafsu makan dan berat badan; (6) kulit lembab dan pucat akibat vasokonstriksi perifer; (7) tekanan darah tinggi (pada kasus pemyakit jantung hipertensi), norml, atau rendah dengan perburukan disfungsi jantung; (8) denyut nadi lemah (isian rendah) dan irama mungkin normal atau ireguler akibat ektopik atau fibrilasi atrium, dapat ditemukan pulsus alterans (denyut nadi yang silih berganti, kuat dan lemah tanpa perubahan panjang siklus); (9) pergeseran apkes ke lateral (dilatasi ventrikel kiri); (10) pada auskultasi, mungkin didapatkan bunyi janutng ketiga (S3), gallop, dan murumur total dari regurgitasi mitral; (11) krepitasi paru akibat edema paru.
¨ Tanda dan gejala dari gagal jantung kanan, antara lain: (1) edema pergelangan kaki; (2) dispneu (tapi bukan ortopneu atau PND); (3) penurunan kapasitas aktivitas; (4) nyeri dada (akibat meningkatnya tekanan ventrikel kanan atau ventrikel kanan menjadi lebih dilatasi); (5) denyut nadi sama dengan pada gagal jantung kiri; (6) peningkatan JVP; (7) hepatomegali dan asites; (8) gerakan bergelombang parasternal (heave) akibat hipertrofi dan/ atau dilatasi ventrikel kanan; (9) terdengar S3 atau S4 ventrikel kanan.
¨ Penatalaksanaan gagal jantung dapat berupa: mengurangi beban kerja jantung, memperkuat kontraktilitas miokard, mengurangi kelebihan cairan dan garam (Na), mengobati penyakit dasar dan menghindari faktor pencetusnya. Tindakan tersebut meliputi: (1) perbaikan gaya hidup (rokok, konsumsi alkohol, olahraga, pembatasan aktivitas sesuai berat keluhan, diet rendah garam dan rendah kolesterol, dan lain-lain); (2) terapi terhadap penyakit dasar; (3) terapi medikamentosa. Beban awal dapat dikurangi dengan pembatasan cairan, pemberian diuretika, nitrat, atau vasodilator lainnya. Beban akhir dikurangi dengan obat-obatan vasodilator seperti penghambat ACE (captopryl, dll), prazosin, dan hidralazin. Kontraktilitas miokard dapat ditingkatkan dengan obat-obat inotropik seperti digitalis, dopamin, dan dobutamin.
¨ Penyakit mengenai gagal jantung perlu mendapatkan perhatian khusus karena penyakit ini merupakan penyakit yang sangat berhubungan dengan gaya hidup sekarang.

5. DAFTAR PUSTAKA
Braunwald, E. 2007. Fungsi Miokard Normal dan Abnormal. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1118-27
Braunwald, E. 2007. Gagal Jantung. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1128-38
DeBeasi, L. C. 2007. Anatomi Sistem Kardiovaskular. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 1. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 517-29.
DeBeasi, L. C. 2007. Fisiologi Sistem Kardiovaskular. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 1. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 530-46.
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
O’Rourke, R. A. dan Braunwald, E. 2007. Pemeriksaan Sistem Kardiovaskular. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1074-80.
Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.

No comments: