For any1 who needs this information, u can read it intentionally, or even u make my composition as ur reference!!
For anyfault, i aint responsible!
D most important qualification if u want to read and make as reference for ur mind, u have to tell me by sending sms or contacting me to +6281328452132 OR +6285643359787 OR +6281804470620 OR +62818254833 !
It's forbidden for u to make my composition for ur goal without telling me 1st!!!!!
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejang adalah masalah neurologik yang relatif sering dijumpai. Diperkirakan bahwa 1 dari 10 orang akan mengalami kejang suatu saat selama hidup mereka. Dua puncak untuk insidensi kejang adalah dekade pertama kehidupan dan setelah usia 60 tahun. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari suatu populasi neuron yang sangat mudah terpicu (focus kejang) sehingga mengganggu fungsi normal otak. Namun, kejang juga terjadi dari jaringan otak normal di bawah kondisi patologik tertentu, seperti perubahan keseimbangan asam basa atau elektrolit. Kejang itu sendiri, apabila berlangsung singkat, jarang menimbulkan kerusakan, tetapi kejang dapat merupakan manifestasi dari suatu penyakit mendasar yang membahayakan, misalnya gangguan metabolisme, infeksi intrakranium, gejala putus-obat, intoksikasi obat, atau ensefalopati hipertensi. Bergantung pada lokasi neuron-neuron fokus kejang ini, kejang dapat bermanifestasi sebagai kombinasi perubahan tingkat kesadaran dan gangguan dalam fungsi motorik, sensorik, atau autonom. Istilah “kejang” bersifat general, dan dapat digunakan penjelasan-penjelasan lain yang spesifik sesuai karakteristik yang diamati. Kejang dapat terjadi hanya sekali atau berulang. Kejang rekuren, spontan, dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolisme yang terjadi bertahun-tahun disebut epilepsi. Bangkitan motorik generalisata yang menyebabkan hilangnya hilangnya kesadaran dan kombinasi kontraksi otot tonik-klonik sering disebut kejang. Kejang konvulsi biasanya menimbulkan kontraksi otot rangka yang hebat dan involunter yang mungkin meluas dari satu bagian tubuh ke seluruh tubuh atau mungkin terjadi secara mendadak disertai keterlibatan seluruh tubuh. Status epileptikus adalah suatu kejang yang berkepanjangan atau serangkaian kejang repetitif tanpa pemulihan kesadaran antariktus atau juga bisa dikatakan sebagai keadaan aktivitas kejang yang kontinu atau intermiten yang berlangsung selama 20 menit atau lebih saat pasien kehilangan kesadarannya.
Data mengenai inidensi kejang agak sulit diketahui. Diperkirakan bahwa 10% orang akan mengalami paling sedikit satu kali kejang selama hidup mereka dan sekitar 0,3% sampai 0,5% akan didiagnosis mengidap epilepsi (didasarkan pada kriteria dua atau lebih kejang spontan/tanpa pemicu). Laporan-laporan spesifik-jenis kelamin mengisyaratkan angka yang sedikit lebih besar pada laki-laki disbanding dengan perempuan. Insidensi berdasarkan usia memperlihatkan pola konsisten berupa angka paling tinggi pada tahun pertama kehidupan, penurunan pesat menuju usia remaja, dan pendataran secara bertahap selama usia pertengahan untuk kembali memuncak pada usia setelah 60 tahun. Lebih dari 75% pasien dengan epilepsi mengalami kejang pertama sebelum usia 20 tahun; apabila kejang pertama terjadi setelah usia 20 tahun, maka gangguan kejang tersebut biasanya sekunder. Epilepsi dapat diklasifikasikan sebagai tipe idiopatik atau simtomatik. Pada epilepsi idiopatik atau esensial, tidak dapat dibuktikan adanya suatu lesi sentral. Pada epilepsi simtomatik atau sekunder, terdapat kelainan serebrum yang mendorong terjadinya respons kejang. Di antara berbagai yang mungkin menyebabkan epilepsi sekunder adalah cedera kepala (termasuk yang terjadi sebelum dan setelah kelahiran), gangguan metabolik dan gizi (hipoglikemia, fenilketonuria, defisiensi vitamin B6), factor toksik (intoksikasi alcohol, putus-obat narkotik, uremia), ensefalitis, hipoksia, gangguan sirkulasi, gangguan keseimbangan elektrolit (terutama hiponatremia dan hipokalsemia), dan neoplasma.
Dari skenario 2 Blok Neurologi, ada beberapa masalah penting, yaitu :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Seorang wanita berusia 16 tahun datang di Poliklinik Penyakit Saraf setelah sebelumnya mendapat serangan kejang untuk yang kedua kalinya.
- Penderita menyangkal adanya riwayat demam sebelumnya dan penderita juga menyatakan belum pernah periksa ke dokter maupun minum obat anti kejang setelah serangan kejang yang pertam akali.
- Dikatakan oleh penderita bahwa pada kejang yang kedua tersebut, sebelum kejang penderita sedang bermain game di komputer.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- Kedua serangan kejang tersebut diikuti dengan tidak sadar selama kira-kira 3 menit, kemudian kesadarannya kembali normal kembali dan dapat bekerja seperti sebelumnya.
- Sebelum umur 1 tahun, penderita sering mengalami kejang pada saat badannya panas.
- Dan diriwayatkan juga bahwa jika penderita mengikuti upacara atau olahraga sering mengalami pingsan dan akan membaik setelah mendapat pertolongan dari petugas UKS, kejadian ini mulai sejak penderita menduduki bangku Sekolah Dasar.
