1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebelum dibahas lebih jauh mengenai radang usus buntu yang dalam bahasa medisnya disebut Appendicitis, maka lebih dulu harus difahami apa yang dimaksud dengan usus buntu. Usus buntu, sesuai dengan namanya bahwa ini merupakan benar-benar saluran usus yang ujungnya buntu. Usus ini besarnya kira-kira sejari kelingking, terhubung pada usus besar yang letaknya berada di perut bagian kanan bawah.
Usus buntu dalam bahasa latin disebut sebagai Appendix vermiformis, Organ ini ditemukan pada manusia, mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Pada awalnya Organ ini dianggap sebagai organ tambahan yang tidak mempunyai fungsi, tetapi saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh) dimana memiliki/berisi kelenjar limfoid.
Seperti organ-organ tubuh yang lain, appendiks atau usus buntu ini dapat mengalami kerusakan ataupun ganguan serangan penyakit. Hal ini yang sering kali kita kenal dengan nama Penyakit Radang Usus Buntu (Appendicitis).
Untuk pembahasan kali ini, akan dibahas mengenai usus besar dan apendiks dahulu. Pada laporan kali ini akan dibahas bagaimana kerja fisiologis organ tersebut dan bagaimana jika organ-organ tersebut mengalami kelainan berupa radang. Misalnya pada penyakit apendisitis atau bahkan telah menyebar menjadi peritonitis.
Apendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang sering dipakai di masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus buntu sebenarnya adalah sekum. Fungsi organ Apendiks tidak diketahui namun sering menimbulkan masalah kesehatan. Peradangan akut apendiks memerlukan tindak bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya.
Dari skenario 2 Blok Gastrointestinal, ada beberapa masalah penting, yaitu :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Pasien (perempuan usia 17 tahun) datang dengan keluhan nyeri seluruh perut, kembung, dan ada gangguan BAB.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- Satu minggu sebelumnya, seorang pasien perempuan umur 17 tahun datang ke IGD RSUD dr. Moewardi dengan keluhan utama nyeri perut bagian bawah sejak 1 hari yang lalu, disertai mual muntah, tapi masih bisa kentut dan BAB.
- Badan terasa panas, sumer-sumer (subfebril)
- Saat itu, dokter menyarankan untuk operasi tetapi pasien menolaknya.
Ø Riwayat Penyakit Keluarga, berupa:
- (tidak ada data)
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Pada pemeriksaan fisik 1 minggu yang lalu, didapatkan tensi 120/80 mmHg, nadi 86 kali per menit, RR 20 kali/menit, dan suhunya 37,5oC.
- Pemeriksaan abdomen 1 minggu yang lalu diperoleh hasil, inspeksi: sejajar dengan dinding dada; auskultasi: bising usus positif normal; palpasi: nyeri tekan di daerah Mc Burney, defans muskular negatif; Rectal Toucher: tonus spinchter ani normal, mukosa licin, nyeri tekan jam 10-11, sarung tangan lendir/darah negatif, faeces positif.
- Pemeriksaan laboratorium 1 minggu yang lalu adalah Hb 13,5 gr%, leukosit 11.000/dL, Hct 40%, dan neutrofil segmen 85%.
- Pada pemeriksaan fisik saat ini, diperoleh tensi 100/70 mmHg, nadi 120 kali per menit, RR 28 kali/menit, suhu 39oC.
- Pada pemeriksaan abdomen saat ini diperoleh hasil, inspeksi: distensi ringan; auskultasi: bising usus hilang; palpasi: nyeri tekan di seluruh perut, defans muskular positif; Rectal Toucher: tonus spinchter ani menurun, mukosa licin, nyeri tekan di seluruh lapangan, sarung tangan lendir/darah negatif, faeces positif.
- Pemeriksaan laboratorium saat ini diperoleh hasil Hb 13,5 gr%, leukosit 20.000/dL, Hct 42%, neutrofil segmen 85%.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas sebagai dasar teori, antara lain :
a. Anatomi usus besar (intestinum crassum) dan apendiks
b.Histologi usus besar dan apendiks
c. Fisiologi proses pembentukan feses
d. Fisiologi pengaturan defekasi
e. Fisiologi pengaturan dan produksi flatus
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Menegakkan diagnosis melalui berbagai pemeriksaan yang dilakukan.
Ø Mengetahui gejala-gejala penyakit tersebut lebih lanjut.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem pencernaan (sistem gastrointestinal/GIT) dan penyelesaiaannya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu menjelaskan atau merealisasikan:
a. Anatomi, histologi, serta fisiologi saluran pencernaan dan organ asesoris pencernaan.
b. Jenis, fungsi, dan mekanisme kerja enzim dan hormon yang berperanan dalam saluran pencernaan.
c. Penyakit/kelainan yang mengenai saluran cerna dan organ asesoris pencernaan.
d. Konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmu biomedik, klinik, dan perilaku serta ilmu kesehatan masyarakat sesuai dengan pelayanan kesehatan tingkat primer dalam sistem pencernaan.
e. Rangkuman interpretasi anamnesis, pemeriksaan fisik, uji laboratorium, dan prosedur yang sesuai dalam sistem pencernaan.
f. Menentukan efektivitas suatu tindakan dalam sistem pencernaan.
g. Prosedur klinis penunjang diagnosis penyakit GIT.
h. Prosedur keterampilan klinis untuk diagnosis penyakit GIT.
i. Pemeriksaan laboratorium penunjang diagnosis penyakit GIT.
j. Penatalaksanaan/manajemen penyakit GIT.
k. Tindakan preventif penyakit GIT dengan mempertimbangkan faktor pencetus.
l. Pengelolaan penyakit, keadaan sakit, dan masalah pasien dengan gangguan GIT sebagai individu yang utuh, dan bagian dari masyarakat.
m. Pencegahan penyakit dan keadaan sakit dalam bidang pencernaan.
n. Pendidikan kesehatan dalam rangka promosi kesehatan dan pencegahan penyakit pencernaan.
