1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehamilan, siklus ovulasi sangatlah penting bagi seorang wanita dalam mempertahankan populasi manusia. Perubahan endokrin pada siklus ovarium dioptimalkan untuk menciptakan suatu ligkungan hormonal yang mendukung ovulasi. Lingkungan endokrin yang berkembang selama siklus ovarium juga optimal bagi regenerasi endometrium setelah selesainya suatu siklus fertilitas (menstruasi) yang gagal untuk mempersiapkan jaringan ini bagi kesempatan kehamilan (implantasi) berikutnya.
Estrogen folikular yang disintesis di sel granulosa diproduksi dalam suatu pola siklus yang mengendalikan fungsi ovarium-otak-hipofisis dan pematangan folikel, yang akhirnya, menyebabkan ovulasi. Namun efek somatik estrogen, misalnya efek terhadap kepadatan tulang, sebaiknya dianggap sebagai satu manfaat kebetulan. Hingga saat ini belum diketahui adanya mekanisme fisiologis yang menyebabkan jaringan somatik dapat bekerja mengendalikan kecepatan sekresi estrogen ovarium. Selain ovarium dan otak-hipofisis, hal ini juga berlaku bagi semua jringan yang peka terhadap estrgen, termasuk payudara, uterus, tulang, kulit, vagina, dan hati. Untuk proses-proses metabolik, selain proses yang secara langsung terlibat dalam reproduksi, tidak tmpak jelas keuntungan dari adanya fluktuasi mencolok adanya kadar estrogen yang khas pada siklus ovarium. Pertimbangan-pertimbangan ini penting tidak saja untuk memahami proses reproduksi tetapi juga untuk mengembangkan terapi sulih estrogen yang rasional. Secara spesifik, usaha farmakologis untyk menciptakan kembali fluktuasi siklis dasar estrogen pada siklus ovarium dari wanita pascamenepouse, hipogonad, atau yang sudah dikastrasi tidak bermanfaat.
Cukuplah beralasan bila disimpulkan bahwa ovulasi serta menstruasi yang berulang dan siklis bukanlah suatu norma evolusi biologis. Ovulasi dan menstruasi berulang pada hakikatnya merupakan konsekuensi intelektual yang cepat dan bukanlah merupakan evolusi biologis manusia.
Dari skenario 1 Blok Sistem Reproduksi, adapun ringkasan dari skenario tersebut, adalah :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Seorang perempuan 19 tahun, menikah 3 bulan yang lalu, mengeluarkan darah dari vagina sedikit-sedikit selama tiga hari.
- Sejak menikah itu, haidnya tidak datang, payudara terasa tegang padahal sebelumnya haidnya teratur tiap bulan.
- Penderita tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi.
- Penderita merasa mual dan muntah-muntah terutama pagi hari, setiap kali makan atau minum selalu muntah lagi, badannya pun lemah sampai tidak dapat beraktivitas.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- (tidak ada data)
Ø Riwayat Penyakit Keluarga, berupa:
- (tidak ada data)
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Hasil pemeriksaan fisik, diperoleh: suhu badan normal, mulut kering dan turgor kulit menurun, fundus uteri teraba 1 cm di atas simfisis. Dengan pemeriksaan inspekulo menunjukkan ostium uteri eksternum tertutup dan keluar darah segar.
- Dokter menyarankan agar penderita dirawat inap untuk memperbaiki keadaan umum dan menjalani pemeriksaan ultrasonografi (USG).
- Penderita memiliki kebiasaan buruk berupa konsumsi rokok sejak 3 tahun ini.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas sebagai dasar teori, antara lain :
a. Anatomi ovarium, uterus, dan vagina
b.Histologi ovarium, uterus, dan vagina
c. Fisiologi ssistem reproduksi wanita
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Mengetahui penegakkan diagnosis melalui berbagai pemeriksaan yang dilakukan.
Ø Mengetahui gejala-gejala penyakit tersebut lebih lanjut serta penatalaksanaannya.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem reproduksi wanita dan penyelesaiaannya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu menjelaskan :
a. Ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dengan sistem reproduksi, meliputi: biologi, anatomi, histologi, fisiologi, dan biokimia, dan sebagainya.
b. Klasifikasi macam-macam penyakit pada sistem reproduksi.
c. Keadaan normal dan patologis pada kasus-kasus obstetrik meliputi: fisiologi organ reproduksi, ANC-kehamilan, maternal fisiologis persalinan, puerperium/nifas.
d. Keadaan normal dan patologis pada kasus-kasus ginekologi meliputi: kondisi anatomi organ, kelainan genetik dan kongenital, infeksi, tumor, perdarahan abnormal pada uterus dan kelainan pada payudara.
e. Penyebab-penyebab terjadinya gangguan pada sistem reproduksi beserta mekanismenya.
f. Faktor-faktor pencetus terjadinya gangguan pada sistem reproduksi.
g. Manajemen/penatalaksanaan penyakit pada sistem reproduksi, meliputi dasar-dasar terapi meliputi medikamentosa, konservatif, diet, operatif, rehabilitasi.
h. Prosedur klinik penunjang diagnosa penyakit sistem reproduksi meliputi: radiologi:USG, HSG, Tomografi: aksial hipofisis, dll.
i. Pemeriksaan laboratorium penunjang diagnosa penyait sistem reproduksi meliputi: mikroskopik yaitu pemeriksaan sekret vagina: bau, pH, usap vaginal, pemeriksaan dengan NaCl, dengan potasium hidroklorida, usap endoservikal dan servikal, mikrobiologi: etiologi infeksi: gram, kimia: FSH serum.
j. Prognosis secara umum tentang penyakit pada sistem reproduksi.
k. Penyususnan data dari simtom/gejala, pemeriksaan fisik, prosedur klinik, dan pemeriksaan laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis sementara dan diagnosis banding pada penyakit sistem reproduksi.
l. Prosedur keterampilan klinik untuk mendiagnosis penyakit pada sistem reproduksi meliputi pemeriksaan perineal, pemeriksaan genitalia wanita, pemeriksaan ginekologik dan obstetrik, dll.
m. Tindakan promotif dan preventif penyakit pada sistem reproduksi dengan mempertimbangkan faktor-faktor pencetus.
n. Perancangan penatalaksanaan penyakit-penyakit pada sistem reproduksi.
o. Ketrampilan kegiatan di lapangan dalam upaya pencegahan pada kelainan di sistem reproduksi.
2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Ovarium, Uterus, dan Vagina
Ovarium homolog dengan testis pada laki-laki. Ovarium terdapat dalam cekungan yang disebut dengan fossa ovarica pada dinding lateral dari pelvis. Ovarium melekat pada ligamentum latum uteri, terletak di sebelah dorsocaudal dari tuba uterina. Batas fossa ovarica di bagian cranial adalah a/v. iliaca externa, di caudal oleh obliterasi a. umbilicalis dan ureter, dan pada bagian dasar oleh a/v. iliaca interna. Biasanya ovarium terletak dengan sumbu panjang vertikal tetapi ovarium ikut serta dalam setiap gerakan ligamentum latum dan uterus. Ovarium memiliki extremitas cranialis/extremitas tubarius, bagian ini terletak dekat dengan v. iliaca externa. Melekat pada extremitas ini adalah fimbria ovarica dari tuba uterina dan plica peritoneum yang dikenal sebagai ligamnetum suspensorium ovarii, yang langsung berjalan ke kranial di atas a/v. iliaca communis dan mengandung a. ovarica. Extremitas uterina, menuju ke arah caudal, melekat pada sudut lateral dari uterus, tepat di belakang dari tuba uterina dengan perantaraan ligamentum ovarii proprium, yang berada di dalam ligamentum latum uteri dan tersusun oleh serabut-serabut otot polos. Facies lateralis ovarii, bersinggungan dengan peritoneum parietale yang melapisis fossa ovarica. Facies medialis ovarii, facies ini ditutupi oleh fimbria tuba uterina. Margo mesovarium, melekat ke facies dorsalis dari ligamentum latum uteri oleh plica pemdek yang disebut mesovarium. Di antara kedua lamian dari plica ini, pembuluh darah dan nervi masuk ke hilus ovarii. Margo libera ovarii, berbentuk convex dan langsung menuju ke uterus. Ovarium akan difiksasi oleh mesovarium, ligamentum ovarii proprium, dan ligamentum suspensorium ovarii. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Ovarium mendapat suplai darah dari a. ovarica yang merupakan cabang dari aorta abdominalis setinggi vertebra lumbalis I dan dari r. ovaricus a. uterina. Keduanya akan masuk ke dalam ovarium melalui hilus ovarii. A. ovarica dengan r. ovaricus a. uterina akan saling beranastomose di mesosalphinx. Vena yang keluar dari hillus ovarii akan membentuk plexus pampiniformis. V. ovarica dibentuk dari plexus ini dan meninggalkan pelvis bersama-sama dengan a. ovarica berjalan di antara kedua lembar ligamentum latum uteri sebagai ligamentum suspensorium ovarii. V. ovarica dextra mengalirkan darah ke v. cava inferior sedangkan v. ovarica sinistra mengalirkan darah venosa ke v. renalis sinistra. Cairan lymphe akan dialirkan ke nodi lymphatici paraaortae setinggi vertebra lumbalis I. Persarafan ke ovarium berasal dari plexus ovaricus dan juga dari plexus hypogastricus. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Uterus adalah suatu massa muskuler dengan dinding tebal berongga di sebelah dalamnya, terdapat dalam cavitas pelvicus di antara vesica urinaria dan rectum. Tuba uterina akan bermuara di bagian atas dari uterus, sedang uterus bagian bawah akan berhubungan dengan vagina.
Uterus memiliki bagian-bagian yang dapat dilihat secara struktural dan fungsional. Corpus uteri adalah bagian dari uterus yang menghadap ke arah abdomen dan memiliki bagian-bagian sebagai berikut: facies ventralis atau facies vesicalis dan facies dorsalis atau facies intestinalis. Facies ventralis merupakan permukaan yang berhadapan dengan vesica urinaria yang akan ditutupi oleh peritoneum yang kemudian mengadakan pelipatan di daerah pertemuannya dengan cervix uteri ke arah ventral, untuk kemudian menuju ke vesica urinaria. Antara uterus dan vesica urinaria terdapat suatu kantong yang dibentuk oleh lembaran peritoneum yang disebut excavatio vesicouterina. Sedangkan facies dorsalis memiliki permukaan yang lebih convex, ditutupi oleh peritoneum yang ke arah caudal menutupi cervix uteri dan bagian cranial dari vagina. Peritoneum kemudian mengadakan refleksi untuk seterusnya menutupi rectum di facies ventralisnya dan membuat suatu kantung yang disebut excavatio rectouterina (cavum Douglasi). Fundus uteri, merupakan bagian uterus yang terletak di atas muara tuba uterina. Margo lateralis, daerah ini sedikit convex dan pada bagian atas dari margo lateralis ini terlihat tuba uterina yang bermuara pada dinding uterus. Di sebelah ventral dan caudal dari muara tuba merupakan tempat perlekatan dari ligamentum rotundum (ligamentum teres uteri), sedangkan di sebelah dorsal sebagai perlekatan dari ligamentum ovarii proprium. Tuba uterina, ligamentum teres uteri, dan ligamentum ovarii proprium terletak di dalam kedua lembar periteneum yang melapisi uterus di facies ventralis dan facies dorsalis yang kemudian menuju ke arah dinding pelvis. Kedua lembar peritoneum ini disebut sebagai ligamentum latum uteri. Cervix uteri, merupakan lanjutan atau bagaian dari corpus uteri bagian bawah yang sempit yang akan menembus dinding anterior vagina dan dibagi menjadi: portio supravaginalis cervicis uteri dan portio vaginalis cervicis uteri. Portio supravaginalis cervicis uteri, merupakan bagian dari cervix uteri yang berada di atas vagina. Di sebelah ventral, terpisah dari vesica urinaria oleh adanya jaringan fibrosa yang disebut parametrium, yang membentang juga pada dinding lateralnya, yang terletak di dalam ligamnetum latum uteri. Ureter di kedua sisi berjalan ke ventral di dalam parametrium sekitar 2 cm dari cervix uteri. Portio vaginalis cervicis uteri, bagian ini adalah bagian dari cervix uteri yang menjorok ke dalam cavum vaginae, pada ujungnya terdapat ostium uteri externum. Ostium ini dibatasi oleh 2 labia, yaitu labium anterius dan labium posterius. Antara labium anterius dengan dinding ventral vagina terdapat fornix anterior, sedang labium posterius dengan dinding posterior vagina terdapat fornix posterior, yang merupakan bagian paling cranial dari cavum vaginae. Cavum uteri, terlihat sempit karena uterus gepeng ke arah dorsoventral. Cavum uteri ke arah distal berlanjut sebagai isthmus uteri kemudian berakhir sebagai canalis cervicis uteri. Isthmus uteri, bangunan ini merupakan tempat yang sempit antara ostium uteri internum anatomicum dan ostium uteri internum histologicum. Ostium uteri internum anatomicum adalah tempat tersempit dalam cavum uteri, berlanjut ke arah distal lebih kurang 1 cm. Pada tempat ini endometrium masih dilapisis epithel columner simplex. Tempat berakhirnya epithel ini disebut ostium uteri internum histologicum. Canalis cervicis uteri, merupakan rongga di dalam cervix uteri yang ke arah distal berakhir sebagai ostium uteri externum. Dinding dari canalis cervicis uteri ini di bagian anterior dan posterior terdapat plica longitudinalis yang disebut sebagai plica palmatae, juga terdapat columna kecil seperti daun yang bercabang-cabang sebagai arbor vitae uterina. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Uterus akan difiksasi oleh ligamentum latum uteri, merupakan jaringan fibrosa yang dititupi pada kedua permukaannya oleh peritoneum, yang membentang dari sisi samping uterus ke dinding lateral dan dasar cavitas pelvicus. Ligamnetum ini terdiri dari dua lembar, pada ligamentum tersebut terdapat parametrium, a. uterina, tuba uterina, epoophoron dan paraophoron, dan ureter. Ligamentum teres uteri, berupa pita pipih yang melekat pada bagian atas dari margo lateralis uteri, tepat di sebelah caudal dan ventral dari isthmus tubae. Ligamentum sacrouterinum, berupa suatu pita fibrosa yang sangat menonjol dan berasal dari fascia subserosa yang berjalan melengkung di dinding lateral pelvis dari cervix uteri ke os sacrum. Ligamnetum cardinale uteri, terdiri atas serabut-serabut yang berasal dari fascia subserosa yang di dalamnya mengandung jaringan lunak yang terdapat di sisi cervix uteri bagian bawah dan vagina. Ligamnetum vesicouterina, terbentuk dari plica peritonei dan ligamentum ini merupakan batas antara cervix corpus uteri dengan vesica urinaria yang berfungsi untuk fiksasi cervix uteri dengan vesica urinaria. Dan fiksasi utama dari uterus adalah diaphragma pelvis, terutama m. levator ani beserta fascia yang melekat padanya. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Uterus divaskularisasi oleh a. uterina cabang a. iliaca interna dan a. ovarica cabang aortaabdominalis. Sedangkan vena yang berasal dari uterus akan berjalan bersama arterinya dan berakhir di plexus uterinus. Unterus juga akan dipersarafi oleh serabut-serabut dari plexus hypogastricus, plexus ovaricus, Nn. Sacrales III-IV. Serabut afferens dari uterus masuk ke medulla spinalis dengan melalui nn. Thoracales XI-XII.
