Saturday, April 4, 2009

SIROSIS HEPATIS PASCAVIRUS DAN SEKUELENYA


1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sirosis adalah entitas patologis yang berkaitan dengan suatu spektrum manifestasi klinis yang khas. Gambaran patologik utama mencerminkan cedera parenkim hati yang kronik dan ireversibel yaitu fibrosis disertai pembentukan nodulus-nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoseluler, kolapsnya jaringan penunjang retikulin disertai dengan deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis parenkim hati sisanya. Proses patologik harus dipandang sebagai akhir dari perjalanan berbagai jenis cedera hati kronik. Gambaran klinis sirosis timbul akibat perubahan morfologik hati dan sering lebih mencerminkan keparahan kerusakan hati daripada etiologi penyakit hati yang mendasari. Hilangnya massa hepatoseluler yang masih berfungsi dapat menimbulkan ikterus, edema, koagulopati, dan berbagai kelainan metabolik; fibrosis dan gangguan vaskular menimbulkan hipertensi portal dan sekuelenya, termasuk varises gastroesofagus dan splenomegali. Asites dan ensefalopati hepatik terjadi akibat insufisiensi hepatoseluler dan hipertensi portal.
Ikterus adalah pewarnaan jaringan tubuh menjadi kekuning-kuningan, meliputi kekuning-kuningan pada kulit dan jaringan dalam. Penyebab umum ikterus adalah adanya sejumlah besar bilirubin dalam cairan ekstrasel, baik bilirubin bebas atau bilirubin terkonjugasi. Konsentrasi bilirubin plasma normal, meliputi hampir seluruhnya bentuk bebas, rata-rata 0,5 mg/dl plasma. Pada keadaan abnormal tertentu, nilainya dapat meningkat sampai 40 mg/dl, dan banyak dari bilirubin ini menjadi tipe konjugasi. Kulit biasanya mulai tampak kuning bila konsentrasinya meningkat kira-kira tiga kali normal, yaitu di atas 1,5 mg/dl. Penyabab ikterus yang umum adalah meningkatnya pemecahan sel darah merah, dengan pelepasan bilirubin yang cepat ke dalam darah, dan sumbatan duktus biliaris atau kerusakan sel hati sehingga bahkan jumlah bilirubin yang biasa sekalipun tidak dapat diekskresikan ke dalam saluran pencernaan. Dua tipe ikterus ini disebut, berturut-turut ikterus hemolitik dan ikterus obstruktif. Keduanya berbeda satu sama lain.
Ikterus hemolitik disebabkan hemolisis sel darah merah. Pada ikterus hemolitik, fungsi ekskresi hati tidak terganggu, tetapi sel darah merah dihemolisis begitu cepat sehingga sel hati tidak dapat mengekskresikan bilirubin secepat pembentukannya. Oleh karena itu, konsentrasi plasma bilirubin bebas meningkat di atas nilai normal. Selain itu, kecepatan pembentukan urobilinogen dalam usus sangat meningkat, dan sebagian besar urobilinogen diabsorbsi ke dalam darah dan akhirnya diekskresikan ke dalam urin.
Ikterus obstruktif disebabkan oleh obstruksi duktus biliaris atau penyakit hati. Ikterus obstruktif disebabkan oleh obstruksi duktus biliaris (yang sering terjadi bila sebuah batu empedu atau kanker menutupi duktus koledokus) atau kerusakan sel hati (yang terjadi pada hepatitis), kecepatan pembentukan bilirubinnya normal, tetapi bilirubin yang dibentuk tidak dapat lewat dari darah ke dalam usus. Bilirubin bebas masih masuk ke sel hati dan dikonjugasi dengan cara yang biasa. Bilirubin terkonjugasi ini kemudian kembali ke dalam darah, mungkin karena pecahnya kanalikuli biliaris yang terbendung dan pengosongan langsung ke saluran limfe yang meninggalkan hati. Jadi, kebanyakan bilirubin dalam plasma menjadi bilirubin terkonjugasi dan bukan bilirubin bebas.
Klasifikasi berbagai jenis sirosis yang hanya didasarkan pada etiologi atau morfologi tidaklah memuaskan. Suatu pola patologik dapat disebabkan oleh berbagai cedera, sementara cedera yang sama dapat menimbulkan beberapa pola morfologik. Bagaimanapun juga, sebagian besar jenis sirosis dapat diklasifikasikan secara etiologis dan morfologis menjadi: (1) alkoholik, (2) kriptogenik dan pascavirus atau pascanekrosis, (3) biliaris, (4) kardiak, (5) metabolik, keturunan, dan terkait obat, dan (6) lain-lain. Dlam skenario ini akan terutama dibahas mengenai sirosis hepatis pascavirus karena dalam skenario dimungkinkan sirosis berasal dari penyakit hepatits yang sudah pernah diidap oleh penderita dan selain itu akan dibahas pula sekuelenya.
Dari skenario 3 Blok Gastrointestinal, ada beberapa masalah penting, yaitu :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Pasien (perempuan usia 50 tahun) datang ke unit gawat darurat RS Dokter Moewardi dengan keluhan utama muntah darah.
- Satu bulan sebelum masuk rumah sakit penderita merasakan perut sebah dan terasa panas, bila diberi makan perut nyeri, nafsu makan turun, mual kadang-kadang muntah.
- Tiga hari sebelumnya pernah muntah darah dan melena, kemudian dirawat di puskesmas terdekat. Karena belum ada perbaikan kemudian dirujuk ke RS Dokter Moewardi.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- Penderita dulu (8 tahun yang lalu) pernah sakit kuning.
- Ada riwayat sakit gastritis.
Ø Riwayat Penyakit Keluarga, berupa:
- (tidak ada data)
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Pada pemeriksaan fisik diperoleh data: keadaan umum lemah, kesadaran compos mentis, tanda vital baik, ikterik, hepar membesar, nyeri tekan epigastrik. Rectal Toucher: hemorrhoid grade 3.
- Laboratorium: SGOT 250 IU, SGPT 235 IU, protein total 6,2 mg/dl, albumin 2,8 mg/dl, bilirubin direk 3,15 mg/dl, bilirubin indirek 2,15 mg/dl.
- Kesimpulan pemeriksaan ultrasonografi abdomen (USG abdomen): kolelitiasis, tidak ada hidrops vesica felea, pankreas normal, terdapat sirosis hepatis dengan hipertensi portal.
- Kesimpulan endoskopi esofagus: terdapat varises, terdapat lesi erosi hemoragik difus pada gaster, dan lesi erosi hemoragik difus pada duodenum.
- Pada penderita direncanakan untuk dilaksanakan pemeriksaan marker hepatitis (hepatits B dan C) dan direncanakan pula untuk dilakukan terapi endoskopi.
- Selanjutnya pasien akan dikirm ke bangsal perawatan dan pasien diberi cairan ringer laktat, proton pump inhibitor, dan realimentasi segera (early feeding).
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas sebagai dasar teori, antara lain :
a. Anatomi umum hati (hepar) dan kantung empedu (vesica felea)
b.Histologi hati dan kantung empedu
c. Fisiologi hati sebagai suatu organ
d. Empedu dan fungsi fisiologisnya
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Mengetahui penegakkan diagnosis melalui berbagai pemeriksaan yang dilakukan.
Ø Mengetahui gejala-gejala penyakit tersebut lebih lanjut.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem pencernaan (sistem gastrointestinal/GIT) dan penyelesaiaannya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu menjelaskan atau merealisasikan:
a. Anatomi, histologi, serta fisiologi saluran pencernaan dan organ asesoris pencernaan.
b. Jenis, fungsi, dan mekanisme kerja enzim dan hormon yang berperanan dalam saluran pencernaan.
c. Penyakit/kelainan yang mengenai saluran cerna dan organ asesoris pencernaan.
d. Konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmu biomedik, klinik, dan perilaku serta ilmu kesehatan masyarakat sesuai dengan pelayanan kesehatan tingkat primer dalam sistem pencernaan.
e. Rangkuman interpretasi anamnesis, pemeriksaan fisik, uji laboratorium, dan prosedur yang sesuai dalam sistem pencernaan.
f. Menentukan efektivitas suatu tindakan dalam sistem pencernaan.
g. Prosedur klinis penunjang diagnosis penyakit GIT.
h. Prosedur keterampilan klinis untuk diagnosis penyakit GIT.
i. Pemeriksaan laboratorium penunjang diagnosis penyakit GIT.
j. Penatalaksanaan/manajemen penyakit GIT.
k. Tindakan preventif penyakit GIT dengan mempertimbangkan faktor pencetus.
l. Pengelolaan penyakit, keadaan sakit, dan masalah pasien dengan gangguan GIT sebagai individu yang utuh, dan bagian dari masyarakat.
m. Pencegahan penyakit dan keadaan sakit dalam bidang pencernaan.
n. Pendidikan kesehatan dalam rangka promosi kesehatan dan pencegahan penyakit pencernaan.
o. Teknologi informasi dan komunikasi untuk membantu pergerakan diagnosis, pemberian terapi, tindakan pencegahan, dan promosi kesehatan, serta penjagaan, dan pemantauan status kesehatan pasien dengan kelainan sistem pencernaan.