o. Teknologi informasi dan komunikasi untuk membantu pergerakan diagnosis, pemberian terapi, tindakan pencegahan, dan promosi kesehatan, serta penjagaan, dan pemantauan status kesehatan pasien dengan kelainan sistem pencernaan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Umum Usus Besar (Intestinum Crassum) dan Apendiks (Appendix Vermiformis)
Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskuler berongga dengan panjang sekitar 1,5 meter (5 kaki) yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil, yaitu sekitar 6,5 cm (2,5 inci), tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum, melekat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke usus halus. Kolon masih dibagi lagi menjadi kolon asenden, kolon transversum, desenden, dan sigmoid. Tempat kolon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut disebut sebagai fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum, dan hal ini merupakan alasan anatomis mengapa memosisikan penderita ke sisi kiri saat pemberian enema. Pada posisi ini gaya garvitasi membantu mengalirkan air dari rektum ke fleksura sigmoid. Bagian utama usus besar yang terakhir disebut sebagai rektum dan membentang dari kolon sigmoid hingga anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus. (Lindseth, 2007)
Hampir seluruh usus besar memiliki empat lapisan morfologik seperti yang dittemukan pada bagian usus lain. Namun demikian, ada beberapa gambaran yang khas terdapat pada usus besar saja. Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut sebagai taenia koli. Taenia bersatu pada sigmoid distal, sehingga rektum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang taenia lebih pendek daripada usus sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang disebut sebagai haustra. Apendises epiploika adalah kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak dan melekat di sepanjang taenia. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada lapisan mukosa usus halus dan tidak mengandung vili atau rugae. Kripta Liberkuhn (kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai lebih banyak sel goblet dibandingkan dengan usus halus. Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan berdasarkan pada suplai darah yang diterima. Arteria mesenterika superior memvaskularisasi belahan kanan (sekum, kolon asenden, dan dua pertiga proksimal kolon transversum), dan arteria mesemterika inferior memvaskularisasi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon desenden, kolon sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Suplai darah tambahan ke rektum berasal dari arteri hemoroidalis media dna inferior yang dicabangkan dari arteria iliaka interna dan aorta abdominalis. (Lindseth, 2007)
Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior adalah melalui vena mesenterika superior, vena mesenterika inferior, dan vena hemoroidalis superior (bagian sistem portal yang mengalirkan darah ke hati). Vena hemoroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke ke vena iliaka sehingga merupakan bagian sirkulasi sistemik. Terdapat anastomosis antara vena hemoroidalis superior, media, dan inferior sehingga tekanan portal yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya aliran balik ke dalam vena dan mengakibatkan hemoroid. Persarafan usus besar dilakukan oleh sisitem saraf otonom dengan perkecualian sfingter eksterna yang berada dalam pengendalian voluntar. Serabut parasimpatis menuju melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral menyuplai bagian distal. Serabut saraf simpatis meninggalkan medula spinalis melalui saraf splangnikus. Serabut saraf ini bersinaps dalam ganglia seliaka dan aortikorenalis, kemudian serabut pascaganglionik menuju kolon. Rangsangan simpatis menghambat sekresi dan kontraksi, serta merangsang sfingter rektum. Rangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan. (Lindseth, 2007)
B. Histologi Usus Besar dan Apendiks
Pada penampang histologis, lumen apendiks tampak berbentuk bintang atau segitiga yang agak sempit. Tunika mukosa, permukaannya tidak terdapat vili intestinalis, namun dijumpai kriptae Liberkuhn. Tunika dilapisi epitel kolumner selapis dengan sel Goblet. Lamina propria terdiri atas jaringan pengikat longgar dengan banyak sel-sel limfosit tersebar atau berbentuk nodulus solitarius. Lamina muskularis mukosae sukar diikuti. Tunika submukosa disusun jaringan pengikat longgar dengan sel-sel limfosit. Tunika muskularisnya, terdiri atas otot polos dua lapis yang berjalan sirkuler dan longitudinal. Tunika serosa terdiri dari jaringan pengikat longgar dengan mesotel. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Penampang melintang usus besar, pada permukaan mukosanya diperoleh plika semilunaris, tidak terdapat vili intestinalis namun masih dijumpai kriptae Liberkuhn. Pada tunika mukosa dilapisi oleh epitel kolumner selapis dengan sel Goblet. Lamina propria disusun oleh jaringan pengikat longar dengan sel-sel limfosit yang tersebar secara difus. Lamina muskularis mukosae terdiri atas otot polos. Tunika submukosa disusun oleh jaringan pengikat longgar dengan pleksus submukosus Meissner. Tunika muskularis terdapat otot polos dua lapis. Dan tunika serosa diperoleh jaringan pengikat longgar dengan sel mesotel. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Pada rektum dan anus, biasanya dilihat melalui penampang membujurnya. Pada rektum bagian tunika mukosa, terdapat sel-sel epitel kolumner selapis dengan banyak sel Goblet. Sedangkan pada lamina proprianya, terdapat jaringan pengikat longgar dengan banyak limfosit. Pada lamina muskularis mukosae terdapat lapisan otot polos. Tunika submukosa rektum mengandung jaringan pengikat longgar dengan banyak pembuluh darah vena dan tunika muskularis bisa ditemukan otot polos dua lapis. Dan pada tunika serosa bisa ditemukan jaringan pengikat longgar. Penampang membujur pada rektum sangat jauh berbeda dengan penampang membujur pada anus. Tunika mukosa anus mengandung epitel skuamosa kompleks dengan penandukan. Pada lamina proprianya banyak terdapat jaringan pengikat longgar dengan kelenjar sudorifera dan pars ekskretorius kelenjar sirkumnale. Lamina muskularis mukosaenya telah menghilang. Tunika submukosa terdiri dari jaringan pengikat longgar. Dan tunika muskularisnya terdiri dari pars sekretorius kelenjar sirkumnale dan muskulus sfingter ani eksternus (otot seran lintang). Tunika serosa tetap terdapat jaringan pengikat longgar. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
C. Fisiologi Proses Pembentukan Feses
Kira-kira 1500 mililiter kimus secara normal akan melewati katup ileosekal ke dalam usus besar setiap harinya. Sebagian besar air dan elektrolit yang berada di dalam kimus akan diabsorbsi di dalam kolon, dan biasanya akan meninggalkan kurang dari 100 mL cairan untuk diekskresikan ke dalam feses. Pada dasarnya, semua ion diabsorbsi, hanya meninggalkan 1 sampai 5 miliekuivalen dari masing-masing ion natrium dan klorida untuk hilang ke dalam feses. Sebagian besar akan diabsorbsi dalam usus besar pada pertengahan proksimal kolon sehingga pada bagian inilah disebut sebagai kolon pengabsorbsi, sedangkan kolon bagian distal pada prinsipnya berfungsi sebagai tempat penyimpanan feses sampai waktu yang tepat untuk ekekresi feses dan oleh karena itulah disebut sebagai kolon penyimpanan. Mukosa usus besar seperti juga mukosa pada usus halus, mempunyai kemampuan absorbsi natrium yang tinggi, dan gradien potensial listrik yang diciptakan oleh absorbsi natrium juga sekaligus menyebabkan absorbsi klorida pula. Taut erat di antara sel-sel epitel dari epitel usus besar jauh lebih berat daipada taut erat di usus halus. Keadaan tersebut mencegah difusi kembali ion dalam jumlah bermakna melalui taut ini sehingga bisa memungkinkan mukosa usus besar untuk mengabsorbsi ion natrium jauh lebih sempurna, yaitu dengan melawan gradien konsentrasi yang jauh lebih tinggi, daripada yang terjadi pada usus halus. Hal ini terutama terjadi pada suatu ketika, jumlah aldosteron terdapat dalam jumlah besar karena keadaan ini bisa meningkatkan kemampuan transpor natrium. Seperti yang berlangsung di bagian distal usus halus, mukosa usus besar akan menyekresikan ion bikarbonat bersamaan dengan absorbsi ion klorida dalam jumlah yang sebanding dalam proses transpor pertukaran yang telah dijelaskan sebelumnya. Bikarbonat yang disekresikan ini akan bertugas untuk menetralisasi produk akhir asam dari kerja bakteri di dalam usus besar. Absorbsi ion natrium dan klorida menciptakan gradien osmotik di sepanjang mukosa usus besar, dan hal inilah yang akan mmenyebabkan absorbsi air. (Guyton dan Hall, 2007)
