1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada populasi pria lanjut usia. Gejalanya merupakan keluhan yang umum dalam bidang bedah urologi. Hiperplasia prostat merupakan salah satu masalah kesehatan utama bagi pria diatas usia 50 tahun dan berperan dalam penurunan kualitas hidup seseorang. Suatu penelitian menyebutkan bahwa sepertiga dari pria berusia antara 50 dan 79 tahun mengalami hiperplasia prostat. Adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling berat yaitu operasi. Saat ini terdapat pilihan tindakan non operatif seiring dengan kemajuan teknologi dibidang urologi, sehingga merupakan suatu pilihan alternatif untuk penderita muda, kegiatan seksual aktif, gangguan obstruksi ringan, high risk operasi dan pada penderita yang menolak operasi. Benign Prostate Hypertrophy (BPH), lebih tepatnya hyperplasia, sebenarnya adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah.
Skenario: Seorang pasien laki-laki, usia 67 tahun datang ke IGD RSUD Dr. Moewardi dengan keluhan sejak kemarin malam tidak dapat buang air kecil (BAK). Ia merasa sakit pada perut bagian bawah. Sejak 4 bulan yang lalu, penderita mengalami kesulitan BAK, tidak lampias dan sering kencing pada malam hari. Sebelumnya penderita telah beberapa kali berobat ke dokter, namun belum sembuh.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas sebagai dasar teori, antara lain :
a. Bagaimanakah anatomi, histologi, dan fisiologi umum kelenjar prostat?
b.Apa itu BPH dan bagaimana terapinya?
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui diagnosis melalui berbagai pemeriksaan yang dilakukan.
Ø Mengetahui gejala-gejala penyakit tersebut lebih lanjut serta penatalaksanaannya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu menjelaskan atau merealisasikan:
a. Ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dengan sistem urogenitalia, meliputi: biologi, anatomi, histologi, fisiologi, dan biokimia, dan sebagainya.
b. Berbagai penyebab, faktor risiko, dan mekanisme terjadinya kelainan pada sel/organ pada penyakit-penyakit sistem urogenitalia meliputi patogenesis, patologi, dan patofisiologinya.
c. Metode penegakan diagnosis pada penyakit sistem urogenitalia.
d. Manajemen/penatalaksanaan penyakit pada sistem urogenitalia meliputi dasar-dasar terapi meliputi medikamentosa, konservatif, diet, operatif, rehabilitasi.
e. Komplikasi dan prognosis dari penyakit pasien.
2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kelenjar Prostat
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm.Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus : lobus medius, lobus lateralis (2 lobus), lobus anterior, lobus posterior. Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan menjadi satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadang-kadang tak tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat. Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain adalah: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang letaknya proximal dari spincter externus di kedua sisi dari verumontanum dan di zona periuretral. Kedua zona tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat. Sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer. Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara dikanan dari verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Disebelah depan didapatkan ligamentum pubo prostatika, disebelah bawah ligamentum triangulare inferior dan disebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers. Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan prostat dan vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan fascia pelvis dan memisahkan prostat dengan rektum. Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi pleksus prostatovesikal. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari: kapsul anatomi, jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler, jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian, bagian luar disebut kelenjar prostat sebenarnya. Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai adenomatous zone Di sekitar uretra disebut periurethral gland. Pada BPH kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis: kapsul anatomis, kapsul chirurgicum; ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang sebenarnya (outer zone) sehingga terbentuk kapsul, kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam (inner zone) dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat. BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan kelenjar. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
B. Hiperplasia Prostat Benigna
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasi. Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan kepustakaan luar negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan memerlukan pengobatan untuk hiperplasia prostat. (Rahardjo, 2007)