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Penderita akan melakukan pemeriksaan EEG dan pemeriksaan laboratorium di Poliklinik Penyakit Saraf.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas, antara lain :
a. Kejang
b.Epilepsi
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Mengetahui gejala-gejalanya lebih lanjut dan penatalaksanaannya.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem kerja saraf dan penyelesaiaannya dalam masyarakat.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan anatomi, fisiologi, dan histologi dari sistem saraf pusat dan tepi serta sistem saraf kranial.
b. Menjelaskan klasifikasi, kausa, patoenesis, patofisiologi dari kelainan pada sistem saraf pusat dan tepi.
c. Menjelaskan dasar-dasar diagnosis kelainan sistem saraf pusat dan tepi.
d. Menjeaskan macam-macam cara disgnosis kelainan sistem saraf pusat dan tepi.
e. Menjelaskan penatalaksanaan, prognosis, dan rehabilitasi pada penderita kelainan sistem saraf pusat dan tepi.
f. Melakukan pemeriksaan sistem saraf pusat dan tepi.
g. Menyususn data dari symptom, pemeriksaan fisik, prosedur klinis, dan pemeriksaan laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis penyakit susunan saraf.
h. Merancang tindakan preventif penyakit susunan saraf dengan mempertimbangkan factor pencetus.
i. Menjelaskan cara pencegahan komplikasi penyakit susunan saraf.
j. Melakukan penyuluhan kesehatan tentang penyakit susunan saraf dalam rangka upaya preventif dan promotif.
k. Menggunakan teknologi informasi untuk mencari informasi terkini mengenai penyaki susunan saraf.
l. Merancang manajemen penyakit susunan saraf.
A. Latar Belakang Masalah
Kejang adalah masalah neurologik yang relatif sering dijumpai. Diperkirakan bahwa 1 dari 10 orang akan mengalami kejang suatu saat selama hidup mereka. Dua puncak untuk insidensi kejang adalah dekade pertama kehidupan dan setelah usia 60 tahun. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari suatu populasi neuron yang sangat mudah terpicu (focus kejang) sehingga mengganggu fungsi normal otak. Namun, kejang juga terjadi dari jaringan otak normal di bawah kondisi patologik tertentu, seperti perubahan keseimbangan asam basa atau elektrolit. Kejang itu sendiri, apabila berlangsung singkat, jarang menimbulkan kerusakan, tetapi kejang dapat merupakan manifestasi dari suatu penyakit mendasar yang membahayakan, misalnya gangguan metabolisme, infeksi intrakranium, gejala putus-obat, intoksikasi obat, atau ensefalopati hipertensi. Bergantung pada lokasi neuron-neuron fokus kejang ini, kejang dapat bermanifestasi sebagai kombinasi perubahan tingkat kesadaran dan gangguan dalam fungsi motorik, sensorik, atau autonom. Istilah “kejang” bersifat general, dan dapat digunakan penjelasan-penjelasan lain yang spesifik sesuai karakteristik yang diamati. Kejang dapat terjadi hanya sekali atau berulang. Kejang rekuren, spontan, dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolisme yang terjadi bertahun-tahun disebut epilepsi. Bangkitan motorik generalisata yang menyebabkan hilangnya hilangnya kesadaran dan kombinasi kontraksi otot tonik-klonik sering disebut kejang. Kejang konvulsi biasanya menimbulkan kontraksi otot rangka yang hebat dan involunter yang mungkin meluas dari satu bagian tubuh ke seluruh tubuh atau mungkin terjadi secara mendadak disertai keterlibatan seluruh tubuh. Status epileptikus adalah suatu kejang yang berkepanjangan atau serangkaian kejang repetitif tanpa pemulihan kesadaran antariktus atau juga bisa dikatakan sebagai keadaan aktivitas kejang yang kontinu atau intermiten yang berlangsung selama 20 menit atau lebih saat pasien kehilangan kesadarannya.
Data mengenai inidensi kejang agak sulit diketahui. Diperkirakan bahwa 10% orang akan mengalami paling sedikit satu kali kejang selama hidup mereka dan sekitar 0,3% sampai 0,5% akan didiagnosis mengidap epilepsi (didasarkan pada kriteria dua atau lebih kejang spontan/tanpa pemicu). Laporan-laporan spesifik-jenis kelamin mengisyaratkan angka yang sedikit lebih besar pada laki-laki disbanding dengan perempuan. Insidensi berdasarkan usia memperlihatkan pola konsisten berupa angka paling tinggi pada tahun pertama kehidupan, penurunan pesat menuju usia remaja, dan pendataran secara bertahap selama usia pertengahan untuk kembali memuncak pada usia setelah 60 tahun. Lebih dari 75% pasien dengan epilepsi mengalami kejang pertama sebelum usia 20 tahun; apabila kejang pertama terjadi setelah usia 20 tahun, maka gangguan kejang tersebut biasanya sekunder. Epilepsi dapat diklasifikasikan sebagai tipe idiopatik atau simtomatik. Pada epilepsi idiopatik atau esensial, tidak dapat dibuktikan adanya suatu lesi sentral. Pada epilepsi simtomatik atau sekunder, terdapat kelainan serebrum yang mendorong terjadinya respons kejang. Di antara berbagai yang mungkin menyebabkan epilepsi sekunder adalah cedera kepala (termasuk yang terjadi sebelum dan setelah kelahiran), gangguan metabolik dan gizi (hipoglikemia, fenilketonuria, defisiensi vitamin B6), factor toksik (intoksikasi alcohol, putus-obat narkotik, uremia), ensefalitis, hipoksia, gangguan sirkulasi, gangguan keseimbangan elektrolit (terutama hiponatremia dan hipokalsemia), dan neoplasma.
Dari skenario 2 Blok Neurologi, ada beberapa masalah penting, yaitu :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Seorang wanita berusia 16 tahun datang di Poliklinik Penyakit Saraf setelah sebelumnya mendapat serangan kejang untuk yang kedua kalinya.
- Penderita menyangkal adanya riwayat demam sebelumnya dan penderita juga menyatakan belum pernah periksa ke dokter maupun minum obat anti kejang setelah serangan kejang yang pertam akali.
- Dikatakan oleh penderita bahwa pada kejang yang kedua tersebut, sebelum kejang penderita sedang bermain game di komputer.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- Kedua serangan kejang tersebut diikuti dengan tidak sadar selama kira-kira 3 menit, kemudian kesadarannya kembali normal kembali dan dapat bekerja seperti sebelumnya.
- Sebelum umur 1 tahun, penderita sering mengalami kejang pada saat badannya panas.
- Dan diriwayatkan juga bahwa jika penderita mengikuti upacara atau olahraga sering mengalami pingsan dan akan membaik setelah mendapat pertolongan dari petugas UKS, kejadian ini mulai sejak penderita menduduki bangku Sekolah Dasar.