Usus besar memiliki kemampuan untuk mengabsorbsi maksimal 5 sampai 8 mililiter cairan dan elektrolit tiap harinya. Bila jumlah total cairan yang masuk usus besar melalui katup ileosekal atau melalui sekresi usus besar melebihi jumlah ini, kelebihan cairan akan muncul dalam feses sebagai diare. Toksin kolera dan toksin bakteri tertentu sering menyebabkan kripta pada ileum terminalis dan usus besar menyekresikan 10 liter cairan setiap harinya, yang bisa menimbulkan diare berat dan bisa sering mematikan. Banyak bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara normal pada kolon pengabsorbsi. Bakteri-bakteri ini mampu mencerna sejumlah kecil selulosa, dengan jalan inilah beberapa kalori nutrisi tambahan bisa tersedia untuk tubuh. Zat-zat lain yang terbentuk sebagai akibat aktivitas bakteri, adalah vitamin K, vitamin B12, tiamin, riboflavin, dan bernacam-macam gas yang menyebabkan flatus di dalam kolon, khususnya karbondioksida, gas hidrogen, dan metana. Vitamin K yang telah dihasilkan oleh bakteri sangat penting karena jumlah vitamin ini dalam makanan yang sehari-hari dicerna, secara normal memang normal untuk mempertahankan koagulasi darah yang adekuat. (Guyton dan Hall, 2007)
D. Fisiologi Pengaturan Defekasi
Sebelum membicarakan tentang defekasi, alangkah baiknya jika mengetahui gerakan kolon terlebih dahulu. Fungsi utama kolon adalah (1) absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk membentuk feses yang padat, dan (2) penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan. Setengah bagian proksimal kolon, terutama berhubungan dengan absorbsi, dan setengah bagian distal, berhubungan dengan penyimpanan. Karena tidak diperlukan pergerakan kuat dari dinding kolon untuk fungsi-fungsi ini, maka pergerakan kolon secara normal sangat lambat. Meskipun lambat, pergerakannya masih mempunyai karakteristik yang serupa dengan pergerakan usus halus dan bisa dibagi menjadi gerakan mencampur dan gerakan mendorong. (Guyton dan Hall, 2007)
Gerakan mencampur (”haustrasi”) hampir sama dengan gerakan-gerakan segmentasi usus halus, terjadi konstriksi-konstriksi sirkular yang besar, terjadi dalam usus besar. Tiap konstriksi, kira-kira 2,5 sentimeter otot sirkular akan berkontraksi yang kadang menyempitkan lumen kolon sampai lumen hampir tersumbat. Pada saat yang sama, otot longitudinal kolon, yang berkumpul menjadi tiga pita longitudinal, yang disebut sebagai taenia coli, akan berkontraksi. Kontraksi gabungan dari pita otot sirkular dan longitudinal menyebabkan bagian usus besar yang tidak terangsang menonjol keluar memberikan bentuk seperti kantong, disebut dengan haustrasi. Setiap haustrasi biasanya akan mencapai intensitas puncak dalam waktu 30 detik dan kemudian akan menghilang selama 60 detik berikutnya. Kadang-kadang kontraksi juga bergerak lambat menuju ke anus selama masa kontraksinya, terutama pada sekum dan kolon asendens, dan karena itu akan menyebabkan sejumlah kecil dorongan isi kolon ke depan. Beberapa menit kemudian, timbul kontraksi haustrae yang baru pada daerah lain yang berdekatan. Oleh karena itu, bahan feses dalam usus besar, secara lambat akan diaduk dan diputar (mungkin mirip dengan teknik menyekop tanah). Dengan cara ini, semua bahan feses secara bertahap bersentuhan dengan permukaan mukosa usus besar, dan cairan serta zat-zat terlarut secara progresif diabsorbsi hingga hanya terdapat 80 sampai 200 mL feses yang dikeluarkan setiap harinya oleh manusia sehat. (Guyton dan Hall, 2007)
Gerakan mendorong (”pergerakan massa”) terjadi dari daerah sekum sampai sigmoid. Bahwasannya bnyak dorongan di daerah sekum dan kolon asenden yang dihasilkan oleh kontraksi haustrae yang lambat tetapi berlangsung persisten, yang membutuhkan waktu 8 sampai 15 jam untuk menggerakkan kimus dari katup ileosekal ke kolon, sementara kimusnya sendiri menjadi feses dengan karakteristik lumpur setengah padat dan bukan lagi setengah cair. Gerakan mendorong atau pergerakan massa, biasanya hanya terjadi satu sampai tiga kali sehari pada kebanyakan orang, terutama untuk kira-kira 15 menit selama jam pertama sesudah makan pagi. Pergerakan massa adalah jenis gerakan peristaltik yang dibentuk dan dimodifikasi yang ditandai oleh rangkaian bentuk, seperti berikut: Pertama, akan timbul sebuah cincin konstriksi sebagai respons dari tempat yang teregang atau teriritasi di kolon, biasanya pada kolon transversum. Kemudian dengan cepat, kolon sepanjang 20 sentimeter atau lebih, pada bagian distal cincin konstriksi tadi akan kehilangan haustrasinya dan justru berkontraksi sebagai satu unit, mendorong maju materi fese pada segmen ini sekaligus untuk lebih menuruni kolon. Kontraksi secara progresif menimbulkan tekanan yang lebih besar selama kira-kira 30 detik, dan akan terjadi relaksasi berikutnya selama 2 sampai 3 menit. Lalu, akan timbul pergerakan massa yang lain, dan untuk kali ini mungkin akan berjalan lebih jauh sepanjang kolon. Satu rangkaian pergerakan massa biasanya menetap selama 10 sampai 30 menit. Lalu akan mereda dan mungkin akan timbul kembali setengah hari kemudian. Bila pergerakan sudah mendorong massa feses ke dalam rektum, akan terasa keinginan untuk defekasi. (Guyton dan Hall, 2007)
Pergerakan massa yang timbul sesudah makan akan dipermudah dengan adanya refleks gastrokolik dan duodenokolik. Refleks ini disebabkan oleh distensi lambung dan duodenum. Refleks tersebut tidak timbul sama sekali atau hampir tidak timbul sama sekali jika saraf-saraf otonom ekstrinsik yang menuju ke kolon telah diangkat. Oleh karena itu, refleks itu hampir secara pasti dijalarkan oleh suatu sistem saraf otonom. Iritasi dalam kolon dapat juga menimbulkan pergerakan massa yang kuat. Sebagai contohnya, seseorang dengan penyakit tukak pada mukosa kolon (kolitis ulserativa) sering mengalami pergerakan massa yang menetap dan hampir setiap saat. (Guyton dan Hall, 2007)
Saat rektum tidak berisi feses akibat dari sfingter fungsional yang lemah sekitar 20 sentimeter dari anus pada perbatasan kolon sigmoideum dan rektum. Di sini terdapat juga sebuah sudut tajam yang menambah resistensi terhadap pengisian rektum. Bila pergerakan massa mendorong feses masuk ke dalam rektum, segera akan timbul keinginan untuk defekasi, termasuk refleks kontraksi rektum dan relaksasi sfingter anus. Pendorongan massa feses yang terus menerus melalui anus dicegah oleh konstriksi tonik dari (1) sfingter ani internus, penebalan otot polos sirkular sepanjang beberapa sentimeter yang terletak tepat di sebelah dalam anus, dan (2) sfingter ani eksternus, yang terdiri dari otot lurik volunter yang mengelilingi dan meluas ke sebelah distal. Sfingter eksternus diatur oleh serabut-serabut saraf dalam nervus pudendus, yang merupakan bagian dari sistem saraf somatik dan karena itu di bawah pengaruh volunter, dalam keadaan sadar atau setidaknya bawah sadar; secara bawah sadar, sfingter eksternal biasanya mengalami konstriksi secara terus menerus kecuali bila ada impuls kesadaran yang menghambat konstriksi. (Guyton dan Hall, 2007)
Biasanya, defekasi timbul oleh karena adanya refleks defekasi. Satu dari berbagai macam refleks defekasi adalah refleks intrinsik yang diperantarai oleh sistem saraf enterik setempat di dalam dinding rektum.Hal ini dapt dijelaskan sebagai berikut: Bila feses memasuki rektum, distensi dinding rektum menimbulkan sinyal-sinyal aferen yang menyebar melalui pleksus mienterikus untuk menimbulkan gelombang peristaltik di dalam kolon desenden, sigmoid, dan rektum, mendorong feses ke arah anus. Sewaktu gelombang peristaltik mendekati anus, sfingter ani internus direlaksasi oleh sinyal-sinyal penghambat dari pleksus mienterikus; jika sfingter ani eksternus juga dalam keadaan sadar, dan berelaksasi secara volunter pada waktu yang bersamaan, terjadilah defekasi. Refleks defekasi mienterik intrinsik yang berfungsi dengan sendirinya secara normal bersifat lemah. Agar menjadi efektif dalam menimbulkan defekasi, refleks biasanya akan diperkuat oleh refelks defekasi jenis lain, suatu refleks defekasi parasimpatis yang melibatkan segmen sakral medula spinalis. Bila ujung-ujung saraf dalam rektum dirangsang, sinyal-sinyal dihantarkan pertama ke dalam medula spinalis dan kemudian secara refleks kembali ke kolon desenden, sigmoid, rektum, dan anus melalui serabut saraf parasimpatis dalam nervus pelvikus. Sinyal-sinyal parasimpatis ini sangat memperkuat gelombang peristaltik dan juga merelakasikan sfingter ani internus, dengan demikian mengubah refleks defekasi mienterik intrinsik dari kekuatannya yang lemah menjadi suatu proses defekasi yang sangat kuat, yang kadang efektif dalam mengosongkan usus besar sepanjng jalan dari fleksura splenikus kolon sampai ke anus. Sinyal-sinyal defekasi yang masuk ke medula spinalis, menimbulkan efek-efek lain, seperti mengambil napas dalam, penutupan glotis, dan kontraksi otot-otot dinding abdomen untuk mendorong isi feses dari kolon turun ke bawah dan pada saaat yang bersamaan menyebabkan dasar pelvis mengalami relaksasi ke bawah dan menarik keluar cincin anus untuk mengeluarkan feses. (Guyron dan Hall, 2007)