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat antara lain sebagai berikut. Teori Hormonal; teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak terjadi BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH. Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat. Teori Growth Factor (faktor pertumbuhan); peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu; basic transforming growth factor, transforming growth factor beta 1, transforming growth factor beta 2, dan epidermal growth factor. Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-sel Prostat karena Berkurangnya Sel yang Mati. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis); seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan. Teori Dihydro Testosteron (DHT); testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam “target cell” yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5 dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor complex” ini mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear receptor” yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat. Teori Reawakening; Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme “glandular budding” kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan “glandular morphogenesis” yang terjadi pada embrio dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan adanya “reawakening” yaitu jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya, sehingga teori ini terkenal dengan nama teori reawakening of embryonic induction potential of prostatic stroma during adult hood. (Rahardjo, 2007)
Gejala hiperplasia prostat dibagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama saehingga kontraksi terputus-putus. Gejalanya ialah: harus menunggu pada permulaan miksi (Hesitancy), pancaran miksi yang lemah (Poor stream), miksi terputus (Intermittency), menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling), rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying). Pemeriksaan derajat beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur: residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan dan pancaran urin atau flow rate. Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaria yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh, gejalanya ialah bertambahnya frekuensi miksi (Frequency), nokturia, miksi sulit ditahan (Urgency), disuria (nyeri pada waktu miksi). Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih dirasakan pada malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut nocturia, hal ini disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga menurunnya tonus spingter dan uretra. Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan volume besar. Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam vesica, hal ini menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. (Priyanto, 2007)
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting. Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan: konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal), adakah asimetris, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba sulcus medianus prostate, adakah krepitasi. Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi. Pemeriksaan fisik vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis. (Priyanto, 2007)
Pemeriksaan laboratorium meliputi, darah: ureum dan kreatinin, elektrolit, blood urea nitrogen, Prostate Specific Antigen (PSA), gula darah. Urin : kultur urin + sensitifitas test, urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik, sedimen. (Priyanto, 2007)
Diagnosis bandingnya antara lain dijelaskan sebagai berikut. Kelemahan detrusor kandung kemih karena kelainan medula spinalis, neuropatia diabetes mellitus, pasca bedah radikal di pelvis, farmakologik. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh: kelainan neurologik, neuropati perifer, diabetes mellitus, alkoholisme, farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik) Obstruksi fungsional: dis-sinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi detrusor dengan relaksasi sfingter, ketidakstabilan detrusor. Kekakuan leher kandung kemih karena fibrosis. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh: hiperplasia prostat jinak atau ganas, kelainan yang menyumbatkan uretra, uretralitiasis, uretritis akut atau kronik, striktur uretra. Dan juga prostatitis akut atau kronis. Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut: inkontinensia paradoks, batu kandung kemih, hematuria, sistitis, pielonefritis, retensi urin akut atau kronik, refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal. (Priyanto, 2007)
3. DISKUSI DAN BAHASAN
Berdasarkan skenario, belum bisa ditentukan penyakit apa yang diderita oleh pasien karena tanda dan gejala yang diungkapkan dalam skenario masih bersifat umum untuk penyakit obstruksi sistem urogenitalia. Dalam laporan ini, saya hanya akan membahas mengenai BPH, utamanya dalam hal terapi konservatif (nonoperatif) dan nonkonservatifnya (operatif).