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Penderita akan melakukan pemeriksaan EEG dan pemeriksaan laboratorium di Poliklinik Penyakit Saraf.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas, antara lain :
a. Kejang
b.Epilepsi
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Mengetahui gejala-gejalanya lebih lanjut dan penatalaksanaannya.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem kerja saraf dan penyelesaiaannya dalam masyarakat.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan anatomi, fisiologi, dan histologi dari sistem saraf pusat dan tepi serta sistem saraf kranial.
b. Menjelaskan klasifikasi, kausa, patoenesis, patofisiologi dari kelainan pada sistem saraf pusat dan tepi.
c. Menjelaskan dasar-dasar diagnosis kelainan sistem saraf pusat dan tepi.
d. Menjeaskan macam-macam cara disgnosis kelainan sistem saraf pusat dan tepi.
e. Menjelaskan penatalaksanaan, prognosis, dan rehabilitasi pada penderita kelainan sistem saraf pusat dan tepi.
f. Melakukan pemeriksaan sistem saraf pusat dan tepi.
g. Menyususn data dari symptom, pemeriksaan fisik, prosedur klinis, dan pemeriksaan laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis penyakit susunan saraf.
h. Merancang tindakan preventif penyakit susunan saraf dengan mempertimbangkan factor pencetus.
i. Menjelaskan cara pencegahan komplikasi penyakit susunan saraf.
j. Melakukan penyuluhan kesehatan tentang penyakit susunan saraf dalam rangka upaya preventif dan promotif.
k. Menggunakan teknologi informasi untuk mencari informasi terkini mengenai penyaki susunan saraf.
l. Merancang manajemen penyakit susunan saraf.
2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kejang
Kejang adalah suatu bentuk manifestasi klinik akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang tergangu akibat suatu keadaan patologik. Jenis-jenis kejang (klasifikasi kejang) didasarkan oleh pemeriksaan EEG (elektroensefalografik), MRI, penilaian klinis, dan juga anamnesis. Dari hal tersebut, kejang diklasifikasikan menjadi 2 macam, yaitu kejang parsial dan kejang generalisata berdasarkan apakah kesadaran utuh atau lenyap. (Lombardo, 2007)
Kejang parsial adalah kejang dengan kesadaran utuh walaupun mungkin berubah; fokus di satu bagian tetapi dapat menyebar ke bagian lain. Kejang parsial masih dibagi menjadi 2 macam, yaitu kejang parsial sederhana (kesadaran utuh) dan kejang parsial kompleks (kesadaran berubah tetapi tidak hilang). Kejang parsial, diklasifikasikan menjadi berikut: (Lombardo, 2007)
- Kejang parsial sederhana; karakteristik kejang ini adalah dapat bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral), sensorik (merasakan, membaui, mendengar sesuatu yang abnormal), autonomik (takikardia, bradikardia, takipneu, kemerahan, rasa tidak enak di epigastrium), psikik (disfagia, gangguan daya ingat). Kejang ini biasanya berlangsung kurang dari 1 menit.
- Kejang parsial kompleks; merupakan jenis kejang yang dimulai sebagai kejang parsial sederhana dan berkembang menjadi perubahan kesadaran yang disertai oleh gejala motorik , gejala sensorik otomatisme (mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, menarik-narik baju). Beberapa kejang parsial kompleks mungkin berkembang menjadi kejang generalisata. Kejan ini biasanya berlangsung 1-3 menit.
Kejang generalisata adalah kejang yang melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon serta ditandai dengan awitan aktivitas kejang yang bilateral dan simetrik yang terjadi di kedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang berawal sebagai kejang fokal. Kejang ini memiliki karakteristik tertentu, seperti hilangnya kesadaran, tidak ada awitan fokal, bilateral dan simetrik, serta tidak ada aura. Kejang generalisata, diklasifikasikan menjadi berikut: (Lombardo, 2007)
- Kejang tonik-klonik, kejang ini memiliki karakteristik spasme tonik-klonik otot, inkontinensia urin dan alvi, menggigit lidah, dan fase pascaiktus.
- Kejang absence, kejang ini sering salah didiagnosis sebagai melamun. Kejang ini memiliki karakteristik khusus, seperti menatap kosong, kepala sedikit lunglai, kelopak mata bergetar, atau berkedip secara cepat, tonus postural juga tidak hilang. Kejang absence berlangsung dalam beberapa detik.
- Kejang mioklonik, kejang ini memiliki karakteristik seperti kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas di beberapa otot atau tungkai dan durasinya cenderung singkat.
- Kejang atonik, adalah bentuk kejang generalisata yang hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh (drop attacks).
- Kejang klonik, merupakan suatu bentuk kejang generalisata dengan gerakan menyentak, repetitive, tajam, lambat, dan tunggal atau multiple di lengan, tungkai, atau torso.
- Kejang tonik, merupakan peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas; fleksi lengan dan ekstensi tungkai. Karakteristik lain, misalnya mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi, serta kejang ini mungkin dapat menyebabkan henti napas.
Kejang memiliki efek-efek berdasarkan atas lamanya mengalami kejang. Berikut jenis-jenis efek kejang: (Lombardo, 2007)
- Awal (kurang dari 15 menit), efek-efeknya: meningkatnya kecepatan denyut jantung, meningkatnya tekanan darah, meningkatnya kadar glukosa, meningkatnya suhu pusat tubuh, dan meningkatnya sel darah putih.
- Lanjut (antara 15-30 menit), efek-efeknya: menurunnya tekanan darah, menurunnya gula darah, disritmia, dan edema paru nonjantung.
- Berkepanjangan (lebih dari 1 jam), efek-efeknya: hipotensi disertai berkurangnya aliran darah serebrum sehingga terjadi hipotensi serebrum, gangguan sawar darah otak yang menyebabkan edema serebrum.