2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Umum Hati (Hepar) dan Kantung Empedu (Vesica Fellea)
Hepar memiliki bentuk menyerupai setengah bola yang ireguler dengan sebuah permukaan yang luas, relatif halus, dan cembung yang menghadap ke diafragma dan permukaan lain yang lebih ireguler dan cekung yang menghadap ke viscera. Hepar memiliki 2 permukaan (fascies), yaitu fascies diaphragmatica dan fascies visceralis. Fascies diaphragmatica merupakan permukaan hepar yang menghadap ke diafragma yang dibagi menjadi pars anterior atau ventral, pars superior, pars posterior atau dorsal, dan pars dextra. Facies diaphragmatica pars anterior merupakan [ermukaan yang berhadapan dengan diafragma setinggi costa VI-X beserta kartilagonya di sebelah kanan, dan setinggi cartilago costa VII-VIII di sebelah kiri. Di tengah facies ini terletak di dorsal dari processus xyphoideus dan dinidng anterior abdomen. Facies ini seluruhnya tertutup oleh peritoneum kecuali sepanjang garis perlekatan dari ligamentum falciforme hepatis. Facies diaphragmatica pars superior dipisahkan oleh diafragma dari pleura dan pulmo di sebelah kanan dan perikardium dan cor di sebelah kiri. Daerah yang dekat dengan cor ditandai dengan cekungan yang dangkal yang disebut fossae cardiaca atau impressio cardiaca. Sebagian besar permukaannya tertutup oleh peritoneum, kecuali pada bagian dorsalnya yang melekat pada diafragma melalui refleksi ke atas dari ligamentum coronarium yang memisahkan bagian yang tertutup peritoneum dengan bagian yang melekat pada diafragma yang disebut bare area of the liver. Facies diaphragmatica pars posterior merupakan permukaan luas dan membulat di sebelah kanan tetapi sempit di sebelah kiri. Pada bagian sentral terdapat cekungan yang dalam akibat pendesakan dari columna vertebralis dan crura dari diafragma. Di sebelah kanannya terdapat v. cava inferior yang nyaris terkubur dalam fossa (sulcus venae cavae). Dua atau tiga sentimeter ke sebelah kiri terdapat fossa untuk ductus venosus (fissura ligamenti venosi). Lobus caudatus terletak di antara kedua fossa tersebut. Di sebelah kanan v. cava inferior dan sebagian dari facies visceralis terdapat banguanan akibat pendesakan yang kecil dan berbentuk segitiga, yaitu impressio suprarenalis dari glandula suprarenalis dexter. Di sebelah kiri fissura ligamenti venosi terdapat celah oesophageal yang ditempati oleh anthrum cardiacum dari oesophagus. Sebuah area yang luas pada bagian superior tidak tertutup oleh peritoneum. Bagian ini melekat pada diafragma oleh jaringan ikat yang bebas. Area ini sering disebut sebagai bare area (area nuda), dibatasi oleh refleksi ke superior dan inferior dari ligamentum coronarium. Facies diaphragmatica pars dextra akan berlanjut ke bawah ke tepi kanan yang memisahkan facies ini dnegan facies visceralis. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Facie visceralis berentuk cekung, menghadap ke arah dorsocaudosinistra. Terdiri dari beberapa fossae dan impresiones akibat desakan organ-organ di sekitarnya. Bangunan yang utama dari facies ini adalah porta hepatis, sebuah celah yang dilalui pembuluh darah dan saluran empedu. Facies visceralis tertutup oleh peritoneum kecuali pada perlekatan vesica fellea dan porta hepatis. Pada facies ini lobus hepatis dexter memiliki tiga impresiones. Paling kanan adalah impressio colica, sebuah lekukan yang dangkal yang ditempati oleh flexura colica dextra, di sebelah dorsalnya terdapat sebuah lekukan yang lebih luas dan dalam yaitu impressio renalis yang ditempati oleh ren dexter, dan sebuah area yang sempit dan tidak berbatas nyata di sebelah vesica fellea yaitu impressio duodenalis. Di antara vesica fellea dan fossa untuk v. umbiicalis (fissura ligamenti teretis hepatis) terdpaat lobus quadratus yang berhubungan dengan pylorus, pars superiro duodeni, dan colon transversum. Lobus hepatis sinister yang terletak di sebelah kiri fossa untuk v. umbilicalis memiliki dua bangunan penting. Lekukan yang luas memanjang sampai ke tepi hepar yaitu impressio gastrica terjadi kaibat dsakan facies ventralis dari gaster. Ke arah kanan terdapat sebuah penonjolan yang membulat yang disebut dengan tuber omentale yang terletak di depan omentum minus dan bersentuhan dengan curvatura ventriculi minor. Tepat di depan v. cava inferior terdapat sebuah jalur sempit yang berasal dari jaringan hepar, processus caudatus, yang menghubungkan sudut inferior kanan dari lobus caudatus dengan lobus hepatis dexter. Peritoneum yang melekat di situ melapisi batas ventral dari foramen epiploicum. Batas inferior dari hepar tipis dan tajam. Tepi kirinya tipis dan tumpul dari atas ke bawah. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Hepar juga memiliki fissurae dan fosssae. Fossa sagitalis sinister (fissura longitudinalis) adalah sebuah celah yang dalam pada facies visceralis yang memisahkan lobus hepatis dexter dan lobus hepatis sinister. Terletak agak lurus di sebelah kanannya yaitu porta hepatis emmbagi fissura ini menjadi dua. Bagian ventral adalah fissura ligamenti teretis hepatis yang ditempati oleh v. umbilicalis pada masa fetus yang pada dewasa menjadi ligamentum teres hepatis. Pada bagian dorsalnya terdpaat fossa untuk ductus venosus (fissura ligamneti venosi Arantii) yang terletak di antara lobus caudatus dan lobus hepatis sinister. Pada foetus, fossa ini ditempati oleh ductus venosus yang pada orang dewasa akan mengalami obliterasi menjadi ligamentum venosum (Arantii). Porta hepatis atau fissura transversa merupakan fissura yang pendek tetapi dalam, melintang pada facies visceralis dari bagian kiri lobus hepatis dexter, tegak lurus dengan fossa sagitalis sinister dan memisahkan lobus quadratus dan lobus caudatus. Porta hepatis dilalui oleh v. porta hepatis, a. hepatica, ductus hepaticus, nodi lymphatici hepatici, dan plexus hepaticus. Ductus hepaticus di sebelah kanan, a. hepatica propria di sebelah kiri, dan v. porta di sebelah dorsal di antara ductus dan arteri. Bangunan-bangunna yang melalui porta hepatis tersebut, di luar hepar berjalan di dalam ligamentum hepatoduodenale. Fossa vesica fellea dangkal dan berbentuk empat persegi panjang, terletak pada facies visceralis lobus hepatis dexter sejajr dengan fossa sagitalis. Fossa vena cava inferior (sulcus venae cavae) merupakan suatu cekungan yang pendek dan dalam yang menjadi sebuah kanal karena adanya jaringan dari hepar yang melingkupi v. cava inferior. Bangunan ini terpisah dari porta hepatis oleh processus caudatus. Fissura sagitalis dextra merupakan sebuah fissura yang tidak berbatas nyata yang memisahkan lobus hepatis dexter dengan lobus caudatus dan lobus quadratus. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Bagian lain dari hepar adalah lobus. Hepar memiliki empat lobi. Yang paling besar adalah lobus hepatis dexter, dapat dilihat dari semua permukaan hepar dan terpisah dari lobus hepatis sinister yang lebih kecil oleh sebuah fissura yang dalam. Yang lebih kecil lagi adalah lobus caudatus dan lobus quadratus yang dapat dilihat pada facies visceralis. Lobus hepatis dexter enam kali lebih besar dari lobus hepatis sinister dan menempati regio hypochondriaca dextra dan terpisah dari lobus hepatis sinister oleh ligamnetum falciforme pada facies diaphragmatica dan oleh fossa sagitalis sinister pada facies visceralis. Lobus ini berbentuk quadrilateral, dan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada facies visceralisnya terdapat tiga fossae, yaitu porta hepatis, fossa vesica fellea, dan fossa untuk v. cava inferior (sulcus venae cavae), yang memisahkan bagian kirinya mejadi dua lobi yang lebih kecil yaitu lobus caudatus dan lobus quadratus. Lobus quadratus dibatasi oleh margo inferior hepar di sebelah ventral, porta hepatis di sebelah dorsal, fossa vesica fellea di sebelah kanan, dan fissura ligamenti teretis di sebelah kiri. Lobus ini berbentuk empat persegi panjang dengan diameter dorsoventral lebih besar dibandingkan diameter transversalnya. Lobus caudatus berhadapan dengan vertebra thoracalis X dan vertebra thoracalis XI, berbatasan dengan v. porta di sebelah inferiornya, sulcus vena cava di sebelah kanannya, dan fissura ligamenti venosi di sebelah kirinya. Lobus ini memiliki peninggian yang kecil dan memanjang miring ke lateral dari tepi bawah lobus caudatus ke facies visceralis lobus hepatis dexter dan disebut processus caudatus. Berbatasan dengan porta hepatis di sebelah dorsal dan memisahkan fossa vesica fellea dari permukaan sulcus venae cavae. Di sebelah kanan dari processus ini, lobus caudatus juga membentuk penonjolan yang disebut processus papillaris. Lobus hepatis sinister lebih kecil dan lebih datar dibandingkan dengna lobus hepatis dexter. Terletak di regio epigastrica dan hypochondriaca sinistra. Permukaan cranialnya sedikit cembung, sedangkan permukaan caudalnya memperlihatkan impressio gastrica dan tuber omentale. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Saluran empedu ekstrahepatal terdiri atas ductus hepaticus, ductus cysticus, dan ductus choledocus. Ductus hepaticus dibentuk oleh dua saluran besar yang keluar dari porta hepatis dan berukuran hampir sama, satu dari lobus hepatis dexter dan lainnya dari lobus hepatis sinister. Ductus cysticus memiliki mucosa yang berlipat-lipat. Lipatan-lipatannya berjalan oblik membentuk gambaran spiral sehinnga disebut juga sebagai valvula spiralis (Heister). Bagian spiral ini disebut pars spiralis, sedang bagian yang licin disebut pars glebra. Ductus choledocus merupakan persatuan dari ductus cysticus dan ductus hepaticus yang akan bernuara ke papilla duodeni major. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Hepar dilekatkan ke diafragma oleh ligamentum coronarium, ligamentum triangulare, dan jaringan ikat yang melekat ke diafragma di antara bare area dan diafragma. Ligamentum coronarium terdiri atas dua lapis. Lapis depan dibentuk oleh refleksi peritoneum di tepi anterior bare area. Sedang lapis belakang adalah refleksi peritoneum dari tepi caudal bare area menuju ke ren dan glandula suprerenalis dexter dan disebut juga sebagai ligamentum hepatorenalis. Ligamentum triangulare ada dua, yaitu ligamentum triangulare dextrum dan ligamntum triangulare sinistrum. Ligamentum triangulare dextrum terletak di tepi kanan dari bare area of the liver. Ligamentum triangulare sinistrum menghubungkan bagian posterior permukaan paling atas lobus hepatis sinsiter dengan diafragma dan berakhir di ujung kiri sebagai pita fibrous yang kuat yang disebut sebagai appendix fibrosa hepatis. Appendix fibrosa hepatis adalah merupakan sisa dari ductus biliferus yang atropi. Jika jaringan hepar pada daerah ini masih persisten, maka akan membentuk suatu keadaan yang disebut beaver tail liver. Sementara itu ligamentum falciforme yang lemah tidak ikut memfiksasi walaupun mungkin akan membatasi gerak hepar ke lateral. Selama diafragma menurun karena pernapasan yang dalam, hepar akan bergerak ke ventral dan menyebabkan tepi hepar bergerak ke caudal sehinga dapat dipalpasi. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Sistem vaskularisasi arterial pada hepar adalah a. hepatica propria cabang dari a. hepatica communis, yang mempercabangkan ramus dexter dan sinsiter sebelum masuk ke porta hepatis. A. hepatica propria dextra dan sinistra membawa darah teroksigenasi ke hepar, di mana bagian perifer mendapat suplai oksigen lebih baik daripada bagian tengah. Vasa darah ini termasuk dalam porta hepatis di dalam ligamentum hepatoduodenale. Ramus dextra dan sinistra di dalam hepar akan bercabang-cabang menjadi a. interlobularis dalam canalis porta kemudian menjadi a. intralobularis di dalam lobulus-lobulus hepar. Sistem vaskularisasi venosa adalah v. porta hepatis yang akan membawa darah venosa yang kaya akan hasil pencernaan. V. porta hepatis setelah menerima darah dari tractus digestivus akan masuk ke hepar melalui porta hepatis, di mana ia berlanjut menajdi v. interlobularis yang kemudian ke arah intralobularis menjadi sinusoid-sinusoid yang akan berakhir pada v. centralis di tengah-tengah lobulus hepatis. Dari sini darah dicurahkan ke v. sublobularis untuk kemudian dicurahkan ke v. hepatica propria dextra dan sinistra. Vena ini akan meninggalkan permukaan postrior hepar dan bermuara langsung ke v. cava inferior. Sistema venosa seperti ini di mana darah tidak langsung dicurahkan ke v. cava inferior tetapi ke hepar dulu disebut sebagai sistema porta hepatis. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Sistem limfatika hepar akan menghasilkan cairan limfe sekitar sepertiga sampai separuh dari cairan limfe yang ada di seluruh tubuh. Dari spatium Disse, limfe dicurahkan ke vasa linfatika interlobularis kemudian keluar melalui porta hepatis menuju ke nodi lymphatici hepatici. Dari sini limfe dicurahkan ke nodus lymphaticus gastrica sinistra atau nodus lymphaticus colica untuk dicurahkan ke cisterna chylii. Beberapa pembuluh limfe mengalirkan cairan limfe melalui v. heatica menuju ke nodus lymphaticus di sekitar v. cava inferior untuk kemudian ke nodus lymphaticus mediastinalis posterior. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Vesica fellea (gallblader) adalah sebuah kantung muskular yang berwarna hijau berbentuk seperti buah pear dengan dinding yang tipis dan panjang sekitar 10 cm (4 inchi). Vesica fellea terletak pada fossa vesica fellea pada facies visceralis hepar. Bagian-bagian dari vesica fellea adalah fundus, corpus, infundibulum, dan collum. Infundibulum dan collum kadang membentuk ampulla. Susunan dindingnya dari luar ke dalam adalah: tunica serosa, tunica muscularis yang terdiri atas serabut-serabut otot yang berjalan spiral dan longitudinal, dan tunica mucosa. Vaskularisasi vesica fellea untuk darah arteriosa adalah a. cystica yang merupakan cabang dari a. hepatica propria dextra. Pembuluh darah yang mengalirkan darah venosa dari vesica fellea dibawa oleh v. cystica untuk kemudian bermuara ke v. porta hepatis. Sistem limfatika pada vesica fellea berjalan menuju ke nodus lymphaticus cysticus yang terletak dekat dengan collum vesica fellea. Dari sini limfe akan dicurahkan ke nodi lymphatici hepatici dan nodus lymphaticus gastrica sinistra. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
B. Histologi Hati dan Kantung Empedu
Lobuli hepar umumnya berbentuk heksagonal. Dikelilingi oleh jaringan pengikat interlobularis (septum interlobularis) sebagai lanjutan dari capsula fibrosa. Di dalam lobuli terdapat rangkaian sel-sel hepar atau sel-sel parenkim hepar yang tersusun radier dengan vena centralis sebagai pusat. Sel-sel parenkim hepar berbentuk poligonal, sitoplasma mengandung granula glikogen, nukleus bulat, terdapat satu buah, tetapi kadang-kadang 2 buah nukleus. Di antara beberapa lobuli terdapat suatu daerah yang tersusun oleh jaringan pengikat yang pada potongan melintang umumnya berbentuk segitiga, ini disebut sebagai trigonum kiernan. Pada trigonum kiernan terdapat a. interlobularis (cabang dari a. hepatica), v. interlobularis (cabang dari v. hepatica), ductus biliferus (yang mengumpulkan empedu dari sinusoid, dikelilingi oleh epitelium columnair simplex), pembuluh-pembuluh limfe, dan serabut-serabut saraf. Dengan pengecatan khusus Trypan Blue akan menunjukkan dengan jelas adanya sinusoid-sinusoid yaitu celah-celah di antara sel-sel parenkim hepar endothelium yang berbentuk pipih. Sel-sel berbentuk stelat, nukleus tampak merah dengan sitoplasma granulair biru, terdapat di antara sel-sel endotelium. Dengan pengecatan khusus Gomori akan tampak serabut-serabut retikulair yang berasal dari jaringan pengikat interlobularis lalu masuk ke dalam lobuli di antara sel-sel parenkim hepar, akan tercat hitam. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Kantung empedu terdapat 3 lapisan. Tunika mukosa membentuk lipatan-lipatan/rugae. Lipatan-lipatan yang besar terbagi-bagi lagi menjadi lipatan-lipatan yang lebih kecil sehingga permkaannya tampak seperti sarang tawon. Permukaan lekukan ini dibatasi dengan epitelium dan langsung meluas ke dalam lamina propria dan lapisan muskuler. Kantung/lekukan ini disebut “Sinus Rokitansky Aschoff”. Epitelium kolumnar tinggi dengan permukaan terdapat striated border yang tipis, mengandung granula kromatin yang terletak di basis sel. Sitoplasma yang terpulas kuat dengan eosin, inti oval terletak di basal. Di sini juga mengandung lemak, lipid, dan mitokondria. Pada mukosanya tidak mengandung glandula dan sel goblet kecuali pada daerah leher (collum). Lamina propria dan lapisan perimusculair pada bagian leher, mengandung glandula tubulo alveolair. Epitelium kuboid dari glandula ini dikatakan menghasilkan mukus. Tunika muskularis merupakan lapisan otot paling polos yang paling tebal, sabut-sabut otot polos longitudinal terletak dekat tunika propria sedang otot polos sirkulair lebih banyak daripada otot polos longitudinal. Di antara otot polos tersebut terdapat jaringan pengikat yang mengandung banyak sabut-sabut elastis. Tunika serosa/adventitia merupakan jaringan pengikat longgar yang mengandung pembuluh-pembuluh darah, pembuluh limfe dan sabut-sabut saraf dan permukaan bebasnya diliputi oleh peritoneum. Bagian yang melekat pada hepar menjadi tunika adventitia. Kadang-kadang pada permukaan hepar dekat leher (collum) terdapat struktur aneh yang menyerupai suatu duktus. Mereka terdapat beberapa jauh dalam jaringan pengikat dan beberapa di antara mereka ini berhubungan dengan duktus biliferus. Mereka ini tidak pernah berhubungan dengan lumen vesica fellea dan mungkin merupakan suatu penyimpangan letak duktus biliferus selama perkembangan embrionik dari sistem empedu. Mereka ini disebut duktus dari Luschka atau duktus Abberans Luschka. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
C. Fisiologi Hati sebagai Suatu Organ
Hati memiliki aliran darah yang tinggi sedangkan resistensi vaskularnya rendah. Kira-kira 1050 mL darah mengalir per menit ke sinusoid hati dan 300 mL juga akan mengalir ke sinusoid hati dari a. hepatica. Jadi totalnya sekitar 1350 mL/menit yang merupakan 27% dari sisa curah jantung. Tekanan rata-rata di dalam v. porta yang mengalir ke hati adalah sekitar 9 mmHg dan rata-rata tekanan di dalam v. hepatica yang mengalir dari hati ke v. cava, normalnya 0 mmHg. Perbedaan tekanan yang kecil ini dikarenakan oleh tahanan aliran darah melalui sinusoid hati yang normalnya sangat rendah. Pada sirosis hepatis terdapat resistensi aliran darah meningkat. Jika sel-sel parenkim hati hancur atau rusak akan digantikan oleh jaringan fibrosa sehingga akan menyebabkan kontraksi di sekeliling pembuluh darah dan akhirnya akan menghambat darah porta melalui hati. Proses inilah yang terjadi pada pasien dengan sirosis hepatis, etiologinya paling umum adalah alkoholisme, masuknya racun misalnya karbon tetraklorida, penyakit virus misalnya hepatitis infeksiosa, dan mungkin juga obstruksi dan infeksi salam duktus biliaris. (Guyton dan Hall, 2007)
Sistem porta juga bisa terhambat oleh adanya gunpalan besar yang berkembang di dalam v. porta atau cabang utamanya. Bila sistem porta tiba-tiba tersumbat, kembalinya darah dari usus dan limpa melalui sistem alirand arah porta hati ke sirkulasi sistemik menjadi sangat terhambat, yang mengakibatkan hipertensi porta dan tekanan kapiler di dalam dinding usus meningkat 15 sampai 20 mmHg di atas normalnya. Hal ini bisa mengakibatkan adanya kematian karena kehilangan cairan yang banyak dari kapiler ke dalam lumen dan dinding usus. (Guyton dan Hall, 2007)
Hati juga berfungsi sebagai penyimpan darah. Volume darah yang ada di hati (vena dan jaringan) sekitar 450 mL (kira-kira 10% dari total volume darah tubuh). Hati juga merupakan suatu organ yang besar, dapat meluas, dan organ venosa yang mampu bekerja sebagai tempat penampungan darah pada saat volume darah total berlebihan dan akan mampu menyuplai darah ekstra pada saat tubuh kekurangan volume darah. Misalnya pada penderita gagal jantung dengan kongesti perifer, tekanan yang tinggi di dalam atrium kanan menyebabkan tekanan balik di dalam hati, hati pun akan meluas dan oleh karena itu setengah sampai dengan satu liter cadangan darah kadang-kadang disimpan di dalam v. hepatica dan sinus hepatika. (Guyton dan Hall, 2007)
Pori di dalam sinusoid hati sangat permeabel dan memungkinkan segera berlalunya cairan dan protein ke ruang Disse, aliran limfe dari hati biasanya mempunyai konsentrasi protein sekitar 6 gr/dl. Permeabilitas yang ekstrem dari epitelium sinusoid hati memungkinkan terbentuknya limfe dalam jumlah besar. Oleh karena itu, kira-kira setengan dari limfe yang terbentuk di dalam tubuh di bawah kondisi istirahat ada di dalam hati. Peningkatan tekanan v. hepatica sebesar 3 sampai 7 mmHg di atas normal akan menyebabkan transudasi sejumlah besar cairan ke saluran limfe dan kebocoran melalui permukaan luar simpai hati langsung ke rongga abdomen. Jika tekanan v. cava 10-15 mmHg maka aliran limfe bisa meningkat lebih dari 20 kali normalnya. Hal ini bisa berakibat pada menetesnya cairan dari hati dapat sangat besar sehingga bisa terdapat sejumlah cairan bebas di rongga abdomen (asites). Asites juga bisa disebabkan oleh hambatan aliran porta melalui hepar sehingga tekanan kapilernya tinggi di seluruh sistem pembuluh darah porta dari saluran pencernaan. Hal ini berakibat edema pada dinding usus dan transudasi cairan melalui serosa usus ke dalam rongga abdomen. Akhirnya terjadilah asites. (Guyton dan Hall, 2007)
