1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem pernapasan meliputi paru, sistem saraf pusat (SSP), dinding dada (dengan diafragma dan otot interkostalis) dan sirkulasi paru. Sistem saraf pusat mengendalikan kerja otot dinding dada, yang bekerja sebagai pompa sistem pernapasan. Karena komponen sistem pernapasan bekerja sama untuk mencapai pertukaran gas, malfungsi tiap-tiap komponen atau perubahan hubungan antara komponen dapat menyebabkan gangguan fungsi. Tiga aspek utama gangguan fungsi pernapasan yaitu gangguan fungsi ventilasi, gangguan sirkulasi pulmonal, dan gangguan pertukaran gas. Untuk pembahasan kali ini akan lebih dibahas mengenai gangguan fungsi ventilasi.
Seperti yang telah dibahas pada skenario sebelumnya, ventilasi merupakan proses yang digunakan oleh paru untuk pertukaran gas di dalam alveoli. Pengukuran fungsi ventilasi untuk keperluan diagnostik terdiri atas pengukuran kuantitas volume udara di dalam paru di bawah kondisi tertentu dan kecepatan pengeluaran udara di dalam paru Dua cara pengukuran volume paru yang lazim digunakan untuk untuk menegakkan diagnosis penyakit pernapasan adalah pengukuran total lung capacity (kapasitas total paru) atau TLC dan residual volume (volume residual) atau RV. Kapasitas total paru (TLC) adalah volume udara yang ada di dalam paru setelah inspirasi maksimal, sedangkan residual volume (RV) adalah volume udara yang tersisa di dalam paru pada akhir ekspirasi maksimal. Volume udara yang dihembuskan keluar dari paru dalam perubahan dari TLC menjadi RV disebut vital capacity (kapasitas vital) atau VC.
Pengukuran aliran udara pernapasan secara klinis yang lazim dilakukan adalah melalui perasat, yaitu pasien melakukan inspirasi hingga mencapai kapasitas total paru dan kemudian menghembuskan udara dengan kuat himgga mencapai volume residual (RV). Tiga pengukuran secara umum dihasilkan dari perekaman volume-waktu, yaitu spirogram yang didapat selama melakukan perasat ekspirasi paksa (forced expiration): (1) volume udara yang dihembuskan keluar selama satu detik pertama ekspirasi (volume ekspirasi paksa dalam satu detik) atau FEV1 (forced expiratory volume in 1 second), (2) total volume yang dihembuskan keluar dengan paksa (FVC, forced vital capacity, kapasitas vital paksa) dan (3) kecepatan aliran udara ekspirasi rata-rata selama kapasitas vital 50 persen (forced expiratory flow antara kapasitas vital 25% dan 75% atau FEF25-75% juga disebut maximal midexpiratory flow rate atau MMFR).
Dari skenario 2 Blok Respirasi, ada beberapa masalah penting, yaitu :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Seorang laki-laki, 70 tahun, perokok datang ke IGD dengan keluhan utama: sesak napas berat 2 hari ini disertai nyeri dada kanan.
- Dalam 3 hari ini batuk makin sering dengan dahak yang lebih pekat, berwarna kuning kehijauan.
- Kedua tungkai bengkak 1 bulan ini.
- Dalam 2 tahun ini rasa batuk dan sesak dirasa lebih berat dan dirasakan adanya mengi.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- Riwayat batuk dan sesak napas sejak 10 tahun yang lalu.
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Penderita pernah menggunakan inhaler sebagai pelega, pernah disarankan berhenti merokok, pernah bekerja di pabrik asbes selama 7 tahun.
- Keadaan umum penderita tampak gelisah dan sianotik.
- Pemeriksaan fisik inspeksi statis: dada kanan menonjol daripada kiri dan saat bernapas dada kanan teringgal. Pemeriksaan fisik perkusi: hipersonor pada paru kanan. Pemeriksaan fisik auskultasi: suara napas lemah pada paru kanan, pada paru kiri didapatkan ronki dan wheezing.
- Pemeriksaan jumlah leukosit belum ada hasil.
- Tidak dilakukan pemeriksaan analisis gas darah.
- Pemeriksaan spirometri belum dapat dilakukan.
- Pemeriksaan foto toraks: paru kanan mengalami kolaps disertai gambaran hiperlusen dan pleural line, sedangkan pada paru kiri emfisematous.
