1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gagal ginjal merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh kegagalan ginjal untuk melakukan fungsinya. Kegagalan ini didasarkan pada berkurangnya massa ginjal (nefron; sebagai unit fungsional ginjal yang terkecil) akibat berbagai hal. Suatu keadaan yang langsung menyebabkan gagalnya ginjal dalam berfungsi biasanya akan mengakibatkan gagal ginjal akut. Gagal ginjal akut ditandai dengan suatu penurunan laju filtrasi glomerulus yang cepat (dalam beberapa jam sampai beberap minggu) dan penimbunan produk buangan nitrogen (Brady dan Brenner, 2007). Gagal ginjal akut pada seorang pasien biasanya asimtomatik dan hanya dapat terdiagnosis dengan suatu tes skrining, yang berupa peningkatan kadar serum nitrogen urea darah dan kreatinin yang baru terjadi karena penderita merasa belum pernah sebelumnya.
Bentuk lain dari gagal ginjal akut adalah gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik memiliki jejas pada ginjal yang lebih bersifat perlahan-lahan sering tidak bersifat reversibel dan mengarah pada penghancuran massa nefron yang sifatnya progresif (Brenner dan Lazarus, 2007). Pada keadaan ini sangatlah kompleks penyebabnya sebab semua penyakit yang dapat merusak nefron sehingga mengurangi laju filtrasi glomerulus dalam kurun waktu yang lama dan perlahan bisa dikatakan sebagai etiologi dari gagal ginjal kronik. Penyebab yang paling sering dari gagal ginjal kronik yang dikemukakan pertama kali oleh para ahli ginjal-hipertensi adalah glomerulonefritis. Seiring dengan kemajuan zaman, penyakit diabetes melitus dan hipertensi lah yang menjadi penyebab nomor satu saat-saat ini.
Dari skenario 2 Blok Urogenitalia, adapun ringkasan dari skenario tersebut, adalah :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Seorang laki-laki usia 60 tahun (Tn. S) lemas yang dirasakan sejak 1 bulan, kadang berkunang-kunang dan sering mual.
- Sejak 1 tahun, BAK sering mengejan, rasa tidak puas setelah BAK, dan BAK sejumlah 4-5 gelas sehari.
- Sejak 2 tahu, pasien mengeluh adanya nyeri pinggang.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- Sejak 4 tahun yang lalu, penderite mempunyai riwayat DM dan berobat tidak teratur.
- Riwayat hipertensi tidak tahu.
Ø Riwayat Penyakit Keluarga, berupa:
- (tidak ada data)
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Hasil pemeriksaan fisik, diperoleh: tekanan darah 170/100 mmHg, nadi 100 kali/menit, laju pernapasan 24 kali/menit, suhu 36.7 derajat Celcius.
- Hasil pemeriksaan laboratorium, diperoleh: Hb 8.2 g/dl, leukosit 5400/ul, trombosit 150.000/ul, ureum 150 mg/dl, kreatinin 8.4 mg/dl, kalium 6.5 mmol/L.
- Analisis gas darah, pasien termasuk asidosis metabolik.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas sebagai dasar teori, antara lain :
a. Anatomi, histologi, dan fisiologi umum ginjal
b.Gagal ginjal akut
c. Gagal ginjal kronik
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Mengetahui penegakkan diagnosis melalui berbagai pemeriksaan yang dilakukan.
Ø Mengetahui gejala-gejala penyakit tersebut lebih lanjut serta penatalaksanaannya.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem urogenitalia dan penyelesaiaannya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu menjelaskan atau merealisasikan:
a. Ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dengan sistem urogenitalia, meliputi: biologi, anatomi, histologi, fisiologi, dan biokimia, dan sebagainya.
b. Berbagai penyebab dan faktor risiko terjadinya gangguan pada sistem urogenitalia beserta mekanismenya.
c. Mekanisme terjadinya kelainan pada sel/organ pada penyakit-penyakit sistem urogenitalia meliputi patogenesis, patologi, dan patofisiologinya.
d. Metode penegakan diagnosis pada penyakit sistem urogenitalia.
e. Tanda dan gejala, pemeriksaan fisik, prosedur klinik, dan pemeriksaan laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis dan diagnosis banding pada penyakit sistem urogenitalia.
f. Pemeriksaan laboratorium penunjang diagnosis penyakit sistem urogenitalia, seperti: metode biokimia (misalnya: kimia urin, kimia darah, GFR, tes kliren kreatinin, kreatinin plasma, BUN: blood urea nitrogen), tes fungsi khusus proksimal dan distal.
g. Manajemen/penatalaksanaan penyakit pada sistem urogenitalia meliputi dasar-dasar terapi meliputi medikamentosa, konservatif, diet, operatif, rehabilitasi.
h. Komplikasi dan prognosis dari penyakit pasien.