Vagina merupakan organ yang digunakan untuk kopulasi wanita berupa struktur musculomembranous berbentuk tabung yang menghubungkan vulva dan uterus. Vagina terletak di dorsal vesica urinaria dan di ventral rectum, dindingnya saling bersinggungan dan bentuk yang biasa di bagian bawah pada penampang melintang berbentuk huruf H. Vagina ini mengelilingi portio vaginalis cervicis uteri, yang perlekatannya di dinding dorsal uterus lebih tinggi dibanding perlekatannya pada dinding ventral uterus. Kantung yang terdapat di bagian dorsal ini disebut sebagai fornix posterior, sedangkan cekungan yang lebih kecil yang terdapat di ventral dan lateral disebut sebagai fornix anterior dan fornix lateral. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Dinding vagina tersusun atas tunica mucosa, tunica muscularis, dan tunica serosa. Tunica mucosa akan melanjutkan diri ke dalam endometrium. Pada permukaan dalamnya terdapat dua plica longitudinal di anterior dan di posterior. Plicae ini disebut sebagai columna vaginae, dan dari columnae ini, timbul plica tranversa atau rugae yang membentang keluar di tiap-tiap sisi yang disebut columna rugarum. Epitel yang melapisi tunica mucosa adalah epithel squamous complex. Tunica muscularisnya disusun oleh dua lapis otot, yaitu stratum longitudinale di sebelah luar dan stratum circulare di sebelah dalam. Bagian bawah dari vagina dikelilingi oleh jaringan erektil dari bulbus vestibuli dan pita dari otot-otot seran lintang yang disebut m. bulbocavernosus. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Sepertiga superior vagina akan divaskularisasi oleh cabang-cabang cervicivaginalis a. uterina dan caran lymphe akan menuju ke nodi lymphatici iliaca interna, sepertiga media akan divaskularisasi oleh a. vesicalis inferior dan cairan lymphe menuju ke nodi lymphatici hypogastrica, dan sepertiga bagian inferiornya akan divaskularisasi oleh a. rectalis media dan a. pudenda interna serta cairan lymphanya akan menuju ke nodus lymphaticus inguinalis superficialis. Darah venosa dari vagina berjalan pada sepanjang dua sisi yang akan beranastomose dengan v. uterina, v. vesicalis, dan v. rectalis membentuk plexus venosus vaginalis yang kemudian akan bermuara ke v. iliaca interna. Vagian diinervasi oleh n. pudendus dan plexus pudendus. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
B. Histologi Ovarium, Uterus, dan Vagina
Secara mikroskopis ovarium dibedakan atas medula (zona vaskulosa) dan korteks (zona parenkimatosa). Pada medula banyak didapatkan pembuluh darah, pembuluh limfe, jaringan pengikat longgar dan beberapa otot polos. Sedang pada korteks trdapat banyak dijumpai folikel ovarium dalam berbagai tingkat perkembangan. Folikel primer, yang terdiri atas ovum imatur dikelilingi oleh sel-sel folikel pipih yang tersusun epiteloid. Folikel perkembangan, di sini ovum bertambah besar dan berbentuk zona pelusida yang mengelilingi ovum. Sel-sel folikel berubah menjadi kuboid dan kemudian menjadi silindris. Sel folikel mengalami proliferasi terus menerus sehingga bangunan menjadi berbentuk oval dan ovum kemudian akan menepi. Di antara sel-sel folikel terdapat rongga-rongga kecil yang kemudian menyatu membentuk ruangan besar disebut antrum folikuli yang berisi likuor folikuli. Ovum yang dikelilingi sekelompok sel folikel membentuk bangunan seperti tangkai yang menjorok ke satu sisi antrum yang disebut komulus ooporus. Sel-sel folikel yang langsung berhubungan dengan ovum yang tersusun radier membentuk korona radiata. Sel-sel folikel yang tersusun kompleks di sekitar antrum folikuli membentuk membrana granulosa. Di sekitar bangunan folikel perkembangan, jaringan stroma ovarium akan membentuk kapsula disebut teka folikuli yang dipisahkan terhadap membrana granulosa oleh glassy membrane. Teka folikuli kemudian akan berkembang menjadi dua lapis, yaitu teka interna dan eksterna. Teka interna disusun oleh sel-sel stroma dan pembuluh darah sedang teka eksterna banyak mengandung serabut kolagen padat dan sel-sel fusiform. Folikel matur (Folikel de Graff), bangunan folikel mencapai kematangan, lapisan granulosa yang membentuk membrana granulosa menipis. Ovum mencapai ukuran terbesar dan dikelilingi oleh zona pelusida dan korona radiata yang tampak menyolok. Pada saat ini folikel menonjol ke dalam tunika albuginea ovarium, sementara teka folikuli menjadi tipis yang dikenal dengan stigma. Dalam komulus ooporus kemudian terbentuk rongga cairan yang memudahkan lepasnya ovum beserta zona pelusida dan korona radiata masuk ke dalam rongga peritoneum (ovulasi). Pada saat ovulasi terjadi perdarahan dalam antrum folikuli sehingga tampak kemerahan disebut korpus rubrum. DInding folikel de Graff yang sudah ditinggalkan ovum akan kempis dan melipat-lipat yang selanjutnya akan berubah menjadi bangunan yang berfungsi sebagai endokrin, disebut korpus luteum. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Korpus luteum, pada bangunan ini sel-sel granulosa berubah menjadi sel granulosa lutein. Sedang sel teka interna menjadi sel teka lutein, ukuran lebih kecil dibanding granulosa lutein dengan inti padat dan tampak gelap. Teka eksterna bertahan pada bentuk semula. Selama ovum tidak dibuahi, korpus luteum akan bertahan sampai sekitar 9 hari setelah haid, setelah itu korpus luteum akan mengisut dan mengalami degenerasi (korpus luteum menstruatikum). Nasib selanjutnya korpus luteum akan mengalami hyalinisasi kemudian membentuk jaringan parut (korpus albikans). Bila terjadi pembuahan, korpus luteum akan dipertahankan sebagai korpus luteum gravidarum. Korpus luteum akan berperan dalam menghasilkan hormon estrogen dan progesteron. Folikel atretikum, folikel yang gagal berkembang akan mengalami atresia di mana folikel mengisut, terabsorbsi dan diganti jaringan ikat. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Histologi uterus terdiri atas lapisan mukosa atau endometrium, lapisan muskularis atau myometrium dan lapisan serosa atau perimetrium. Perimetrium disusun oleh jaringan ikat tipis yang diliputi oleh mesotelium. Lapisan myometrium terdiri atas tiga lapis otot polos. Di bagian dalam terdiri atas otot polos yang serabutnya berjalan sirkuler dan serong dengan banyak pembuluh darah di antaranya, disebut stratum muskulare. Sedang lapisan luar otot polos tipis, longitudinal disebut stratum supravaskulare. Endometrium dilapisi oleh epitel kolumner simpleks tak bersilia dan kelompok sel bersilia. Glandula uterina memenuhi permukaan sampai ke seluruh penebalan mukosa, yang satu sama lain dipisahkan oleh jaringan pengikat stroma. Sel stroma mirip dengan sel mesenkim, berbentuk stelat, ireguler dengan inti oval dan besar. Sel tersebut terletak dalam jaringan ikat retikuler yang memadat di bawah epitel untuk membentuk lamina basalis. Selain itu dijumpai pula sel limfosit dan leukosit. Stadium menstruasi, lapisan permukaan endometrium (lapisan fungsional) mengelupas membentuk darah menstruasi (3-5 hari siklus haid). Stadium proliferasi, ditandai dengan regenerasi yang cepat dari lamina basalis endometrium. Sel-sel kelenjar mengalami proliferasi sehingga tampak memanjang. Regenerasi lamina propria dilakukan oleh sel-sel stroma endometrium (hari ke-13 dan ke-14). Stadium sekresi (progestasional), di sini endometrium sangat tebal oleh karena hpertrofi dan sekresi kelenjar. Kelenjar tampak berkelok-kelok dan lumen melebar. Sel-sel stroma berubah menjadi sel desidua. Pada stadium ini, endometrium tampak terdiri dari tiga lapis, yaitu lapisan kompakta paling permukaan, tipis, kelenjar lurus dan sedikit. Lapisan kedua disebut lapisan spongiosa, merupakan lapisan tertebal, kelenjar berkelok-kelok dipisahkan satu sama lain oleh lamina propria yang oedematous. Lapisan kompakta bersama dengan lapisan spongiosa disebut fungsionale yang akan menghilang pada saat menstruasi dan melahirkan. Lapisan ketiga disebut juga dengan lapisan basale yang tipis, mengandung ujung buntu kelenjar dan tetap bertahan sewaktu menstruasi. Stadium iskhemik/premenstrual, lapisan tampak pucat akibat pengkerutan intermiten arteria spiralis. Stroma tampak semakin padat dan diinfiltrasi leukosit. Stadium menstruasi, akibat iskhemia maka lapisan fungsionale endometrium akan mengalami kematian (nekrosis) sehingga mengelupas dan keluar sebagai darah menstruasi. Pada stadium ini lapisan basale tetap utuh. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Serviks uteri merupakan bagian bawah uterus yang berbentuk silindris terdiri atas jaringan pengikat padat. Mukosa serviks melipat-lipat bercabang disebut plika palmata. Mukosa diliputi oleh epitel kolumner simpleks. Stroma penuh dengan jaringan ikat dan kelenjar serviks yang bercabang dan bersifat mukous. Bagian serviks yang menonjol ke dalam vagina disebut portio vaginalis permukaannya diliputi oleh epitel skuamous kompleks. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Vagina merupakan organ berbentuk tabung fibromuskuler dengan lapisan mukosa yang melipat-lipat secara transversal membentuk rugae. Dinding vagina terdiri atas lamina mukosa, lamina muskularis, dan lamina fibrosa (adventitia). Permukaan mukosa vagina dilapisi oleh epitel skuameus kompleks, sel-selnya penuh dengan tetes-tetes glikogen sehingga tampak bervakuola. Lamina propria disusun oleh jaringan pengikat padat dengan banyak serabut elastis, leukosit, dan kadang-kadang jaringan limfaatika. Glikogen dalam vagina akan dicerna oleh bakteri vagina sehingga menghasilkan cairan yang bersuasana asam membasahi vagina. Lamina muskularis disusun oleh dua lapis otot polos yang berjalan sirkuler dan tipis di sebelah dalam dan longitudinal tebal di bagian luar. Lamina fibrosa berupa lapisan tipis jaringan pengikat padat yang berbaur dengan jaringan organ lain di sekitarnya. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
C. Fisiologi Sistem Reproduksi Wanita
Dalam siklus seksual wanita, terdapat dua hasil yang bermakna, yaitu satu ovum yang matang yang normalnya dikeluarkan tiap bulannya dari ovarium sehingga normalnya hanya ada 1 janin yang bisa tumbuh dalam satu waktu, dan yang kedua adalah endometrium uterus terus dipersiapkan terlebih dahulu untuk implantasi ovum yang telah dibuahi pada saat tertentu dalam bulan tersebut.