Jika memang keadaan untuk melakukan defekasi sangat memungkinkan, refleks defekasi secara sadar dapat diaktifkan dengan mengambil napas dalam untuk menggerakkan diafragma untuk turun ke bawah dan kemudian mengkontraksikan otot-otot abdomen untuk meningkatkan tekanan dalam abdomen, jadi mendorong isi feses ke dalam rektum untuk menimbulkan refleks-refleks yang baru. Refleks-refleks yang ditimbulkan dengan cara ini hampir tidak seefektif seperti refleks yang timbul secara alamiah, maka dari itu orang yang sering menghambat refleks alamiahnya cenderung mengalami konstipasi berat. Pada bayi yang baru lahir (neonatus) dan beberapa orang dengan medula spinalis yang terpotong, refleks defekasi secara otomatis menyebabkan pengosongan usus bagian bawah pada saat yang tidak tepat sepanjang hari karena hilangnya latihan kontrol kesadaran melalui kontraksi atau relaksasi volunter sfingter ani eksternus. (Guyton dan Hall, 2007)
Sudah sedikit dijelaskan beberapa refleks dalam defekasi. Selain refleks duodenokolik, gastrokolik, gastroileal, enterogastrik, dan defekasi yang telah dijelaskan, ada beberapa refleks saraf penting lainnya yang dapat mempengaruhi seluruh tingkat aktivitas usus. Refleks-refleks tersebut adalah refleks peritoneointestinal, refleks renointestinal, dan refleks vesikointestinal. Refleks peritoneointestinal dihasilkan dari iritasi peritoneum; refleks ini sangat kuat menghambat saraf-saraf perangsang enterik dan dengan demikian dapat menimbulkan paralisis usus, terutama menderita peritonitis. Refleks renointestinal dan vesikointestinal menghambat aktivitas usus sebagai akibat dari iritasi ginjal atau kandung kemih. (Guyton dan Hall, 2007)
Secara normal, feses yang dikeluarkan melalui proses defekasi, tersdiri atas tiga perempat air dan seperempat bahan-bahan padat yang tersusun atas 30 persen bakteri mati, 10 samapi 20 persen adalah lemak, 10 sampai 20 persen juga terdiri atas bahan inorganik, 2 sampai 3 persen protein, dan 30 persen serat-serat makanan yang tidak dicerna dan unsur-unsur kering dari getah pencernaan, seperti misalnya pigmen empedu dan sel-sel epitel yang terlepas. Warna coklat dari feses disebabkan oleh sterkobilin dan urobilin, yang berasal dari bilirubin. Bau feses terutama disebabkan oleh produk kerja bakteri, yang mana produk ini bervariasi antara satu orang dengan orang lainnya, dan bergantung dari flora bakteri kolon masing-masing orang serta jenis makanan yang dimakan. Produk yang benar-benar mengeluarkan bau meliputi indol, skatol, merkaptan, dan hidrogen sulfida. (Guyton dan Hall, 2007)
E. Fisiologi Pengaturan dan Produksi Flatus
Gas, yang dalam hal ini disebut dengan flatus, bisa memasuki traktus gastrointestinal, melalui berbagai sumber: (1) udara yang ditelan, (2) gas yang terbentuk di dalam perut sebagai hasil kerja bakteri, atau (3) gas yang berdifusi dari darah ke dalam traktus gastrointestinal. Sebagian besar gas yang berada di dalam lambung merupakan suatu campuran nitrogen dan oksigen dari udara yang ditelan. Pada orang secara umum, kebanyakan gas ini dikeluarkan lewat sendawa. Hanya sejumlah kecil gas yang umumnya muncul dalam usus halus, dan banyak dari gas ini merupakan udara yang berjalan dari lambung masuk ke dalam traktus intestinalis. Dalam usus besar, kebanyakan merupakan gas yang berasal dari hasil kerja bakteri atau flora normal yang ada di dalamnya, khususnya berupa karbondioksida, hidrogen, dan metana. Ketika metana dan hidrogen bercampur secara tepat dengan oksigen, kadang-kadang bisa menyebabkan suatu campuran gas yang bisa meledak. (Guyton dan Hall, 2007)
Makanan tertentu bisa menyebabkan pengeluaran flatus yang lebih besar melalui anus jika dibandingkan dengan makanan lain. Makanan yang bisa menyebabkan flatus yang lebih besar yang dikeluarkan melalui anus, antara lain kacang-kacangan, kubis, bawang, kembang kol, jagung, dan makanan tertentu yang bersifat iritan, misalnya adalah cuka. Beberapa dari makanan tersebut mampu menyediakan suatu media yang baik untuk berkembang biak bagi bakteri pembentuk gas, terutama makanan yang mengandung karbohidrat tak terabsorbsi yang bisa mengalami fermentasi. Contoh dari makanan seperti ini, adalah kacang-kacangan yang menagndung karbohidrat yang tak tercerna yang kemudian masuk ke dalam kolon dan merupakan makanan utama bagi bakteri kolon. Namun, pada keadaan lain, pengeluaran gas yang berlebihan berasal dari iritasi usus besar, yang mencetuskan pengeluaran peristaltik cepat gas melalui anus sebelum gas tersebut dapat diabsorbsi. Jumlah gas yang masuk atau terbentuk pada usus besar setiap hari rata-rata 7 sampai 10 liter, sedangkan jumlah rata-rata yang dikeluarkan melalui anus biasanya hanya sekitar 0,6 liter. Sisanya, normalnya akan diabsorbsi ke dalam darah melalui mukosa usus dan akan dikeluarkan melalu paru. (Guyton dan Hall, 2007)
3. DISKUSI DAN BAHASAN
Dalam bagian ini akan dibahas lebih lanjut mengenai apendisitis dan berbagai diagnosis bandingnya.
Insidensi maksimum apendisitis akut terjadi pada dekade kedua dan ketiga dari kehidupan. Walau penyakit tersebut dapat terjadi pada setiap saat dari kehidupan, namun relatif jarang ditemukan pada usia yang ekstrim. Laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama, kecuali antara pubertas dan usia 25 tahun, yaitu pada laki-laki frekuensinya lebih tinggi dengan rasio 3:2. Perforasi relatif lebih sering terjadi pada bayi dan pada usia lanjut, selama periode itu angka mortalitasnya paling tinggi. Angka kematian telah menurun secara menetap di Eropa dan Amerika Serikat dari 8,1 per 100.000 populasi pada tahun 1941 sampai kurang dari 100.000 pada tahun 1970 dan seterusnya. Insidensi absolut dari penyakit itu juga turun sebesar kira-kira 40% antara tahun 1940 dan 1960, tetapi sejak itu, insidensinya tetap tidak berubah. Meski berbagai macam faktor seperti perubahan kebiasaan makan, perubahan flora usus dan asupan vitamin telah dianggap menjelaskan penurunan insidensi penyakit tersebut, namun alasan yang tepat belum dapat dikemukakan. Secara keseluruhan, insidensi apendisitis jauh lebih rendah di negara-negara yang belum berkembang, terutama di daerah Afrika dan pada kelompok dengan social ekonomi rendah.
Tanda patogenesis utama selalu dianggap karena adanya obstruksi luminal. Saat obstruksi dapat ditemukan pada 30 sampai 40 persen kasus, studi baru-baru ini telah memperlihatkan bahwa ulserasi mukosa apendiks merupakan peristiwa awal pada kebanyakan kasus. Penyebab terjadinya ulserasi belum diketahui, meskipun virus telah dipostulasikan sebagai penyebab. Baru-baru ini telah dikemukakan bahwa infeksi kuman Yersinia, dapat menyebabkan penyakit itu, karena titer fiksasi komplemen yang tinggi telah ditemukan pada 30% kasus yang terbukti menderita apendisitis 1 minggu setelah operasi. Sampai sekrang belum diketahui apakah reaksi radang yang menyertai ulserasi cukup dapat menimbulkan obstruksi pada lumen apendiks yang sempit itu. Obstruksi, bila ada sering disebabkan oleh fekolith, yang disebabkan oleh pengumpulan dan pengeringan bahan feses di sekitar serat sayuran. Pembesaran folikel limfoid berkaitan dengan infeksi virus (misalnya campak), pengeringan barium, cacing (misalnya cacing gelang, Ascaris, dan Taenia), dan tumor (misalnya karsinoid atau karsinoma) juga dapat menyumbat lumen apendiks. Sekresi mukus akan mengembangkan organ tersebut, yang berkapasitas hanya 0,1 sampai 0,2 mL, dan tekanan luminal meningkat 60 cmH2O. Bakteri dalam lumen apendiks berkembang dan menginvasi dinding apendiks sejalan dengan terjadinya pembesaran vena dan kemudian terganggunya arteri akibat tekanan intraluminal yang tinggi. Akhirnya, terjadi gangren dan perforasi. Bila proses itu berjalan lambat, organ yang berdekatan seperti ileum terminal, sekum, dan omentum dapat menyelimuti daerah apendiks sehingga timbul abses lokal, sedangkan gangguan vaskular yang berkembang cepat dapat menyebabkan perforasi yang berhubungan langsung dengan rongga peritoneum. Selanjutnya ruptur abses apendiks primer dapat menimbulkan fistula antara apendiks dengan kandung kemih, usus halus sigmoid atau sekum. Kadangkala apendisitis akut merupakan manifestasi pertama dari penyakit Crohn. Sementara infeksi kronik pada apendiks dengan tuberkulosis, amebiasis, dan aktinomikosis dapat terjadi, aforisme klinis yang bermanfaat menunjukkan bahwa peradangan apendiks yang kronik biasanya bukan merupakan penyebab memanjangnya nyeri abdomen yang lamanya berminggu-minggu atau berbulan-bulan (Silen, 2007). Sebaliknya, jelas bahwa apendisitis akut rekuren terjadi, sering dengan resolusi peradangan dan gejala secara lengkap di antara serangan. Apendisitis akut rekuren dapat menjadi lebih sering karena antibiotik diperjualbelikan secara lebih bebas.