2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Umum Ginjal
Ginjal (ren) merupakan suatu organ berjumlah sepasang, terletak di bagian dorsal dari abdomen, di kanan dan kiri columna vertebralis, ditutupi oleh peritoneum dan dikelilingi oleh jaringan pengikat dan jaringan lemak. Ren dexter terdapat sedikit lebih rendah dari ren sinister oleh karena pendesakan dari hepar. Axis longitudinalis ren sejajar dengan columna vertebralis. Panjang ren sekitar 11,25 cm, lebar sekitar 5 sampai 7,5 cm, dan tebalnya lebih dari 2,5 cm. Ren sinister lebih panjang dan lebih kecil daripada ren dexter. Pembungkusnya adalah lamina fascialis anterior (prerenal) dan posterior (retrorenal), capsula fibrosa, dan capsula adiposa. Ren memiliki facies anterior renalis dan facies dorsalis/posterior renalis. Selain itu juga mamiliki 2 margo, yaitu margo lateralis renalis yang berbentuk convex dan margo medialis renalis yang berbentuk concave. Dan memiliki extremitas superior setinggi kira-kira setinggi tepi atas vertebra thoracalis XII dan extremitas inferiornya setinggi vertebra lumbalis III. (Tortora dan Anganostaskos, 2007)
Bagian ren terdapat 2 macam, yaitu substansia medullaris dan substansia corticalis. Substansia medullaris tersusun oleh massa lurik yang berbentuk conus, disebut sebagai pyramis renalis. Setiap ren tersusun atas 8-18 buah pyramis renalis dengan basis ke pinggir dan apex menuju ke sinus renalis yang akan membentuk papilla renalis yang akan menonjol dan ditembus oleh ductus papillaris Bellini membentuk suatu area cribrosa dan akan bermuara ke dalam calyx minor. Calyces minores akan berkumpul dan membentuk calyx major. Daerah tepi ren adalah substansia corticalis yang mengelilingi pyramides renales dan sampai menjorok di antaranya yang disebut sebagai columna renalis (Bertini). Pada penampang mikroskopis, substansia corticalis tersusun atas daerah berbentuk conus cerah, disebut pars radiata dan daerah gelap, yang disebut pars convulata. (Tortora dan Anganostaskos, 2007)
Secara mikroskopis, ren tersusun atas unit-unit fungsional yang disebut dengan nefron. Ren juga sebagian dibentuk oleh tubulus renalis, yang dimulai dari substansia corticalis kemudian berkelok-kelok menuju ke substansia medullaris kemudian berakhir di apex renalis, tepatnya di pyramis renalis sebagai papilla renalis. Tubulus mulai di cortex dan columna renalis sebagai corpusculum Malphigi yang berupa massa lonjong kecil dan berwarna merah. Setiap corpusculum Malphigi tersusun atas vasa darah sebagai glomerulus dan capsula Bowmani yang tersusun atas dua membrana, bagian luar disebut lamina parietalis dan bagian dalam disebut lamina visceralis, sebagai tempat masuk keluarnya arteriole afferent dan efferent. Di antara kedua lamina tersebut akan terdapat sautu ronnga yang akan melanjutkan ke tubulus kontortus proximalis. Kedua lamina tersebut tersusun atas epitel squameous yang melekat pada membrana basalis. Tubulus contortus proximalis akan berlanjut sebagai pars descendens ductus Henle, membelok membentuk ansa ductus Henle, dan naik disebut pars ascendens ductus Henle, kemudian membesar membentuk tubulus contortus distalis dan akan melengkung serta menyempit masuk ke tubulus collectivus. Tubulus collectivus, pada medulla renalis, akan berkumpul membentuk ductus papillaris Bellini. (Tortora dan Anganostaskos, 2007)