Perubahan ovarium yang terjadi selama siklus seksual bergantung seluruhnya pada hormon-hormon gonadotropik, FSH, dan LH, yang disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior. Tidak adanya hormon-hormon tersebut membuat ovarium tetap tidak aktif, yang merupakan keadaan pada masa kanak-kanak, ketika hampir tidak ada hormon-hormon gonadotropik hipofisis yang disekresi. Pada usia 9 sampai 12 tahun, hipofisis secara progresif mulai menyekresi lebih banyak FSH dan LH, yang menyebabkan dimulainya siklus seksual bulanan normal yang terjadi antara usia 11 dan 15 tahun. Periode perubahan ini disebut pubertas, dan saat terjadinya siklus menstruasi pertama disebut menarke. FSH dan LH, keduanya merupakan glikoprotein kecil dengan berat mlekul rata-rata 30.000. Selama setiap bulan siklus seksual wanita, terjadi kenaikan dan penurunan jumlah FSH dan LH. Variasi siklus ini menyebabkan terjadinya perubahan siklus ovarium. Baik FSH dan LH merangsang sel target ovarium dengan cara bergabung dengan reseptor FSH dan LH yang sangat spesifik pada membran sel ovarium target. Selanjutnya, reseptor yang diaktifkan akan meningkatkan laju kecepatan sekresi dari sel-sel ini sekaligus meningkatkan pertumbuhan dan proliferasi sel. Hampir semua efek perangsangan ni dihasilkan dari pengaktifan sistem second messenger siklus addenosin monofosfat dalam sitoplasma sel, yang menyebabkan pembentukan protein kinase dan berbagai fosforilasi dari enzim-enzim kunci yang merangsang sintesis hormon seksual. (Guyton dan Hall, 2007)
Ketika seorang anak perempuan dilahirkan, masing-masing ovum dikelilingi oleh selapis sel granulosa; ovum, dengan selubung sel granulosa disebut folikel primordial. Sepanjang masa kanak-kanak, sel-sel granulosa diyakini berfungsi memberi makanan untuk ovum dan untuk menyekresi suatu faktor penghambatan untuk pematangan oosit, inilah yang membuat ovum tetap bertahan dalam keadaan primordial, dalam fase pembelahan meiosis. Kenudian, sesudah pubertas, bila FSH dan LH dari kelenjar hipofisis anterior mulai disekresikan dalam jumlah yang cukup, seluruh ovarium, bersama dengan folikelnya, akan mulai tumbuh. Tahap pertama pertumbuhan folikel adalah berupa pembesaran sedang dari ovarium itu sendiri, yang meningkatkan diameternya menjadi dua sampai tiga kali lipat. Kemudian diikuti dengan pertumbuhan lapisan sel-sel granulosa tambahan di dalam beberapa folikel; folikel-folikel inilah yang dikenal sebagai folikel primer. Selama beberapa hari pertama setiap siklus seksula bulanan wanita, konsentrasi FSH dan LH yang disekresi dari kelenjar hipofisis anterior meningkat dari sedikit menjadi sedang, dengan peningkatan FSH yang sedikit lebih besar daripada LH dan lebih awal beberapa hari daripada LH. Hormon-hormon ini, khususnya FSH, dapat mempercepat pertumbuhan 6 sampai 12 folikel primer setiap bulan. Efek awalnya adalah proliferasi sel-sel granulosa yang berlangsung cepat, menyebabkan lebih banyak lapisan pada sel-sel tersebut. Selain itu, sel-sel berbentuk kumparan yang dihasilkan dari interstitium ovarium berkumpul dalam beberapa lapisan di luar sel granulosa, membentuk massa sel kedua ynag disebut teka. Teka terbagi menjadi dua, lapisan. Di dalam teka interna, sel-selnya mempunyai karakteristik epitelium yang mirip dengan sel-sel granulosa dan memiliki kemampuan untuk menyekresikan hormon steroid seks tambahan (estrogen dan progesteron). Lapisan luar, teka eksterna, berkembang menjadi kapsul jaringan ikat yang sangat vaskular. Kapsul ini akan menjadi kapsul dari folikel yang sedang tumbuh. Sesudah tahap awal pertumbuhan proliferasi, yang berlangsung selama beberapa hari, massa sel granulosa menyekresi cairan folikuler yang mengandung estrogen dalam konsentrasi tinggi, salah satu hormon kelamin wanita yang penting. Pengumpulan cairan ini mengakibatkan terbentuknya antrum di dalam massa sel granulosa. (Guyton dan Hall, 2007)
Pertumbuhan awal folikel primer menjadi tahap antral dirangsang oleh FSH sendiri. Kemudian penignkatan pertumbuhan secar besar-besaran terjasi, menuju ke arah pembentukan folikel yang lebih besar lagi, yang disebut sebagai folikel vesikuler. Penignkatan pertumbuhan ini terjadi sebagai berikut: (1) Estrogen disekresikan ke dalam folikel dan menyebabkan sel-sel granulosa membentuk jumlah reseptor FSH yang semakin banyak; keadaan ini menyebabkan suatu keadaan umpan balik positif karena estrogen membuat sel-sel granulosa jauh lebih sensitif terhadap FSH. (2) FSH dari hipofisis dan estrogen bergabung untuk memacu reseptor LH sel-sel granulosa sebenarnya, sehingga terjadi rangsangan LH sebagai tambahan terhadap rangsangan oleh FSH dan membentuk peningkatan sekresi folikuler yang lebih cepat. (3) Peningkatan jumlah estrogen dari folikel ditambah dengan peningkatan LH dari kelenjar hipofisis anterior bersama-sama bekerja untuk menyebabkan proliferasi sel-sel teka folikular dan juga meningkatkan sekresi folikular. Sekali folikel antral mulai tumbuh, pertumbuhan folikel-folikel tersebut menjadi sangat cepat. Diameter ovum sendiri juga membesar tiga sampai empat kali lipat lagi, menghasilkan peningkatan diameter ovum total dari awal sampai sampai menjadi sepuluh kali lipat, atau peningkatan massa sampai 1000 kali lipat. Ketika folikel membesar, ovum sendiri tetap tertanam di dalam massa sel granulosa yang terletak pada sebuah kutup folikel.
Setelah pembuahan selama satu minggu atau lebih, tetapi belum terjadi ovulasi, salah satu dari folikel mulai tumbuh melebihi semua folikel yang lain; sisa 5 sampai 11 folikel yang tumbuh berinvolusi (suatu proses yang disebut atresia), dan sisa folikel ini dikatakan menjadi atretik. Penyebab atresia masih belum diketahui tetapi ada dalil tertentu yang diyakini sebagai penyebabnya. Dalil tersebut adalah sejumlah besar estrogen yang berasal dari folikel yang tumbuh paling cepat tersebut bekerja pada hipotalamus untuk lebih menekan kecepatan sekresi FSH oleh kelenjar hipofisis anterior, dengan cara ini menghambat pertumbuhan lebih jauh folikel-folikel yang kurang berkembang. Oleh karena itu, folikel yang paling besar dapat melanjutkan pertumbuhannya karena pengaruh efek-efek umpan balik positif intrinsik yang dimilikinya, sementara semua folikel yang lain berhenti tumbuh, dan mengalami involusi. Proses atresia tersebut sangatlah penting karena biasanya peristiwa tersebut normalnya hanya membuat satu folikel tumbuh sampai cukup besar untuk berovulasi setiap bulan; hal ini mencegah lebih dari satu anak yang berkembang dalam setiap kehamilan. Folikel tunggal tersebut mencapai diameter 1 sampai 1,5 sentimeter pada saat ovulasi dan disebut sebagai folikel matang. (Guyton dan Hall, 2007)
Ovulasi pada wanita yang mempunyai siklus seksual normal 28 hari terjadi 14 hari sesudah menstruasi dimulai. Tidak berapa lama sebelum ovulasi, dinding luar folikel yang menonjol akan membengkak dengan cepat, dan daerah kecil pada bagian tengah kapsul folikular, yang disebut stigma, akan menonjol seperti puting. Dalam waktu 30 menit kemudian, cairan mulai mengalir dari folikel melalui stigma, dan sekitar 2 menit kemudian, stigma akan robek cukup besar, menyebabkan cairan yang lebih kental, yang menempati bagian tengah folikel, mengalami evaginasi keluar. Cairan kental ini membawa ovum bersamanya, yang dikelilingi oleh massa dari beberapa ratus sel granulosa kecil yang disebut korona radiata. LH diperlukan untuk pertumbuhan akhir folikel dan ovulasi. Tanpa hormon ini, walaupun ketika FSH tersedia dalam jumlah besar, folikel tidak akan berkembang ke tahap ovulasi. Sekitar 2 hari sebelum ovulasi (karena alasan yang masih belum dimengerti seluruhnya). Laju kecepatan sekresi LH oleh kelenjar hipofisis anterior meningkat dengan pesat, menjadi 6 sampai 10 kali lipat dan mencapai puncaknya 16 jam sebelum ovulasi. FSH juga meningkat kira-kira 2 sampai 3 kali lipat pada saat bersamaan, dan FSH dan LH akan bekerja secara sinergistik untuk mengakibatkan pembengkakan folikel yang berlangsung cepat selamaa beberapa hari sebelum ovulasi. LH juga mempunyai efek khusus terhadap sel granulosa dan sel teka, yang mengubah kedua jenis sel tersebut tertutama menjadi sel yang bersifat mensekresi progesteron. Oleh karena itu, kecepatan sekresi estrogen mulai menurun kira-kira 1 hari sebelum ovulasi, sementara sejumlah peningkatan progesteron mulai disekresikan. Pada lingkungan setempat terjadi (1) pertumbuhan folikel yang berlangsung cepat, (2) berkurangnya sekresi estrogen sesudah fase sekresi estrogen yang berlangsung lama, dan (3) dimulainya sekresi progesteron, terjadi ovulasi. Tanpa adanya lonjakan LH praovulasi, ovulasi tidak akan berlangsung. (Guyton dan Hall, 2007)
Sekali lagi, pada permulaan ovulasi, terdapat peranan LH yang besar yang disekresikan oleh kelenjar hipofisis anterior. LH tersebut menyebabkan sekresi hormon-hormon steroid folikular dengan cepat, yang mengandung progesteron. Dalam waktu beberapa jam akan berlangsung dua peristiwa, keduanya dibutuhkan untuk ovulasi: (1) teka eksterna (kapsul folikel) akan mengeluarkan atau melepaskan enzim proteolitik dari lisosom, dan enzim tersebut mengakibatkan pelarutan dinding kapsul folikular dan akibatnya yaitu melemahnya dinding, menyebabkan makin membengkaknya seluruh folikel dan degenerasi stigma. (2) Secara bersamaan juga akan terjadi pertumbuhan pembuluh darah baru yang berlangsung cepat ke dinding folikel, dan pada saat yang sama, prostaglandin (hormon setempat yang mengakibatkan vasodilatasi) akan disekresi ke dalam jaringan folikular. Kedua efek ini akan mengakibatkan transudasi plasma ke dalam folikel, yang berperan pada pembengkakan folikel. Akhirnya kombinasi antara pembengkakan folikel dan degenerasi stigma akan mengakibatkan pecahnya folikel disertai dengan pengeluaran ovum. (Guyton dan Hall, 2007)
Keseluruhan fase di atas sampai pecahnya folikel, disebut dengan fase folikular siklus ovarium. Setelah fase folikular, siklus ovarium akan berlanjut pada siklus luteal, dalam siklus ini akan terjadi pembentukan korpus luteum.
Selama beberapa jam pertama sesudah ovum dikeluarkan dari folikel, sel-sel granulosa dan teka interna yang tersisa berubah dengan cepat menjadi sel lutein. Diameter sel ini membesar dua kali atau lebih dan terisi dengan inklusi lipid yang memberi tampilan kekuningan. Proses ini disebut dengan luteinisasi, dan seluruh massa dari sel bersama-sama disebut sebagai korpus luteum. Suplai vaskular yang berkembang dengan baik juga tumbuh ke dalam korpus luteum. Sel-sel granulosa dalam korpus luteum mengembangkan retikulum endoplasma halus intrasel yang luas, yang membentuk sejumlah besar hormon seks wanita progesteron dan estrogen (lebih banyak progesteron daripada estrogen). Sel-sel teka terutama lebih membentuk hormon androgen, androstenedion, dan testosteron daripada hormon seks wanita. Akan tetapi, sebagian besar dari hormon-hormon tersebut juga akan dikonversikan oleh sel-sel granulosa menjadi hormon seks wanita. Pada wanita normal, diameter korpus luteum tumbuh menjadi kira-kira 1,5 sentimeter. Tahap perkembangan ini dicapai dalam waktu 7 sampai 8 hari setelah ovulasi. Kemudian korpus luteum mulai berinvolusi dan akhirnya kehilangan fungsi sekresi juga warna kekuningannya, dan sifat lipidnya dalam waktu kira-kira 12 hari setelah ovulasi, menjadi korpus albikans; selama beberapa minggu, korpus albikans akan digantikan oleh jaringan ikat dan dalam hitungan bulan akan diserap. (Guyton dan Hall, 2007)
Perubahan sel-sel granulosa dan sel teka menjadi sel lutein sangat bergantung pada LH yang disekresikan oleh kelenjar hipofisis anterior. Pada kenyataannya, fungsi inilah yang menyebabkan LH mendapat julukan “luteinisasi” untuk kekuningan. Luteinisasi juga bergantung pada pengeluaran ovum dari folikel. Sebuah hormon setempat yang masih belum diselidiki pada cairan folikel, yang disebut faktor penghambat luteinisasi, masih dimungkinkan memiliki fungsi menahan proses luteinisasi sampai sesudah ovulasi. (Guyton dan Hall, 2007)
Korpus luteum adalah organ yang sangat sekretorik yang menyekresikan sejumlah besar progesteron dan estrogen. Sekali LH (terutama yang disekresi selama kebutuhan ovulasi) bekerja pada sel granulosa dan sel teka untuk meimbulkan luteinisasi, maka sel-sel lutein yang baru terbentuk mungkin diprogram untuk meneruskan tahapan yang sudah diatur, yaitu (1) proliferasi, (2) pembesaran, dan (3) sekresi, diikuti dengan (4) degenerasi. Semua itu terjadi dalam waktu 12 hari. Dan adanya hormon yang mirip dengan LH nantinya yang disebut dengan gonadotropik korionik (hCG), yang disekresi plasenta, dapat bekerja pada korpus luteum untuk memperpanjang kelangsunga hidupnya. Biasanya dipertahankan untuk sekurang-kurangnya 2 sampai 4 bulan pertama kehamilan. (Guyton dan Hall, 2007)
Estrogen, khususnya dan progesteron, dalam jumlah lebih sedikit, yang disekresi oleh korpus luteum selama tahap luteal dari siklus ovarium, mempunyai efek umpan balik yang kuat terhadap kelenjar hipofisis anterior untuk mempertahankan kecepatan sekresi FSH maupun LH yang rendah. Selain itu, sel lutein juga menyekresi sejumlah kecil hormon nhibin, yang sama seperti inhibin yang disekresi oleh sel Sertoli dan testis pria. Hormon ini menghambat sekresi kelenjar hipofisis anterior, khususnya sekresi FSH. Konsentrasi FSH dan LH dalam darah yang rendah terjadi, dan hilangnya hormon ini akhirnya menyebabkan korpus luteum berdegenerasi secara menyeluruh, suatu proses yang disebut involusi korpus luteum. Involusi akhir biasanya terjadi pada hampir tepat 12 hari dari masa hidup korpus luteum, sekitar hari ke-26 dari siklus seksual wanita normal, 2 hari sebelum menstruasi dimulai. Pada saat ini, penghentian tiba-tiba sekresi estrogen, progesteron, dan inhibin dari korpus luteum akan menghilangkan umpan balik halangan dari kelenjar hipofisis anterior, memungkinkan kelenjar meningkatkan sekresi FSH dan LH kembali. FSH dan LH akan merangsang pertumbuhan folikel baru, memulai siklus ovarium yang baru. Terhentinya sekresi progesteron dan estrogen secara sementara pada waktu ini akan menyebabkan menstruasi oleh uterus. (Guyton dan Hall, 2007)
Berikut akan dijelaskan mengenai siklus bulanan endometrium dan menstruasi yang termasuk perdarahan normal atau fisiologis pada wanita, penjelasan tersebut sebagai berikut (Guyton, 2007; Hall, 2007) :
Fase proliferasi atau fase estrogen siklus endometrium; terjadi sebelum ovulasi
o Akibat menstruasi, endometrium berdeskuamasi, hanya selapis tipis stroma endometrium yang tertinggal dan sel-sel epitel yang tertinggal adalah sel-sel epitel yang terletak lebih dalam dari kelenjar yang tersisa serta pada kripta endometrium.
o Oleh karena pengaruh estrogen yang disekresi terlalu besar oleh ovarium selama bagian pertama siklus ovarium, sel-sel stroma dan sel-sel epitel berproliferasi dengan cepat. Permukaan endometrium mengalami epitelisasi kembali dalam waktu 4-7 hari setelah menstruasi.
o Selama 1 minggu berikutnya, ketebalan endometrium mencapai puncaknya (sebelum ovulasi), sel stroma bertambah banyak dan adanya pertumbuhan kelenjar endometrium serta pembuluh darah yang baru yang sangat cepat ke dalam endometrium sehingga saat ovulasi tebal endometrium bisa mencapai 3-5 mm.
o Untuk menyambut ovulasi, kelenjar endometrium (khususnya serviks) akan mensekresi mukus yang encer mirip benang dan tersususn di sepanjang kanalis servikalis yang membentuk suatu saluran, membantu mengarahkan sperma ke arah yang tepat dari vagina sampai dengan uterus.