Riwayat dan urutan gejala yang timbul merupakan gambaran diagnostik apendisitis yang paling penting. Gejala awal hampir selalu berupa nyeri abdomen jenis visceral yang disebabkan oleh kontraksi apendiks atau distensi lumen apendiks. Biasanya lokasi nyeri di daerah periumbilikus atau epigastrium. Sering terdapat keinginan defekasi atau flatus, salah satunya membebaskan distres. Nyeri viseral ini ringan, sering seperti kram dan jarang sekali berakibat buruk, biasanya berlangsung selama 4 sampai 6 jam tetapi tidak diketahui pada individu yang tahan sakit atau pada beberapa pasien yang sedang tidur. Sejalan dengan menyebarnya proses inflamasi ke permukaan peritoneum parietal, nyeri menjadi somatic, menetap, dan lebih berat, bertambah sakit bila bergerak atau batuk, dan biasanya berlokasi di kuadran kanan bawah. Anoreksia begitu sering timbul sehingga adanya rasa lapar hendaknya menimbulkan kecurigaan besar pada diagnosis apendisitis akut. Mual dan muntah terjadi pada 50 sampai 60 persen kasus, tetapi muntahnya jarang profusb dan berkepanjangan. Timbulnya rasa mual dan muntah sebelum awitan nyeri sangat jarang terjadi. Berubahnya kebiasaaan buang air besar, memiliki sedikit nilai diagnostik, karena ada atau tidak adanya perubahan dapat diamati, meskipun terjadinya diare yang disebabkan oleh apendiks yang meradang dekat sigmoid dapat menyulitkan diagnosis. Frekuensi berkemih dan disuria terjadi jika apendiks terletak dekat dengan kandung kemih. Urutan gejala yang khas (lokasi nyeri periumbilikus disertai dengan mual dan muntah dengan pengalihan nyeri secara berangsur ke kuadran kanan bawah) terjadi pada hanya 50 sampai 60 persen pasien, dan beberapa variasi dijelaskan sebagai berikut.
Apendisitis tanpa komplikasi maksudnya jika roses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mucosa saja. Appendix kadang tampak normal, atau hanya hiperemia saja. Bila appendix tersebut dibuka, maka akan tampak mukosa yang menebal, oedema dan kemerahan. Kondisi ini disebabkan invasi bakteri dari jaringan limpoid ke dalam dinding appendix. Karena lumen appendix tak tersumbat. Maka hal ini hanya menyebabkan peradangan biasa. Bila jaringan limpoid di dinding appendix mengalami oedema, maka akam mengakibatkan obstruksi lumen appendix, yang akan mempengaruhi feeding sehingga appendix menjadi gangrena, seterusnya timbul infark. Atau hanya mengalami perforasi (mikroskopis), dalam hal ini serosa menjadi kasar dan dilapisi eksudat fibrin Post appendicitis acute, kadang-kadnag terbentuk adesi yang mengakibatkan kinking, dan kejadian ini bisa membentuk sumbatan pula. Sedangkan jika telah berkomplikasi merupakan appendicitis yang berbahaya, karena appendix menjadi lingkaran tertutup yang berisi “fecal material”, yang telah mengalami dekomposisi. Perbahan setelah terjadinya sumbatan lumen appendix tergantung daripada isi sumbatan. Bila lumen appendix kosong, appendix hanya mengalami distensi yang berisi cairan mucus dan terbentuklah mucocele. Sedangkan bakteria penyebab, biasanya merupakan flora normal lumen usus berupa aerob (gram + dan atau gram - ) dan anaerob. Pada saat appendix mengalami obstruksi, terjadi penumpukan sekresi mucus, yang akan mengakibatkan proliferasi bakteri, sehingga terjadi penekanan pada moukosa appendix, dikuti dengan masuknya bakteri ke dalam jaringan yang lebih dalam lagi. Sehingga timbulah proses inflamasi dinding appendix, yang diikuti dengan proses trombosis pembuluh darah setempat. Karena arteri appendix merupakan end arteri sehingga menyebabkan daerah distal kekurangan darah, terbentuklah gangrene yang segera diikuti dengan proses nekrosis dinding appendix. Pada kesempatan lain bakteri mengadakan multiplikasi dan invesi melalui erosi mukosa, karena tekanan isi lumen, yang berakibat perforasi dinding, sehingga timbul peritonitis. Proses obstruksi appendix ini merupakan kasus terbanyak untuk appendicitis. Dua per tiga kasus gangrene appendix, fecalith selalu didapatkan. Bila kondisi penderita baik, maka perforasi tersebut akan dikompensir dengan proses pembentukan dinding oleh karingan sekitar, misal omentum dan jaringan viscera lain, terjadilah infiltrat atau (mass), atau proses pultulasi yang mengakibatkan abses periappendix
Temuan fisis berubah sesaat setelah temuan penyakit dan disarkan pada lokasi apendiks, yang mungkin letaknya ada di dalam culde-sac pelvis, di kuadaran kanan bawah pada setiap hubungan peritoneum, sekum, dan usus halus, di kuadran kanan atas (terutama selama kehamilan) atau bahkan di kuadran kiri bawah. Diagnosis apendisitis tidak dapat ditegakkan kecuali didapatkan nyeri tekan. Meskipun nyeri tekan kadang tidak ditemukan pada stadium visceral awal dari penyakit tersebut, pada akhirnya nyeri itu akan timbul dan ditemukan di mana saja berhubungan dengan posisi apendiks. Nyeri tekan abdominal mungkin sama sekali tidak ditemukan bila letak apendiks retrosekal atau pelvinal, pada kasus tersebut satu-satunya temuan fisis mungkin nyeri pada panggul atau pada pemeriksaan rectal atau pelvis. Perkusi, nyeri tekan pantul (rebound tenderness) , dan nyeri tekan pantul beralih, sering didapatkan namun tidak selalu ada; tanda-tanda itu hampir selalu tidak ditemukan pada permulaan penyakit. Fleksi pinggul kanan dan gerakan penjagaan oleh pasien adalah akibat dari keterlibatan peritoneum parietal. Hiperestesia pada kulit perut kuadran kanan bawah atau tanda psoas dan obturator yang positif sering ditemukan terakhir dan jarang memiliki nilai diagnostik. Bila apendiks yang meradang dekat sekali dengan peritoneum parietal bagian anterior, terdapat ketegangan otot yang pada awalnya masih kurang jelas. Suhu badan biasanya normal, atau ringan (37,2oC sampai 38oC), dan suhu badan di atas 38,3oC, hendaknya akan memberi kesan timbulnya perforasi. Takikardia sepadan dengan peningkatan suhu tubuh. Ketegangan otot dan nyeri tekan menjadi lebih nyata sejalan dengan perkembangan penyakit menuju perforasi dan peritonitis local atau umum. Distensi jarang ditemukan kecuali terjadi peritonitis difus yang berat. Pernyataan bahwa nyeri atau nyeri tekan telah hilang tepat sebelum timbulnya perforasi, sangat luar biasa. Sebuah masa akan terbentuk bila terjadi perforasi lokal tetapi biasanya tidak dapat terdeteksi sebelum 3 hari setelah awitan penyakit. Perforasi jaringan terjadi sebelum 24 jam awitan gejala, tetapi kecepatan timbulnya dapat sebesar 80% setelah 48 jam.