- Pemeriksaan kultur mikroorganisme dan sitologi sputum belum ada hasil.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas, antara lain :
a. Uji fungsi ventilasi: volume paru statis
b.Analisis gas darah
c. Tanda dan gejala umum penyakit pada sistem respirasi
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Mengetahui gejala-gejalanya lebih lanjut dan penatalaksanaannya.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem kerja pernapasan (sistem respirasi) dan penyelesaiaannya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dan melingkupi sistem respirasi meliputi anatomi, histologi dan fisiologi.
b. Menjelaskan proses respirasi secara fisiologis.
c. Menjelaskan tentang proses ventilasi dan transportasi yang terjadi di dalam paru-paru
d. Menjelaskan tentang proses sirkulasi pulmoner dan perubahan/pertukaran gas dalam paru-paru.
e. Menjelaskan perkembangan saluran pernapasan, pertahanan saluran pernapasan dan kontrol feed back dalam sistem pernapasan.
f. Menjelaskan mekanisme batuk dan gejala umum gangguan pernapasan yang lainnya.
g. Menjelaskan mekanisme terjadinya kelainan pada sel/organ pada penyakit-penyakit sistem respirasi meliputi patogenesis, patologi, dan patofisiologinya.
h. Menjelaskan jenis-jenis kelainan pada sistem respirasi meliputi kausa, patogenesis, patologi, patofisiologi, gejala, komplikasi, prognosis, dan dasar terapi pada kelainan karena kondisi obstruksi, kondisi restriktif, insufisiensi pernapasan, penyakit kardiovaskular dan paru, infeksi, penyakit lingkungan, dan neoplasma.
i. Melakukan pemeriksaan yang menunjang diagnosis penyakit paru.
j. Menjelaskan komplikasi yang ditimbulkan pada penyakit-penyakit di sistem respirasi.
k. Menjelaskan manajemen/penatalaksanaan penyakit pada sistem respirasi meliputi dasar-dasar terapi: medikamentosa, konservatif, diet, operatif, rehabilitasi, dll.
l. Menjelaskan symptom dan sign penyakit-penyakit pada sistem respirasi.
m. Menjelaskan penegakan diagnosis penyakit pada sistem respirasi.
n. Menyusun data dari gejala, pemeriksaan fisik, prosedur klinik, dan pemeriksaan laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis sementara dan diagnosis banding pada penyakit sistem respirasi.
o. Menentukan prosedur klinik penunjang diagnosis penyakit sistem respirasi.
2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Uji Fungsi Ventilasi: Volume Paru Statis
Volume dan kapasitas paru merupakan pengukuran anatomis yang dipengaruhi oleh latihan fisik dan penyakit. Terdapat empat volume paru dan empat kapasitas paru. Kapasitas paru selalu terdiri dari dua vuolume paru atau lebih. Volume dan kapasitas paru ini dapat langsung diukur menggunakan spirometer. Spirometer adalah suatu alat yang sederhana yang dilengkapi pompa atau bel yang akan bergeser pada waktu paien bernapas ke dalamnya melalui sebuah katup dan tabung penghubung. Pada waktu menggunakan spirometer, grafik akan terekam pada sebuah drum yang dapat berputar dengan sebuah pena pencatat. Spirometri langsung dengan memakai komputer pada waktu pasien berada di tempat tidur sering dilakukan. Pengukuran volume paru statis dalam praktik digunakan untuk mencerminkan elastisitas paru dan toraks. Pengukuran yang paling berguna adalah VC, TLC, FRC, dan RV. Penyakit yang membatasi pengembangan paru (penyakit paru restriktif) akan mengurangi volume-volume ini. Sebaliknya, penyakit-penyakit yang menyumbat saluran napas (penyakit paru obstruktif) hampir selalu dapat meningkatkan FRC dan RV akibat hiperinflasi paru. TLC dapat normal atau meningkat, dan VC seringkali menurun. Pada penyakit paru dengan RV yang meningkat karena udara terperangkap, VC harus menurun dalam jumlah besar, karena TLC relatif stabil (kecuali bila sebagian paru telah diangkat pada saat pembedahan) dan karena TLC = RV + VC. (Wilson, 2007)