B. Epilepsi
Menurut Hughlings Jackson, seorang pakar penyakit saraf London (1835-1911), memberikan suatu penjelasan yang rasional mengenai pathogenesis dari bangkitan tersebut. Menurutnya, bangkitan epilepsi dapat dikatakan sebagai suatu lepas muatan (discharge) dari suatu bagian substansia grisea tertentu dari korteks serebri yang berlangsung secara tiba-tiba, berlebihan, cepat, tidak teratur, dan untuk waktu yang sementara. Epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi sautu sindrom, suatu reaksi dari otak yang timbul secara paroksismal, karena adanya suatu rangsang patologikyang menghinggapi korteks serebri secara lokal atau difus. Dalam keadaan normal, suatu lepas muatan tidaklah akan mudah dapt terjadi, berhubung adanya mekanisme penghambat di dalam susunan saraf pusat itu sendiri. Ada beberapa mekanisme inhibisi yang didapat dalam susunan saraf pusat (SSP), yaitu: (Ngoerah, 1990)
- Sel Renshaw
Setiap sel ganglion motorik memiliki suatu akson yang sebelum meninggalkan SSP telah melepaskan suatu kolateral rekurrens, yang dapat merangsang suatu sel Renshaw. Sel Renshaw ini adalah suatu sel penghambat. Dengan mempergunakan GABA sebagai neurotransmitter, maka sel Renshaw itu akan dapat melakukan inhibisi terhadap sel ganglion motorik itu sendiri.
- Area 4S dari korteks serebri
Sel-sel ganglia dari daerah ini memiliki akson-akson yang dapat menghambat bagian-bagian lain dari susunan saraf pusat/SSP. Pada daerah ini terdapa sabut-sabut menuju ke nucleus funikulus grasilis dank e nucleus funiklus kuneati. Sabut-sabut ini berfungsi sebagai penghambat, sehingg tidaklah semua impuls yang sampai pada nuclei tersebut lalu begitu saja dan dilanjutkan ke korteks serebri. Mekanisme tersebut dapat menghalangi timbulnya lepas muatan yang berlebihan. Selain itu pompa Natrium (Na-K-ATP-ase) yang oleh karena tidak dapat berfungsi dengan baik, akan dapat mempermudah timbulnya suatu lepas muatan.
Bangkitan epilepsi dapat dibagi menjadi beberapa jenis menurut International Leagua (1981), yaitu: (Ngoerah, 1991)
Bangkitan parsial (fokal, lokal), dibagi menjadi:
a. Bangkitan parsial sederhana (kesadaran tidak terganggu), karakteristiknya adalah gejala motorik (fokal motorik tidak menjalar, fokal mototrik menjalar/epilepsi Jackson, versify, postural, dan disertai gangguan fonasi), gejala somatosensoris/sensoris spesial/halusinasi sederhana (halusinasi bisa dalam bentuk somatosensoris, visual, auditoris, olfaktoris, gustatoris, dan juga terdpat vertigo), gejala gangguan saraf autonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dan dilatasi pupil), gejala psikik/gejala fungsi luhur (disfasia, dismnesia, kognitif, afektif, ilusi, halusinasi kompleks/berstruktur).
b. Bangkitan parsial kompleks (disertai gangguan kesadaran), karakteristiknya adalah awal saat bangkitan parsial sederhana diikuti penurunan kesadaran dengan gejala parsial sederhana dan dengan automatisme.
c. Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik), pembagiannya adalah bangkitan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan parsial umum, bangkitan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum, dan bangkitan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.
Bangkitan umum (konvulsif atau nonkonvulsif), dibagi menjadi:
a. Bangkitan lena (absence), pembagiannya antara lain hanya penurunan kesadaran, dengan komponen klonik ringan, dengan komponen atonik, dengan komponen tonik, dengan automatisme, dan dengan komponen autonom. Komponen klonik ringan hingga komponen autonom dapat tersendiri atau dalam kombinasi. Ada juga bentukan lena tak khas (atypical absence), dapat disertai gangguan tonus yang lebih jelas, awitan dan handekan yang tidak mendadak.
b. Bangkitan mioklonik, bisa terjadi sekali atau berulang-ulang.
c. Bangkitan klonik
d. Bangkitan tonik
e. Bangkitan tonik-klonik
f. Bangkitan atonik
Bangkitan taktergolongkan, dalam bangkitan ini epilepsi bisa timbul karena:
a. Tak terduga (tak tentu waktunya)
b. Siklus, timbul pada waktu-waktu tertentu (berhubung dengan siklus haid, bangun tidur)
c. Setelah mendapat rangsangan: nonsensoris (lelah, alcohol, emosi) dan sensoris (misalnya cahaya yang berkedip)
Kelompok penderita epilepsi dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: (Ngoerah, 1990)
a. Kelompok I: Epilepsi Primer
Mereka yang tidak dapat kita ketahui penyebab dari bangkitan epilepsinya. Kelompok I dinamai epilepsi primer atau genuine (epilepsy idiopatik, epilepsy esensiil, epilepsy genetik).
b. Kelompok II: Epilepsi Sekunder
Mereka yang dapat diketahui penyebab dari bangkitan epilepsinya. Kelompok II dinamai epilepsi sekunder atau simtomatik. Lepas muatan sudah barang tentu mulai di sautu tempat di korteks serebri. Tetapi yang menyebabkan timbulnya lepasan muatan itu tidak selalu berada dalam ruang tengkorak itu sendiri. Penyebab bangitan epilepsi dapat berasal intrakaranial, tetapi dapat pula berada di ekstrakranial.
- Penyebab yang terletak intrakranial. Misalnya: kerusakan pada SSP bayi (sewaktu persalinan, seperti misalnya karena anoksi, perdarahan, imaturitas, dan lain-lain), anomali kongenital, sisa ccat bekas meningitis atau ensefalitis, atrofia korteks serebri bekas ensefalomalasi, sisa cacat bekas trauma kapitis, tumor serebri, arterio-venous malformasi.
- Penyebab yang terletak ekstrakranial. Misalnya: anoksia, uremia, eklampsi, gangguan endokrin seperti misalnya hipoglikemi dan hipokalsemi, keracunan seperti misalnya karena alcohol, dieldrin, dan anti-depressan.
Epilepsi dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: (Guyton, 2007)
- Epilepsi Grand Mal
Merupakan suatu bentuk epilepsi yang ditandai dengan pelepasan muatan listrik yang berlebihan dari neuron di seluruh area otak-dalam korteks serebri, di bagian dalam serebrum, dan bahkan di batang otak. Juga, muatan listrik yang dijalarkan melalui semua jaras ke medulla spinalis kadang-kadang menimbulkan kejang tonik umum di seluruh tubuh, serta menjelang akhir serangan yang diikuti oleh kontraksi otot-otot tonik dan kemudian spasmodik secara bergantian, yang disebut kejang tonik klonik. Seringkali pasien menggiggit atau “mengunyah” lidahnya dan dapat mengalami kesulitan dalam bernapas, yang terkadang menimbulkan sianosis. Sinyal yang dijalarkan dari otak ke visera juga seringkali menimbulkan proses miksi dan defekasi.