Fungsi fisiologis ginjal yang terpenting adalah untuk melakukan pembentukan urin dari proses filtrasi, reabsorbsi, dan sekresi dari darah yang dibawa oleh arteriole afferent. Sedangkan arteriole efferent akan berlanjut sebagai kapiler peritubulus yang kemudian akan membentuk venula, arteriole ini berfungsi sebagai nutrisi ren. Secara fungsional nefron di korteks renalis memiliki aliran darah yang begitu besar untuk kemudian dilakukan proses uropoetik. Nefron di medulla memiliki fungsi pemekatan urin yang dilakukan oleh nefron juxtamedular, biasanya akan bekerja pada suhu yang cukup tinggi untuk menghemat air sehingga proses pemekatan urin bisa dilakukan dengan tetap efektif dalam membuang sisa-sisa metabolisme. Kira-kira 25% dari curah jantung (volume= 5000 cc) mengalir ke ginjal, yang disebut dengan renal blood flow (RBF= 1250 cc). Bagian darah yang akan difiltrasi adalah bagian plasmanya (sekitar 55% dari 1250 cc), yang disebut renal plasm flow (RPF= 700 cc). Kemudian 20% dari RPF akan difiltrasi ke lumen tubulus per menitnya, yang disebut dengan glomerulair filtration rate (GFR= 125-150 cc) atau laju filtrasi glomerulus (LFG). Sedangkan urin yang dihasilkan hanya sekitar 1,5 cc per menitnya karena sekitar 124 cc sisanya akan direabsorbsi. Fungsi filtrasi sangat dipengaruhi oleh tekanan netto. Tekanan kapiler glomeruli adalah sekitar 50% dari tekanan sistolik, misalnya sekitar 60 mmHg. Tekanan netto adalah tekanan kapiler dikurangi tekanan osmotik (32 mmHg) dikurangi tekanan hidrostatik capsula Bowmani (18 mmHg). Jadi besar tekanan netto yang bisa digunakan untuk mendorong plasma keluar untuk kemudian difiltrasi adalah sekitar 10 mmHg. (Guyton dan Hall, 2007)
B. Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut secara ringkas didefinisikan sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba tetapi tidak seluruhnya dan bersifat reversibel. Penyebabnya, dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam, yaitu prerenal, intrarenal, dan pascarenal. Penyebab prarenal biasanya disebabkan dalam hal sirkulasi. Bisa terjadi akibat kurangnya perfusi ginjal dan perbaikan akan terjadi dengan cepat setelah kelainan tersebut diperbaiki, misalnya pada pasien hipovolemia, atau hipotensi, penurunan curah jantung, dan peningkatan viskositas darah. Penyebab intrarenal (intrinsik, parenkimal). Akibat penyakit pada gunjal atau pembuluhnya. Terdapat kelainan histologi dan kesembuhan tidak terjadi dengan segera pada perbaikan faktor prarenal atau obstruksi, misalnya nekrosis tubular akut, nekrosis kortikal akut, penyakit glomerulus akut, obstruksi vaskular akut, dan nefrektomi. Penyebab pascarenal atau obstruksi. Terjadi akibat obstruksi aliran urin, misalnya obstruksi pada kandung kemih, urtera, kedua ureter, dan sebagainya. (Brady dan Brenner, 2007)
Diagnosis kelainan prerenal ditegakkan berdasarkan adanya tanda-tanda gagal ginjal akut (biasanya oliguria dengan kenaikan kreatinin dan ureum plasma), urin yang terkonsentrasi dengan retensi natrium sehingga konsentrasi natrium urin rendah, dan perbaikan bila faktor prerenal dihilangkan. Umumnya penyebab jelas diketahui. Kemungkinan obstruksi harus dipertimbangkan sejak awal. Biasanya diperlukan pemeriksaan berupa memasukkan kateter ureter dan USG ginjal. Pada kelainan intrinsik, penyebab tersering adalah nekrosis tubular akut. Terjadi kerusakan yang parah tetapi reversibel pada sel-sel tubulus, biasanya akibat syok atau nefrotoksin. Gejala biasanya gagal ginjal dengan oliguria akut yang sembuh spontan dalam 1-3 minggu. Dapat pula disebabkan oleh obstruksi tubular akut, reaksi alergi, dan sebagainya. Gambaran klinis biasanya gagal ginjal dengan oliguria akut, oliguria berat, atau anuria. Diagnosis pasti ditegakkan dengan biopi ginjal untuk mengetahui kelainan patologinya. (Brady dan Brenner, 2007)
C. Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten dan ireversibel. Gangguan fungsi ginjal adalah penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan ringan, sedang, berat. Pada keadaan gagal ginjal kronik, sangat sering terjadi azotemia pada pasien atau bahkan uremia. Azotemia adalah peningkatan BUN dan ditegakkan bila konsentrasi ureum plasma meningkat. Uremia adalah sindrom akibat gagal ginjal yang berat. Jika sudah terjadi uremia menandakan adanya gagal ginjal terminal, merupakan suatu keadaan yang mana renal tidak mampu berfungsi dengan adekuat untuk keperluan tubuh, sehingga penatalaksanaan pada gagal ginjal terminal hanyalah dialisis dan transplantasi ginjal. Etiologi dari penyakit ini bermacam-macam, misalnya glomerulonefritis, nefropati diabetik, nefropati analgesik, nefropati refluks, ginjal polikistik, dan penyebab-penyebab lainnya yang umum seperti hipertensi, obstruksi, gout, dan sisanya idiopatik. Manifestasi kliniknya bermcam-macam sesuai tempat manifestasinya. Misalnya hipertensi (sistem kardiovaskuler), anemia (heamtologi), poliuria (sistem uropoetika), kulit pucat (dermatologi), dan lain sebagainya. (Brenner dan Lazarus, 2007)
Pada pemeriksaan penunjang, kreatinin plasma akan meningkat seiring dengan penurunan laju filtrasi glomerulus, dimulai bila lajunya kurang dari 60 mL/menit. Pada gagal ginjal terminal, konsentrasi kreatinin di bawah 1 mmol/L. Konsentrasi ureum plasma kurang dapat dipercaya karena akan menurun pada diet rendah protein dan akan meningkat pada diet tinggi protein, kekurangan garam, dan keadaan katabolik. Biasanya konsentrasi ureum pada gagal ginjal terminala adalah 20-60 mmol/L. Terdapat penurunan bikarbonat plasma (15-25 mmol/L), penurunan pH, dan penignkatan anion gap. Konsentrasi natrium biasanya normal, namun dapat meningkat atau menurun akibat masukan cairan inadekuat atau berlebihan. Hiperkalemia adalah tanda gagal ginjal yang berat, kecuali pada masukan yang berlebihan, asidosis tubular ginjal, atau hiperaldosteronisme. Terdapat peningkatan konsentrasi fosfat plasma dan peningkatan kalsium plasma. Kemudian fosfatase alkali meningkat. Dapat juga ditemukan peningkatan parathormon pada hiperparatiroidisme. Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan anemia normositik normokrom dan terdapat sel Burr pada uremia berat. Leukosit dan trombosit masih dalam batas normal. Klirens kreatinin meningkat melebihi LFG dan turun menjadi kurang dari 5 mL/menit pada gagal ginjal terminal. Proteinuria juga bisa ditemukan dengan kadar 200-1000 mg/hari. (Brenner dan Lazarus, 2007)
3. DISKUSI DAN BAHASAN
Diagnosis utama mengenai penyakit yang dialami pasien dalam skenario tersebut adalah gagal ginjal kronik. Hal ini didasari dengan adanya hasil pemeriksaan laboratorium: hiperkalemia, uremia, dan anemia. Melihat dari riwayat pasien yang memiliki penyakit hipertensi (walaupun tidak diketahui memiliki riwayat atau tidak) dan diabetes melitus yang tidak terkontrol. Keluhan pasien mata berkunag-kunang dan badan terasa lemas menunjukkan suatu keadaan anemia. Adanya keluhan pada proses perkemihan pasien, misalnya sering mengedan (hesitansi) dan rasa tidak puas setelah BAK (residual urin) merupakan tanda-tanda adanya obstruksi saluran kemih, terutama obstruksi infravesika. Dalam bagian ini akan dibahas satu per satu kasus atau keadaan yang ada dalam skenario tersebut.