Sampai dengan tahun 1980-an kasus-kasus BPH selalu diatasi dengan operasi. Didorong oleh faktor biaya dan morbiditas post operatif yang tidak nyaman maka terus dicari pendekatan yang lebih aman, nyaman dan bahkan lebih ekonomis. Di dalam penatalaksanaan terapi hiperplasia prostat ini terdapat istilah terapi konservatif yang merupakan terapi non operatif. Untuk penderita yang oleh karena keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan operasi dapat diusahakan pengobatan konservatif. Terapi konservatif ini masih terbagi lagi ke dalam berbagai kelompok. Kesulitan pengobatan konservatif ini adalah menentukan berapa lama obat harus diberikan dan efek samping dari obat. Observasi (Watchful Waiting); Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadang-kadang mereka yang mengeluh pada saluran kemih bagian bawah ringan dapat sembuh sendiri dengan observasi ketat tanpa mendapatkan terapi apapun. Tetapi diantara mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah. Medikamentosa, meliputi: penghambat adrenergik a, fitoterapi, dan hormonal. Penghambat adrenergic alfa; Seperti kita ketahui persyarafan trigonum leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat terutama oleh serabut-serabut saraf simpatis, terutama mengandung reseptor alpha, jadi dengan pemberian obat golongan alpha adrenergik bloker, terutama alpha 1 adrenergik bloker maka tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat akan berkurang, sehingga sehingga menghasilkan peningkatan laju pancaran urin dan memperbaiki gejala miksi. Bila serangan prostatismus memuncak menjurus kepada retensio urin ini adalah pertanda bahwa tonus otot polos prostat meningkat atau berkontraksi sehingga pemberian obat ini adalah sangat rasional. Episode serangan biasanya cepat teratasi. Contoh obatnya adalah Phenoxy benzanmine (Dibenyline) dosis 2×10 mg/hari. Sekarang telah tersedia obat yang lebih selektif untuk alpha 1 adrenergik bloker yaitu Prazosine, dosisnya adalah 1-5 mg/hari, obat lain selain itu adalah Terazosin dosis 1 mg/hari, Tamzulosin dan Doxazosin. Jadi kelompok obat penghambat adrenoreseptor alpha ini hanya dapat digunakan untuk jangka pendek dan akan lebih fungsional pada terapi tahap awal, obat ini mempunyai efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat sedikitpun. Bila respon dari pengobatan ini baik maka ini merupakan indikator untuk masuk kedalam tahap perawatan “Watch and wait”.
Untuk kelompok kemoterapi pada umumnya telah mempunyai informasi farmakokinetik dan farmakodinamik terstandar secara konvensional dan universal. Kelompok obat ini juga disebut dengan “obat modern”. Tidak semua penyakit dapat diobati secara tuntas dengan kemoterapi ini sehingga diperlukan terapi komplementer atau alternatif. Kelompok terapi ini disebut fitoterapi. Disebut demikian karena berasal dari tumbuhan. Bahan aktifnya belum diketahui dengan pasti, masih memerlukan penelitian yang panjang. Namun secara empirik, manfaat sudah lama tercatat dan semakin diakui.
Saw Palmetto Berry (SPB) yang disebut juga Serenoa repens adalah suatu obat tradisional Indian. Catatan empiriknya tentang manfaat tumbuhan ini untuk gangguan urologis sudah ada sejak tahun 1900. Isu back to nature memberikan iklim yang kondusif bagi pemakaian obat ini. Dalam Life Extension Update dimuat, dari sebanyak 32 publikasi studi terdapat catatan bahwa extract dari SPB ini secara signifikan menunjukan perbaikan klinis dalam hal: frekuensi nokturia ® berkurang, aliran kencing ® bertambah lancar, volume residu dikandung kencing ® berkurang, gejala kurang enak dalam mekanisme urinoir ® berkurang. Mekanisme kerja obat ini belum dapat dipastikan tetapi diduga kuat ia akan: menghambat aktifitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir reseptor androgen, bersifat anti inflamasi dan anti udem dengan cara menghambat aktifitas enzim cycloxygenase dan 5 lipoxygenase.
Pumpkin seeds (Cucurbitae peponis semen); Testimoni empirik tradisional bahan ini telah digunakan di Jerman dan Austria sejak abad 16 untuk gangguan “urinoir” dan belakangan ini ekstraknya dipakai untuk mengatasi gejala yang berhubungan dengan BPH didalam konteks farmakoterapi maupun uji klinis kombinasi dengan ekstraks serenoa repens.