Kejang grand mal biasanya berlangsung selama beberapa detik sampai 3-4 menit. Kejang ini juga ditandai dengan keadaan depresi pascakejang di seluruh sistem saraf; pasien tetap dalam keadaan stupor selama 1 sampai beberapa menit sesudah serangan kejang berakhir dan kemudian seringkali tetap lelah dan tertidur selama berjam-jam sesudahnya.
Tampak rekaman EEG yang khas pada hampir semua regio korteks selama fase tonik serangan grandmal. Adanya gambar EEG dapat menjelaskan adanya pelepasan impuls bervoltase dan berfrekuensi tinggi yang terjadi di seluruh korteks. Selanjutnya, pada saat yang bersamaan juga timbul pelepasan impuls yang sama di kedua sisi otak, yang menggambarkan adanya sirkuit neuron abnormal yang bertanggung jawab atas timbulnya serangan hebat yang melibatkan region basal otak yang mengendalikan kedua sisi serebrum secara bersamaan.
Pada percobaan/eksperimen, serangan grand mal dapat ditimbulkan oleh pemberian zat perangasang neuron, seperti obat pentilentetrazol, atau dengan menimbulkan keadaan hipoglikemia akibat insulin, atau dengan cara mengalirkan listrik langsung melalui otak. Perekaman listrik pada thalamus serta pada formasio retikularis batang otak selama serangan grand mal, menunjukkan gambaran aktivitas bervoltase tinggi yang khas di kedua area tersebut, yang serupa dengan gambaran korteks serebri. Oleh karena itu, mungkin, serangan grand mal ini tidak hanya disebabkan oleh aktivasi yang abnormal pada thalamus dan korteks serebri tetapi juga disebabkan oleh aktivasi yang abnormal di bagian batang otak pada sistem aktivasi otak itu sendiri yang terletak di bawah thalamus.
- Epilepsi Petit Mal
Epilepsi petit mal hampir selalu melibatkan sistem aktivasi talamokortikal otak. Epilepsi ini biasanya ditandai dengan timbulnya keadaan tidak sadar (atau penurunan kesadaran) selama 3 sampai 30 detik, dan selama waktu serangan, pasien merasakan kontraksi otot seperti kedutan (twitch-like), yang biasanyanya terjadi di daerah kepala, terutama pengedipan mata; keadaan ini selanjutnya diikuti dengan kembalinya kesadaran dan timbulnya kembali aktivitas sebelumnya. Rangkaian kejadian keseluruhan ini disebut dengan absence syndrome atau absence epilepsy. Pasien mengalami serangan ini satu kali dalam beberapa bulan atau pada kasus yang jarang, dapat mengalami serangkaian serangan yang cepat, yaitu satu serangan diikuti oleh serangan lainnya. Serangan petit mal biasanya terjadi pertama kali pada anak-anak masa akil balik dan menghilang pada umur 30 tahun. Kadangkala, serangan epilepsy petit mal dapat memicu timbulnya serangan grand mal.
Pola gelombang otak pada epilepsi petit mal yang ditunjukkan pada EEG ditandai dengan adanya pola kubah dan paku (spike and dome pattern). Gambaran kubah dan paku ini dapat direkam di sebagian besar atau seluruh bagian korteks serebri, dan menunjukkan bahwa kejang yng timbul melibatkan sebagian besar sistem aktivasi talamokortikal otak. Dan eksperimen pada hewan, menunjukkan bahwa hal ini dihasilkan dari gerakan osilasi dari neuron retikular thalamus inhibitor (yang merupakan neuron penghasil gamma-aminobutirat acid/GABA inhibitor) dan neuron talamokortikal dan kortikotalamik eksitator.
- Epilepsi Fokal
Epilepsi fokal dapat melibatkan hampir setiap bagian otak, baik region setempat pada korteks serebri atau struktur-struktur yang lebih dalam pada serebrum dan batang otak. Epilepsi fokal sering disebabkan oleh lesi organik setempat atau karena adanya kelainan fungsional, seperti adanya jaringan parut di otak yang mendorong jaringan neuron di dekatnya, adanya tumor yang menekan daerah otak, rusaknya suatu area pada jaringan otak, atau kelainan sirkuit setempat yang diperoleh secara kongenital.
Lesi semacam ini dapat menyebabkan pelepasan impuls yang sangat cepat pada neuron setempat; bila kecepatan pelepasan impuls ini mlebihi beberapa ratus per detik, gelombang sinkron akan mulai menyebar di seluruh region kortikal di dekatnya. Gelombang ini mungkin berasal dari sirkuit setempat yang secara bertahap membuat area korteks di dekatnya menjadi zona lepas-muatan epileptik. Proses ini menyebar ke daerah di dekatnya dengan kecepatan paling lambat beberapa millimeter per menit dan paling cepat beberapa sentimeter per detik. Bila gelombang eksitasi semacam ini menyebar ke seluruh korteks motorik, gelombang ini menyebabkan “deretan” kontraksi otot yang progresif di seluruh sisi tubuh yang berlawanan. Keadaan ini disebut epilepsy Jackson. Serangan epilepsi fokal dapat terbatas hanya di suatu area otak, namun pada sebagian besar kasus, sinyal yang kuat dari daerah korteks yang mengalami kejang dapat merangsang bagian mesensefalik sistem aktivasi otak sedemikian kuatnya sehingga serangan epilepsi grand mal juga terjadi.
Ada tipe lain epilepsi fokal yang disebut kejang psikomotor, yang dapat menyebabkan timbulnya periode amnesia singkat, serangan kemarahan yang abnormal, adanya ansietas, rasa tak nyaman, atau rasa takut yang timbul mendadak, dan bicara inkoheren yang singkat atau bergumam dari ungkapan yang bertele-tele (trite-phrase). Kadangkala pasien tidak dapat mengingat aktivitas yang telah dilakukannya selama serangan, namun pada saat lain, ia menyadari segala sesuatu yang telah dilakukan tetapi tidak mampu mengendalikannya. Serangan kejang tipe ini seringkali melibatkan bagian limbik otak, seperti hipokampus, amigdala, septum, dan bagian korteks temporalis.