Kapasitas dan volume paru, secara ringkas dijelaskan sebagai berikut. Volume tidal (VT) adalah jumlah udara yang diinspirasi atau diekspirasi pada setiap kali bernapas (nilai ini adalah untuk keadaan istirahat), bernilai rata-rata 500 mL untuk laki-laki dewasa. Volume cadangan inspirasi (IRV) adalah jumlah udara yang dapat diinspirasi secra paksa sesudah inhalasi volume tidal normal, bernilai rata-rata 3100 mL untuk laki-laki dewasa. Volume cadangan ekspirasi (ERV) adalah jumlah udara yang dapat diekspirasi secara paksa sesudah ekspirasi volume tidal yang normal, bernilai rata-rata 1200 mL untuk laki-laki dewasa. Volume residu (RV) adalah jumlah udara yang tertinggal dalam paru sesudah ekspirasi paksa, bernilai rata-rata 1200 mL. Kapasitas paru total (TLC) adalah jumlah udara maksimal yang dapat dimasukkan ke dalam paru sesudah inspirasi maksimal: TLC = VT + IRV + ERV + RV; TLC = VC + RV, bernilai rata-rata 6000 mL untuk laki-laki dewasa. Kapasitas vital (VC) adalah jumlah udara maksimal yang dapat diekspirasi sesudah inspirasi maksimal : VC = VT + IRV + ERV (seharusnya 80% dari TLC), bernilai rata-rata 4800 mL pada laki-laki dewasa. Kapasitas inspirasi (IC) adalah jumlah udara maksimal yang dapat diinspirasi sesudah ekspirasi normal: IC = VT + IRV, bernilai rata-rata 3600 mL pada laki-laki dewasa. Kapasitas residu fungsional (FRC) adalah volume udara yang tertinggal dalam paru sesudah ekspirasi volume tidal normal: FRC = ERV + RV, bernilai rata-rata 2400 mL pada laki-laki dewasa. Untuk kapasitas dan volume paru normal pada wanita dewasa, nilai normalnya sekitar lebih kecil 25% dari nilai kapasitas dan volume pada laki-laki dewasa.(Wilson, 2007)
B. Analisis Gas Darah
Untuk menilai fungsi pernapasan secara adekuat perlu juga mempelajari hal-hal di luar paru seperti volume dan distribusi gas yang diangkut oleh sistem sirkulasi. Dalam hal ini ada teknik tertentu yang dipakai untuk mengumpulkan darah yang diperlukan untuk mengukur gas-gas darah. Biasanya yang digunakan adalah sampel darah arteri. Arteri radialis (atau brakialis) sering dipilih karena arteri ini mudah dicapai. Volume yang diambil sekitar 5 mL darah, kemudian udaranya dikeluarkan, darah disimpan di atas es dan langsung dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. PaCO2 merupakan petunjuk ventilasi alveolar (VA) yang terbaik. Bila PaCO2 meningkat, penyebab langsung selalu hipoventilasi alveolar. Hipoventilasi menyebabkan asidosis respiratorik dan penurunan pH darah. Hipoventilasi alveolar dapat terjadi bila VT menurun (efek ruang mati), seperti pada pernapasan yang cepat dan dangkal. Hipoventilasi dapat pula terjadi jika frekuensi pernapasan menurun seperti pada kelebihan dosis narkotik ataupun barbiturat. PaCO2 dapat pula meningkat untuk mengkompensasi alkalosis metabolik. Akibatnya dalam interpretasi nilai PaCO2 secara tepat, perlu dipertimbangkan pula pH darah dan kadar bikarbonat guna menentukan apakah suatu perubahan timbul akibat kondisi pernapasan primer atau justru sebagai tindakan kompensasi dari suatu kondisi metabolik. (Wilson, 2007)
Penyebab langsung penurunan PaCO2 adalah selalu hiperventilasi alveolar. Hiperventilasi menyebabkan alkalosis respiratorik dan kenaikan pH darah. Hiperventilasi sering timbul pada asma dan pneumonia dan menggambarkan usaha tubuh untuk meningkatkan PaO2 dengan usaha membuang CO2 yang berlebihan dari paru. Cedera atau tumor otak, keracunan aspirin, dan ketegangan dapat juga menyebabkan hiperventilasi atau dapat juga merupakan proses kompensasi untuk mengatasi asidosis metabolik. Sering juga terdapat keadaan di mana terdapat perubahan bikarbonat yang menggambarkan usaha ginjal untuk mengompensasi keadaan asidosis atau alkalosis respiratorik, sedangkan adanya perubahan PaCO2 pada gangguan metabolik menggambarkan peran paru dalam usaha kompensasi. Tujuan kompensasi ini adalah untuk mengembalikan pH darah ke nilai normalnya. (Wilson, 2007)