Hati adalah suatu organ yang memiliki kemampuan regenerasi yang sangat tinggi. Regenerasi bisa berlangsung cepat dan selama regenerasi hati, hepatosit diperkirakan bisa mengalami replikasi sebanyak satu atau dua kali dan setelah tercapai ukuran dan volume hati seperti sebelumnya, hepatosit akan kembali pada keaddan semula. Adanya HGF, hepatocyte growth factor, merupakan suatu faktor penting untuk menyebabkan pembelahan dan pertumbuhan sel hati. HGF diproduksi oleh sel mesenkimal di dalam hati dan jaringan lain dan bukan oleh hepatosit. Misalnya suatu keadaan setelah hepatektomi parsial, kadar HGF lebih dari 20 kali lipat dan ditemukan respons mitogenik hanya di hati, inilah yang membuktikan bahwa HGF teraktifkan hanya pada sel yang bersangkutan. Faktor pertumbuhan lain yang turut berperan, antara lain adalah TNF, IL-6, dan epidermal growth factor. Sekali lagi, setelah tercapai ukuran dan volume hati yang sebelumnya, regenerasi segera dihambat. Hal yang paling memungkinkan dalam penghentian regenerasi ini adalah transforming growth factor beta yang disekresikan oleh sel hati dan penghambat proliferasi hati. (Guyton dan Hall, 2007)
Darah yang mengalir melalui kapiler usus akan mengangkut banyak bakteri dalam usus. Telah dibuktikan bahwa darah dari v. porta sebelum masuk ke hati dapat menumbuhkan kuman basilus kolon jika dilakukan biakan tetapi di dalam tubuh, pertumbuhan basilus kolon dari darah di dalam sirkulasi sistemik sangat jarang terjadi. Hal inilah yang menjelaskan kerja sistem makrofag hepatik. Makrofag ini sering disebut sebagai sel Kupffer dan sel inilah yang secara efisien akan membersihkan darah sewaktu darah melewati sinus. Bila ada bakteri, dalam waktu kurang dari 0,01 detik, bakteri akan masuk menembus dinding sel Kupffer dan akan menetap di dalam sampai bakteri tersebut dicernakan. Dan berkat sel Kupffer, hanya kurang dari 1 persen bakteri yang masuk ke darah porta dari usus berhasil melewati hati ke sirkulasi sistemik. (Guyton dan Hall, 2007)
Hati berfungsi penting dalam hal metabolisme. Hati merupakan kumpulan besar sel reaktan kimia dengan laju metabolisme yang tinggi, saling memberikan substrat dan energi dari suatu sistem metabolisme ke sistem yang lain, mengolah dan menyintesis berbagai zat yang diangkut ke daerah tubuh lainnya dan akan melakukan berbagai fungsi metabolisme lainnya. (Guyton dan Hall, 2007)
Dalam fungsi metabolisme karbohidrat, hati akan menyimpan glikogen dalam jumlah besar sehingga bisa mempertahankan glukosa darah agar tetap normal, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, menjalankan fungsi glukoneogenesis, dan akan membentuk banyak senyawa kimia dari produksi antara metabolisme karbohidrat. Dalam fungsi menyimpan glikogen dalam jumlah besar, hati akan menyimpan glikogen yang juga memungkinkan pengambilan kelebihan glukosa dari darah, menyimpannya dan akan mengembalikannya kembali ke darah bila konsentrasi glukosa mulai turun dan rendah. Fungsi glukoneogenesis penting untuk mempertahankan konsentrasi normal glukosa darah. Sejumlah besar asam amino dan gliserol dari trigliserida diubah menjadi glukosa sehingga bisa mempertahankan konsentrasi glukosa darah yang relatif normal. (Guyton dan Hall, 2007)
Dalam hal fungsi metabolisme lemak, hati akan mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain, hati akan mensintesis kolesterol dan fosfolipid serta sebagian besar lipoprotein, melakukan sintesis lemak dari protein dan karbohidrat yang akan dibawa oleh lipoprotein ke jaringan lemak untuk disimpan. Untuk memperoleh energi, diperlukan lemak netral. Lemak yang dipecah menjadi asam lemak dan gliserol, asam lemak akan diubah menjadi radikal asetil berkarbon 2 melalui oksidasi beta (yang merupakan reaksi yang bisa dilakukan di semua jaringan tubuh tetapi paling cepat dilakukan di sel hati). Radikal asetil berkarbon 2 akan diubah menjadi asetil ko-A yang kemudian akan masuk ke siklus asam sitrat yang kan dioksidasi untuk menghasilkan energi dalam jumlah besar. Perlu diketahui bahwa tidak semua asetil ko-A masuk ke siklus asam sitrat, akan tetapi kondensasi 2 molekul asetil ko-A akan diubah menjadi asam asetoasetat yang memiliki kelarutan yang tinggi sehingga bisa melewati sel hati dan masuk ke cairan ekstrasel yang akan ditranspor dan diabsorbsi oleh jaringan lain dan akhirnya akan diubah menjadi asetil ko-A dan akan dioksidasi dengan cara biasa. (Guyton dan Hall, 2007)
Delapan puluh persen kolesterol yang disintesis hati akan diubah menjadi garam empedu yang akan disekresikan kembali ke empedu dan sisanya diangkut dalam lipoprotein dan dibawa oleh darah ke semua sel jaringan tubuh. Fosfolipid yang dihasilkan akan ditranspor dalam lipoprotein. Kolesterol dan fosfolipid penting dalam membentuk membran, struktur intrasel, dan bermacam-macam zat kimia yang penting untuk fungsi sel. (Guyton dan Hall, 2007)
Fungsi hati dalam metabolisme protein antara lain adalah untuk deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino (jenis nonesensial) dan sintesis senyawa lain dari asam amino. Deaminasi asam amino dibutuhkan sebelum asam amino dapat dipergunakan untuk energi atau diubah menjadi karbohidrat dan lemak. Pembentukan ureum akan mengeluarkan amonia dari cairan tubuh; amonia berasal dari proses deaminasi dan oleh pembentukan dari bakteri dalam usus yang akan diabsorbsi ke dalam darah. Jika pembentukan ureum berkurang, konsentrasi amonia akan menjadi tinggi dan akhirnya menjadi koma hepatik. Penurunan aliran darah yang besar melalui hati yang kadangkala terjadi bila timbul pintasan antara v. porta dan v. cava berakibat peningkatan amonia yang berlebih dalam darah dan akan menjadi sangat toksik. (Guyton dan Hall, 2007)
Semua protein plasma, kecuali gama globulin, dihasilkan di hati. Produksi protein plasma di hati sekitar 15 sampai dengan 50 gram per harinya. Jika tubuh kehilangan banyak protein plasma, mitosis sel hati menjadi lebih cepat dan pertumbuhan hati menjadi lebih besar. Dalam produksi asam amino nonesensial, mula-mula dibentuk asam keto dengan komposisi kimia yang sama dengan asam amino yang akan dibentuk (kecuali oksigen keto) kemudian satu radikal amino ditransfer melalui transaminasi dari asam amino yang tersedia ke asam keto untuk menggantikan oksigen keto. (Guyton dan Hall, 2007)
Fungsi hati yang lainnya masih banyak, dan antara lain akan dijelaskan sebagai berikut. Fungsi hati dalam penyimpanan vitamin, misalnya vitamin A (bisa disimpan sampai 10 bulan), vitamin D (bisa untuk mencegah defisiensi selama 3-4 bulan), dan vitamin B12 (dapat disimpan selama 1 tahun atau beberapa tahun). Hati juga berfungsi dalam hal penyimpanan besi dalam bentuk ferritin kecuali besi dalam hemoglobin darah. Dalam hal ini, sel-sel hati memiliki apoferitin yang bisa bergabung dengan besi, baik jumlahnya sedikit ataupun banyak dan membentuk ferritin yang kemudian disimpan. Sistem ini (apoferritin-ferritin) bekerja sebagai penyangga besi darah dan sebagai media penyimpanan besi. Fungsi lainnya adalah pembentukan zat-zat untuk koagulasi darah dalam jumlah banyak, meliputi fibrinogen, protrombin, globulin akselerator, faktor VII, vitamin K juga dihasilkan dan dibutuhkan oleh proses metabolisme hati untuk membentuk protrombin dan faktor VII, IX, dan X. Hati akan mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon, dan zat lain. Obat-obatan, misalnya sulfonamid, penisilin, ampisilin, eritromisin ke dalam empedu. Hormon, misalnya tiroksin dan hormon-hormon steroid (estrogen, kortisol, dan aldosteron). Zat lain, misalnya kalsium yang akan dikeluarkan ke empedu kemudian ke usus dan akhirnya ikut keluar bersama feses. (Guyton dan Hall, 2007)
Satu lagi yang penting dalam hati adalah mengenai metabolisme bilirubin. Pada waktu sel darah merah pecah, maka Hb akan terlepas oleh karena aktivitas sistem retikuloendotelial dan makrofag dan terpecah menjadi heme dan globin. Heme akan dibuka dan memberi besi bebas yang ditranspor ke dalam darah oleh transferin, rantai lurus dari 4 inti pirol dan merupakan substrat yang akan dibentuk menjadi pigmen empedu. Pigmen pertama berupa bilirubin bebas (unconjugated, indirect) yang secara bertahap akan dilepaskan dari makrofag ke dalam plasma dan akan bergabung dengan sangat kuat dengan albumin plasma kemudian ditranpor dalam bentuk gabungan ke darah dan cairan interstitial. Setelah beberapa jam, akan diabsorbsi melalui membran sel hati kemudian masuk ke sel hati kemudian bilirubin dilepaskan dari albumin plasma dan 80% akan dikonjugasi dengan asam glukuronat, 10% dengan sulfat, dan 10% dengan zat lainnya menjadi bilirubin glukuronida dan bilirubin sulfat. Kemudian bilirubin akan dikeluarkan melalui proses transpor aktif ke kanalikuli empedu dan akan masuk ke usus. Setengah dari jumlah bilirubin terkonjugasi akan diubah menjadi urobilinogen oleh karena kerja bakteri. Urobilinogen akan direabsorbsi melalui mukosa usus kembali ke darah, sebagian besar diekskresikan kembali oleh hati ke dalam usus, sekitar 5% diekskresikan oleh ginjal ke dalam urin. Setelah terpapar ke dalam urin, maka urobilinogen akan teroksidasi di urin menjadi urobilin dan teroksidasi di feses menjadi sterkobilin. (Guyton dan Hall, 2007)
D. Empedu dan Fungsi Fisiologisnya
Hati melaksanakan berbagai fungsi penting termasuk pembentukan empedu. Di setiap lempeng hati terdapat saluran tipis penyalur empedu yaitu kanalikuli biliaris yang nantinya akan berlanjut ke duktus biliaris. Lubang duktus biliaris ke dalam duodenum dijaga oleh sfingter Oddi, yang mencegah empedu masuk ke dalam duodenum kecuali selama ingesti makanan. Apabila sfingter tertutup maka empedu yang telah disekresikan akan dibelokkan ke kandung empedu. Empedu kemudian disimpan dan dipekatkan di dalam kandung empedu pada waktu makan. Setelah makan, empedu masuk ke duodenum akibat kombinasi efek pengosongan kandung empedu dan peningkatan sekresi empedu oleh hati. Jumlah empedu yang diselresikan per hati berkisar dari 250 mL sampai 1 liter, bergantung pada derajat rangsangan. (Guyton dan Hall, 2007)
Garam empedu merupakan turunan kolesterol yang didaur ulang melalui sistem enterohepatik. Jumlah total garam empedu di dalam tubuh rata-rata 3-4 gram, namun dalam satu kali makan garam empedu yang disalurkan ke duodenum dapat mencapai 3-15 gram. Jelaslah garam empedu perlu untuk didaur ulang beberapa kali dalam sehari untuk mempertahankan jumlah simpanan garam empedu agar tetapi konstan. Garam empedu membantu pencernaan dan penyerapan lemak masing-masing melalui efek deterjen (emulsifikasi) dan pembentukan misel. (Guyton dan Hall, 2007)
Adapun produk sisa yang diekskresikan di empedu adalah bilirubin. Bilirubin adalah pigmen empedu utama yang berasal dari penguraian sel darah merah yang usang. Di dalam saluran pencernaan, pigmen ini mengalami modifikasi oleh enzim-enzim bakteri yang kemudian menyebabkan tinja berwarna cokelat khas. Bila jumlah bilirubin yang dibentuk lebih cepat daripada yan dapat diekskresikan, terjadi penimbunan bilirubin di tubuh yang menyebabkan ikterus (jaundice). (Guyton dan Hall, 2007)
Sekresi empedu dapat ditingkatkan melalui mekanisme kimiawi, hormonal dan saraf. Untuk kimiawi: koleretik (setiap bahan yang dapat meningkatkan sekresi empedu oleh hati) yang paling kuat adalah garam empedu. Untuk hormonal: sekretin dapat merangsang sekresi empedu alkalis encer oleh duktus hati tanpa disertai peningkatan garam empedu. Untuk saraf: stimulasi saraf vagus hanya sedikit berperan meningkatkan sekresi empedu selama fase sefalik pencernaan. (Guyton dan Hall, 2007)