3. DISKUSI DAN BAHASAN
Neuron memiliki suatu aktivitas khusus yang melibatkan 3 macam ion, yaitu ion natrium, ion klorida, dan ion kalium. Hal ini terjadi dalam proses eksitasi dan inhibisi. Berikut penjelasan 2 macam proses tersebut.
Eksitasi terdapat beberapa proses, yaitu:
- Kanal natrium yang terbuka yang memungkinkan pelepasan listrik bermuatan positif dalam jumlah besar untuk mengalir ke bagian anterior dari sel postsinaps. Hal ini akan meningkatkan potensial membran dalam arah positif menuju nilai ambang rangsang untuk menyebabkan eksitasi.
- Penekanan hantaran melalui kanal klorida atau kalium, atau keduanya. Hal ini akan menurunkan difusi ion klorida bermuatan negatif ke bagian dalam neuron postsinaps atau menurunkan difusi ion kalium bermuatan positif ke bagian luar. Pada contoh lain, pengaruhnya adalah dengan membuat potensial membran internal menjadi lebih positif dari normal, yang bersifat eksitatorik.
- Berbagai perubahan metabolisme internal neuron postsinaps untuk merangsang aktivitas sel atau, pada beberapa keadaan, untuk meningkatkan jumlah reseptor membran eksitasi atau menurunkan jumlah reseptor membran inhibisi.
Inhibisi terdapat beberapa proses, yaitu:
- Pembukaan kanal ion klorida melalui membran neuron postsinaps. Hal ini memungkinkan ion klorida bernuatan negatif untuk berdifusi secara cepat dari bagian luar neuron postsinaps ke bagian dalam, dan meningkatkan negativitas di bagian dalam, yang bersifat inhibisi.
- Meningkatkan hantaran ion kalium yang keluar dari neuron. Hal ini memungkinkan ion kalium yang bermuatan positif untuk berdifusi ke bagian eksterior, yang menyebabkan peningkatan kenegatifan di dalam neuron, yang bersifat inhibisi.
- Aktivasi enzim reseptor yang menghambat fungsi metabolik selular atau yang meningkatkan jumlah reseptor sinap inhibisi atau menurunkan jumlah reseptor eksitasi.
Jadi secara fisiologis, saat neuron beristirahat, kadar kalium adalah lebih tinggi di dalam daripada di luar sel neuron. Sebaliknya kadar natrium adalah lebih tinggi di luar daripada di dalam sel. Dengan demikian maka bagian dalam dari sel itu adalah 50 sampai 70 mV negatif bila dibandingkan dengan bagian luar. Keadan yang demikian hanyalah dapat dipertahankan selama pompa natrium itu bekerja dengan baik. Bila suatu rangsangan eksitatorik sampai pada sel itu, maka terjadilah depolarisasi. Ini berarti bahwa bagian dalam yang dahulu adalah 50 mV negatif kini misalnya menjadi 30 mV positif. Bila ada rangsang inhibisi maka terjadilah hiperpolarisasi, yang berarti bahwa bagian dalam akan menjadi bertambah negatif terhadap bagian luar. Misalnya dari 50 mV negatif lalu menjadi 90 mV negatif.
Kita ketahui bahwa vaskularisasi dari bagian korteks serebri di mana terdapat suatu sikatriks meningoserebral, tidaklah sebaik bagian korteks yang sehat. Sel-sel neuron yang terletak di dekat sikatriks itu tidaklah dapat menerima oksigen (O2) dan glukosa yang cukup sehingga metabolisme dalam sel-sel tersebut menjadi terganggu. Akibatnya adalah, bahwa sediaan ATP dalam sel itu akan menurun. Padahal ATP sangat diperlukan oleh pompa natrium.
Kekurangan ATP akan berakibat pompa natrium itu tidak dapat berfungsi dengan baik. Dan sewaktu terjadi depolarisasi, pompa natrium itu tidaklah sanggup lagi untuk mengeluarkan natrium dari dalam sel sehingga kadar natrium di dalam sel itu akan menjadi lebih tinggi dari semula. Dengan demikian maka misalnya keadaan di dalam sel itu tidaklah pulih menjadi 50 atau 70 mV negatif terhadap bagian luarnya , tetapi bagian dalam misalnya menjadi hanya 20 mV negatif terhadap bagian luar. Keadaan yang demikian akan mengakibatkan bahwa suatu rangsang ringan yang dahulu, sewaktu pompa natrium itu masih baik, tidak akan dapat menimbulkan depolarisasi, kini akan dapat menimbulkan lepas muatan.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengaj, thalamus, dan korteks serebrum kemungkinan bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut:
- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
- Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpacu akan melepaskan muatan secara berlebihan.
- Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
- Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energy akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (Liquor Cerebro Spinalis/LCS) selama dan setelah kejang. Asam glutamate mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetilkolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik; fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
Hampir setiap bagian otak, baik secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan setiap bagian lainnya, dan keadaan ini akan menimbulkan masalah yang serius. Bila bagian pertama merangsang bagian yang kedua, yang kedua merangsang bagian yang ketiga, dan yang ketiga merangsang yang keempat, begitu seterusnya sampai akhirnya sinyal itu merangsang bagian yang pertama lagi, maka jelaslah bahwa sinyal eksitasi yang masuk ke dalam setiap bagian otak akan menimbulkan siklus perangsangan bolak-balik/reeksitasi yang berlangsung secara terus menerus di seluruh bagian otak. Bila timbul keadaan ini, otak akan dibanjiri oleh massa yang terdiri atas sinyal-sinyal yang tidak mengangkut informasi, namun akan memakai sirkuit-sirkuit neuron dalam otak sehingga tidak ada penjalaran informasi. Keadaan ini dapat terjadi pada daerah yang luas dalam otak selama kejang epileptik. Dan sistem saraf pusat kita memiliki cara khusus untuk mencegah agar hal tersebut tidak terjadi sepanjang waktu. Cara khusus tersebut dilakukan melalui dua mekanisme dasar kelangsungan fungsi sistem saraf pusat, yaitu adanya sirkuit inhibisi, dan adanya kelelahan sinaps.