Fase sekretorik atau fase progestasional siklus endometrium; terjadi setelah ovulasi
o Setelah ovulasi, progesteron dan estrogen bersama-sama disekresi dalam jumlah sangat besar oleh korpus luteum (terutama progesteron).
o Estrogen akan memberikan efek sedikit proliferasi sel tambahan pada endometrium selama fase siklus ini.
o Progesteron akan memberikan efek pembengkakan yang nyata dan perkembangan sekretorik dari endometrium, kelenjar makin berkelok-kelok, kelebihan substansi sekresinya bertumpuk di epitel kelenjar, sitoplasma sel stroma bertambah banyak, simpanan lipid dan glikogen semakin meningkat dalam sel stroma, suplai darah ke dalam endometrium lebih lanjutnya meningkat sebanding dengan perkembangan aktivitas sekresi, pembuluh darah menjadi sangat berkelok-kelok.
o Satu minggu setelah ovulasi, tebal endometrium menjadi 5-6 mm.
o Tujuan dari fase ini adalah menghasilkan endometrium yang sangat sekretorik, menghasilkan berbagai nutrien yang membentuk kondisi yang cocok bagi implantasi ovum yang sudah dibuahi selama separuh dari akhir siklus bulanan.
o Setelah ovum yang dibuahi masuk ke kavum uteri dari tuba falopii (3-4 hari setelah ovulasi) dan berimplantasi (7-9 hari setela ovulasi), uterus akan menghasilkan suatu sekret yang disebut “susu uterus” yang menyediakan makanan bagi pembelahan awal ovum. Kemudian sel-sel trofoblas dari ovum pada permukaan blastokis yang berimplantasi mulai mencerna endometrium dan mengabsorbsi substansi yang disimpan endometrium.
Fase menstruasi dan leukorea
o Jika ovum tidak dibuahi, kira-kira 2 hari sebelum akhir siklus bulanan, korpus luteum di ovarium tiba-tiba berinvolusi dan hormon-hormon ovarium (progesteron dan estrogen) menurun dengan tajam sampai kadar sekresi yang rendah.
o Menstruasi, disebabkan utama oleh kadar progesteron yang menurun drastis pada akhir siklus ovarium bulanan. Efek-efek yang terjadi antara lain:
a. Efek I, terjadi penurunan rangsangan terhadap sel-sel endometrium oleh kedua hormon tersebut dan diikuti secara cepat oleh involusi endometrium sendiri menjadi kira-kira 65% dari ketebalan semula.
b. Efek II, 24 jam sebelum menstruasi, pembuluh darah yang berkelok-kelok yang mengarah ke lapisan mukosa endometrium akan menjadi vasopastik, mungkin karena involusi, disertai dengan pelepasan bahan vasokonstriktor (misalnya, prostaglandin).
c. Efek III, vasopasme, penurunan nutrisi endometrium, dan hilangnya rangsangan hormonal akan berakibat pada proses nekrosis endometrium khususnya dari pembuluh darah.
o Efek III berakibat pada merembesnya darah ke lapisan vaskular endometrium dan daerah perdarahan menjadi tambah besar dengan cepat dalam waktu 24-36 jam.
o Lapisan nekrotik bagian luar endometrium terlepas dari uterus dan sampai kira-kira 48 jam setelah menstruasi, semua lapisan superfisial endometrium sudah berdeskuamasi.
o Massa jaringan deskuamasi, darah di dalam kavum uteri, ditambah efek kontraksi dari prostaglandin dan zat-zat lain di dalam lapisan yang berdeskuamasi sehingga semua itu akan merangsang kontraksi uterus yang menyebabkan dikeluarkannya semua isi uetrus.
o Selama menstruasi normal, kira-kira 40 mL dan 35 mL cairan serosa dikeluarkan. Cairan menstruasi, dalam bentuk normal bukanlah sebagai bekuan karena fibrinolisin dilepaskan bersama dengan bahan nekrotik endometrium. Jadi jika ada perdarahan berlebih dari permukaan uterus, mungkin karena jumlah fibrinolisin tidak cukup untuk mencegah pembekuan. Adanya bekuan darah selama menstruasi, sering dijadikan sebagai bukti klinis adanya kelainan patologi uetrus.
o Dalam waktu 4-7 hari sesudah awal menstruasi, pengeluaran darah berhenti karena endometrium sudah mengalami epitelisasi kembali.
o Leukore saat menstruasi memang suatu keadaan fisiologis di mana leukosit dihasilkan dalam jumlah banyak saat menstruasi oleh karena rangsangan dari banyaknya substansi yang dikeluarkan dari uterus karena nekrosis endometrium.
Maka dari itu, saat menstruasi, uterus menjadi sangat resisten terhadap infeksi, walaupun permukaan endometrium telah berdeskuamasi. Dan hal ini merupakan perlindungan yang sangat penting.
Siklus dalam endometrium akan berbeda jika terjadi pembuahan ovum pascaovulasi. Ketika terjadi ovulasi, ovum, bersama dengan beratus-ratus atau lebih sel granulosa yang melekat padanya, yang membentuk korona radiata, dikeluarkan langsung ke dalam rongga peritoneum dan selanjutnya harus masuk ke dalam salah satu tuba falopii untuk mencapai kavum uteri. Ujung fimbria dari masing-masing tuba falopii secara alami jatuh di sekitar ovarium. Permukaan dalam tentakel fimbria dibatasi oleh sel epiteel bersilia, dan silia tersebut teraktivasi oleh estrogen dari ovarium sehingga menyebabkan silia secara terus menerus bergerak ke arah pembukaan, atau ostium, dari tuba falopii yang terlibat. Dapat dengan jelas terlihat arus caoran yang lamabt mengalir ke arah ostium. Dengan cara ini ovum memasuki salah satu tuba falopii. Tampaknya banyak ovum dapat gaagl masuk ke dalam tuba falopii. Akan tetapi, berdasarkan penelitian konsepsi, mungkin sekali 98% ovum berhasil memasuki tuba. Ternyata dalam beebrapa kasus, wanita yang satu ovariumnya diangkat, dapat memiliki beebrapa anak dengan konsepsi yag relatif mudah, sehingga memberikan gambaran bahwa ovum bahkan dapat mencapai tuba falopii sis yang berlawanan. (Guyton dan Hall, 2007)
Setelah seorang pria mengejakulasikan semen ke dalam vagina pada saat berhubungan seksual, dalam waktu 5 sampai 10 menit, beberapa sperma dari vagina akan dihantarkan ke atas, melalui uterus dan tuba falopii, ke ampula tuba falopii di dekat tuba yang berujung ovarium. Penghantaran sperma tersebut dibantu oleh kontraksi uterus dan tuba falopii yang dirangsang oleh prostaglandin yang ada di cairan semen pria, dan juga oleh oksitosin yang dilepaskan dari kelenjar hipofisis posterior wanita selama wanita tersebut mengalami orgasme. Dari hampir setengah miliar sperma yang dideposit dalam vagina, beberapa ribu sperma tersebut berhasil mencapai setiap ampula.
Pembuahan ovum pada umumnya terjadi di ampula dari salah satu tuba falopii segera setelah sperma dan ovum memasuki ampulla. Namun, sebelum sperma dapat memasuki ovum, pertama-tama sperma harus menembus berlapis-lapis sel granulosa yang emelkat di sisi luar ovum (korona radiata) dan lalu berikatan dengan menembus zona pelusida yang mengelilingi ovum itu sendiri. Sekali sebuah sperma telah masuk ke dalam ovum (yang masih berada dalam stadium perkembangan oosit sekunder), oosit membelah kembali untuk membentuk ovum yang matang ditambah mengeluarkan badan polar kedua. Ovum yang matang itu ,masih membawa nukleusnya (sekarang disenut sebagai pronukleus wanita) yang mengandung 23 kromosom. Salah satu dari kromosom itu adalah kromosom wanita, dikenal sebagai kromosom X. Pada saat bersamaan, sperma yang membuahi juga berubah. Ketika memasuki ovum, kepala sperma akan membengkak untuk membentuk sebuah pronukleus pria. Kemudian ke-23 kromosom yang tidak berpasangan dengan pronukleus pria dan ke-23 kromosom yang tidak berpasangan dari pronuklueus wanita berikatan bersama-sama untuk membentuk kembali komplemen menyeluruh dengan 46 kromosom (2 pasang) dalam sebuah ovum yang telah dibuahi. (Guyton dan Hall, 2007)
Setelah pembentukan sperma matang, setengah dari seluruh sperma tersebut membawa sebuah kromosm X (kromosom wanita) dan setengahnya membawa kromosom Y (kromosom pria) dalam genomnya. Oleh karena itu, jika sebuah kromosm X dari sperma bergabung dengan sebuah kromosm X dari ovum, yang menghasilkan suatu gabungan XX, seorang anak perempuan akan lahir. Tetapi jika sebuah kromosom Y dari sperma dipasangkan dengan sebuah kromosm X dari ovum, yang memebrikan gabungan XY, anak laki-laki akan dilahirkan.
Setelah pembuahan terjadi, untuk mentranspor ovum yang telah dibuahi melalui sisa bagian tuba falopii ke dalam kavum uteri biasanya perlu waktu 3 sampai 5 hari. Transpor ini terutama dipengaruhi oleh arus cairan yang lemah di dalam tuba falopii akibat kerja sekresi epitel ditambah kerja epitel bersilia yang melapisi tuba; silia tersebut selalu bergerak ke arah uterus. Kontraksi yang lemah dari tuba falopii juga mungkin membantu lewatnya ovum. Tuba falopii dilapisi oleh permukaan kriptoid yang tidak rata sehingga menghalangi jalannya ovum walaupun ada arus cairan. Selain itu, ishtmus tuba falopii (2 sentimeter terakhir sebelum masuk ke uterus) tetap berkontraksi secara spastik selama 3 hari pertama setelah ovulasi. Setelah saat ini, peningkatan progesteron yang cepat yang disekresi oleh korpus luteum ovarium pertama-tama akan memacu peningkatan reseptor progesteron pada sel-sel otot tuba falopii; lalu progesteron tersebut akan mengaktivasi reseptor-reseptor, melepaskan suatu efek relaksasi tuba yang memungkinkan masuknya ovum ke dalam uterus. Transpor ovum terbuahi yang tertunda melalui tuba falopii ini memungkinkan terjadinya beberapa tahap pembelahan sel sebelum ovum yang sudah membelah itu, sekarang disebut dengan blastokista, yang kira-kira mengandung 100 sel memasuki uterus. Selama waktu tersebut, sel sekretori tuba falopii membentuk sejumlah besar sekret yang digunakan untuk nutrisi perkembangan blastokista. (Guyton dan Hall, 2007)
Setelah mencapai uterus, blastokista yang sedang berkembang biasnya tetap tinggal di dalam kavum uteri selama 1 sampai 3 hari lagi sebelum berimplantasi di endometrium; jadi implantasi biasanya terjadi kira-kira pada hari kelima sampai ketujuh setelah ovulasi. Sebelum implantasi, blastokista mendapat makanan dari sekresi endometrium uterus, yang disebut “susu uterus”. Implantasi merupakan hasil kerja dari sel-sel trofoblas yang berkembang di seluruh permukaan blastokista. Sel-sel ini menyekresikan enzim proteolitik yang mencerna dan mencairkan sel-sel endometrium uterus. Sebagian cairan dan nutrisi yang dilepaskan akan ditranspor secara aktif oleh sel-sel trofoblas yang sama ke dalam blastokista, menambah nutrisi untuk perkembangan lebih lanjut. Sekali implantasi terjadi, sel-sel trofoblas dan sel-sel yang berdekatan lainnya (dari blastokista dan endometrium uterus) berproliferasi dengan cepat, membentuk plasenta dan berbagai membran kehamilan. (Guyton dan Hall, 2007)
Sudah dikatakan bahwa progesteron yang disekresikan oleh korpus luteum ovarium selama pertengahan setiap siklus seksual bulanan mempunyai pengaruh terhadap endometrium uterus dalam mengubah sel-sel stroma endometrium menjadi sel-sel besar yang membengkak yang mengandung sejumlah besar glikogen, protein, lipid, dan bahkan beberapa mineral yang penting untuk perkembangan hasil konsepsi. Kemudian bila hasil konsepsi berimplantasi dalam endometrium, progesteron yang terus disekresikan, masih akan menyebabkan sel-sel stroma membengkak lebih lanjut dan menyimpan lebih banyak nutrisi. Sel-sel ini sekarang disebut sel desidua. Sewaktu sel-sel trofoblas menembus desidua, mencerna dan mengimbibisinya, nutrisi yang disimpan dalam desidua akan digunakan oleh embrio untuk pertumbuhan dan perkembangan. Selama minggu pertama setelah implantasi, ini merupakan satu-satunya cara bagi embrio untuk memperoleh nutrisi; embrio akan terus memperoleh setidaknya sebagian dari nutrisinya dengan cara ini selama 8 minggu, walaupun plasenta juga mulai memberikan nutrisi kira-kira 16 hari setelah pembuahan (kira-kira 1 minggu setelah implantasi). Dalam hal ini, nutrisi trofoblastik kemudian akan berangsur-angsur menjadi nutrisi plasenta. (Guyton dan Hall, 2007)
3. DISKUSI DAN BAHASAN
Diagnosis utama mengenai keadaan yang dialami pasien dalam skenario tersebut adalah abortus. Karena pasien menunjukkan segala tanda dan gejala nonspesifik kehamilan tetapi pada pemeriksaan ditunjukkan adanya bercak perdarahan pervaginam. Satu lagi yang membuat diagnosis pasti adanya kehamilan adalah teraba fundus uteri di atas simfisis dan belum menggunakan alat kontrasepsi apapun. Pada usia muda, seperti pasien dalam skenario, kemungkinan terbesar adalah abortus.