Bila nilai PO turun sampai di bawah nilai normal, terjadi hipoksemia. PaO2 menurun sedikit sesuai dengan usia; sehingga PaO2 70 mmHg masih normal untuk yang berusia di atas 60 tahun. Pada gagal pernapasan berat, PaO2 makin menurun sampai 30-40 mmHg. Hipoksemia akibat penyakit paru disebabkan oleh salah satu atau lebih dari mekanisme di berikut ini: (1) ketidakseimbangan antara proses ventilasi dan perfusi (penyebab tersering), (2) hipoventilasi alveolar, (3) gangguan difusi, atau (4) pirau anatomik intrapulmonar. Hipoksemia akibat tiga kelainan yang pertama dapat diperbaiki dengan pemberian O2. Tetapi pirau anatomik intrapulmonar (pirau arteriovenosa) tidak dapat diatasi dengan terapi O2. Perubahan gas darah arteri merupakan hal yang kritis dalam diagnosis kegagalan pernapasan atau ventilasi yang mungkin atau ventilasi yang mungkin timbul secara perlahan-lahan. Apabila kadar PaO2 turun di bawah niali normal, terjadi insufiensi pernapasan, dan terjadi kegagalan pernapasan bila PaO2 turun sampai 50 mmHg. PaCO2 dapat meningkat turun sampai di bawah nilai normal pada insufisiensi atau kegagalan pernapasan. (Wilson, 2007)
C. Tanda dan Gejala Umum Penyakit pada Sistem Respirasi
Tanda dan gejala yang paling umum yang terdapat pada penyakit-penyakit dalam sistem respirasi adalah batuk, pengeluaran sputum, hemoptisis, dispnea, dan nyeri dada. Walaupun masih ada banyak tanda khas lainnya pada penyakit sistem respirasi tetapi tanda-tanda tersebut merupakan tanda-tanda yang paling khas. Berikut akan sedikit dibicarakan mengenai tanda-tanda tersebut.
Batuk merupakan refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi percabangan trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme yang penting untuk membersihkan saluran napas bagian bawah, dan banyak orang dewasa normal yang batuk beberapa kali setelah bangun tidur pada pagi hari untuk membersihkan trakea dan faring dari sekret yang terkumpul selama tidur. Batuk juga merupakan gejala tersering penyakit pernapasan. Segala jenis batuk yang berlangsung lebih dari tiga minggu harus diselidiki untuk memastikan penyebabnya. Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk adalah rangsangan mekanik, kimia, dan peradangan. Inhalasi asap, debu, dan benda-benda asing kecil merupakan penyebab batuk yang paling sering. Prokok seringkali menderita batuk kronik karena terus menerus mengisap benda asing (asap), dan saluran napasnya sering mengalami peradangan kronik. Rangsangan mekanik dari tumor (ekstrinsik maupun intrinsik) terhadap saluran napas merupakan penyebab lain yang dapat menimbulkan batuk (tumor yang paling sering menimbulkan batuk adalah karsinoma bronkogenik). Setiap proses peradangan saluran napas dengan atau tanpa eksudat dapat mengakibatkan batuk. Bronkitis kronik, asma, tuberkulosis, dan pneumonia merupakan penyakit yang secara tipikal memiliki batuk sebagai gejala yang mencolok. Batuk dapat bersifat produktif, pendek, dan tidak produktif, keras dan parau (seperti ada tekanan pada trakea), sering, jarang, atau paroksismal (serangan batuk yang intermiten). (Wilson, 2007)