Pemeriksaan laboratorium tidak menegakkan diagnosis karena yang terakhir didasarkan pada alasan klinis. Meskipun leukositosis sedang dengan jumlah sel 10.000 sampai 18.000 per mikroliter sering didapat (seirring dengan pergeseran kea rah sel imatur), tidak terdapatnya leukositosis tidak meniadakan kemungkinan apendisitis akut. Leukositosis yang lebih besar daripada 20.000 sel per mikroliter hendaknya merupakan suatu pertanda kepada kemungkinan terjadinya perforasi. Anemia dan darah dalam feses memberikan kesan bahwa diagnosis primer karsinoma sekum, terutama pada orang tua. Urin pasien dapat sedikit mengandung sedikit sel darah putih atau merah tanpa bakteri bila apendiks itu letaknya dekat dengan ureter kanan atau kandung kemih.
Akan tetapi urinalisis paling bermanfaat dalam meniadakan gangguan urogenital yang dapat menyerupai sebagai apendisitis akut. Pemeriksaan sinar-X sedikit sekali nilainya kecuali bila ditemukan suatu fekolit yang opak (5 persen pasien) pada kuadran kanan bawah (terutama pada anak) bersama dengan gambaran klinis apendisitis lainnya. Oleh karena itu, tidak ada kebutuhan rutin untuk mendapatkan film abdomen kecuali ada kemungkinan kelainan lain seperti obstruksi usus atau batu ureter. Pada beberapa pasien yang gejalanya berulang atau berkepanjangan, pemeriksaan enema barium dapat mengetahui adanya kerusakan ekstrinsik pada dinding medial sekum atau fekolit yang berkapur. Diagnosis juga dapat ditegakkan melalui pemeriksaan ultrasonografi yang memperlihatkan apendiks yang membesar dengan dindingnya yang tipis, namun bila apendiks tidak dapat ditemukan, diagnosis pun tidak dapat ditiadakan. Pemeriksaan ultrasonografi paling berguna untuk meniadakan krista ovarium, kehamilan ektopik terganggu (KET), atau abses tuboovarium.
Meskipun urutan riwayat penyakit dan temuan fisis yang khas terdapat pada 50 sampai 60 persen kasus, ternyata masih terdapat variasi yang luas dari pola yang tidak khas, terutama pada usia yang ekstrim dan selama kehamilan. Insidensi perforasi dan peritonitis umum pada bayi dibawah 2 tahun yang besarnya 70 hingga 80 persen merupakan suatu bukti nyata akan pentingnya riwayat penyakit dalam emndeteksi penyakit sedini mungkin. Pada orang tua, nyeri dan nyeri tekan sering tidak jelas sehingga diagnosis sering terlambat. Insidensi perforasi pada pasien dengan usia di atas 70 tahun hampir mencapai angka 30%, dan inilah bukti adanya keterlambatan diagnosis. Keluhan awal yang biasanya dikemukakan oleh para pasien usia lanjut adalah terdapatnya massa dengan sedikit rasa nyeri (abses apendiks primer) atau kadang datang dengan obstruksi usus adhesif 5 atau 6 hari setelah perforasi apendiks yang tidak terdeteksi sebelumnya. Apendisitis terjadi pada satu dari setiap 1.000 kehamilan dan merupakan penyebab paling lazim dari kelainan ekstrauterin yang memerlukan operasi abdomen. Diagnosisnya mungkin terlambat karena keluhan rasa kurang enak di perut serta rasa mual dan muntah lazim selama hamil. Selama trimester terakhir, angka kematian akibat apendisitis merupakan yang tertinggi, uterus mengubah posisi apendiks ke kuadran kanan atas dan lateral sehingga menimbulkan kebingungan dalam diagnosis karena lokasi nyeri dan nyeri tekan berubah tempat.
Daftar diagnosis banding apendisitis akut merupakan segala penyakit yang memiliki tanda dan gejala yang hampir sama, yang intinya merupakan segala kelainan yang menyebabkan nyeri abdomen, karena apendisitis dapat menyerupai semua penyakit tersebut. Bagi para dokter yang telah berpengalaman, ketepatan diagnosis dapat mecapai 75 sampai 80 persen dan harus didasarkan pada kriteria klinis yang telah dijelaskan sebelumnya. Mungkin saja bisa overdiagnosis karena diagnosis yang terlambat bisa mengakibatkan perforasi serta bisa meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Pada apendisitis tanpa perforasi, angka mortalitasnya adalah 0,1 persen; sedangkan untuk apendisitis dengan perforasi, angka mortalitas bisa mencapai 3 persen dan pada orang tua bisa meningkat hingga 15 persen. Untuk kasus-kasus yang masih meragukan, perlu dilakukan observasi secara detail, obserasi selama 4 hingga 6 jam bisa membuat penentuan diagnosis menjadi lebih tepat (Silen, 2007), hal ini banyak mendatangkan keuntungan bagi pasien daripada kerugiannya. Kelaina yang paling sering ditemukan selama operasi, bila diagnosis apendisitis ternyata salah, dalam urutan frekuensi secara kasar, adalah limfadenitis mesenterik, penyakit nonorganic, penyakit inflamasi pelvis akut, ruptur folikel graf atau ruptur kista korpus luteum, dan gastroenteritis akut. Selain itu, kolesistitis akut, ulkus yang mengalami perforasi, pankreatitis akut, divertikulitis akut, obstruksi usus strangulasi, batu ureter, dan pielonefritis seing menimbulkan kesulitan diagnosis.
Sangatlah berguna untuk mempertimbangkan secara terpisah beberapa kemungkinan diagnosis yang lazim dan sulit, terutama pada perempuan. Diferensiasi penyakit radang panggul dari apendisitis akut mungkin sangat mustahil. Diplokokus intraseluler gram negative pada pulasan serviks tidak patognomonik kecuali Neisseria gonorhoeae dapat dibiakkan. Nyeri pada pergerakan serviks dapat tidak spesifik dan dapat terjadi pada apendisitis yang telah mengalami perforasi atau jika posisi apendiksnya dekat uterus atau adneksa. Ruptur folikel fraff (mittleschemrz) terjadi pada pertengahan siklus haid dengan keluarnya darah dan cairan sehingga menimbulkan rasa nyeri dan nyeri tekan yang lebih luas namun nyerinya tidak sesakit pada apendisitis. Demam dan leukositosis biasanya tidak ditemukan. Ruptur kista korpus luteum secara klinis serupa dengan ruptur folikel graff tetapi munculnya hampir bersamaan dengan saat menstruasi. Terdapatnya suatu massa pada adneksa, tanda kehilangan darah, dan tes kehamilan yang positif, membantu membedakan KET, tetapi terdapat tes kehamilan yang negative bila telah terjadi aborsi tuba. Kista ovarium yang terpelintir dan endometriosis kadang-kadang sulit dibedakan dengan apendisitis. Pemeriksaan ultrasonografi pelvis dan laparoskopi sangat bermanfaat pada semua kelaina pada perempuan tersebut.
Dari penyakit-penyakit perempuan tersebut, yang paling sering membingungkan dengan apendisitis adalah KET. Kehamilan ektopik adalah implantasi ovum yang telah dibuahi di mana saja selain lokasi normal dalam uterus. Keadaan ini ditemukan pada hampir 1% kehamilan. Pada lebih dari 90% kasus, implantasi terjadi di oviduktus (kehamilan tuba); tempat lain mencakup ovarium, rongga abdomen, dan bagian intrauterus dari oviduktus (kehamilan interstitium). Setiap hambatan yang mengganggu lewatnya ovum di sepanjang perjalanannya melewati oviduktus ke utrus mempermudah terjadinya kehamilan ektopik. Pada sekitar separuh kasus, obstruksi ini disebabkan oleh peradangan di oviduktus walaupun tumor intrauterus dan endometriosis juga dapat mengganggu perjalanan ovum. Pada sekitar 50% kehamilan tuba, tidak ada penyebab anatomik yang ditemukan. Kehamilan ovarium mungkin terjadi jika ovum dibuahi dalam folikel tepat saat folikel ruptur. Gestasi di dalam rongga abdomen terjadi bila telur yang dibuahi jatuh ke luar ujung oviduktus yang berfimbria dan tertanam di dalam peritoneum. Sampai terjadinya ruptur, kehamilan ektpoik mungkin tidak dapat dibedakan dengan yang normal, dengan berhentinya haid dan meningkatnyakadar hormon plasenta di serum dan urine. Di bawah pengaruh hormon ini, endometrium (pada sekitar 50% kasus) mengalami perubahan hipersekretorik dan desidua khas. Namun, tidak adanya peningkatan kadar gonadotropin tidak menyingkirkan diagnosis ini, karena sering terjadi gangguan perlekatan dan nekrosis plasenta. Ruptur kehamilan ektopik dapat sangat berbahaya, berupa onset mendadak nyeri abdomen hebat dan tanda-tanda abdomen akut, sering diikuti oleh syok. Perlu dilakukan intervensi bedah dengan segera. Morfologi dari kehamilan ektopik terganggu bisa dijelaskan sebagai berikut. Di semua tempat, kehamilan ektopik ditandai dengan perkembangan awal mudigah yang cukup normal, disertai terbentuknya jaringan plasenta, kantong amnion, dan perubahan desidua. Kehamilan abdomen kadang-kadang berlangsung hingga aterm. Namun, pada kehamilan tuba plasenta merambah menembus dinding oviduktus, menyebabkan hematoma intratuba (hematosalping), perdarahan intraperitoneum, atau keduanya. Tuba biasanya mengalami peregangan lokal hingga berukuran 3 sampai 4 cm oleh massa di dalamnya yang terdiri atas darah beku segar yang mungkin berisi potongan jaringan plasenta abu-abu dan bagian janin. Diagnosis histologik bergantung pada visualisasi vilus plasenta atau, yang jarang, mudigah. Yang jarang terjadi, plasenta mungkin kurang melekat ke dinding tuba sehingga mudah mati, disertai proteolisis spontan dan penyerapan produk konsepsi.