Hormonal; Pada tingkat supra hypofisis dengan obat-obat LH-RH (super) agonist yaitu obat yang menjadi kompetitor LH-RH mempunyai afinitas yang lebih besar dengan reseptor bagi LH-RH, sehingga obat ini akan “menghabiskan” reseptor dengan membentuk LH-RH super agonist reseptor kompleks. Sehingga mula-mula oleh karena banyaknya LH-RH super agonist yang menangkap reseptor, pada permulaan justru akan terjadi kenaikan produksi LH oleh hypofisis. Tetapi setelah reseptor “habis”maka LH-RH tidak dapat lagi mencari reseptor , maka LH akan menurun. Pada tingkat yang lebih rendah dapat pula diberikan obat anti androgen yang mekanisme kerjanya mencegah hidrolise testosteron menjadi DHT dengan cara menghambat 5 alpha reduktase, suatu enzim yang diperlukan untuk mengubah testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT), suatu hormon androgen yang mempengaruhi pertumbuhan kelenjar prostat, sehingga jumlah DHT berkurang tetapi jumlah testosteron tidak berkurang, sehingga libido juga tidak menurun. Penurunan kadar zat aktif dehidrotestosteron ini menyebabkan mengecilnya ukuran prostat. Contoh obat tersebut ialah Finesteride, Proscar dengan dosis 5 mg/hari dalam jangka waktu lebih dari 3 bulan, Finasteride mengurangi volume prostat sampai 30%. Obat anti androgen lain yang juga bekerja pada tingkat prostat ialah obat yang mempunyai mekanisme kerja sebagai inhibitor kompetitif terhadap reseptor DHT sehingga DHT tidak dapat membentuk kompleks DHT-Reseptor. Contoh obatnya ialah : Cyproterone acetate 100 mg 2 kali/hari, Flutamide, medrogestone 15 mg2 kali/hari dan Anandron. Golongan gestagen dan ketokonazole, obat-obat ini mempunyai khasiat: mengurangi enzim dehidrogenase dan isomerase yang berguna untuk metabolisme steroid, menekan LH dan FSH, menjadi saingan testosteron untuk 5 alpha reduktase sehingga DHT tidak terbentuk. Contoh obatnya adalah Megestrol acetat 160 mg empat kali sehari dan MPA 300-500 mg/hari.
Terapi operatif atau nonkonservatif akan dijelaskan sebagai berikut. Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT); Cara memanaskan prostat sampai 44,5°C – 47°C ini mulai diperkenalkan dalam tiga tahun terakhir ini. Dikatakan dengan memanaskan kelenjar periuretral yang membesar ini dengan gelombang mikro (microwave) yaitu dengan gelombang ultarasonik atau gelombang radio kapasitif akan terjadi vakuolisasi dan nekrosis jaringan prostat, selain itu juga akan menurunkan tonus otot polos dan kapsul prostat sehingga tekanan uretra menurun sehingga obstruksi berkurang. Prinsip cara ini ialah memasang kateter semacam Foley dimana proximal dari balon dipasang antene pemanas yang baru dipanaskan dengan gelombang mikro melalui kabel kecil yang berada didalam kateter. Pemanasan dilakukan antara 1-3 jam. Mekanisme yang pasti mengenai efek pemanasan prostat ini belum semuanya jelas, salah satu teori yang masih harus dibuktikan ialah bahwa dengan pemanasan akan terjadi perusakan pada reseptor alpha yang berada pada leher vesika dan prostat. Tersedia dua macam alat yaitu Prostatron yang menggunakan gelombang mikro dan dipanaskan selama satu jam. Cara ini disebut dengan Trans Urethral Microwave Treatment (TUMT). Sedangkan alat yang lain menggunakan radio capacitive frequency yang dapat memanaskan prostat sampai 44,5°C - 47°C selama 3 jam (TURF).
Cara kerja TUMT ialah antene yang berada pada kateter dapat memancarkan microwave kedalam jaringan prostat. Oleh karena temperatur pada antene akan tinggi maka perlu dilengkapi dengan surface costing agar tidak merusak mucosa ureter. Dengan proses pendindingan ini memang mucosa tidak rusak tetapi penetrasi juga berkurang. Cara TURF (Trans Uretral Radio Capacitive Frequency) memancarkan gelombang “radio frequency” yang panjang gelombangnya lebih besar daripada tebalnya prostat juga arah dari gelombang radio frequency dapat diarahkan oleh elektrode yang ditempel diluar (pada pangkal paha) sehingga efek panasnya dapat menetrasi sampai lapisan yang dalam. Keuntungan lain oleh karena kateter yang ada alat pemanasnya mempunyai lumen sehingga pemanasan bisa lebih lama, dan selama pemanasan urine tetap dapat mengalir keluar.
Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD); Dilatasi uretra pars prostatika dengan balon ini mula-mula dikerjakan dengan jalan melakukan commisurotomi prostat pada jam 12.00 dengan jalan melalui operasi terbuka (transvesikal). Konsep dilatasi dengan balon ini ialah mengusahakan agar uretra pars prostatika menjadi lebar melalui mekanisme: prostat di tekan menjadi dehidrasi sehingga lumen uretra melebar, kapsul prostat diregangkan, tonus otot polos prostat dihilangkan dengan penekanan tersebut, reseptor alpha adrenergic pada leher vesika dan uretra pars prostatika dirusak. TUBD ini biasanya memberikan perbaikan yang bersifat sementara.
Trans Urethral Needle Ablation (TUNA); Yaitu dengan menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi untuk menghasilkan ablasi termal pada prostat. Cara ini mempunyai prospek yang baik guna mencapai tujuan untuk menghasilkan prosedur dengan perdarahan minimal, tidak invasif dan mekanisme ejakulasi dapat dipertahankan.
Stent Urethra; Pada hakekatnya cara ini sama dengan memasang kateter uretra, hanya saja kateter tersebut dipasang pada uretra pars prostatika. Bentuk stent ada yang spiral dibuat dari logam bercampur emas yang dipasang diujung kateter (Prostacath). Stents ini digunakan sebagai protesis indwelling permanen yang ditempatkan dengan bantuan endoskopi atau bimbingan pencitraan. Untuk memasangnya, panjang uretra pars prostatika diukur dengan USG dan kemudian dipilih alat yang panjangnya sesuai, lalu alat tersebut dimasukkan dengan kateter pendorong dan bila letak sudah benar di uretra pars prostatika maka spiral tersebut dapat dilepas dari kateter pendorong. Pemasangan stent ini merupakan cara mengatasi obstruksi infravesikal yang juga kurang invasif, yang merupakan alternatif sementara apabila kondisi penderita belum memungkinkan untuk mendapatkan terapi yang lebih invasif.
4. KESIMPULAN
¨ Benign Prostate Hypertrofia sebenarnya merupakan suatu hiperplasia kelenjar periuretral. Hiperplasia prostat mempunyai angka kejadian yang bermakna pada populasi pria lanjut usia. Etiologi dari hiperplasia prostat hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti, beberapa teori menyebutkan hal ini berkaitan dengan meningkatnya kadar DHT dan karena proses aging (menjadi tua). Hiperplasia prostat menyebabkan gejala obstruksi dan iritasi saluran kemih.
¨ Tanda-tanda obyektif hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat, pengurangan laju pancaran urin, dan volume residu urin yang besar. Derajat beratnya obstruksi pada hiperplasia prostat tidak bergantung pada ukuran besar prostat melainkan ditentukan oleh volume residu urin dan laju pancaran urin waktu miksi. Guna menentukan derajat pembesaran prostat dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti rektal grading, berdasarkan jumlah residual urin, intra vesikal grading dan berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi. Derajat berat gejala klinik hiperplasia prostat dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada pemeriksaan colok dubur dan sisa volume urin yang digunakan untuk menentukan cara penanganan atau penatalaksanaannya.
¨ Terapi bisa dilakukan secara konservatif (nonoperatif) berupa observasi dan medikamentosa. Terapi nonkonservatif (operatif) bisa dilakukan jika memang hiperplasia prostat sudah lebih dari 90% meskipun akhir-akhir ini dikembangkan beberapa terapi non-bedah yang kurang invasif.
5. DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Nasution, I. 2007. Pendekatan Farmakologis Pada Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Semarang: Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UNDIP.
Priyanto, J.E. 2007. Benigna Prostat Hiperplasi. Semarang: Sub Bagian Bedah Urologi FK UNDIP.
Rahardjo, D. 2007. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan. Jakarta: Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo.
Soebadi, D.M. 2006. Fitoterapi Dalam Pengobatan BPH. Surabaya: SMF/Lab. Urologi RSUD Dr. Soetomo-FK Universitas Airlangga.
Sjamsuhidajat, R., de Jong W. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tenggara, T. 2000. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat. Dalam: Majalah Kedokteran Indonesia. Volume 48. Jakarta: IDI.
Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.
No comments:
Post a Comment