Orang dewasa normal menghasilkan mukus sekitar 100 mL dalam saluran napas setiap hari. Mukus ini diangkut menuju faring dengan gerakan pembersihan normal silia yang melapisi saluran pernapasan. Kalau terbentuk mukus yang berlebihan, proses normal pembersihan mungkin tidak efektif lagi sehingga akhirnya mukus tertimbun. Bila hal ini terjadi, membran mukosa akan terangsang dan mukus dibatukkan keluar sebagai sputum. Pembentukan mukus yang berlebihan mungkin disebabkan oleh gangguan fisik, kimiawi, atau infeksi pada membran mukosa. Kapan saja seorang pasien membentuk sputum, perlu dievaluasi sumber, warna, volume, dan konsistensinya. Sputum yang dihasilkan sewaktu membersihkan tenggorokan kemungkinan besar berasal dari sinus atau saluran hidung, dan bukan dari saluran napas bagian bawah. Sputum yang banyak sekali dan purulen menyatakan adanya proses supuratif, seperti abses paru, sedangkan pembentukan sputum yang terus meningkat perlahan dalam waktu bertahun-tahun merupakan tanda bronkitis kronik atau bronkiektasis. Warna sputum juga penting. Sputum yang berwarna kekuning-kuningan menunjukkan infeksi. Sputum yang berwarna hijau merupakan petunjuk adanya penimbunan nanah. Warna hijau timbul karena adanya verdoperoksidase yang dihasilkan oleh leukosit polimorfonuklear (PMN) dalam sputum. Sputum yang berwarna hijau sering ditemukan pada bronkiektasis karena penimbunan sputum dalam bronkiolus yang melebar dan terinfeksi. Banyak penderita infeksi pada saluran napas bagian bawah mengeluarkan sputum berwarna hijau pada pagi hari tetapi semakin siang semakin menjadi kuning. Fenomena ini mungkin disebabkan karena penimbunan sputum yang purulen di malam hari, disertai pengeluaran verdoperoksidase. Sifat dan konsistensi sputum juga dapat memberikan informasi yang berguna. Sputum yang berwarna merah muda dan berbusa merupakan tanda edema paru akut. Sputum yang berlendir, pekat dan berwana abu-abu atau putih merupakan tanda bronkitis kronik. Sedangkan sputum yang berbau busuk merupakan anda abses paru akut atau bronkiektasis. (Wilson, 2007)
Sputum dapat bercampur dengan darah atau dapat juga seluruh cairan yang dikeluarkan dari paru berupa darah. Hemoptisis adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk darah atau sputum yang berdarah. Setiap proses yang mengganggu kesinambungan pembuluh darah paru dapat mengakibatkan perdarahan. Batuk darah merupakan suatu gejala yang serius dan dapat merupakan manifestasi pertama dari tuberkulosis aktif. Penyebab hemoptisis lain yang sering adalah karsinoma bronkogenik, infark paru, bronkiektasis, dan abses paru. Sputum yang mengandung darah (sehingga berwarna seperti karat) merupakan ciri khas yang dapat ditemukan pada pneumonia pneumokokus. Sputum yang terlihat seperti jelly buah kismis (merah bata) terdapat pada pneumonia Klebsiella. Jika darah atau sputum yang mengandung darah dibatukkan, perlu ditentukan apakah memang sumbernya berasal dari saluran napas bagian bawah dan bukan dari saluran hidung atau saluran cerna. Darah yang berasal dari saluran cerna (hematemesis) biasanya berwarna gelap (seperti warna kopi) dan disertai mual, muntah, dan anemia. Darah yang berasal dari saluran napas bawah (di bawah glotis) biasanya berwarna merah cerah, berbusa, dan terdapat riwayat batuk dengan atau tanpa anemia. Darah yang berasal dari saluran napas atas (misalnya, darah dari hidung setelah tonsilektomi) bila sering ditelan, dapat terlihat seperti darah dari bagian pencernaan ketika dimuntahkan. (Wilson, 2007)
Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas dan merupakan gejala utama dari penyakit kardiopulmonar. Seorang yang mengalami dispnea sering mengeluh napasnya menjadi pendek atau merasa tercekik. Gejala objektif sesak napas termasuk juga penggunaan otot-otot pernapasan tambahan (sternokleidomastoideus, scalenus, trapezius, pectoralis mayor), pernapasan cuping hidung, takipnea, dan hiperventilasi. Sesak napas tidak selalu menunjukkan adanya penyakit; orang normal akan mengalami hal yang sama setelah melakukan kegiatan fisik dalam tingkat-tingkat yang berbeda. Pemeriksa harus dapat membedakan sesak napas dari gejala dan tanda