Sebelumnya akan dibahas bagaimana diagnosis akan kehamilan dapat ditegakkan. Untuk mengetahui adanya kehamilan, terdapat beberapa kriteria, yaitu bukti presumtif kehamilan, tanda kehamilan, bukti kemungkinan kehamilan, dan tanda positif kehamilan.
Diagnosis kehamilan secara pasti melalui pemeriksaan fisik yang paling sering dilakukan adalah melalui auskultasi dengan fetoskop atau dengan palpasi fundus uteri. Hasil palpasi dari fundus uter adalah seberapa tinggi fundus uteri menentukan perkiraan usia kehamilan. Namun palpasi ini sulit dilakukan jika pasien agak sedikit gemuk karena lapisan lemaknya yang tebal. Pada usia 12 minggu kehamilan, fundus uteri teraba di atas simfisis. Pada usia 16 minggu kehamilan, fundus uteri akan teraba pada setengah jarak pusat ke simfisis. Pada usia 18 sampai 20 minggu, fundus uteri setinggi sekitar 20 cm dari simfisis atau 1 jari di bawah umbilikus. Pada usia kehamilan 22 minggu, fundus uteri sudah setinggi umbilikus. Dan setelah usia kehamilan 22 minggu maka tinggi fundus (dalam cm) sesuai dengan usia kehamilan +/- 2 cm.
Bukti-bukti presumtif kehamilan diartikan hanyalah dugaan akan kehamilan. Bukti presumtif kehamilan, dibagi menjadi gejala subjektif dan tanda presumtif. Gejala-gejala subjektif, berupa: mual dengan atau tanpa muntah, gangguan berkemih, fatigue, persepsi adanya gerakan janin. Yang termasuk tanda presumtif, antara lain: terhentinya menstruasi, perubahan pada payudara, perubahan warna mukosa vagina.
Mual dan muntah merupakan gangguan pencernaan yang paling sering pada kehamilan. Keadaan ini disebut dengan morning sickness, pada kehamilan datang pada pagi hari tetapi akan hilang pada beberapa jam walaupun keluhan ini kadang-kadang keluhan ini menetap lebih lama san dapat timbul pada waktu yang berbeda. Gejala yang mengganggu ini biasanya dimulai sekitar 6 minggu setelah hari pertama menstruasi terakhir, dan biasanya menghilang spontan 6 sampai 12 minggu kemudian. Penyebab kelainan ini tidak diketahui, tetapi tampaknya berkaitan dengan tingginya kadar bentuk-bentuk hCG (yang mengalami variasi dalam glikosilasi) dengan perangsangan kapasitas terbesar. Gonadotropin korionik, terutama bentuk-bentuk iso dengan jumlah asam sialat yang relatif rendah, bekerja melalui reseptor TSH untuk mempercepat penyerapan iodium.
Gangguan berkemih terjadi akibat uterusyang membesar selama trimester pertama, hal inilah yang mengakibatkan penignkatan frekuensi berkemih. Seiring dengan keajuan kehamilan, frekuensi berkemih secara bertahap berkurang dengan naiknya uterus ke dalam abdomen. Namun, gejala sering berkemih muncul kembali menjelang akhir kehamilan saat kepala janin turun ke dalam panggul ibu, memberi dampak pada kapasitas kandung kemih.
Fatigue, atau merupakan rasa mudah lelah, merupakan gejala yang sangat sering terjadi pada awal kehamilan sehingga merupakan tanda diagnostik yang penting.
Persepsi adanya gerakan janin, kadang-kadang terasa pada usia kehamilan antara usia 16 dan 20 minggu (sejak hari pertama menstruasi terakhir). Wanita hamil akan mulai menyadari adanya gerakan berdenyut ringan di perutnya dan intensitas gerakan ini semakin meningkat secara bertahap. Sensasi ini disebabkan oleh gerakan janin, dan hari ketika gerakan tersebut disadari oleh wanita hamil disebut quickening atau munculnya persepsi kehidupan. Namun, tanda ini hanya merupakan bukti penunjang kehamilan, dan apabila berdiri sendiri kurang bernilai diagnostik.
Terhentinya menstruasi merupakan tanda kehamila utama, dan terjadinya secara mendadak pada wanita yang sehat usia subur yang sebelumnya mengalamimenstruasi yang spontan, berkala, dan teratur. Hal ini merupakan isyarat utama terjadinya kehamilan. Di antara para wanita terdapat variasi cukup besar pada lamanya siklus ovarium (dengan demikian juga siklus menstruasi), bahkan pada wanta atau individu yang sama. Dengan demikian, baru setelah 10 hari atau lebih dari waktu perkiraan awitan menstruasi, berhentinya menstruasi dapat menjadi indikator kehamilan yang handal. Apabila menstruasi berikutnya tidak datang, probabilitas terjadinya kehamilan akan lebih besar. Terhentinya menstruasi dapat disebabkan oleh sejumlah keadaan selain kehamilan. Penyebab tersering terlambatnya awitan perkiraan periode menstruasi berikutnya (selain kehamilan) adalah anovulasi. Anovulasi bisa merupakan suatu akibat dari sakit yang cukup berat, kelainan fisiologis akibat gangguan emosi, termasuk kecemasan akan kehamilan. Perubahan lingkungan serta berbagai ragan perjalanan penyakit kronik juga dapat menekan menstruasi dengan menyebabkan anovulasi. Tertundanya awitan menstruasi, juga akibat adanya menetapnya fungsi korpus luteum; tetapi bukti ini tetap belum meyakinkan. Kasus memanjangnya fungsi korpus luteum disebabkan oleh kehamilan, walaupun kehamilan tersebut mungkin tidak diketahui, seperti pada kasus missed abortion dan abortus inkompletus.
Perubahan pada mukus serviks hasil aspirasi menunjukkan tanda kehamilan juga. Hal ini harus dilakukan di bawah mikroskop dan nantinya akan terlihat pola-pola yang khas berdasar atas tiap siklusnya dan ada tidaknya kehamilan pada saat itu, juga pada seberapa besar sekresi progeteron. Dari sekitar hari ke-7 sampai sekitar hari ke-8 siklus menstruasi, mukus serviks yang mengering menunjukkan pola daun pakis. Hal ini disebut sebagai proses arborisasi atau pola daun palem. Setelah sekitar hari ke-21, pola daun pakis ini tidak terbentuk tetapi terlihat pola yang cukup berbeda dengan gambaran seperti sel atau manik-manik. Pola ini juga biasanya dijumpai pada kehamilan. Kristalisasi mukus yang penting untuk pembentukan pola daun pakis atau arborisasi tersebut, sekresinya bergantung pada konsentrasi elektrolit, terutama natrium klorida. Secara umum, diperlukan natrium klorida dalam konsentrasi 1 persen agar pola dau pakis erbentuk sempurna; konsentrasi di bawah itu, akan tampak pola bermanik-manik atau arborisasi yang atipikal atau inkomplit.
Konsentrasi natrium klorida dan kemudian ada tidaknya pola daun pakis, ditentukan oleh respins serviks terhadap kerja hormon. Meskipun mukus serviks relatif kaya akan natrium klorida bila estrogen, dan bukan progesteron, yang diproduksi, sekresi progesteron (bahkan tanpa penurunan laju produksi estrogen) akan segera bekerja untuk menurunkan kadar natrium klorida ke tingkat yang tidak memungkinkan terbentuk pola daun pakis. Selama kehamilan, progesteron biasanya menimbulkan efek yang sama, walaupun jumlah estrogen yang dihasilkan sangat besar apabila dibandingkan dengan produksi selama siklus ovarium normal.
Apabila dijumpai mukus encer dalam jumlah besar dan apabila terbentuk pola daun pakis saat pengeringan, kecil kemungkinan ada kehamilan, dan wanita yang bersangkutan hampir pasti akan mengalami perdarahn uterus setelah pengobatan dan penghentian progestin. Apabila mukus serviks yang relatif terbentuk sedikit dan terbentuk pola yang sangat selular, ia mungkin hamil mungkin pula tidak. Apabila tidak hamil, ia mungkin mengalami perdarahn setelah mendapat progestin mungkin juga tidak, bergantung pada sekresi progestin endogennya. Elain itu, terdapat kekhawatiran bahwa progestin dapat berpotensi teratogen. Dengan demikian, progestin jangan diberikan kepada wanita yang diyakini hamil kecuali pada keadaan-keadaan tertentu, misalnya pada kasus bedah pada pengangkatan korpus luteum secara bedah sebelum munggu ke-8.
Pada umumnya perubahan anatomis payudara pada primipara cukup khas. Pada multipara, yang payudaranya mungkin masih mengandung sejumlah zat kecil zat susu atau kolostrum selama beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun setelah kelahiran anak terakhir mereka, perubahan ini kurang mencolok, terutama apabila mereka menyusui. Kadang-kadang perubahan pada payudara yang serupa dengan yang dijumpai pada kehamilan terjadi pada wanita dengan tumor hipofisis penghasil prolaktin, dan pada wanita yang mengkonsumsi obat-obat seperti obat anti-ansietas yang tersering dipakai, yaitu benzodiazepin, yang mencetuskan hiperprolaktinemia. Kasus-kasus terjadinya perubahan serupa pada payudara pada wanita dengan kehamilan imajiner yang juga pernah dilaporkan.
Perubahan warna mukosa pada vagina selama kehamilan, mukosa vagina biasanya tampak gelap kebiruan atau merah keunguan dan mengalami kongesti; yang disebut sebagai tanda Chadwick. Gambaran ini merupakan bukti presumtif kehamilan, dan tidak bersifat konklusif. Perubahan serupa pada mukosa vagina dapat ditimbulkan oleh semua keadaan yang menyebabkan kongesti hebat dari organ-organ panggul.
Meningkatnya pigmentasi kulit dan munculnya striae abdomen merupakan manifestasi kulit yang sering dijumpai tetapi tidak bernilai diagnostik untuk kehamilan. Manifestasi seperti ini bisa dijumpai pada wanita yang sedang tidak mengalami kehamilan, misalnya pada penggunaan kontrasepsi kehamilan, berupa penggunaan kontrasepsi estrogen-progestin oral.
Bukti kemungkinan kehamilan mencakup beberapa hal yang akan dijelaskan pada bagian ini. Pembesaran abdomen yang terjadi pada usia kehamilan 12 minggu, saar usia tersebut, uterus biasanya teraba dinding abdomen sebagai sebuah penonjolan tepat di aats simfisis; setelah itu, ukuran uterus akan membesar secara bertahap sampai akhir kehamilan. Setiap pembesaran abdomen pada wanita usia subur merupakan isyarat kuat terjadinya kehamilan. Setiap pembesaran abdomen pada wanita nulipara mungkin kurang mencolok dibanding dengan wanita muktipara, yang sebagaian otot abdomennya telah berkurang selama kehamilan sebelumnya. Memang, keadaan dinding abdomen pada wanita multipara sedemikian lenturnya sehingga uterus menggantung ke depan dan ke bawah menimbulkan perut gantung. Perbedaan tonus abdomen pada kehamilan pertama dengan kehamilan berikutnya kadang-kadang sedemikian jelas sehingga wanita dengan kehamilan kedua trimester akhir sering meyangka bayinya kembar karena perut mereka tampak lebih besar dibandingkan dengan kehamilan sebelumnya. Abdomen wanita hamil juga mengalami perubahan bentuk bermakna tergantung posisi tubuh wanita yang bersangkutan. Tentunya uterus kurang menonjol apabila wanita tersebut dalam posisi berbaring.
Perubahan bentuk, ukuran, dan konsistensi uterus terjadi pada minggu-minggu pertama kehamilan. Peningkatan ukuran uterus terbatas hanya pada diameter anteroposterior saja tetapi pada masa gstasi selanjutnya, korpus uterus hampir membulat; garis tengah uterus rata-rata 8 cm dicapai pada minggu ke-12. Pada pemeriksaan bimanual, korpus uterus selama kehamilan teraba liat atau elastis dan kadang-kadang sangat lunak. Pada sekitar 6 sampai 8 minggu setelah hari pertama menstruasi terakhir, tanda Hegar mulai tampak. Dengan satu tangan pemeriksa di atas abdomen dan dua jari tangan yang lain dimasukkan ke dalam vagina, dapat diraba serviks yang keras, dengan korpus uterus yang elastis di atas ismus yang lunak bila ditekan, yang terletak di anatara dua bagian tersebut. Kadang-kadang ismus sedemikian lunaknya sehinnga serviks dan korpus uterus seolah-olah merupakan dua organ yang terpisah. Pada tahap kehamilan ini, pemeriksa yang kurang berpengalaman dapat salah mengira bahwa serviks adalah uterus yang kecil, dan fundus uteri yang lunak adalah suatu massa adneksa. Namun, tanda ini bukan tanda diagnostik kehamilan, karena keadaan ini kadang-kadang dijumpai saat dinding uterus pada wanita tidak hamil mengalami perlunakan yang berlebihan oleh kausa selain kehamilan.