Limfadenitis mesenterium akut adalah sebutan yang biasanya diberikan jika ada kelenjar limfe yang membesar, sedikit kemerahan pada pangkal mesenterium dan waktu dioperasi apendiks tampak normal pada pasien yang biasanya menderita nyeri tekan pada kuadran kanan bawah dengan suhu tubuh yang terkadang lebih tinggi daripada hampir semua pasien dengan apendisitis akut. Apakah keadaan ini merupakan suatu kesatuan yang tunggal dan terbatas belum jelas sampai saat ini karena memang faktor penyebabnya tidak diketahui. Akhir-akhir ini telah diketahui bahwa beberapa pasien ini menderita infeksi Yersinia pseudotuberculosis dan Y. enterocolytica, yang pada kasus tersebut diagnosisnya dapat ditegakkan dengan kultur kelenjar limfe mesenterium atau berdasarkan titer serologik. Secara klinis, diagnosis sangat mustahil meskipun secara retrospektif penyakit ini sering menyebabkan rasa nyeri dan nyeri tekan yang lebih luas. Anak tampaknya lebih mudah terserang daripada orang dewasa. Operasi sebaiknya dilakukan, kecuali jika semua tanda dan gejala cepat menghilang. Gastroenteritis akut biasanya menimbulkan diare cair yang profus, sering disertai dengan mual dan muntah tetapi tanpa kelainan lokal. Di antara serangan kram, abdomen mengalami relaksasi sempurna. Pada gastroenteritis Salmonella temuan abdominal sama, meskipun nyeri lebih berat dan lebih terlokalisasi, dan akan sering terjadi demam bahkan meninggal. Terdapatnya gejala yang serupa pada anggota keluarga dapat membantu dalam hal diagnosis. Bila diagnosis apendisitis panggul akut dengan perforasi telah gagal ditegakkan, gastroenteritis merupakan diagnosis kerja yang paling sering dikemukakan. Nyeri tekan abdomen dan rectal yang persisten hendaknya dapat menyingkirkan diagnosis gastroenteritis. Enteritis regional (penyakit Crohn) sering berhubungan dengan riwayat penyakit yang lebih lama, dengan eksaserbasi sebelumnya. Divertikulitis Meckel biasanya sulit dibedakan dengan apendisitis akut tetapi keadaan ini sangat jarang ditemukan.
Bila dicurigai apendisitis, hindari pemakaian katertik dan enema, dan antibiotik sebaiknya jangan diberikan bila diagnosisnya masih diragukan karena obat antibiotic hanya akan menutupi ada atau berkembangnya perforasi. Pengobatannya adalah operasi sedini mungkin dan apendektomi segera setelah pasien dipersiapkan. Apendektomi telah dilakukan dengan sukses melalui laparoskopi namun aturan pengobatan yang tepat, terutama dalam kasus ruptur, belum jelas. Persiapan operasi jarang sekali jarang sekali mengambil waktu lebih dari 1 sampai 2 jam dalam kasus apendisitis dini tetapi dapat memakan waktu 6 hingga 8 jam pada kasus sepsis dan dehidrasi berat yang berhubungan dengan perforasi lambat. Satu-satunya keadaan ketika operasi tidak terindikasi adalah bila teraba massa dalam 3 hingga 5 hari setelah timbulnya gejala apendisitis. Sekiranya operasi dilaksanakan pada saat itu, flegmon lebih banyak ditemukan daripada abses definitive, dan sering terjadi komplikasi akibat diseksi flegmon tersebut. Pasien seperti itu diobati dengan memberikan antibiotik spektrum luas, cairan parenteral, dan istirahat sehingga dalam waktu 1 minggu biasanya terjadi resolusi massa dan gejalanya menghilang. Jarak waktu apendektomi dapat dan sebaiknya dilakukan 3 bulan kemudian. Bila massa tersebut membesar atau pasien menjadi lebih toksik, perlu dilakukan drainage abses. Komplikasi seperti abses subfrenik, panggul, atau abses intraabdominal lain biasanya menyertai perforasi dengan peritonitis umum dan dapat dihindari melalui diagnosis penyakit sedini mungkin.
Pembahasan selanjutnya yang merupakan kemungkinan terbesar dalam diagnosis penyakit pasien dalam skenario adalah peritonitis akut. Peritonitis adalah suatu proses inflamasi lokal atau menyeluruh pada peritoneum dapat berupa kelainan akut atau kronik. Pada bentuk akut, aktivitas motorik usus menurun dan lumen usus mengembang akibat terisi udara dan cairan. Cairan terkumpul akibat kegagalan reabsorbsi dari 7 hingga 8 liter sekret yang secara normal diproduksi tiap harinya ke dalam lumen usus dan diserap dari usus halus bagian distal dan kolon. Karena adanya pengumpulan cairan di rongga peritoneum, demikian pula dengan adanya penurunan asupan oral yang berakibat terjadinya penurunan cepat volume plasma sehingga fungsi ginjal dan jantung terganggu. Keadaan ini sering mengakibatkan dehidrasi akibat hilangnya cairan pada rongga ketiga.
Peritonitis bakterial mungkin disebabkan oleh masuknya bakteri ke dalam rongga peritoneum pada saluran makanan yang mengalami perforasi atau dari luka peneterasi eksternal. Peritonitis kimiawi disebabkan oleh keluarnya enzim pancreas, asam lambung, atau empedu sebagai akibat cedera atau perforasi usus atau saluran empedu. Peritonitis steril ditemukan pada pasien dengan sistemik lupus eritematosus, porfiria, dan demam Mediterania familial selama timbulnya serangan penyakit.
Penyebab tersering dari peritonitis bakterial adalah apendisitis, perforasi pada diverticulitis, ulkus peptikum, kandung empedu gangrenosa, obstruksi gangrenosa usus halus akibat pita adhesi, hernia inkarserata, atau volvulus. Setiap kelainan yang mengakibatkan keluarnya bakteri usus mungkin merupakan sumber peritonitis, mungkin termasuk karsinoma perforasi, benda asing, dan colitis ulseratif. Rongga peritoneum sangat resisten terhadap kontaminasi, dan peritonitis tetap terlokalisasi kecuali kontaminasi tersebut saling berkesinambungan. Pasien dengan sirosis alkoholik dan asites sangat rentan terhadap peritonitis bakterial spontan, biasannya dari patogen usus. Komplikasi ini terjadi tanpa adanya perorasi viskus yang nyata dan mungkin disebabkan oleh keluarnya bakteri dari dinding usus.
Manifestasi utama dari peritonitis ini adalah nyeri abdomen akut dan nyeri tekan. Lokasi nyeri dan nyeri tekan bargantung pada sebab yang mendasari dan apakah proses radangnya bersifat lokal atau umum. Pada peritonitis lokal seperti yang dijumpai pada apendisitis tanpa komplikasi atau divertikulitis, kelainan fisisnya hanya ditemukan pada daerah yang mengalami peradangan. Pada radang peritoneum yang menyebar, terdapat peritonitis umum dengan nyeri tekan pada seluruh dinding abdomen dan nyeri pantul (rebound). Ketegangan dinding perut merupakan kelainan yang sering ditemukan pada peritonitis dan dapat lokal atau umum.