lain yang mungkin memiliki perbedaan klinis yang mencolok. Takipnea adalah frekuensi pernapasan yang cepat, lebih cepat dari pernapasan normal (12 hingga 20 kali per menit) yang dapat muncul dengan atau tanpa dispnea. Hiperventilasi adalah ventilasi yang lebih besar daripada jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan pengeluaran CO2 normal, hal ini dapat diidentifikasi dengan memantau tekanan parsial CO2 arteri, atau tegangannya (PaCO2), yaitu lebih rendah dari angka normal (40 mmHg). Dispnea sering dikeluhkan pada sindrom hiperventilasi yang sebenarnya merupakan seseorang yang sehat dengan stres emosional. Selanjutnya, gejala lelah yang berlebihan juga harus dibedakan dengan dispnea. Seseorang yang sehat mengalami lelah yang berlebihan setelah melakukan kegiatan fisik dalam tingkat yang berbeda-beda, dan gejala ini juga dapat dialami pada penyakit kardiovaskular, neuromuskular, dan penyakit lain selain paru. Sumber penyebab dispnea bisa bermacam-macam, misalnya: (1) reseptor-reseptor mekanik pada otot-otot pernapasan, paru, dan dinding dada; dalam teori tegangan panjang, elemen-elemen sensoris, gelondong otot pada khususnya, berperan penting dalam membandingkan tegangan dalam otot dengan derajat elastisitasnya; dispnea terjadi jika tegangan yang ada tidak cukup besar untuk satu panjang otot (volume napas tercapai); (2) kemoreseptor untuk tegangan CO2 dan O2 (PCO2 dan PO2) (teori hutang oksigen); (3) peningkatan kerja pernapasan yang mengakibatkan sangat meningkatnya rasa sesak napas; dan (4) ketidakseimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasi. Mekanisme tegangan panjang yang tidak sesuai adalah teori yang paling banyak diterima karena teori tersebut menjelaskan paling banyak kasus klinis dispnea. Besarnya tenaga fisik yang dikeluarkan untuk menimbulkan dispnea bergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat, jenis latihan fisik, dan terlibatnya emosi dalam melakukan hal tersebut. Selain itu, terdapat beberapa variasi gejala umum dispnea. Ortopnea adalah sesak napas pendek yang terjadi pada posisi berbaring dan biasanya keadaan diperjelas dengan penambahan sejumlah bantal atau penambahan elevasi sudut untuk mencegah perasaan tersebut. Penyebab tersering ortopnea adalah gagal jantung kongestif akibat peningkatan volume darah di vaskularisasi sentral pada posisi berbaring. Ortopnea juga merupakan gejala yang sering muncul pada banyak gangguan pernapasan. Ada juga bentuk lain berupa dispnea nokturnal paroksismal menyatakan timbulnya dispnea pada malam hari dan memerlukan posisi duduk dengan segera untuk bernapas. Membedakan dispnea nokturna paroksismal dengan ortopnea adalah aktu timbulnya gejala setelah beberapa jam dalam posisi tidur. Penyebabnya sama dengan penyebab ortopnea yaitu gagal jantung kongestif, dan waktu timbulnya yang terlambat itu karena mobilisasi cairan edema perifer dan penambahan volume intravaskular pusat. Pasien dengan gejala utama dispnea biasanya memiliki satu dari keadaan ini, yaitu penyakit kardiovaskular, emboli paru, penyakit paru interstitial atau alveolar, gangguan dinding dada dan otot-otot, penyakit obstruktif paru, atau kecemasan. Dispnea adalah gejala utama edema paru, gagal jantung kongestif, dan penyakit katup jantung. Emboli paru ditandai dengan dispnea mendadak. Dispnea merupakan gejala paling nyata pada penyakit yang menyerang percabangan trakeobronkial, parenkim paru, dan rongga pleura. Dispnea biasanya dikaitkan dengan penyakit restriktif yaitu terdapat peningkatan kerja pernapasan akibat meningkatnya resistensi elastik paru (pneumonia, atelektasis, kongesti) atau dinding dada (obesitas, kifoskoliosis) atau pada penyakit jalan napas obstruktif dengan meningkatnya resistensi nonelastik bronkial (emfisema, bronkitis, asma). Tetapi jika beban keja pernapasan meningkat secara kronik maka pasien yang bersangkutan dapat menyesuaikan diri dan tidak mengalami dispnea. Dispnea juga bisa terjadi jika otot pernapasan lemah, misalnya pada miastenia gravis, selain itu juga pada lumpuh (pada poliomielitis, sindrom Guillain-Barre), letih akibat meningkatnya kerja pernapasan, atau otot pernapasan kurang mampu melakukan kerja mekanis (contohnya, emfisema yang berat atau pada obesitas). (Wilson, 2007)