Perubahan pada serviks pada minggu ke-6 sampai 8, serviks biasanya sudah cukup lunak. Pada primigravida, konsistensi jaringan serviks yang mengelilingi os eksternus lebih mirip dengan mulut bibir daripada tulang rawan hidung, yang khas untuk serviks pada wanita tidak hamil. Namun, keadaan-keadaan lain dapat menyebabkan serviks melunak, misalnya kontrasepsi yang mengandung estrogen-progestin. Seiring dengan perkembangan kehamilan, kanalis servikalis dapat menjadi sedemikian melebar sehingga jari tangan dapat dimasukkan. Pada proses peradangan tertentu, serta karsinoma, serviks akan tetap keras selama kehamilan dan, bilapun mungkin, hanya membuka saat persalinan.
Selama kehamilan, uterus mengalami kontraksi yang biasanya dapat diraba tetapi tidak nyeri dengan interval yang ireguler sejak masa awal kehamilan. Kontraksi ini, yang disebut dengan kontraksi Braxton Hicks, dapat mengalami peningkatan frekuensi dan amplitudo apabila uterus dimasase. Namun, kontraksi ini bukan merupakan tanda positif kehamilan karena kontraksi serupa kadang-kadang dijumpai pada uterus wanitadengan hematometra atau mioma lunak, terutama mioma submukosa bertangkai. Namun, deteksi kontraksi Braxton Hicks dapat membantu menyingkirkan dugaan adanya kehamilan ekstopik abdomen. Pada hari-hari terakhir kehamilan, frekuensi kontraksi meningkat , terutama pada malam hari. Hal ini berkaitan dengan kesiapan uter untuk persalinan, yaitu, partus kala 1.
Sekitar pertengahan kehamilan, volume janin lebih kecil lebih kecil dibandingkan volume cairan amnion. Karena itu tekanan mendadak pada uterus dapat menyebabkan janin tenggelam ke dalam cairan amnion dan kemudian memantul ke posisinya semula; benturan yang ditimbulkan (ballotement) dapat dirasakan oleh jari-jari tangan pemeriksa.
Pada paruh kedua kehamilan, kontur tubuh janin dapat dipalpasi melalui dinding abdomen ibu, dan semakin mendekati massa ini kontur janin semakin jelas (deteksi kontur fisik janin). Kadang-kadang, mioma subserosa memiliki ukuran dan bentuk sedemikian sehingga menyerupai kepala janin, bagian-bagian kecil tubuh janin, atau keduanya sehingga terjadi kesalahan diagnosis yang serius. Dengan demikian, diagnosis positif kehamilan tidak dapat ditegakkan berdasarkan tanda ini.
Adanya gonadotropin korionik (hCG) di dalam plasma ibu dan ekskresinya di urin merupakan dasar bagi uji endokrin untuk kehamilan. Cara ini disebut dengan deteksi gonadotropin korionik. Hormon ini dapat ditemukan di dalam cairan tubuh dengan salah satu dari berbagai teknik bioassay atau immunoassay. Gonadotropin korionik penting bagi pengenalan kehamilan oleh ibu karena hormon ini bekerja “menyelamatkan” korpus luteum, tempat pembentukan utama progesteron selama 6 minggu pertama. Hormon ini mencegah involusi korpus luteum. Hormon ini juga merupakan suatu zat mirip luteinizing hormone (LH) yang bekerja sebagai wakil pada jaringan-jaringan yang responsif, misalnya ovarium (korpus luteum) dan testis (sel Leydig). Secara spesifik, hCG bekerja melalui reseptor LH di membran plasma.
Selanjuynya, akan dibahas mengenai tanda positif kehamilan. Tanda positif pertama kehamilan adalah mengidentifikasi kerja jantung janin yang terpisah dan tersendiri dari kerja jantung wanita hamil. Mendengar atau mengamati denyut jantung janin dapat memastikan diagnosis kehamilan. Kontraksi jantung janin dapat diidentifikasi dengan auskultasi menggunakan fetoskop khusus, ultrasonografi dengan prinsip Doppler, dan sonografi. Denyut jantung janin dapat dideteksi degan auskultasi kira-kira pada usia kehamilan 17 minggu; pada usia kehamilan 19 minggu, denyut jantung dapat dideteksi hampir pada semua wanita hamil yang tidak kegemukan. Frekuensi denyut jantung janin pada tahap ini dan sesudahnya berkisar antara 120 sampai 160 dpm dan terdengar sebagai bunyi ganda mirip detak jam di bawah bantal. Tidaklah cukup, jika hanya mendengar detak jantung janin; denyut jantung janin harus berbeda dari denyut jantung ibunya. Pada sebagian besar masa kehamilan, janin bergerak bebas dalam cairan amnion, oleh karena itu tempat pada abdomen ibu untuk mendengar bunyi jantung janin dengan jelas dapat berubah-ubah. Tersedia beberapa instrumen yang memanfaatkan prinsip Doppler untuk mendeteksi kerja jantung janin. Gelombang ultrasonikdiarahkan ke darah janin yang bergerak. Suara yang dipatulkan oleh oleh darah yang bergerak akan mengalami pergeseran frekuensi, yang gemanya dideteksi oleh sebuah kristal penerima yang terletak tepat di sebelah kristal transmiter. Karena perbedaan dalam frekuensi denyut jantung, aliran pulsasi janin mudah dibedakan dari aliran pulsasi ibu kecuali apabila terjadi bradikardia janin yang parah atau terjadi takikardia ibu yang signifikan. Dengan menggunakan peralatan Doppler yang tepat, kerja jantung janin hampir selalu dapat dideteksi pada usia kehamilan 10 minggu. Ekokardiografi dapat digunakan untuk mendeteksi kerja jantung janin sampai sedini 48 hari setelah hari pertama menstruasi normal terakhir.
Sonografi real-time dengan alat pelacak yang dimasukkan ke vagina dapat mendeteksi kerja jantung janin sedini 5 minggu setelah amenore. Pada bulan-bulan kehamilan selanjutnya, pemeriksa sering dapat mendengar suara selain suara yang dihasilkan oleh kerja jantung janin, dan biasanya yang tersering adalah desir tali pusat, desir uterus, suara akibat gerakan janin, denyut ibu, dan suara seperti berkumur-kumur yang dihasilkan oleh berjalannya gas atau cairan melalui usus ibu.
Desir tali pusat disebabkan oleh semburan darah melalui arteri umbilikalis. Suara ini terdengar seperti siulan nyaring yang sinkron dengan denyut jantung janin. Suara ini tidak konstan, kadang-kadang tedengar jelas ketika diperiksa pada suatu waktu namun pada pemeriksaan di lain waktu tidak terdengar.
Desir uterus terdengar sebagai suara hembusan lembut yang sinkron dengan denyut ibu. Bunyi ini biasanya paling jelas terdengar saat auskultasi segmen bawah uterus. Suara ini dihasilkan oleh pasase darah melalui pembuluh-pembuluh uterus yang berdilatasi dan dijumpai tidak saja pada kehamilan tetapi juga pada setiap keadaan yang menyebabkan aliran darah ke uterus sangat meningkat. Dengan demikian, desir uterus dapat terdengar pada wanita tidak hamil dengan mioma uterus yang besar atau tmor ovarium yang besar.
Dengan auskultasi abdomen, denyut ibu sering terdengar secara terpisah; dan pada sebagian wanita, denyut aorta terdengar sangat keras. Kadang-kadang swaku pemeriksaan, denyut ibu dapat menjadi sedemikian cepat sehingga mirip dengan denyiut jantung janin.
Untuk tanda dengan persepsi gerakan janin dapat dideteksi oleh pemeriksa setelah usia kehamilan sekitar 20 minggu. Gerakan janin memperlihatkan intensitas yang bervariasi dari getaran halus pada awal kehamilan sampai gerakan nyata pada periode selanjutnya; yang kadang-kadang juga dapat dilihat selain dapat diraba. Kadang-kadang sensasi yang agak mirip dapat ditimbulkan oleh kontraksi otot abdomen atau peristaltis usus, walaupun hal ini seyogyanya tidak mengelabuhi pemeriksa yang telah berpengalaman.
Pengenalan mudigah dan janin setiap saat selama kehamilan dengan teknik sonografik atau pengenalan janin yang lebih tua secara radiografis pada paruh kedua kehamilan dapat dilakukan dengan sonografi transvaginal yang juga merupakan tanda positif dari kehamilan. Pemakaian sonografi transvaginal telah menimbulkan revolusi dalam pencitraan kehamilan tahap awal dan perkembangannya. Dengan sonografi abdomen, kantong gestasi dapat dilihat hanya setelah usia kehamilan 4 sampai 5 minggu sejak menstruasi terakhir. Pada hari ke-35, semua kantong gestasi normal seyogyanya sudah terlihat, dan setelah 6 minggu, denyut jantung seharusnya sudah terdeteksi berdasarkan American College of Obstetrics and Gynecologists. Pada minggu ke-8, usia gestasi dapat diperkirakan secara cukup akurat. Sampai minggu ke-12, tiap milimeter panjang pucak kepala-bokong merefleksikan pertambahan usia gestasi 4 hari.
Selanjutnya, dibahas mengenai abortus yang merupakan duggan utama pada skenario tersebut. Tanda dan gejala dari abortus yang biasa terjadi antara lain: nyeri abdomen bawah, uterus terasa lemas, perdarahan berlanjut, lemah, lesu, demam, dan juga sekret vagina berbau, sekret dan pus dari serviks. Komplikasinya adalah perlukaan uterus, vagina atau usus. Penanganan secara umum bisa dilakukan dengan jalan: jika dicurigai suatu abortus tidak aman terjadi, periksalah adanya tanda-tanda infeksi atau adanya perlukaan uterus, vagina dan usus, lakukan irigasi vagina untuk mengeluarkan tumbuh-tumbuhan, obat-obat lokal atau bahan lainnya.
Ada suatu abortus yang dinamakan abortus spontan yang penanganannya lebih spesifik. Abortus spontan adalah penghentian kehamilan sebelum janin mencapai viabilitas (usia kehamilan 22 minggu). Tahapan dan penanganannya dijelaskan sebagai berikut:
o Abortus imminens (kehamilan dapat berlanjut), penanganannya:
1. Tidak perlu pengobatan khusus atau tirah baring total.2. Jangan melakukan aktifitas fisik berlebihan atau hubungan seksual.3. Jika perdarahan : - Berhenti : lakukan asuhan antenatal seperti biasa, lakukan penilaian jika perdarahan terjadi lagi. - Terus berlangsung : nilai kondisi janin (uji kehamilan atau USG). Lakukan konfirmasi kemungkinan adanya penyebab lain. Perdarahan berlanjut, khususnya jika ditemukan uterus yang lebih besar dari yang diharapkan, mungkin menunjukkan kehamilan ganda atau mola.4. Tidak perlu terapi hormonal (estrogen atau progestin) atau tokolitik (misalnya salbutamol atau indometasin) karena obat-obat ini tidak dapat mencegah abortus.
o Abortus insipiens (kehamilan tidak akan berlanjut dan akan berkembang menjadi abortus inkomplit atau abortus komplit), penanganannya:
1. Jika usia kehamilan kurang 16 minggu, lakukan evaluasi uterus dengan aspirasi vakum manual. Jika evaluasi tidak dapat, segera lakukan : - Berikan ergometrin 0,2 mg intramuskuler (dapat diulang setelah 15 menit bila perlu) atau misoprostol 400 mcg per oral (dapat diulang sesudah 4 jam bila perlu). - Segera lakukan persiapan untuk pengeluaran hasil konsepsi dari uterus.2. Jika usia kehamilan lebih 16 minggu : - Tunggu ekspulsi spontan hasil konsepsi lalu evaluasi sisa-sisa hasil konsepsi. - Jika perlu, lakukan infus 20 unit oksitosin dalam 500 ml cairan intravena (garam fisiologik atau larutan ringer laktat) dengan kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu ekspulsi hasil konsepsi.3. Pastikan untuk tetap memantau kondisi ibu setelah penanganan.
o Abortus inkomplit (sebagian hasil konsepsi telah dikeluarkan), penanganannya:
1. Jika perdarahan tidak seberapa banyak dan kehamilan kurang 16 minggu, evaluasi dapat dilakukan secara digital atau dengan cunam ovum untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang keluar melalui serviks. Jika perdarahan berhenti, beri ergometrin 0,2 mg intramuskuler atau misoprostol 400 mcg per oral.2. Jika perdarahan banyak atau terus berlangsung dan usia kehamilan kurang 16 minggu, evaluasi sisa hasil konsepsi dengan : - Aspirasi vakum manual merupakan metode evaluasi yang terpilih. Evakuasi dengan kuret tajam sebaiknya hanya dilakukan jika aspirasi vakum manual tidak tersedia. - Jika evakuasi belum dapat dilakukan segera, beri ergometrin 0,2 mg intramuskuler (diulang setelah 15 menit bila perlu) atau misoprostol 400 mcg per oral (dapat diulang setelah 4 jam bila perlu).3. Jika kehamilan lebih 16 minggu : - Berikan infus oksitosin 20 unit dalam 500 ml cairan intravena (garam fisiologik atau ringer laktat) dengan kecepatan 40 tetes per menit sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi. - Jika perlu berikan misoprostol 200 mcg per vaginam setiap 4 jam sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi (maksimal 800 mcg). - Evaluasi sisa hasil konsepsi yang tertinggal dalam uterus.4. Pastikan untuk tetap memantau kondisi ibu setelah penanganan.
o Abortus komplit (seluruh hasil konsepsi telah dikeluarkan), penanganannya:
1. Tidak perlu evaluasi lagi.2. Observasi untuk melihat adanya perdarahan banyak.3. Pastikan untuk tetap memantau kondisi ibu setelah penanganan.4. Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet sulfas ferrosus 600 mg per hari selama 2 minggu. Jika anemia berat berikan transfusi darah.5. Konseling asuhan pasca keguguran dan pemantauan lanjut.