Pada awalnya mungkin masih ada peristaltik usus tetapi biasanya akan hilang sejalan dengan berkembangnya penyakit dan suara usus menghilang. Hipotensi, takikardia, oliguria, dan leukositosis, dengan jumlah sel yang lebih dari 20.000 sel per mikroliter, adalah kelainan-kelainan yang sering ditemukan terutama pada peritonitis umum. Foto polos abdomen menunjukkan dilatasi usus halus dan usus besar dengan dinding usus halus yang membengkak seperti yang dibuktikan oleh jarak antara ikal usus halus yang berdekatan yang terisi udara. Parasentesis diagnostik kadang bermanfaat dalam menentukan jenis eksudat dan mencari bakteri penyebab secara langsung atau melalui biakan.
Peritonitis gonokokus merupakan suatu keadaan yang biasanya merupakan perluasan infeksi gonokokus dari fokus primernya di saluran reproduksi perempuan. Tanda radang biasanya terbatas di panggul tetapi dapat juga ditemukan peritonitis umum ringan. Kadang pasien mengeluh nyeri di kuadran kanan atas dan nyeri tekan yang disebabkan oleh perihepatitis gonokokus yang mengenai kapsul hepar dan peritoneum yang berdekatan (sindroma Fitz-Hugh-Curtis).
Peritonitis tepung atau peritonitis granulomatosa akut dapat berkembang pada beberapa pasien sebagai reaksi benda asing terhadap kanji dari tepung jagung yang dipakai sebagai bubuk sarung tangan bedah. Gambaran klinisnya berupa nyeri perut akut dan demam selama 10 sampai 30 hari setelah menjalani operasi perut. Diagnosis dapat ditegakkan dengan parasentesis dan ditemukannya granula tepung dalam monosit. Akan tetapi, hampir semua pasien menjalani eksplorasi ulang karena takut akan abses atau peritonitis bakterial, dengan ditemukannya granuloma benda asing yang menatah peritoneum.
4. KESIMPULAN
¨ Hal yang aneh yang terjadi pada perempuan usia 17 tahun datang dengan keluhan nyeri seluruh perut, kembung, dan ada gangguan BAB. Satu minggu sebelumnya, seorang pasien perempuan umur 17 tahun datang ke IGD RSUD dr. Moewardi dengan keluhan utama nyeri perut bagian bawah sejak 1 hari yang lalu, disertai mual muntah, tapi masih bisa kentut dan BAB. Badan terasa panas, sumer-sumer (subfebril).
¨ Pada pemeriksaan fisik 1 minggu yang lalu, didapatkan tensi 120/80 mmHg, nadi 86 kali per menit, RR 20 kali/menit, dan suhunya 37,5oC. Pemeriksaan abdomen 1 minggu yang lalu diperoleh hasil, inspeksi: sejajar dengan dinding dada; auskultasi: bising usus positif normal; palpasi: nyeri tekan di daerah Mc Burney, defans muskular negatif; Rectal Toucher: tonus spinchter ani normal, mukosa licin, nyeri tekan jam 10-11, sarung tangan lendir/darah negatif, faeces positif. Pemeriksaan laboratorium 1 minggu yang lalu adalah Hb 13,5 gr%, leukosit 11.000/dL, Hct 40%, dan neutrofil segmen 85%.
¨ Pada pemeriksaan fisik saat ini, diperoleh tensi 100/70 mmHg, nadi 120 kali per menit, RR 28 kali/menit, suhu 39oC. Pada pemeriksaan abdomen saat ini diperoleh hasil, inspeksi: distensi ringan; auskultasi: bising usus hilang; palpasi: nyeri tekan di seluruh perut, defans muskular positif; Rectal Toucher: tonus spinchter ani menurun, mukosa licin, nyeri tekan di seluruh lapangan, sarung tangan lendir/darah negatif, faeces positif. Pemeriksaan laboratorium saat ini diperoleh hasil Hb 13,5 gr%, leukosit 20.000/dL, Hct 42%, neutrofil segmen 85%.
¨ Tanda dan gejala dari apendisitis akut antara lain sebagai berikut. Tanda vital tidak berubah banyak. Peninggian temperature jarang lebih dari 1°C, frekuensi nadi normal atau sedikit meninggi. Adanya perubahan atau peninggian yang besar berarti telah terjadi komplikasi atau diagnosis lain perlu diperhatikan. Pasien biasanya lebih menyukai posisi supine dengan paha kanan ditarik ke atas, karena suatu gerakan akan meningkatkan nyeri. Nyeri kuadran kanan bawah secara klasik ada bila apendiks yang meradang terletak di anterior. Nyeri tekan sering maksimal pada atau dekat titik yang oleh McBurney dinyatakan sebagai terletak secara pasti antara 1,5 – 2 inchi dari spina iliaca anterior pada garis lurus yang ditarik dari spina ini ke umbilicus. Adanya iritasi peritoneal ditunjukkan oleh adanya nyeri lepas tekan dan Rovsing’s sign. Adanya hiperestesi pada daerah yang diinervasi oleh n. spinalis T10, T11, T12 , meskipun bukan penyerta yang konstan adalah sering pada apendisitis akut. Tahan muskuler terhadap palpasi abdomen sejajar dengan derajat proses peradangan, yang pada awalnya terjadi secara volunteer seiring dengan peningkatan iritasi peritoneal terjadi peningkatan spamus otot, sehingga kemudian terjadi secara involunter. Iritasi muskuler ditunjukkan oleh adanya psoas sign dan obturator sign. Gejala utama apendisitis akut adalah nyeri abdominal. Secara klinis nyeri dimulai difus terpusat di daerah epigatrium bawah atau umbilical , dengan tingkatan sedang dan menetap, kadang-kadang disertai dengan kram intermiten. Nyeri akan beralih setelah periode yang bervariasi dari 1 hingga 12 jam, biasanya 4 - 6 jam , nyeri terletak di kuadran kanan bawah. Anoreksia hampir selalu menyertai apendisitis. Hal ini begitu konstan sehingga pada pemeriksaan perlu ditanyakan pada pasien. Vomitus terjadi pada 75% kasus, umumnya hanya satu dua kali. Umumnya ada riwayat obstipasi sebelum onset nyeri abdominal. Diare terjadi pada beberapa pasien. Urutan kejadian symptoms mempunyai kemaknaan diagnosis banding yang besar, lebih dari 95% apendisitis akut, anoreksia merupakan gejala pertama, diikuti oleh nyeri abdominal dan baru diikuti oleh vomitus, bila terjadi.
¨ Penatalaksanaan dari apendisitis akut antara lain:
1. Operasi Sito : untuk appendisitis akut, abses dan perforasi
2. Operasi Elektif : untuk appendisitis kronik.
3. Konservatif:
- Bed rest total posisi Fowler
- Diet rendah serat
- Antibiotik spektrum luas
¨ Biasanya apendisitis akut akan berkomplikasi menjadi peritonitis akut. Manifestasi utama dari peritonitis ini adalah nyeri abdomen akut dan nyeri tekan. Lokasi nyeri dan nyeri tekan bargantung pada sebab yang mendasari dan apakah proses radangnya bersifat lokal atau umum. Pada peritonitis lokal seperti yang dijumpai pada apendisitis tanpa komplikasi atau divertikulitis, kelainan fisisnya hanya ditemukan pada daerah yang mengalami peradangan. Pada radang peritoneum yang menyebar, terdapat peritonitis umum dengan nyeri tekan pada seluruh dinding abdomen dan nyeri pantul (rebound). Ketegangan dinding perut merupakan kelainan yang sering ditemukan pada peritonitis dan dapat lokal atau umum.
5. DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Isselbacher, K. J. dan J. T. LaMont. 2007. Penyakit Peritoneum dan Mesenterium. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 4. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1612-3
Lindseth, G. N. 2007. Gangguan Usus Besar. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 1. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 456-71
Silen, W. 2007. Apendisitis Akut. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 1. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1610-2
Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.
1 comment:
artikelnya sangat bermanfaat sekali, di tunggu artikel yang lainnya
http://blogobattasik.com/obat-tradisional-limfadenitis/
Post a Comment