Ada berbagai penyebab nyeri dada tetapi nyeri dada yang paling khas pada penyakit paru adalah nyeri akibat radang pleura (pleuritis). Hanya lapisan parietalis pleura yang merupakan sumber nyeri karena pleura viseralis dan parenkim paru dianggap sebagai organ yang tidak peka. Umumnya pleuritis terjadi mendadak tetapi juga dapat timbul secara bertahap. Nyeri terjadi pada tempat yang mengalami peradangan dan biasanya tempat peradangan dapat diketahui dengan tepat. Nyeri itu bagaikan teriris-iris dan tajam, diperberat dengan batuk, bersin dan napas yang dalam sehingga pasien sering bernapas cepat dan dangkal serta menghindri gerakan-gerakan yang tidak diperlukan. Nyeri dapat sedikit diredakan dengan menekan daerah yang terkena peradangan tersebut. Penyebab utama nyeri pleuritik ini adalah infeksi paru atau infark meskipun keadaan seperti itu juga dapat diderita tanpa timbulnya nyeri. Pasien dengan pneumotoraks atau ateletaksis yang berat kadang-kadang dapat mengalami nyeri dada yang diduga akibat tarikan pada pleura parietalis karena adanya perlekatan dengan pleura viseralis. Nyeri pleura harus dibedakan dari penyebab nyeri dada yang lain, seperti iskemia miokardial, perikarditis, kostokondrosis, dan herpes zoster (disebabkan terkenanya nervus interkostalis). (Wilson, 2007)
Sianosis adalah berubahnya warna kulit menjadi kebiruan (terutama di bawah kuku) dan membran mukosa akibat meningkatnya jumlah Hb tereduksi (deoksigenasi) dalam kapiler (Hb teroksigenasi dalam darah arteri berwarna merah terang; darah vena dengan Hb terdeoksigenasi berwarna merah kebiruan). Sianosis dapat digunakan sebagai tanda insufisiensi pernapasan, meskipun bukan merupakan tanda yang dapat diandalkan. Ada 2 jenis sianosis, yaitu sianosis sentral dan perifer. Sianosis sentral disebabkan oleh insufisiensi oksigenasi Hb dalam paru, dan paling mudah diketahui pada wajah, bibir, cuping telinga, serta bagian bawah lidah. Sianosis biasanya tak diketahui sebelum jumlah absolut Hb terduksi mencapai 5 gram per 100 mL atau lebih pada sesorang dengan konsentrasi Hb yang normal (saturasi O2/SaO2 kurang dari 90%). Jumlah normal Hb tereduksi dalam jaringan kapiler adalah 2,5 g per 100 mL. Pada orang dengan konsentrasi Hb yang normal, sianosis akan pertama kali terdeteksi pada SaO2 kira-kira 75% dan PaO2 50 mmHg atau kurang. Penderita anemia (konsentrasi Hb rendah) mungkin tidak pernah mengalami sianosis walaupun mereka menderita hipoksia jaringan yang berat karena jumlah absolut Hb tereduksi kemungkinan tidak dapat mencapai 5g per 100 mL. Sebaliknya orang yang menderita polisitemia (konsentrasi Hb yang tinggi) dengan mudah mempunyai kadar Hb tereduksi 5 g per 100 mL walaupun hanya mengalami hipoksia yang ringan sekali. Faktor-faktor lain yang menyulitkan pengenalan sianosis adalah variasi ketebalan kulit, pigmentasi, dan kondisi penerangan. Selain sianosis yang disebabkan oleh insufisiensi pernapasan (sianosis sentral), akan terjadi sianosis perifer apabila aliran darah banyak berkurang sehingga sangat menurunkan saturasi darah vena, dan akan menyebabkan suatu daerah menjadi biru. Sianosis perifer dapat terjadi akibat insufisiensi jantung, sumbatan pada aliran darah, atau vasokonstriksi pembuluh darah akibat suhu yang dingin. Sejumlah kecil methemoglobin atau sulfhemoglobin dalam sirkulasi dapat menimbulkan sianosis, walaupun jarang terjadi. Ada banyak hal yang mengakibatkan sianosis (dan sianosis sulit dikenali) sehingga sianosis merupakan petunjuk insufisiensi paru yang tidak dapat diandalkan. (Wilson, 2007)