3. DISKUSI DAN BAHASAN
Dalam laporan ini hanya akan dibahas mengenai sirosis hepatis pascanekrosis (pascavirus), kolelitiasis (batu empedu), gastritis, dan sekuele sirosis hepatis yang berupa hipertensi portal dan perdarahan varises.
Sirosis pascanekrosis mencerminkan perjalanan akhir berbagai jenis cedera hati tahap lanjut. Sirosis pascanekrosis juga sering disebut sebagai sirosis multilobularis, sirosis pascahepatitis, dan coarsely nodular cirrhosis. Nama sirosis kriptogenik pernah digunakan untuk menggantikan sirosis pascanekrosis tetapi nama ini kemudian digunakan untuk kasus sirosis yang etiologinya tidak diketahui. Sirosis pascanekrosis adalah suatu istilah morfologik yang mengacu pada stadium tertentu cedera hati kronik tahap lanjut oleh sebab spesifik dan kriptogenik (tidak diketahui). Bukti epidemiologik dan serologik mengisyaratkan bahwa hepatitis virus (hepatitis B atau C) mungkin merupakan faktor pendahulu pada seperempat sampai tiga perempat kasus sirosis pascanekrosis yang tampaknya kriptogenik.
Hati pascanekrosis biasanya menciut, berbentuk tidak teratur, dan teridiri dari nodulus sel hati yang dipisahkan oleh pita fibrosis padat dan lebar. Gambaran mikroskopik konsisten dengan gambaran makroskopiknya. Ukuran nodulus sangat bervariasi dengan sejumlah besar jaringan ikat memisahkan pulau parenkim regenerasi yang susunannya tidak teratur.
Pada pasien sirosis yang etiologinya diketahui dan mengalami perkembangan menuju stadium pascanekrosis, gambaran klinis yang terjadi merupakan perluasan dari proses penyakit awal. Biasanya gejala klinis berkaitan dengan hipertensi portal dan sekuelenya, misalnya asites, splenomegali, hipersplenisme, ensefalopati, dan perdarahan varises esofagus. Kelainan fungsi hati dan hematologik mirip dengan sirosis jenis lainnya. Pada sebagian kecil pasien pascanekrosis, diagnosis ditegakkan secara tidak sengaja saat operasi, autopsi, atau oleh biopsi jarum hati yang dilakukan untuk menyelidiki hepatosplenomegali asimtomatik.
Penatalaksanaannya biasanya terbatas pada pengobatan untuk komplikasi hipertensi portal, termasuk mengatasi asites, menghindari obat atau masukan protein yang berlebihan yang dapat mencetuskan koma hepatikum, dan pemberian terapi segera bila terjadi infeksi. Pada pasien sirosis asimtomatik, penatalaksanaan yang bersifat menunggu saja cukup. Pada pasien yang telah mengalami sirosis pascanekrosis akibat penyakit yang dapat diobati, terapi yang ditujukan kepada penyakit primer dapat menghambat perkembangan penyakit.
Pembahasan selanjutnya adalah mengenai hipertensi portal. Tekanan normal dalam vena porta adalah rendah (sekitar 10-15 cm salin) karena resistensi vaskuler dalam sinusoid-sinusoid hati minimal. Hipertensi portal (lebih dari 30 cm salin) paling sering disebabkan oleh peningkatan resistensi aliran darah portal. Karena sistem vena porta tidak memiliki katup, maka resistensi di setiap ketinggian antara sisi kanan jantung dan pembuluh splanknikus menyebabkan tekanan yang meninggi disalurkan secara retrogarad. Peningkatan resistensi dapat terjadi tiga tingkatan relatif terhadap sinusoid hati: (1) prasinusoid, (2) sinusoid, dan (3) pascasinusoid. Sumbatan pada kompartemen venosa prasinusoid secara anatomik dapat terletak di luar hati (misalnya trombosis vena porta) atau di dalam hati itu sendiri tetapi pada tingkatan fungsional proksimal terhadap sinusoid hati sehingga parenkim hati tidak terkena oleh peningkatan tekana vena. Sumbatan pascasinusoid juga dapat terjadi di luar hati setinggi vena hepatika, vena kava inferior, atau, yang lebih jarang di dalam hati (misalnya penyakit venooklusif dengan venula hati sentralis merupakan tempat utama terjadinya cedera). Bila sirosis mengalami komplikasi hipertensi portal, peningkatan resistensi biasanya bersifat sinusoidal. Walaupun perbedaan antara proses prasinusoid, pascasinusoid, dan sinusoid secara konseptual memang menarik, resistensi fungsional terhadap aliran darah porta pada seorang pasien dapat terjadi di lebih dari satu tingkatan. Hipertensi portal juga dapat muncul akibat peningkatan aliran darah, tetapi rendahnya resistensi aliran keluar pada hati normal menyebabkan hal ini jarang terjadi.
Manifestasi klinis utama hipertensi portal mencakup perdarahan dari varises gastroesofagus, splenomegali dengan hipersplenisme, asites, ensefalopati hepatikum akut dan kronik. Semua manifestasi tersebut berhubungan, paling tidak sebagian, dengan pembentukan saluran kolateral porta sistemik. Tidak adanya katup dalam sistem vena porta memungkinkan aliran darah retrograd (hepatofugal) dari sistem vena porta yang bertekanan tinggi ke sirkulasi vena sistemik yang bertekanan rendah. Tempat utama pembentukan aliran kolateral adalah vena di sekitar rektum (hemoroid), taut kardioesofagus (varises esofagogaster), ruang retroperitoneum, dan ligamentum falsiformis hati (kolateral dinding abdomen atau periumbilikus). Kolateral dinding abdomen tampak sebagai pembuluh epigastrik yang berkelok-kelok yang memancar dari umbilikus ke arah xifoid dan batas iga (kaput medusa).
Perdarahan varises dapat terjadi dari setiap kolateral vena portal-sistemik, perdarahan paling sering berasal dari varises di daerah taut gastroesofagus. Faktor yang membantu perdarahan dari varises gastroesofagus tidak begitu dimengerti seluruhnya tetapi antara lain mencakup derajat hipertensi portal dan ukuran varises.
Perdarahan varises sering terjadi tanpa faktor presipitasi yang jelas dan biasanya muncul sebagai hematemesis masif yang tidak nyeri dengan atau tanpa melena. Tanda menyertai bisa bervariasi, dari takikardia postural ringan sampai syok berat, bergantung pada jumlah darah yang keluar dan derajat hipovolemia. Karena pasien dengan varises dapat berdarah dari lesi gastrointestinal lainnya (misalnya ulkus peptikum, gastritis), sumber perdarahan lain perlu disingkirkan bahkan pada pasien yang pernah mengalami perdarahan varises.
Berhubungan dengan adanya riwayat gastritis di skenario, maka akan dibahas lebih lengkap lagi mengenai gastritis pula. Gastritis ialah inflamasi mukosa lambung. Gastritis bukan penyakit tunggal. Lebih tepat, suatu kelompok penyakit yang mempunyai perubahan peradangan pada mukosa lambung yang sama tetapi ciri-ciri klinis, karakteristik histologik dan patogenesis yang berlainan. Gastritis dibagi menjadi 2 macam, yaitu gastritis akut dan kronik. Gastritis akut adalah bentuk gastritis yang paling dramatik ialah gastritis hemoragik akut, yang juga disebut sebagai gastritis erosif akut. Istilah ini mencerminkan perdarahan dari mukosa lambung hampir selalu ditemukan pada gastritis bentuk ini dan kehilangan integritas yang karakteristik dari mukosa lambung (erosi) yang menyertai lesi peradangan. Pemeriksaan makroskopik akan menunjukkan edema, kerapuhan mukosa, erosi dan tempat perdarahan dengan ekstravasasi darah ke dalam mukosa dan lumen lambung. Erosi lambung dan tempat perdarahan dapat tersebar secara difus pada seluruh mukosa lambung atau setempat pada korpus atau antrum lambung. Pemeriksaan histologik mukosa lambung akan terdapat infiltrasi lamina propria dengan sel mononuklear dan leukosit polimorfonuklear dengan ekstravasasi darah ke dalam mukosa, mengacaukan struktur glanduler. Eksudat proteinaseosa yang mengandung leukosit polimorfonuklear mungkin terdapat dalam kelenjar lambung. Erosi lambung, menurut definisinya, adalah terbatas pada mukosa dan tidak meluas sampai daerah muskularis mukosa. Gastritis erosif akut dapat menyertai lesi yang lebih dalam, lebih fokal, yang mewakili ulkus akut dan dapat meluas dan menembus ke semua lapisan lambung.