Nyeri pinggang yang dialami pasien kurang begitu jelas diungkapkan. Dalam pemeriksaan urogenitalia, terdapat berbagai macam nyeri. Yang pertama adalah nyeri ginjal yang merupakan akibat dari peregangan kapsul ginjal. Regangan kapsul ini bisa terjadi pada obstruksi saluran kemih yang berakibat pada hidronefrosis, tumor ginjal, atau pun pada pielonefritis. Jenis nyeri yang kedua adalah nyeri kolik yang terjadi karena spasmus otot polos ureter karena gerakan peristaltiknya terhambat oleh batu, bekuan darah, atau benda asing lain. Nyeri ini bersifat hilang timbul yang drasakan mulai dari sudut kostovertebra, menjalar ke dinding abdomen, kemudian lebih lanjut ke regio inguinal dan genital. Jenis nyeri ketiga adalah nyeri vesika yang dirasakan suprasimfisis. Nyeri ini akibat distensi buli-buli yang penuh atau terdapat terdapat radang pada buli-buli. Pada skenario, dimungkinkan nyeri yang dialami pasien adalah nyeri ginjal karena dihubungkan dengan diagnosis awal pasien pasien yaitu gagal ginjal kronik dan obstruksi saluran kemih.
Diabetes Melitus (DM) yang dialami pasien memang merupakan salah satu etiologi dari gagal ginjal kronik (GGK). Pada keadaan GGK akan terdapat uremia (yang juga telah terjadi pada pasien di skenario). Keadaan uremia meliputi edema generalisata akibat retensi garam dan air, asidosis akibat kegagalan ginjal membersihkan tubuh dari produk asam normal, konsentrasi nitrogen nonprotein yang tinggi (e.g.: ureum, kreatinin, dan asam urat) akibat kegagalan tubuh mengekskresi produk akhir metabolik, dan konsentrasi zat-zat lain dalam jumlah tinggi yang diekskresi oleh ginjal (e.g.: fenol, sulfat, fosfat, kalium, dan basa guanidin). Uremia memiliki efek buruk pada metabolisme karbohidrat. Uremia akan mengakibatkan resistensi insulin pada sel target dan resistensi jaringan perifer untuk menggunakan beban glukosa yang diberikan. Jadi saat pemberian beban glukosa, akan berakibat akumulasi beban tersebut karena jaringan perifer tidak mampu menggunakannya dan insulin pun juga tidak dapat digunakan oleh sel target sehingga pasien juga sering mengalami hiperinsulinemia. DM pun akan mengakibatkan penumpukan asam asetosetat dari hasil pemecahan lemak menjadi energi yang meningkat. Sehingga hal ini akan menyebabakan asidosis metabolik yang berat bagi pasien.
DM juga sering mengakibatkan nefropati diabetik (adanya albuminuria menetap lebih dari 300 mg/24 jam). Dasar patofisiologi terjadinya nefropati diabetik adalah hiperfiltrasi akibat peningkatan LFG. Mekanisme peningkatan LFG masih belum jelas. Kemungkinan masih disebabkan oleh dilatasi arteriole aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai hormon vasoaktif, IGF-1, Nitric Oxide, prostaglandin, dna glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi TGF-β yang diperantarai oleh proteik kinase-C yang termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi pada vaskuler seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel, dan permeabilitas kapiler. Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan protein. Pada awalnya, glukosa akan mengikat residu asama amino secara nonenzimatik menjadi basa Schiff-glikasi, lalu terjadi penyususnan ulang agar lebih stabil dan reversibel, yang disebut produk amadori. Jika proses ini berlanjut terus akan berakibat pada Advanced Glycation End-Products (AGEs) yang ireversibel. AGEs diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan kegiatan seluler, seperti ekspresi adhesion molecules yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya hipertofi sel, sintesis matriks ekstraseluler seperti inhibisi sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstitialis. Hipertensi yang timbul bersama dengan bertambahnya kerusakan ginjal, akan mendorong sklerosis pada ginjal pasien DM. Jadi dari bahasan ini sudah jelas hubungan yang terdapat antara DM dan kegagalan ginjal dalam bekerja.
Hipertensi pada penyakit ginjal diakibatkan oleh seluruh lesi ginjal yang menyebabkan penurunan kemampuan ginjal untuk mengekskresi natrium (Na) dan air. Macam lesi bisa dikelompokkan menjadi lesi yang meningkatkan resistensi pada pembuluh darah ginjal yang berakibat pada penurunan aliran darah ginjal dan LFG (e.g.: stenosis arteria renalis), penurunan koefisien filtrasi kapiler glomerulus yang akan menurunkan LFG (e.g.: glomerulonefritis kronis), dan reabsorbsi Na tubulus yang berlebiham (e.g.: hiperaldosteronisme). Pada pasien di skenario, kemungkinan kegagalan ginjal akibat hipertensi adalah lesi kelompk pertama, yaitu lesi yang meningkatkan resistensi pada pembuluh darah ginjal yang berakibat pada penurunan aliran darah ginjal dan LFG.