Sistem penghambat sirkuit inhibisi adalah sebagai mekanisme untuk menstabilkan fungsi sistem saraf. Ada dua macam sirkuit penghambat pada daerah yang luas dalam otak yang membantu mencegah penyebaran sinyal-sinyal:
- Sirkuit umpan balik penghambat yang kembali dari ujung jaras menuju neuron-neuron eksitasi awal pada jaras yang sama. Hal ini dapat terjadi dalam semua jaras saraf sensorik dan menghambat neuron masuk atau neuron perantara pada jaras sensorik sewaktu ujung neuron itu dalam keadaan sangat tereksitasi.
- Beberapa kumpulan neuron yang menggunakan pengaturan inhibisi sepanjang daerah yang luas dalam otak. Contohnya, banyak ganglia basalis menggunakan pengaruh hambatan ini terhadap sistem pengatur otot.
Dan kelelahan sinaps adalah sebagai alat untuk menstabilkan sistem saraf. Kelelahan pada sinaps berarti bahwa penjalaran sinaptik menjadi lebih lemah, lebih lama, dan dengan periode eksitasi lebih kuat. Sebagai contoh, terdapat rentetan refleks fleksor yang menggambarkan kelelahan pada penjalaran sinyal sewaktu melewati jaras refleks. Setiap bagian akan tampak kekuatan kontraksi yang “berkurang” secara progresif, jadi kekuatannya akan menghilang, dan efek ini kebanyakan disebabkan adanya kelelahan sinaps pada sirkuit refleks fleksor. Selanjutnya, bila interval antara rentetan refleks fleksor itu semakin berkurang, maka intensitas respons refleks selanjutnya makin berkurang pula.
Pembahasan dilanjutkan pada epilepsi sebagai diagnosis pada skenario. Epilepsi adalah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan. Tiap neuron aktif melepaskan muatan listriknya. Fenomena elektrik ini wajar terjadi. Manifestasi biologiknya berupa gerak otot atau suatu modalitas sensorik, tergantung dari neuron kortikal mana yang melepaskan muatan listriknya. Saat neuron di daerah somatosensorik yang melepaskan muatannya, timbullah perasaan protopatik atau proprioseptif. Demikian pula akan timbul perasaan pancaindera apabila neuron daerah korteks pancaindera melepaskan muatan listriknya.
Pada bagian sebelumnya, sudah banyak dibahas mengenai neurotransmiter asetilkolin. Dan pada keadaan jejas otak terdapat lebih banyak asetilkolin daripada otak normal. Pada tumor serebri atau adanya sikatriks setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa dari meningitis, ensefalitis, kontusio serebri atau trauma lahir, dapat terjadi penimbunan setempat dari asetilkolin. Oleh karena itu, pada tempat tersebut akan terjadi lepas muatan listrik neuron-neuron. Penimbunan asetilkolin setempat harus mencapai suatu konsentrasi tertentu untuk dapat merendahkan potensial membran sehingga lepas muatan listrik dapat terjadi. Mungkin karena harus menunggu waktu sehingga tercapai konsentrasi yang dapat mengungguli ambang lepas muatan listrik neuron. Hal inilah yang menyebabkan fenomena lepas muatan listrik epileptik terjadi secara berkala. Inilah ciri manifestasi klinik epilepsi, yaitu timbulnya serangan secara berkala. Dan hal tersebut terjadi pada epilepsi fokal yang biasanya simtomatik. Terjadi secara fokal karena yang digalakkan adalah neuron-neuron di sekitar lesi saja. Dan simtomatik karena dapat dikenali identitas lesi yang mendasarinya.
Ada juga jenis epilepsi idiopatik, epilepsi jenis ini tidak diketahui penyebabnya. Mekanisme terjadi epilepsi jenis ini hampir sama dengan mekanisme kejang grand mal pada penjelasan sebelumnya. Namun dalam hal ini, yang secara primer melepaskan muatan listriknya adalah nuklei intralaminares talami, yang dikenal sebagai inti “centrecephalic”. Inti tersebut merupakan terminal dari lintasan asendens aspesifik atau lintasan asendens ekstralemniskal. Input korteks serebri melalui lintasan aferen aspesifik itu menentukan derajat kesadaran. Bila sama sekali tidak ada input, maka timbullah koma. Pada kejang grand mal, oleh karena sebab yang belum bisa dipastikan, terjadilah lepas muatan listrik darin inti-inti intralaminar talamik secara berlebihan. Perangsangan talamokortikal yang berlebihan ini menghasilkan kejang otot seluruh tubuh (konvulsi umum) dan sekaligus menghalangi neuron-neuron pembina kesadaran untuk menerima impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran hilang.
Kemudian hasil dari suatu eksperimen juga menjelaskan mekanisme kejang petit mal. Adanya bagian dari substansia retikularisdi bagian rostral dari mesensefalon yang dapat melakukan blokade sejenak terhadap inti-inti intralaminar talamik sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai kejang-kejang pada otot skeletal.
Setiap manusia memiliki zat antikonvulsi alamiah, misalnya GABA. Namun, zat ini jumlahnya berbeda-beda pada tiap orang. Pada orang-orang tertentu, zat itu kurang cukup sehingga neuron-neuron kortikalnya mudah sekali terganggu dan bereaksi dengan muatan listriknya secara menyeluruh. Adanya perbedaan ini tercermin dalam hal kejang demam/febris konvulsi, yaitu kejang yang umum timbul pada waktu bayi atau anak kecil jika demamnya meningkat pada suhu 40°C, tetapi pada yang lain kejang umum sudah muncul pada demam 37,8°C. Demam merupakan keadaan di mana nuklei intralaminares talami menjadi lebih peka untuk diaktifkan atau merupakan keadaan di mana ambang lepas muatan listrik neuron-neuron kortikal direndahkan sehingga kejang umum mudah terjadi.
Epilepsi juga tidak akan terjadi pada setiap orang karena epilepsi dipengaruhi oleh adanya ambang kejang/ambang mioklonik. Jika ambang kejang ini dilampaui oleh sesuatu rangsang, maka akan timbul kejang. Seorang yang sehat yang belum pernah mendapat serangan epilepsi berarti ambang kejangnya cukup tinggi. Oleh karena itu, maka suatu rangsang biasa, yang menghinggapinya setiap hari, tidaklah akan dapat menimbulkan bangkitan epilepsi. Ini tidaklah berarti bahwa orang itu tidak akan mengalami epilepsi. Asal rangsangannya cukup tinggi dan kuat sehingga dapat melampaui ambang miokloniknya, maka bangkitan epilepsi akan timbul juga. Di samping orang-orang yang memiliki ambang mioklonik yang cukup tinggi, ada juga orang yang memiliki ambang mioklonik cukup rendah. Pada orang-orang yang demikian, suatu rangsang yang amat lemah, seperti panas, emosi, kelelahan, rangsang cahaya (misalnya komputer, televisi), hiperventilasi, dan sebagainya akan dapat pula melampaui ambang miokloniknya sehingga dapat timbul kejang.