Gastritis ini sering juga disebut sebagai gastritis akibat stres. Faktor penting tampaknya mencakup iskemia mukosa lambung, difusi asam dari lumen ke dalam jaringan mukosa lambung, difusi asam dari lumen ke dalam jaringan mukosa lambung dan mungkin dalam bentuk sekresi, asam empedu, dan/atau sekresi duodeni-prankeatik lain mengalir balik ke dalam lumen lambung. Derajat keasamaan (pH) intramural mukosa lambung jatuh secara curam jika lumen lambung terus dialiri oleh adanya HCl, hal ini bisa menyebabkan lesi hemoragik yang hebat. Penurunan pH intramural disebabkan oleh difusi ion hidrogen luminal, yang merusak mukosa lambung. Berbagai macam obat dikenal bisa mencederai mukosa lambung. Obat ini mencakup aspirin dan obat-obatan OAINS lainnya, asam empedu, enzim pankreatik, dan etanol. Obat ini mengacaukan rintangan mukosal lambung, yang dalam keadaan normal menghalangi difusi kembalinya ion hidrogen dan lumen lambung ke mukosa (walaupun melawan derajat naiknya konsentrasi ion H). Penelanan aspirin atau OAINS akan menghambat aktivitas siklooksigenase mukosal lambung, dengan demikian mengurangi sintesis dan kadar jaringan prostaglandin mukosal jaringan, yang memainkan peranan penting pada pertahanan mukosal. Aspirin juga dapat mencederai pembuluh kecil dalam mukosa lambung melalui penghambatan prostasiklin dalam dinding pembuluh atau melalui penghambatan sintesis tromboksan oleh trombosit. Efek sodium salisilat, hasil metabolisme aspirin yang ditemukan dalam sirkulasi, yang toksik terhadap respirasi mitokondria dan fosforilasi oksidatif dari sel. Hal ini berakibat pada cedera sel endotelial dan epitelial dengan perdarahan ke dalam jaringan atau trombosis vaskuler melalui kekacauan sel endotelial. Etanol yang bisa merusak mukosa lambung, berhubungan dengan perdarahan subepitelial dengan edema yang mengelilinginya dan peningkatan sel-sel peradangan mukosal hanya ringan sampai sedang. Bisa juga menyebabkan cedera sel akibat sifat lipolitik dan lipofilik yang ada padanya dan/atau gangguan sawar mukosa lambung atau kerusakan langsung pembuluh darah mukosa yang kecil.
Manifestasi klinik yang terjadi berkisar dari perdarahan saluran makana yang tiba-tiba sampai kehilangan darah yang sukar diketahui, dan bisa deteksi dengan darah samar atau berkembangnya anemia ringan. Gastritis erosif biasanya asimtomatik. Gejala yang kurang umum adalah nyeri epigastrik atau abdomen bagian atas, mual dan muntah, nyeri tekan abdomen bagian atas. Tanda-tanda kehilangan darah yang sering terjadi adalah pucat, takikardia, dan hipotensi. Untuk mendiagnosis biasanya dengan dteksi darah dalam feses atau dalam bahan aspirasi lambung. Diagnosis paling baik adalah melalui endoskopi saluran makanan bagian atas yang akan memperlihatkan perdarahan mukosal, kerapuhan dan sumbatan, erosi, ulserasi superfisial atau profunda (jika ada terjadi di fundus atau korpus lambung).
Selanjutnya akan dibahas mengenai gastritis kronik. Infiltrat sel radang pada gastritis terutama terdiri dari limfosit dan sel plasma. Leukosit polimorfonuklear dan eosinofil mungkin terdapat dalam jumlah kecil tetapi tidak mencolok. Penyebaran gastritis kronik sering setempat dan tidak teratur. Berdasarkan klasifikasi histologik, melibatkan daerah superfisial dan glandular mukosa lambung yang berlanjut dengan destruksi glandular, yang diikuti oleh berkurangnya jumlah kelenjar (atrofi) yang hebat dan/atau metaplasia kelenjar. Pada gastritis superfisialis, merupakan bentuk gastritis dengan perubahan peradangan di dalam lamina propria mukosa superfisial, dengan infiltrasi seluler dan edema yang memisahkan kelenjar lambung.Jenis gastritis ini merupakan stadium permulaan dari gastritis kronik. Terdapat infiltrat sel peradangan terbatas pada lamina propria setengah bagian atas (epitelial) mukosa lambung, dan kelenjar tetap ada. Kemungkinan terdapat pengurangan mukus di dalam sel mukosa kelenjar dan gambaran mitotik dalam sel kelenjar. Gastritis atrofik, adalah stadium berikutnya dalam kronologi perkembangan gastritis kronik. Terdapat infiltrat peradangan meluas sampai ke bagian dalam mukosa. Ada distorsi dan destruksi kelenjar yang bersifat progresif, yang menjadi terpisah oleh proses peradangan. Bermula di antrum dan meluas ke proksimal ke dalam korpus dan fundus lambung. Akan diikuti dengan perkembangan stadium akhir dari gastritis kronik, yaitu atrofi lambung. Pada atrofi lambung, struktur kelenjar yang hilang sangat luas, yang sekarang akan terpisah jauh oleh jaringan ikat disertai dengan sangat berkurangnya atau tanpa infiltrat peradangan. Mukosa lambungnya tipis, sering terdapat [enonjolan dari pembuluh darah yang ada di bawahnya jika dilihat melalui pemeriksaan endoskopik. Tahap akhir adalah gastritis kronik, bisa terdapat perubahan morfologi elemen kelenjar lambung. Disebut sebagai metaplasia intestinal yang merupakan istilah yang dipakai untuk melukiskan perubahan kelenjar lambung yang kelihatan sebagai kelenjar mukosa intestinal yang kecil dan mengandung sel goblet. Gastritis kornik diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu tipe A dan tipe B, berdasarkan distribusinya dalam mukosa lambung bersama dengan pengertian berdasarkan patogenesis. Gastritis kronik tipe A merupakan bentuk yang kurang umum, menyerang korpus dan fundus lambung, dengan relatif menyerang sedikit antrum. Bentuk gastritis ini memungkinkan terjadinya anemia pernisiosa. Adanya antibodi terhadap sel parietal dan terhadap faktor intrinsik dalam serum pasien dengan gastritis tipe A dan anemia pernisiosa mendukung patogenesis imun dan autoimun untuk bentuk gastritis ini. Antibodi terhadap sel parietal telah ditunjukkan bersifat sitotoksik untuk sel mukosa lambung. Mekanisme imun yang diperantarai sel juga telah dikemukakan berpartisipasi dalam cedera sel mukosa lambung pada anemia pernisiosa dan bentuk gastritis tipe A yang berhubungan. Gatritis kronik tipe B, lebih umum dari gastritis kronik. Pasien yang lebih muda, terutama menyerang antrum sedangkan pasien yang lebih tua seluruh lambung terkena. H. pylori adalah agen yang bertanggung jawab untuk gastritis tipe B. Gastritis kronik dengan infeksi dan/atau bertahannya H.pylori berhubungan dengan sekresi asam lambung yang berkurang. Pembasmian H. pylori menyebabkan perbaikan pada temuan histologik; jika pengobatan dihentikan, perubahan inflamasi timbul kembali, dan organisme muncul kembali. Kolonisasi lambung dengan H. pylori ditemukan pada hampir semua pasien dengan gastritis superfisial yang kronik, dengan lebih sedikit bakteri yang dapat ditunjukkan dengan berkembangnya menjadi gastritis atrofik. H. pylori jumlahnya sedikit atau jarang diperlihatkan dengan dengan atrofi lambung yang berat. Refluks sekresi pankreas-empedu kronik, khususnya asam empedu dan lisolesitin, juga telah diusulkan sebagai faktor pembantu yang potensial pada timbulnya gastritis kronik tipe B.
Sekresi asam lambung berkurang pada gastritis kronik tipe A dan tipe B. Pada umumnya, pengurungan sekresi asam lambung, yang lengkap pada pasien dengan anemia pernisiosa adalah seimbang dengan kehebatan kerusakan sel parietal dan atrofi mukosa pada korpus dan fundus lambung. Kadar gastrin serum biasanya meningkat banyak sekali pada pasien dengan anemia pernisiosa. Karena mukosa antrum relatif terlewatkan, sel antral yang mengandung gastrin, kehilangan kontrol umpan balik yang secara normal dilaksanakan oleh asam dalam lambung, melepas gastrin secara terus menerus. Kadar gastrin serun juga sama-sama meningkat pada pasien dengan gastritis kronik tipe A dengan aklorhidia atau hipoklorhidia yang mendalam tanpa anemia pernisiosa. Pasien dengan gastritis tipe B, mempunyai kadar gastrin serum puasa yang sangat variabel, yang tidak secara konsisten meningkat, dan masih dalam batasan normal. Sebagian kecil pasien dengan gastritis tipe B mempunyai antibodi serum terhadap gastrin yang menyebabkan pengusulan mekanisme autoimun untuk bentuk gastritis tersebut. Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa cedera mukosa lambung yang berhubungan dengan stres, dengan etanol, atau dengan aspirin dan OAINS lainnya berkembang menjadi gastritis tipe kronik. Gastritis akut akibat H. pylori adalah bentuk gastritis akut yang memiliki kemungkinan terbesar dalam perkembangan menjadi gastritis kronik, khususnya tipe B.