Pada keadaan DM juga sering ditemukan pasien dengan hipertensi. Hal ini juga bisa berhubungan. Keadaan DM akan menyebabkan hiperinsulinemia yang akan meningkatkan tekanan arteri dengan 3 mekanisme. Mekanisme pertama, hiperinsulinemia mengakibatkan retensi natrium ginjal dan akan meningkatkan aktivitas simpatik sehingga tekanan arteri pun meningkat. Mekanisme kedua, adalah hipertrofi otot polos vaskuler sekunder terhadap kerja mitogenik insulin. Akhirnya insulin juga akan mengubah transpor ion melalui membrana sel sehingga meningkatkan kadar kalsium sistosolik dari jaringan vaskuler atau ginjal yang sensitif terhadap insulin berakibat pada peningkatan tekanan arteri. Mekanisme ketiga, adalah spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerulus.
Hipertensi yang terjadi pada pasien ini (tekanan darah 170/100 mmHg) adalah hipertensi renal akibat kekacauan ginjal volume dan perubahan sekresi bahan vasoaktif oleh ginjal mengakibatkan perubahan sistemik atau lokal dalam tonus arteriolar. Hipertensi renal, dibagi menjadi 2 macam, yaitu hipertensi renovaskuler dan hipertensi parenkim ginjal. Hipertensi renovaskuler diakibatkan oleh perfusi ginjal yang menurun akibat stenosis arteria renalis kemudian akan mengaktifkan sistem renin-angitoensin-aldosteron (RAA) yang akan meningkatkan tekanan darah selanjutnya. Hipertensi parenkim ginjal diakibatkan oleh penurunan perfusi jaringan ginjal yang berakibat pada perubahan radang dan fibrotik yang mengenai beberapa pembuluh darah intrarenal yang kecil. Perbedaan antara keduanya akan dijelaskan sebagai berikut. Aktivitas renin plasma perifer naik jauh lebih jarang pada hipertensi parenkim ginjal dibandingkan hipertensi renovaskuler. Curah jantung dikatakan normal dalam jenis parenkim ginjal (kecuali pada uremia dan anemia) agak sedikit meningkat pada hipertensi renovaskuler. Respons sirkulasi terhadap gerakan mengangkat atau valsava meningkat pada hipertensi renovaskuler. Dan volume darah cenderung meningkat pada pasien dengan hipertensi renovaskuler berat. Sedangkan pada hipertensi parenkim ginjal secara dominan akan terjadi kerusakan ginjal yang menimbulkan substansi vasopresor selain renin, gagal menimbulkan substansi vasodilator humoral (misalnya prostaglandin, bradikinin), gagal membuat substansi vasopresor dalam sirkulasi menjadi tidak aktif, dan tidak efektif dalam mengatur Na sehingga terus menerus akan terjadi retensi Na yang sangat bertanggung jawab dalam mekanisme hipertensi. Pada pasien di skenario, kemungkinan terbesar adalah mengalami hipertensi renovaskuler.
Pasien dengan GGK biasanya telah mengalami anemia karena kegagalan ginjal dalam produksi eritropoietin (EPO) yang sangat dibutuhkan dalam proses eritropoiesis. Kekurangan EPO juga akan berakibat pada memendekna life span dari eritrosit sehingga hemolisis eritrosit sebelum waktunya akan sering terjadi. Selain karena penurunan EPO, anemia juga diakibatkan oleh adanya efek toksin pada sumsum tulang yang tertahan, adanya inhibitor EPO, intoksikasi aluminium (akibatnya antara lain anemia mikrositik, fibrosis tulang oleh karena hiperparatiroidisme, dan penggantian asam folat yang tidak memadahi). Jika ada anemia seperti ini, maka pasien hendaknya diberikan transfusi EPO. Tranfusi darah tidak boleh dilakukan karena akan menambah beban volume di tubuh. Transfusi darah hanya boleh diberikan pada keadaan-keadaan tertentu, misalnya perdarahan gastrointestinal dan keadaan di mana pasin gagal merespons EPO, misalnya pada intoksikasi aluminium dan defisiensi besi. Di dalam skenario, tidak ada keterangan-keterangan lain mengenai keadaan lain pasien selain anemia (ditunjukkan Hb hanya 8.2 g/dL) jadi pemberian EPO bisa dilakukan.