Selain hal-hal di atas, kejang juga bisa disebabkan oleh intoksikasi obat. Pada beberapa obat, kejang merupakan manifestasi efek toksik. Obat yang berpotensi menimbulkan kejang adalah aminofilin, obat antidiabetes, lidokain, fenotiazin, fisostigmin, dan trisiklik.Penyalahgunaan zat seperti alkohol dan kokain juga dapat menyebabkan kejang. Kejang juga bisa karena kelainan metabolik (misalnya hiponatremia, hipernatremia, hipoglikemia, keadaan hiperosmolar, hipokalsemia, hipomagnesemia, hipoksia, dan uremia), tumor otak, dan insufisiensi serebrovaskular arteriosklerotik dan juga infark serebrum.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah EEG dengan indikasi kasus kejang yang tidak khas (kejang pada orang usia kurang dari 6 tahun), pemeriksaan laboratorium (misalnya kejang karena kadar glukosa darah yang rendah, hipokalsemia, ataupun hiponatremia, dan lain-lain), dan pemeriksaan pencitraan (misalnya foto polos kepala dengan indikasi kemungkinan ada fraktur kepala, pemeriksaan CT Scan dengan indikasi adanya hidrosefalus dan infark otak).
Terapi yang sering diberikan adalah pemberian obat-obatan antikonvulsan. Obat-obatan antikejang yang diberikan harus berdasarkan atas jenis kejangnya. Misalnya fenitoin untuk kejang tonik-klonik, fosfenitoin untuk status epileptikus, karbamazepin untuk kejang parsial kompleks dan kejang tonik-klonik, fenobarbital untuk kejang tonik-klonik, diazepam untuk status epileptikus, lorazepam untuk status epileptikus, midazolam untuk status epileptikus (masih dalam penelitian), klonazepam untuk kejang mioklonik, etosuksimid untuk kejang absence, asam valproat untuk kejang tonik-klonik dan kejang mioklonik serta kejang absence dan parsial, felbamat untuk kejang parsial, gabapentin untuk kejang parsial, lamotrigin untuk kejang parsial, okskarbazepin untuk kejang parsial, tiagabin untuk kejang parsial, topiramat untuk kejang parsial, zonisamid kejang parsial.
4. KESIMPULAN
¨ Hal yang aneh yang terjadi pada adalah seorang wanita berusia 16 tahun yang datang di Poliklinik Penyakit Saraf adalah pernah mengalami kejang saat bermain game di komputer, saat menduduki Sekolah Dasar sering pingsan dan kejang saat mengikuti upacara, dan satt masih kecil juga sering kejang saat badannya panas.
¨ Dan saat kejang yang terakhir pasien menyangkal badannya panas serta saat kejang tidak mendapatkan terapi berupa obat antikejang.
¨ Kejang secara garis besar ada 2 macam, yaitu kejang generalisata (kejang dengan berubahnya status kesadaran tetapi tidak hilang kesadaran) dan kejang parsial (kejang dengan kesadaran yang masih utuh).
¨ Tanda dan gejala umum kejang berbeda-beda. Untuk kejang generalisata antara lain: hilangnya kesadaran, tidak ada awitan fokal, bilateral dan simetrik, serta tidak ada aura. Untuk kejang parsial yang jenis sederhana antara lain: motorik (gerakan abnormal unilateral), sensorik (merasakan, membaui, mendengar sesuatu yang abnormal), autonomik (takikardia, bradikardia, takipneu, kemerahan, rasa tidak enak di epigastrium), psikik (disfagia, gangguan daya ingat). Kejang parsial kompleks memiliki tanda dan gejala, seperti gejala sensorik otomatisme (mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, menarik-narik baju).
¨ Terapi kejang dan epilepsi antara lain: fenitoin untuk kejang tonik-klonik, fosfenitoin untuk status epileptikus, karbamazepin untuk kejang parsial kompleks dan kejang tonik-klonik, fenobarbital untuk kejang tonik-klonik, diazepam untuk status epileptikus, lorazepam untuk status epileptikus, midazolam untuk status epileptikus (masih dalam penelitian), klonazepam untuk kejang mioklonik, etosuksimid untuk kejang absence, asam valproat untuk kejang tonik-klonik dan kejang mioklonik serta kejang absence dan parsial, felbamat untuk kejang parsial, gabapentin untuk kejang parsial, lamotrigin untuk kejang parsial, okskarbazepin untuk kejang parsial, tiagabin untuk kejang parsial, topiramat untuk kejang parsial, zonisamid kejang parsial.
¨ Masalah kejang dan epilepsi sangat penting untuk diungkapkan karena masalah ini sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita.
5. DAFTAR PUSTAKA
Burns, D. K., V. Kumar. 2007. Sistem Saraf. Dalam: Kumar, V., R. S. Cortran, dan S. L. Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 903-948.
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Aktivitas Otak-Tidur, Gelombang Otak, Epilepsi, Psikosis. Dalam: Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 777-786.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Reseptor-Reseptor Sensorik; Rangkaian Saraf untuk Mengolah Informasi. Dalam: Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 597-610.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Susunan Sisitem Saraf; Fungsi Dasar Sinaps, “Substansi Transmiter”. Dalam: Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 580-596.
Lombardo, M. C. 2007. Nyeri. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1157-1166.
Mardjono, M., P. Sidharta. 2008. Dasar-Dasar Pemeriksaan Neurologik Khusus. Dalam: Mardjono, M., P. Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Edisi 5. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat. pp: 415-490.
Ngoerah, I. G. N. D. 1990. Neurologi Klinis. Dalam: Ngoerah, I. G. N. D. 1990. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Universitas Airlangga Press. pp: 179-203.
1 comment:
Himz, ini mah namanya wakaf!
For all doctor-wannabes, this blog is a heaven...
Post a Comment