Obat yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah gastritis adalah golongan yang bekerja dalam inhibisi pompa proton. Tahap akhir ion H oleh sel parietal dicapai dengan enzim (H+, K+-ATPase) yang membantu sebagai pompa proton, yang menukarkan hidrogen dengan kalium. H+, K+-ATPase terletak pada membrana apikal dan aparatus tubulovesikular sel parietal. Permukaan luminal enzim transmembrana tidak terlindung dari pH asam luminal lambung. Omeprazol, suatu inhibitor khas dari H+, K+-ATPase sel parietal, telah sangat terbukti dalam mengurangi sekresi asam lambung. Omeprazol merupakan suatu benzimidazol yang disubstitusikan mengikat pada H+, K+-ATPase, secara tidak langsung akan menginaktifkan enzim ini. Selengkapnya, omeprazol akan memblokir sekresi asam basal dan asam yang dirangsang.
Batu empedu adalah struktur kristal yang terbentuk dari pembekuan dan pertumbuhan konstituen empedu normal dan abnormal. Batu ini terdiri dari 3 jenis utama, yaitu batu kolesterol dan campuran membentuk sekitar 80% dari total dan batu pigmen menyusun 20% sisanya. Batu kolesterol dan campuran biasanya mengandung kolesterol monohidrat lebih dari 70% ditambah campuran garam kalsium, asam dan pigmen empedu, protein, asam lemak, dan fosfolipid. Batu pigmen terutama terbentuk dari kalsium bilirubinat; batu ini mengandung kolesterol kurang dari 10%.
Pembahasan pertama diawali dengan batu kolesterol dan campuran dan endapan empedu. Kolesterol relatif tidak larut dalam air dan memerlukan dispersi menjadi misel atau vesikel, yang keduanya membutuhkan lipid kedua untuk melarutkan kolesterol. Bila kandungan kolesterol empedu melebihi jumlah yang dapat dilarutkan oleh garam empedu dan misel lesitin-vesikel lemak yang lebih besar. Vesikel adalah partikel bulat yang terdiri dari lesitin dan kolesterol dan mengandung hanya sedikit garam empedu. Vesikel dan misel merupakan zat pembawa dan pelarut kolesterol yang penting pada empedu yang mengandung kolesterol jenuh. Mekanisme pembentukan empedu litogenik kolesterol (pembentuk batu) melalui 4 mekanisme/tahapan.
Mekanisme pertama adalah peningkatan sekresi empedu, hal ini karena kegemukan, diet tinggi kalori, atau obat (misalnya klofibrat) dan dapat disebabkan oleh peningkatan aktivitas hidroksimetilglutaril-koenzim A (HMG-KoA) reduktase, suatu enzim yang menentukan kecepatan pembentukan kolesterol hati. Pada sebagian pasien, dapat terjadi gangguan konversi kolesterol menjadi asam empedu yang menyebabkan peningkatan rata-rata kolesterol litogenik. Empedu litogenik juga terbentuk dari penurunan sekresi garam-garam empedu dan fosfolipid oleh hati yang dapat terjadi setelah gangguan sintesis hati. Dan selain itu juga terjadi penurunan aktivitas kolesterol 7α-hidroksilase, merupakan enzim penentu kecepatan sintesis asam empedu primer. Intinya, mekanisme pertama ini terdapat hipersekresi kolesterol, hiposekresi asam empedu. Kejenuhan kolesterol dalam empedu juga merupakan penentu utama dalam pembentukan batu empedu. Sebagian besar orang dengan empedu yang sangat jenuh tidak mengalami batu empedu karena waktu yang diperlukan kristal kolesterol untuk mengeras dan tumbuh lebih lama daripada waktu yang digunakan empedu di dalam kandung empedu.
Dua gangguan tambahan metabolisme asam empedu yang mungkin membantu penjenuhan empedu oleh kolesterol adalah (1) penurunan jumlah asam empedu, dan (2) peningkatan konversi asam kolat dan asam deoksikolat disertai penggantian cadangan asam kolat oleh cadangan asam deoksikolat. Gangguan pertama dapat disebabkan oleh hilangnya asam empedu primer dengan cepat dari usus halus ke kolon. Gangguan kedua dapat terjadi dari peningkatan dehidroksilasi asam kolat dan peningkatan penyerapan asam deoksikolat yang baru terbentuk.
Mekanisme kedua yang penting adalah gangguan pembentukan vesikel. Biasanya, kolesterol dan fosfolipid disekresi ke dalam empedu sebagai vesikel berlapis ganda unilameler yang bersifat tidak stabil dan diubah, bersama asam empedu, menjadi agregat lipid lain, misalnya misel. Selama proses pembentukan misel dari vesikel, lebih banyak fosfolipid daripada kolesterol yang dipindahkan ke misel campuran. Hal ini menyebabkan pembentukan vesikel labil kaya kolesterol yang menyatu menjadi vesikel besar multilameler tempat terbentuknya agregasi kristal kolesterol.
Mekanisme ketiga adalah nukleasi kristal kolesterol monohidrat, yang sangat dipercepat pada empedu litogenik; dibandingkan dengan derajat kejenuhan kolesterol, sifat inilah yang lebih membedakan empedu normal dengan empedu litogenik. Percepatan nukleasi kolesterol monohidrat dalam empedu dapat disebabkan oleh peningkatan faktor pronukleasi dan defisiensi faktor antinukleasi. Glikoprotein musin dan nonmusin dan lisin fosfatidilkolin tampaknya merupakan faktor pronukleasi, sedangkan apolipoprotein AI dan AII serta glikoprotein lain tampaknya merupakan faktor antinukleasi. Namun, penentuan faktor pronukleasi dan antinukleasi lain masih belum lengkap. Nukleasi kristal kolesterol monohidrat dan pertumbuhan kristal mungkin berlangsung di dalam lapisan gel musin. Fusi vesikel menyebabkan terbentuknya kristal cair, yang pada gilirannya memadat menjadi kristal kolesterol monohidrat. Pertumbuhan kristal yang terus menerus berlangsung melalui nukleasi langsung molekul kolesterol dari vesikel empedu uni- atau multilameler yang jenuh.
Mekanisme keempat pembentukan batu empedu kolesterol adalah endapan empedu. Endapan empedu adalah bahan mukosa kental yang pada pemeriksaan mikroskopik memperlihatkan kristal lesitin-kolesterol, kristal kolesterol monohidrat, kalsium bilirubinat, dan serat musin atau gel mukosa. Endapan empedu biasanya membentuk lapisan mirip bulan sabit di bagian terbawah kandung empedu dan dikenali berdasarkan ekornya yang khas pada pemeriksaan ultrasonografi. Adanya endapan empedu mencerminkan dua kelainan: (1) keseimbangan normal antara sekresi dan eliminasi musin kandung empedu mengalami gangguan; dan (2) telah terjadi nukleasi zat-zat terlarut dalam empedu. Bahwa endapan empedu merupakan bentuk prekursor dari penyakit batu empedu.
Jadi ada beberapa kemungkinan defek penyebab dari penyakit batu empedu dan mencakup (1) penjenuhan empedu oleh kolesterol, (2) nukleasi kolesterol monohidrat diikuti oleh retensi kristal dan pertumbuhan batu, dan (3) gangguan motorik kandung empedu yang menyebabkan perlambatan pengosongan dan stasis.
Kemudian selanjutnya adalah batu pigmen. Batu ini tersusun terutama oleh kalsium bilirubinat. Adanya peningkatan jumlah bilirubin tidak larut dan tidak terkonjugasi dalam empedu menyebabkan presipitasi bilirubin yang dapat memadat membentuk batu pigmen atau dapat menyatu membentuk nidus untuk pertumbuhan batu kolesterol campuran. Dekonjugasi bilirubin larut mono- dan di- glukuronida dapat diperantarai oleh enzim β-glukuronidase, yang kadang-kadang dihasilkan bila empedu mengalami infeksi bakteri kronik.
Manifestasi penyakit batu empedu bisa berbagai hal dan dijelaskan sebagai berikut. Batu empedu akan menimbulkan manifestasi klinis jika telah menyebabkan peradangan atau sumbatan setelah batu bermigrasi ke dalam duktus sistikus atau duktus biliaris komunis. Gejala yang paling khas adalah kolik biliaris. Sumbatan duktus sistikus atau duktus biliaris komunis oleh batu menyebabkan peningktan tekana intralumen dan distensi viskus yang tidak dapat diatasi oleh kontraksi biliaris repetitif. Nyeri visera yang timbul biasanya hebat, terasa seperti menekan atau perih yang makin meningkat di epigastrium atau kuadran kanan atas abdomen yang sering menyebar ke daerah antarskapula, skapula kanan, atau bahu. Episode kolik biliaris akan disertai mual dan muntah, dan 25% pasien terjadi peningkatan ringan bilirubin serum. Demam atau menggigil dengan kolik biliaris biasanya mencerminkan adanya komplikasi, yaitu kolesistitis, pankreatitis atau kolangitis. Keluhan rasa penuh yang samar di epigastrium, dispepsia, sendawa, atau flatulensi terutama setelah makan makanan berlemak. Kolik biliaris dapat dicetuskan oleh makanan berlemak, oleh makan banyak setelah berpuasa jangka panjang, atau oleh makan secara normal.