Penyebab dari abortus pada kehamilan muda, antara lain (Crum, 2007):
o Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi, sebelum umur kehamilan 8 minggu. Beberapa faktor yang menyebabkan kelainan ini antara lain : kelainan kromoson/genetik, lingkungan tempat menempelnya hasil pembuahan yang tidak bagus atau kurang sempurna dan pengaruh zat zat yang berbahaya bagi janin seperti radiasi, obat obatan, tembakau, alkohol dan infeksi virus.
o Kelainan pada plasenta. Berupa gangguan pembentukan pembuluh darah pada plasenta yang disebabkan oleh karena penyakit darah tinggi yang menahun.
o Faktor ibu seperti penyakit penyakit khronis yang diderita oleh sang ibu seperti radang paru paru, tifus, anemia berat, keracunan dan infeksi virus toxoplasma.
o Kelainan yang terjadi pada organ kelamin ibu seperti gangguan pada mulut rahim, kelainan bentuk rahim terutama rahim yang lengkungannya ke belakang (secara umum rahim melengkung ke depan), mioma uteri, dan kelainan bawaan pada rahim.
Jenis-jenis abortus yang lain, antara lain:
1. Diagnosis abortus imminens : - Bercak perdarahan hingga perdarahan sedang. Perdarahan ringan membutuhkan waktu lebih 5 menit untuk membasahi pembalut atau kain bersih. - Serviks tertutup. - Uterus sesuai dengan usia kehamilan. - Gejala / tanda : kram perut bawah dan uterus lunak.2. Diagnosis kehamilan ektopik terganggu : - Bercak perdarahan hingga perdarahan sedang. - Serviks tertutup. - Uterus sedikit membesar dari usia kehamilan normal - Gejala / tanda : limbung atau pingsan, nyeri perut bawah, nyeri goyang porsio, massa adneksa, dan cairan bebas intra abdomen.3. Diagnosis abortus komplit : - Bercak perdarahan hingga perdarahan sedang. - Serviks tertutup atau terbuka. - Uterus lebih kecil dari usia kehamilan normal - Gejala / tanda : sedikit atau tanpa nyeri perut bawah, dan riwayat ekspulsi hasil konsepsi.4. Diagnosis abortus insipiens : - Perdarahan sedang hingga masif (banyak). Perdarahan berat membutuhkan waktu kurang 5 menit untuk membasahi pembalut atau kain bersih. - Serviks terbuka. - Uterus sesuai usia kehamilan. - Gejala / tanda : kram / nyeri perut bawah, dan belum terjadi ekspulsi hasil konsepsi.5. Diagnosis abortus inkomplit : - Perdarahan sedang hingga masif (banyak). - Serviks terbuka. - Uterus sesuai usia kehamilan. - Gejala / tanda : kram / nyeri perut bawah, dan ekspulsi sebagian hasil konsepsi.6. Diagnosis abortus mola : - Perdarahan sedang hingga masif (banyak). - Serviks terbuka. - Uterus lunak dan lebih besar dari usia kehamilan - Gejala / tanda : mual / muntah, kram perut bawah, sindrom mirip pre eklampsia, tidak ada janin, dan keluar jaringan seperti anggur.
Diagnosis perdarahan pada kehamilan muda:1. Pikirkan kemungkinan kehamilan ektopik pada wanita dengan anemia, penyakit radang panggul (pelvic inflammatory disease- PID), gejala abortus atau keluha nyeri yang tidak biasa.2. Pikirkan kemungkinan abortus pada wanita usia reproduktif yang mengalami terlambat haid (lebih 1 bulan sejak haid terakhir) dan mempunyai 1 atau lebih tanda berikut : perdarahan, kaku perut, pengeluaran sebagian produk konsepsi, serviks yang berdilatasi atau uterus yang lebih kecil dari seharusnya.3. Jika abortus merupakan kemungkinan diagnosis, kenali dan segera tangani komplikasi yang ada.
Diagnosis banding utamanya adalah mola hidatidosa, kehamilan ektopik terganggu, dan perdarah disfungsional.
Mola hidatidiformis biasanya berupa suatu massa besar vilus korion yang membengkak, kadang-kadang mengalami dilatasi kistik, dan secara makroskopis tampak seperti anggur. Vilus yang membengkak ditutupi oleh epitel korion dari yang banal hingga sangat atipikal. Diketahui terdapat dua seubtipe mola: mola komplet dan mola parsial. Mola hidatidiformis tidak memungkinkan terjadinya embriogenesis sehingga tidak pernah mengandung bagian janin. Semua vilus korion abnormal, dan sel epitel korion bersifat diploid (46,XX atau, yang jarang, 46,XY). Mola hidatidiformis parsial masih memungkinkan pembentukan mudigah awal sehingga mengandung bagian-bagian janin, memiliki beberapa vilus korion yang normal, dan hampir selalu triploid (misal, 69,XXY). Kedua mola terjadi karena kelainan pembuahan; pada mola komplit sebuah telur kosong dibuahi oleh dua spermatozoa (atau satu sperma diploid) sehingga terbentuk kariotipe triploid.
Insidensi mola hidatidiformis komplet adalah sekitar 1 hingga 1,5 per 2000 kehamilan di Amerika Serikat dan negara Barat lainnya. Karena alasan yang tidak diketahui, insidensi penyakit ini jauh lebih tinggi di negara Asia. Mola paling sering terjadi pada usia sebelum 20 tahun dan setelah 40 tahun, dan adanya riwayat mola meningkatkan risiko untuk kehamilan berikutnya. Meskipun biasanya ditemukan pada minggu kehamilan 12 hingga 14 karena gestasi yang “terlalu besar untuk usianya”, pemantuan dini kehamilan dengan USG (ultrasonografi) telah berhasil menurunkan usia gestasi saat penyakit terdeteksi sehingga diagnosis “mola hidatidiformis komplet dini” lebih sering ditegakkan. Pada kedua keadaan, peningkatan kadar hCG dalam darah ibu bersamaan dengan tidak adanya bagian janin atau bunyi jantung janin.
Secara keseluruhan, 80% hingga 90% mola tetap jinak setelah kuretase bersih.; 10% mola komplet menjadi invasif, tetapi tidak lebih dari 2% hingga 3% yang menjadi koriokarsinoma. Mola parsial jarang menjadi koriokarsinoma. Pada mola komplet, pemantauan darah pascakuretase dan kadar hCG urine, terutama subunit β hormon yang lebih definitif, memungkinkan kita mendeteksi mola yang masih tertinggal atau penyulit serius sehingga dapat diberikan terapi yang tepat, termasuk (pada sebgaian kasus) kemoterapi, yang hampir selalu bersifat kuratif.
Morfologi dari mola hidatidiformis dijelaskan sebagai berikut. Uterus mungkin berukuran normal (misalnya pada mola dini), tetapi pada kasus yang telah berkembang sempurna rongga uterus terisi oleh massa kistik translusen berdinding tipis yang rapuh. Bagian janin jarang ditemukan pada mola komplet, tetapi sering ditemukan pada mola parsial. Secara mikroskopis, mola komplet memperlihatkan pembengkakan hidropik vilus korion dan tidak adanya vaskularisasi vilus. Substansi vilus adalah stroma edematosa mikromatosa longgar. Epitel korion hampir selalu memperlihatkan proliferasi sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas. Proliferasinya mungkin ringan, tetapi pada banyak kasus tampak hiperplasia sirkumferensial yang mencolok. Penentuan derajat histologik untuk memperkirakan hasil akhir klinis telah diganti oleh pemeriksaan cermat kadar hCG. Pada mola parsial, edema vilus hanya mengenai sebagian vilus dan proliferasi trofoblastiknya bersifat fokal dan ringan.
Kehamilan ektopik adalah implantasi ovum yang telah dibuahi di mana saja selain lokasi normal dalam uterus. Keadaan ini ditemukan pada hampir 1% kehamilan. Pada lebih dari 90% kasus, implantasi terjadi di oviduktus (kehamilan tuba); tempat lain mencakup ovarium, rongga abdomen, dan bagian intrauterus dari oviduktus (kehamilan interstitium). Setiap hambatan yang mengganggu lewatnya ovum di sepanjang perjalanannya melewati oviduktus ke utrus mempermudah terjadinya kehamilan ektopik. Pada sekitar separuh kasus, obstruksi ini disebabkan oleh peradangan di oviduktus walaupun tumor intrauterus dan endometriosis juga dapat mengganggu perjalanan ovum. Pada sekitar 50% kehamilan tuba, tidak ada penyebab anatomik yang ditemukan. Kehamilan ovarium mungkin terjadi jika ovum dibuahi dalam folikel tepat saat folikel ruptur. Gestasi di dalam rongga abdomen terjadi bila telur yang dibuahi jatuh ke luar ujung oviduktus yang berfimbria dan tertanam di dalam peritoneum.
Sampai terjadinya ruptur, kehamilan ektpoik mungkin tidak dapat dibedakan dengan yang normal, dengan berhentinya haid dan meningkatnyakadar hormon plasenta di serum dan urine. Di bawah pengaruh hormon ini, endometrium (pada sekitar 50% kasus) mengalami perubahan hipersekretorik dan desidua khas. Namun, tidak adanya peningkatan kadar gonadotropin tidak menyingkirkan diagnosis ini, karena sering terjadi gangguan perlekatan dan nekrosis plasenta. Ruptur kehamilan ektopik dapat sangat berbahaya, berupa onset mendadak nyeri abdomen hebat dan tanda-tanda abdomen akut, sering diikuti oleh syok. Perlu dilakukan intervensi bedah dengan segera.
Morfologi dari kehamilan ektopik terganggu bisa dijelaskan sebagai berikut. Di semua tempat, kehamilan ektopik ditandai dengan perkembangan awal mudigah yang cukup normal, disertai terbentuknya jaringan plasenta, kantong amnion, dan perubahan desidua. Kehamilan abdomen kadang-kadang berlangsung hingga aterm. Namun, pada kehamilan tuba plasenta merambah menembus dinding oviduktus, menyebabkan hematoma intratuba (hematosalping), perdarahan intraperitoneum, atau keduanya. Tuba biasanya mengalami peregangan lokal hingga berukuran 3 sampai 4 cm oleh massa di dalamnya yang terdiri atas darah beku segar yang mungkin berisi potongan jaringan plasenta abu-abu dan bagian janin. Diagnosis histologik bergantung pada visualisasi vilus plasenta atau, yang jarang, mudigah. Yang jarang terjadi, plasenta mungkin kurang melekat ke dinding tuba sehingga mudah mati, disertai proteolisis spontan dan penyerapan produk konsepsi.
Perdarahan disfungsional yang dimaksudkan di sini adalah perdarahan abdomen tanpa adanya lesi organik yang nyata di uterus. Kemungkinan penyebab perdarahan uterus abnormal, disfungsional atau organik (berkaitan dengan lesi yang jelas), sedikit banyak bergantung pada usia pasien. Berbagai penyebab perdarahan disfungsional dapat dibagi menjadi empat kelompok fungsional:
o Kegagalan ovulasi. Siklus anovulatorik sangat sering terjadi di kedua ujung usia subur; pada setiap disfungsi sumbu hipotalamus-hipofisis, adrenal, atau tiroid; pada lesi ovarium fungsional yang menghasilkan estrogen berlebihan; pada malnutrisi, obesitas, atau penyakit berat; pada stres fisik atau emosi yang berat. Pada banyak kasus, penyebab kegagalan ovulasi tidak diketahui, tetapi apapun sebabnya, hal ini menyebabkan kelebihan estrogen relatif terhadap progesteron. Oleh karena itu, endometrium mengalami fase proliferatif yang tidak diikuti fase sekretorik yang normal. Kelenjar endometrium mungkin mengalami perubahan kistik ringan atau di tempat lain tampak kacau dengan stroma yang relatif sedikit, yang memerlukan progesteron untuk mempertahankannya. Endometrium yang kurang ditopang ini mengalami kolaps secara parsial, disertai ruptur ateri spiral dan perdarahan.
o Fase luteal tidak adekuat. Korpus luteum mungkin gagal mengalami pematangan secara normal atau mengalami regresi secara prematur sehingga terjadi kekurangan relatif progesteron. Endometrium di bawah kondisi ini mengalami perlambatan terbentuknya fase sekretorik yang diharapkan saat biopsi.
o Perdarahan yang dipicu oleh kontrasepsi. Kontrasepsi oral model lama yang mengandung progestin dan esterogen sintetik memicu berbagai respons endometrium, bergantung pada steroid yang digunakan dan dosis. Respons yang lazim adalah kemunculan kelenjar dan stroma yang tidak sesuai – sebagai contoh, stroma yang subur mirip desidua dengan kelenjar inaktif nonsekretorik. Pil KB yang saat ini digunakan telah memperbaiki kekurangan ini.
o Gangguan endometrium. Dalam hal ini termasuk endometritis kronik, polip endometrium, dan leiomioma submukosa.
Penyebab berdasarkan usia bisa dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut. Saat prapubertas, penyebab meliputi pubertas prekoks (kelainan hipotalamus, hipofisis, atau ovarium). Saat remaja, penyebab yang tersering adalah siklus anovulatorik. Saat usia subur, penyebab meliputi penyulit kehamilan (abortus, penyakit trofoblastik, kehamilan ektopik), lesi organik (leiomioma, adenomiosis, polip, hiperplasia endometrium, karsinoma), siklus anovulatorik, perdarahan disfungsional ovulatorik (misal, fase luteal inadekuat). Saat perimenopause, penyebab meliputi siklus anovulatorik, pelepasan iregular endometrium, lesi organik (karsinoma, hiperplasia, polip). Dan yang terakhir adalah saat pascamenopause, penyebab meliputi lesi organik (karsinoma, hiperplasia, polip), dan atrofi endometrium.