Hiperkalemia (Kalium 6.5 mmol/L) adalah suatu tanda tahap akhir dari penyakit GGK. Hiperkalemia disebabkan oleh kadar insulin yang rendah (pada penyakit DM tipe I) karenanya dapat menurunkan ambilan kalium ke dalam sel sehingga kadar kalium akan sangat tinggi di dalam serum. Jika pada penyakit DM tipe II, keadaan rendah insulin disebabkan oleh hiperinsulinemia tetapi insulin sudah banyak yang didegradasi dan dikeluarkan dalam tubuh oleh ginjal. Karena pasien memiliki hipertensi, mungkin diobati dengan penghambat beta adrenergik. Obat golongan ini juga mampu meningkatkan kadar kalium di dalam serum. Abnormalitas status asam basa pasien (pasien mengalami asidosis metabolik) akan menyebabkan perubahan distribusi kalium. Pada asidosis metabolik, akan terjadi peningkatan konsentrasi kalium ekstrasel. Karena salah satu efek peningkatan ion hidrogen adalah menurunkan aktivitas pompa Na-K ATP-asesehingga akan menurunkan ambilan K seluler.
Asidosis metabolik disebabkan juga oleh kegagalan ginjal dalam meregenerasi ion bikarbonat sebagai sistem penyangga tubuh. Saat fungsi ginjal turun, terdapat pembentukan anion dari asam lemah dalam cairan tubuh yang tidak diekskrsikan oleh ginjal. Misalnya dengan penurunan LFG, akan mengurangi ekskresi fosfat dan ion amonium, yang berdampak pengurangan jumlah bikarbonat yang diregenerasi ke dalam cairan tubuh. Pada GGK yang telah menderita asidosis metabolik bukan akibat produksi asam endogen yang berlebihan saja tetapi juga akibat berkurangnya massa ginjal sehingga mengurangi terbentuknya ion bikarbonat. Hal ini akan berakibat pada penurunan pH arteri.
Obstruksi saluran kemih yang menyebabkan pasien di skenario mengejan pada waktu BAK adalah mungkin sebagai akibat dari batu saluran kemih. Hanya saja di mana letak batu pada pasien di skenario belum bisa diketahui secara pasti karena memang tidak ada data dan perlu pemeriksaan lanjutan seperti pemeriksaan radiologi dan pielografi intravena. Batu pada saluran kemih memiliki frekuensi kejadian tiga kali lipat daripada perempuan. Ada 3 teori pembentukan batu, yaitu teori nukleasi, artinya batu terbentuk di dalam urin karena adanya inti batu sabuk batu (nukleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan yang kelewat jenuh akan mengendap di dalam nukleus itu sehingga akhirnya membentuk batu. Inti batu dapat berupa kristal atau benda asing di saluran kemih. Teori kedua adalah teori matriks, dalam hal ini matriks organik terdiri atas serum/protein urin (albumin, globulin, dan mukoprotein) merupakan kerangka tempat diendapkannya kristal-kristal batu. Teori ketiga adalah kristalisasi. Pada urin normal ada beberapa zat yang merupakan penghambat kristalisasi, misalnya magnesium, sitrat, pirofosfat, mukoprotein, dan beberapa peptida. Jika kadar salah satunya atau beberapa zat itu berkurang, akan memudahkan terbentuknya batu di dalam saluran kemih. Batu saluran kemih ada banyak jenisnya, yaitu batu kalsium, batu struvit, batu urat, dan batu lainnya. Batu kalsium terbentuk karena keadaan hiperkalsiuri, hiperokasluri, hiperurikosuri, hipositraturi, dan hipomagnesiuri. Batu struvit terbentuk karena adanya infeksi saluran kemih. Batu urat adalah batu yang terbentuk karena kadar asam urat yang tinggi (hiperurikosuri), urin yang terlalu asam, dan dehidrasi. Jika batu pada saluran kemih hanya dibiarkan, akan mengakibatkan obstruksi (berlanjut pada hidronefrosis dan hidroureter), infeksi, abses ginjal, dan lain sebagainya yang akan berakibat pada kerusakan ginjal permanen (keadaan gagal ginjal).