4. KESIMPULAN
¨ Hal yang aneh yang terjadi pada pasien (perempuan usia 50 tahun) yang datang ke unit gawat darurat RS Dokter Moewardi adalah keluhan utama muntah darah. Satu bulan sebelum masuk rumah sakit penderita merasakan perut sebah dan terasa panas, bila diberi makan perut nyeri, nafsu makan turun, mual kadang-kadang muntah. Tiga hari sebelumnya pernah muntah darah dan melena, kemudian dirawat di puskesmas terdekat. Karena belum ada perbaikan kemudian dirujuk ke RS Dokter Moewardi.
¨ Pada pemeriksaan fisik diperoleh data: keadaan umum lemah, kesadaran compos mentis, tanda vital baik, ikterik, hepar membesar, nyeri tekan epigastrik. Rectal Toucher: hemorrhoid grade 3. Laboratorium: SGOT 250 IU (N= 1-36 IU), SGPT 235 IU (N= 1-45 IU), protein total 6,2 mg/dl (N= 6,0-8,0), albumin 2,8 mg/dl (N= 3,5-5,5), bilirubin direk 3,15 mg/dl (N= kurang dari atau sama dengan 0,4), bilirubin indirek 2,15 mg/dl (N= kurang dari atau sama dengan 0,6). Kesimpulan pemeriksaan ultrasonografi abdomen (USG abdomen): kolelitiasis, tidak ada hidrops vesica felea, pankreas normal, terdapat sirosis hepatis dengan hipertensi portal. Kesimpulan endoskopi esofagus: terdapat varises, terdapat lesi erosi hemoragik difus pada gaster, dan lesi erosi hemoragik difus pada duodenum.
¨ Tanda dan gejala dari sirosis hepatis pascavirus antara lain, pada pasien sirosis yang etiologinya diketahui dan mengalami perkembangan menuju stadium pascanekrosis, gambaran klinis yang terjadi merupakan perluasan dari proses penyakit awal. Biasanya gejala klinis berkaitan dengan hipertensi portal dan sekuelenya, misalnya asites, splenomegali, hipersplenisme, ensefalopati, dan perdarahan varises esofagus. Kelainan fungsi hati dan hematologik mirip dengan sirosis jenis lainnya. Pada sebagian kecil pasien pascanekrosis, diagnosis ditegakkan secara tidak sengaja saat operasi, autopsi, atau oleh biopsi jarum hati yang dilakukan untuk menyelidiki hepatosplenomegali asimtomatik.
¨ Penatalaksanaan dari sirosis hepatis pascavirus biasanya terbatas pada pengobatan untuk komplikasi hipertensi portal, termasuk mengatasi asites, menghindari obat atau masukan protein yang berlebihan yang dapat mencetuskan koma hepatikum, dan pemberian terapi segera bila terjadi infeksi. Pada pasien sirosis asimtomatik, penatalaksanaan yang bersifat menunggu saja cukup. Pada pasien yang telah mengalami sirosis pascanekrosis akibat penyakit yang dapat diobati, terapi yang ditujukan kepada penyakit primer dapat menghambat perkembangan penyakit.
¨ Tanda dan gejala umum dari hipertensi portal adalah perdarahan dari varises gastroesofagus, splenomegali dengan hipersplenisme, asites, ensefalopati hepatikum akut dan kronik. Semua manifestasi tersebut berhubungan, paling tidak sebagian, dengan pembentukan saluran kolateral porta sistemik. Tidak adanya katup dalam sistem vena porta memungkinkan aliran darah retrograd (hepatofugal) dari sistem vena porta yang bertekanan tinggi ke sirkulasi vena sistemik yang bertekanan rendah. Tempat utama pembentukan aliran kolateral adalah vena di sekitar rektum (hemoroid), taut kardioesofagus (varises esofagogaster), ruang retroperitoneum, dan ligamentum falsiformis hati (kolateral dinding abdomen atau periumbilikus). Kolateral dinding abdomen tampak sebagai pembuluh epigastrik yang berkelok-kelok yang memancar dari umbilikus ke arah xifoid dan batas iga (kaput medusa).
¨ Tanda dan gejala umum perdarahan varises antara lain muncul sebagai hematemesis masif yang tidak nyeri dengan atau tanpa melena. Tanda menyertai bisa bervariasi, dari takikardia postural ringan sampai syok berat, bergantung pada jumlah darah yang keluar dan derajat hipovolemia.
¨ Penyakit sirosis hepatis pascavirus harus selalu diperhatikan karena sampai sekarang penyakit ini masih menjadi sebuah problema besar di dalam masyarakat Indonesia.

5. DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Greenberger, N. J. dan K. J. Isselbacher. 2007. Penyakit Kandung Empedu dan Duktus Biliaris. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 4. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1688-1700

Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

McGuigan, J. E. 2007. Ulkus Peptikum dan Gastritis. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 4. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1532-53

Podolsky, D. K. dan K. J. Isselbacher 2007. Penyakit Hati yang Berhubungan dengan Alkohol dan Sirosis. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 4. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1665-77

Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.

2 comments:

Mulki Rakhmawati said...

Ahimsa, mulki izin ngelink blogmu yah.

dr. Ahimsa Yoga Anindita said...

hahahaha mulki..momggo deh..bahkan setelah bertahun-tahun baru baca ada komenmu ini..hahahaha