Pada skenario, pasien disarankan melakukan pemeriksaan USG. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan USG maka perlu dibuat suatu pedoman yang mengatur penggunaan USG di bidang obstetri. Pedoman tersebut antara lain memuat indikasi pemeriksaan USG dalam kehamilan. Indikasi pemeriksaan USG pada kehamilan trimester I antara lain, misalnya (1) penentuan adanya kehamilan intrauterin; (2) penentuan adanya denyut jantung mudigah atau janin; (3) penentuan usia kehamilan; (4) penentuan kehamilan kembar; (5) perdarahan pervaginam; (6) terduga kehamilan ektopik; (7) terdapat nyeri pelvik; (8) terduga kehamilan mola; (9) terduga adanya tumor pelvik atau kelainan uterus; (10) membantu tindakan invasif, seperti pengambilan sampel jaringan vili koriales (chorionic villus sampling), pengangkatan IUD.
Indikasi pemeriksaan USG pada kehamilan trimester II dan III antara lain dijelaskan sebagai berikut. (1) penentuan usia kehamilan; (2) evaluasi pertumbuhan janin; (3) terduga kematian janin; (4) terduga kehamilan kembar; (5) terdua kelainan volume cairan amnion; (6) evaluasi kesejahteraan janin; (7) ketuban pecah dini atau persalinan preterm; (8) penentuan presentasi janin; (9) membantu tindakan versi luar; (10) terduga inkompetensia serviks; (11) terduga plasenta previa; (12) terduga solusio plasenta; (13) terduga kehamilan mola; (14) terdapat nyeri pelvik atau nyeri abdomen; (15) terduga kehamilan ektopik; (16) kecurigaan adanya kelainan kromosomal (usia ibu lebih dari atau sama dengan 35 tahun, atau hasil tes biokimiawi abnormal); (17) evaluasi kelainan kongenital; (18) riwayat kelainan kongenital pada kehamilan sebelumnya; (19) terduga adanya tumor pelvik atau kelainan uterus; dan (20) membantu tindakan invasif, seperti amniosentesis, kardosentesis, atau amnioinfusi. Pemeriksaan USG diagnostik cara scanning bersifat aman dan noninvasif. Dan pada saat ini belum ada kontraindikasi untuk pemeriksaan USG dalam kehamilan.
Pasien juga belum pernah melakukan kontrasepsi sebelumnya. Kontrasepsi merupakan suatu cara apapun yang dilakukan untuk mencegah adanya konsepsi atau fertilisasi, yaitu bertemunya sperma dan ovum di ampulla tubae. Berikut akan dijelaskan mengenai segala kelebihan dan kekurangan dari masing-masing cara kontrasepsi yang digunakan di Indonesia.
1. Kondom bagi pria
Kelebihan : mudah didapat dan digunakan, mencegah penularan penyakit.
Kekurangan : kurang efektif sebagai pencegah kehamilan, ada beberapa orang yang alergi terhadap bahan pembuatannya, ada beberapa pasangan merasa kondom sebagai penghalang dalam kenikmatan sewaktu melakukan koitus.
2. Diafragma vaginal bagi wanita
Kelebihan : hampir tidak ada efek sampingan, dengan motivasi yang baik dan penggunaan yang benar hasilnya akan cukup baik, dapat digunakan sebagai pengganti pil atau AKDR bagi wanita-wanita yang tidak boleh menggunakan pil atau AKDR karena suatu sebab.
Kekurangan : diperlukan motivasi yang cukup kuat, umumnya cocok digunakan wanita terpelajar dan tidak untuk massal, pemakaian tidak teratur akan menimbulkan kegagalan, tingkat kegagalan lebih tinggi daripada penggunaan pil atau AKDR.
Indikasi : keadaan di mana tidak tersedia cara yang lebih baik, frekuensi koitus tidak tinggi sehingga tidak diperlukan perlindungan terus menerus, karena penghentiaan penggunaan pil atau AKDR karena suatu sebab.
Kontraindikasi : sistokel yang berat, prolapsus uteri, fistula vagina, hiperantefleksio atau hiperretrofleksio uterus.
3. Kontrasepsi hormonal pil dan suntik KB bagi wanita
Kelebihan : efektifitasnya dapat dipercaya, frekuensi koitus tidak perlu diatur, siklus haid jadi teratur, keluhan dismenorea yang primer menjadi berkurang atau hilang sama sekali, jika menggunakan suntik akan mengurangi risiko lupa minum pil KB dan tidak menyebabkan anemia, tidak mengganggu laktasi.
Kekurangan : berdasarkan kadar hormon yang dikandungnya.
a) Kelebihan dosis estrogen : nausea, edema, keputihan, kloasma, disposisi lemak berlebihan, eksotrofia serviks, telangiektasia, nyeri kepala, hipertensi, superlaktasi, mammae menjadi tegang.
b) Kekurangan dosis estrogen : spotting dan breakthrough bleeding antara masa haid.
c) Kelebihan dosis progesteron : perdarahan yang tidak teratur, nafsu makan meningkat, cepat lelah, depresi, libido berkurang, jerawat, alopesia, hipomenore, keputihan.
d) Kekurangan dosis progesteron : dapat menyebabkan perdarahan haid yang lebih banyak dan lama.
Indikasi : Wanita yang ingin menggunakan kontrasepsi yang efektivitasnya lebih tinggi dan tidak bersedia atau tidak boleh menggunakan AKDR karena suatu sebab.
Kontraindikasi :
a) Mutlak : tumor-tumor yang dipengaruhi estrogen, penyakit hati yang aktif baik akut ataupun menahun, pernah mengalami tromboflebitis, tromboemboli, kelainan serebro vaskuler, diabetes melitus, kehamilan.
b) Relatif : depresi, migrain, mioma uteri, hipertensi, oligomenorea dan amenorea.
4. Kontrasepsi hormonal susuk bagi wanita
Kelebihan : perdarahan yang terjadi lebih ringan, tidak menaikkan tekanan darah, risiko terjadi kehamilan ektopik lebih kecil daripada penggunaan AKDR, jangkanya panjang dan reversible
Kekurangan : gangguan pola haid, mual-mual, anoreksia, pening, sakit kepala, perubahan libido dan berat badan, timbul jerawat.
Indikasi : wanita yang ingin memakai kontrasepsi untuk jangka waktu lama tetapi tidak bersedia kontap ataupun AKDR, wanita yang tidak boleh menggunakan pil KB yang mengandung estrogen.
Kontraindikasi : kehamilan atau disangka hamil, penderita penyakit hati, kanker payudara, kelainan jiwa (psikosis, neurosis), varikosis riwayat kehamilan ektopik, diabetes mellitus, kelainan kardiovaskular, tromboflebitis dan tromboemboli.
5. Kontrasepsi mantap (vasektomi bagi pria dan tubektomi bagi wanita)
Kelebihan : tidak menimbulkan kelainan fisik dan mental, tidak mengganggu libido, dilakukan hanya sekali, sangat efektif.
Kekurangan : tidak bersifat reversibel, melalui jalan operasi.
Indikasi : pasutri tidak menghendaki kehamilan lagi dan pihak suami bersedia bahwa tindakan kontrasepsi dilakukan pada dirinya.
Kontraindikasi : ada kelainan lokal atau umum yang dapat menggaggu sembuhnya luka operasi (disembuhkan terlebih dahulu sebelum operasi).
6. AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) bagi wanita
Kelebihan : umumnya hanya memerlukan satu kali pemasangan dan satu kali motivasi, tidak menimbulkan efek sistemik, alatnya cocok untuk penggunaan massal dan ekonomios, reversibel, efektivitas cukup tinngi.
Kekurangan : perdarahan, rasa nyeri dan kejang di perut, gangguan pada suami, ekspulsi.
Indikasi : wanita yang tidak boleh menggunakan pil KB yang mengandung estrogen, tidak bersedia melakukan kontap.
Kontraindikasi :
a) Relatif : mioma uteri dengan perubahan bentuk rongga uterus, insufisiensi serviks uteri, uterus dengan parut pada dindingnya (bekas seksiuo sesarea, enukleasi mioma), kelainan jinak serviks uteri (erosio porsiones uteri), tumor ovarium, dismenore, stenosis kanalis servikalis.
b) Mutlak : kehamilan, infeksi aktif pada traktus genitalis, tumor ganas pada traktus genitalis, metrorargia yang belum disembuhkan, pasangan yang tidak lestari.
Hal lain yang menjadi pembahasan menarik dalam bagian ini adalah penderita di dalam skenario yang memiliki kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok dapat berakibat sangat fatal bagi wanita yang sedang mengandung. Tidak hanya merokok tetapi juga asap rokoknya sangat berbahaya pula. Rokok dan asapnya sendiri mengandung banyak bahan kimia yang bersifat teratogenik bagi janin atau bahkan sampai fatal bisa meningkatkan risiko terjadinya abortus spontan.
Rokok mengandung sejumlah nikotin, kontinin, sianida, tiosianat, karbonmonooksida (pada sap rokok), kadmium, timbal, dan berbagai hidrokarbon. Selain berdifat fetotoksik, banyak dari zat ini juga mengakibatkan efek vasoaktif atau mengurangi kadar oksigen dan nutrisi ke janin. Efek merokok yang paling sering dikemukakan adalah penghambatan pertumbuhan janin. Wanita yang berhenti merokok pada awal kehamilan, umumnya memiliki bayi yang berat lahirnya normal (Cunningham, et. Al., 2005). Pada terjadinya abortus spontan, rokok juga secara langsung memberikan kontribusi terhadap angka kejadian abortus spontan pada ibu hamil yang merokok. Merokok dilaporkan menyebabkan peningkatan risiko abortus euploidi. Bagi wanita hamil yang merokok lebih dari 14 batang per harinya, risiko abortus spontan sekitar dua kali lipat dibandingkan dengan kontrol normalnya. Dan risiko abortus spontan meningkat secara linier 1,2 kali untuk setiap 10 batang rokok yang dihisap per harinya oleh seorang ibu hamil.
4. KESIMPULAN
¨ Pasien, seorang perempuan 19 tahun, menikah 3 bulan yang lalu, mengeluarkan darah dari vagina sedikit-sedikit selama tiga hari. Sejak menikah itu, haidnya tidak datang, payudara terasa tegang padahal sebelumnya haidnya teratur tiap bulan. Penderita tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi. Penderita merasa mual dan muntah-muntah terutama pagi hari, setiap kali makan atau minum selalu muntah lagi, badannya pun lemah sampai tidak dapat beraktivitas.
¨ Hasil pemeriksaan fisik, antara lain: suhu badan normal, mulut kering dan turgor kulit menurun, fundus uteri teraba 1 cm di atas simfisis. Dengan pemeriksaan inspekulo menunjukkan ostium uteri eksternum tertutup dan keluar darah segar.
¨ Pasien di skenario telah dimungkinkan hamil, dibuktikan dengan belum menggunakan alat kontrasepsi dan fundus uteri telah teraba 1 cm di atas simfisis dan tanda-tanda nonspesifik lainnya.
¨ Diagnosis utama mengenai keadaan yang dialami pasien dalam skenario tersebut adalah abortus iminens. Hal ini didasari dengan adanya hasil pemeriksaan fisik dengan inspekulo, yaitu ostium uteri eksternum atau serviks masih tertutup dan keluar darah segar.
¨ Tanda dan gejala abortus iminens adalah Bercak perdarahan hingga perdarahan sedang. Perdarahan ringan membutuhkan waktu lebih 5 menit untuk membasahi pembalut atau kain bersih. Serviks tertutup. Uterus sesuai dengan usia kehamilan. Gejala / tanda : kram perut bawah dan uterus lunak.
¨ Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah pemeriksaan ultrasonografi (USG).
¨ Indikasi pemeriksaan USG pada kehamilan trimester I antara lain, misalnya (1) penentuan adanya kehamilan intrauterin; (2) penentuan adanya denyut jantung mudigah atau janin; (3) penentuan usia kehamilan; (4) penentuan kehamilan kembar; (5) perdarahan pervaginam; (6) terduga kehamilan ektopik; (7) terdapat nyeri pelvik; (8) terduga kehamilan mola; (9) terduga adanya tumor pelvik atau kelainan uterus; (10) membantu tindakan invasif, seperti pengambilan sampel jaringan vili koriales (chorionic villus sampling), pengangkatan IUD.
¨ Karena abortus iminens masih memungkinkan janin bisa berkembang, maka yang perlu dilakukan dan yang paling tepat bagi pasien dengan abortus iminens adalah tidak perlu pengobatan khusus atau tirah baring total. Jangan melakukan aktifitas fisik berlebihan atau hubungan seksual. Jika perdarahan berhenti : lakukan asuhan antenatal seperti biasa, lakukan penilaian jika perdarahan terjadi lagi. Jika perdarah masih terus berlangsung : nilai kondisi janin (uji kehamilan atau USG). Lakukan konfirmasi kemungkinan adanya penyebab lain. Perdarahan berlanjut, khususnya jika ditemukan uterus yang lebih besar dari yang diharapkan, mungkin menunjukkan kehamilan ganda atau mola. Tidak perlu terapi hormonal (estrogen atau progestin) atau tokolitik (misalnya salbutamol atau indometasin) karena obat-obat ini tidak dapat mencegah abortus.
5. DAFTAR PUSTAKA
Cunningham, F. G., N. F. Gant, K. J. Leveno, L. C. Gilstrap III, J. C. Hauth, K. D. Wenstrom. 2005. Obstetri Williams . Edisi 21. Volume 1. Editor: Profitasari, et. al. Terjemahan: Hartono, A., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 15-32
Cunningham, F. G., N. F. Gant, K. J. Leveno, L. C. Gilstrap III, J. C. Hauth, K. D. Wenstrom. 2005. Obstetri Williams . Edisi 21. Volume 2. Editor: Profitasari, et. al. Terjemahan: Hartono, A., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 949-1012
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hanafiah, J. M. 2008. Haid dan Siklusnya. Dalam: Prawirohardjo, S. 2008. Ilmu Kandungan. Edisi 2. Editor: Saifuddin, A. B., et. al. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp: 103-120
Jacoeb, T. Z. 2008. Endokrinologi Reproduksi pada Wanita. Dalam: Prawirohardjo, S. 2008. Ilmu Kandungan. Edisi 2. Editor: Saifuddin, A. B., et. al. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp: 44-96
Karsono, B. 2008. Ultrasonografi dalam Obstetri. Dalam: Prawirohardjo, S. 2008. Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Editor: Saifuddin, A. B., et. al. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp: 247-76
Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.
No comments:
Post a Comment