Pasien di dalam skenario telah mencapai GGK stadium akhir sehingga penatalaksanaan yang paling tepat adalah transplantasi ginjal. Mungkin tidak bisa langsung dilakukan operasi untuk melakukan hal tersebut sehingga selama waktu menunggu diperlukan hemodialisis dan pengobatan lain agar tekanan darah turun, hemoglobin kembali normal, serta DM menjadi terkontrol.
4. KESIMPULAN
¨ Pasien, seorang laki-laki usia 60 tahun, datang dengan keluhan utama lemas, mata berkunang-kunang,sering mual, jika BAK seirng mengejan dan merasa tidak puas saat BAK. Pasien juga mengalami nyeri ginjal, memiliki riwayat DM yang tidak terkontrol, dan riwayat hipertensi yang tidak diketahui.
¨ Hasil pemeriksaan fisik, antara lain tekana darah 170/100 mmHg (hipertensi), nadi 110 kali/menit (takikardia), laju pernapasan 24 kali/menit (takipneu), dan suhu 36.7oC (batas normal).
¨ Hasil laboratorium yang penting adalah laju Hb 8.2 g/dL (HR pada laki-laki= 13.0-18.0 g/dL), leukosit 5400/uL (HR= 4500-11000/uL), trombosit 150000/uL (HR= 150000-400000/uL), ureum 150 mg/dL (HR= 24-49 mg/dL), kreatinin 8.4 mg/dL (HR= 0.6-1.2 mg/dL), dan kalium 6.5 mmol/L (HR= 3.5-5.5 mmol/L). Menunjukkan peningkatan ureum, kreatinin, dan kalium. Menunjukkan penurunan hemoglobin.
¨ Pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan asidosis metabolik. Asidosis metabolik dikompensasi dengan adanya takipneu pada pasien di skenario.
¨ Diagnosis utama mengenai penyakit yang dialami pasien dalam skenario tersebut adalah gagal ginjal kronik. Hal ini didasari dengan adanya hasil pemeriksaan laboratorium: hiperkalemia, uremia, dan anemia. Melihat dari riwayat pasien yang memiliki penyakit hipertensi (walaupun tidak diketahui memiliki riwayat atau tidak) dan diabetes melitus yang tidak terkontrol. Keluhan pasien mata berkunag-kunang dan badan terasa lemas menunjukkan suatu keadaan anemia. Adanya keluhan pada proses perkemihan pasien, misalnya sering mengedan (hesitansi) dan rasa tidak puas setelah BAK (residual urin) merupakan tanda-tanda adanya obstruksi saluran kemih, terutama obstruksi infravesika.
¨ Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah pemeriksaan klirens kreatinin (untuk mengetahui fungsi ginjal dalam hal LFG), pemeriksaan protein urin (untuk mengetahui apakah termasuk nefropati diabetik), pemeriksaan radiologi dan pielografi intravena (untuk mengetahui letak anatomis obstruksi saluran kemih dan jenis batunya), dan pemeriksaan glukosa darah (untuk mengontrol DM yang diderita pasien).
¨ Penatalaksanaan yang paling tepat bagi pasien dengan GGK stadium akhir (ditunjukkan adanya hiperkalemia dan uremia) seperti pada kasus di skenario adalah transplantasi ginjal. Selama waktu menunggu diperlukan hemodialisis dan pengobatan lain agar tekanan darah turun, hemoglobin kembali normal, serta DM menjadi terkontrol.
¨ Prognosis pasien tersebut adalah buruk jika tidak dilakukan transplantasi ginjal. Suatu keadaan gagal ginjal akan buruk prognosisnya jika disertai dengan keadaan pasien sebagai berikut: jenis kelamin laki-laki, tekanan diastolik persisten di atas 115 mmHg, adanya diabetes melitus, fungsi ginjal terganggu secara ireversibel (gagal ginjal kronik).
5. DAFTAR PUSTAKA
Brady, H. R., B. M. Brenner. 2007. Gagal Ginjal Akut. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1425-34
Brenner, B. M., J. M. Lazarus. 2007. Gagal Ginjal Kronik. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1435-42
Carpenter, C. B., J. M. Lazarus. 2007. Dialisis dan Transplantasi Dalam Terapi Gagal Ginjal. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1443-54
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Seifter, J. L, B. M. Brenner. 2007. Obstruksi Saluran Kemih. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1500-2
Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.
No comments:
Post a Comment