Istilah hipoksemia menyatakan nilai PaO2 yang rendah dan seringkali ada hubungannya dengan hipoksia atau oksigenasi jaringan yang tidak memadai. Hipoksemia tidak selalu disertai dengan hipoksia jaringan. Seseorang masih dapat mempunyai oksigenasi jaringan yang normal, tetapi menderita hipoksemia; seperti juga seseorang yang masih dapat memiliki PaO2 normal tetapi menderita hipoksia jaringan (karena gangguan pengiriman oksigen dan penggunaan oksigen oleh sel-sel). Tetapi ada hubungan antara PaO2 dengan hipoksia jaringan, meskipun terdapat nilai PaO2 yang tepat pada jaringan yang menggunakan O2. Kalau semua dianggap sama, makin cepat timbulnya hipoksemia, semakin berat pula kelainan jaringan yang diderita. Pada umumnya nilai PaO2 yang terus menerus kurang dari 50 mmHg disertai hipoksia jaringan dan asidosis (yang disebabkan oleh metabolisme anaerobik). Hipoksia dapat terjadi pada nilai PaO2 normal maupun rendah sehingga evaluasi pengukuran gas darah harus selalu dikaitkan dengan pengamatan klinik dari pasien yang bersangkutan. Sianosis merupakan satu tanda yang tidak tepat diandalkan karena SaO2 harus kurang dari 75% pada orang dengan keadaan Hb normal sebelum tanda itu dapat diketahui. (Wilson, 2007)
Seperti halnya ventilasi, yang dianggap memadai bila suplai O2 seimbang dengan kebutuhan O2, pembuangan CO2 melalui paru baru dianggap memadai bila pembuangannya seimbang dengan pembentukan CO2. CO2 mudah sekali mengalami difusi sehingga tekanan CO2 dalam udara alveolus sama dengan tekanan CO2 dalam darah arteri; sehingga PaCO2 merupakan gambaran ventilasi alveolus yang langsung dan segera yang berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Dengan demikian PaCO2 digunakan untuk menilai kecukupan ventilasi alveolar (VA) karena pembuangan CO2 dari paru seimbang dengan VA sehingga PaCO2 langsung berkaitan dengan produksi CO2 (VCO2) dan sebaliknya berkaitan dengan ventilasi alveolar: PaCO2 sebanding dengan VCO2 atau VA. Ventilasi yang memadai akan mempertahankan kadar PaCO2 sebesar 40 mmHg. Hiperkapnia adalah peningkatan PaCO2 sampai di atas 45 mmHg; sedangkan hipokapnia adalah PaCO2 kurang dari 35 mmHg. Penyebab langsung retensi CO2 adalah hipoventilasi alveolar (ventilasi kurag memadai, untuk mengimbangi pembentukan CO2). Hiperkapnia selalu disertai hipoksia dalam derajat tertentu apabila pasien bernapas dengan udara yang terdapat dalam ruangan. Penyebab utama hiperkapnia adalah penyakit obstruktif saluran napas, obat-obat yang menekan fungsi pernapasan, kelemahan atau paralisis otot pernapasan, trauma dada atau pembedahan abdominal yang mengakibatkan pernapasan menjadi dangkal, dan kehilangan jaringan paru. Tanda klinik yang dikaitkan dengan hiperkapnia adalah kekacauan mental yang berkembang menjadi koma, sakit kepala (akibat vasodilatasi serebral), asteriksis atau tremor kasar pada tangan yang regang (flapping tremor), dan volume denyut nadi yang penuh disertai dengan tangan dan kaki yang terasa panas dan berkeringat (akibat vasodilatasi perifer karena hiperkapnia). Hiperkapnia kronik akibat penyakit paru kronik dapat mengakibatkan pasien sangat toleran terhadap PaCO2 yang tinggi sehingga pernapasan terutama dikendalikan oleh hipoksia. Dalam keadaan ini bila diberi oksigen kadar tinggi, pernapasan akan dihambat sehingga hiperkapnia bertambah berat. Kehilangan CO2 dari paru yang berlebihan (hipokapnia) akan terjadi apabila terjadi hiperventilasi (ventilasi dalam keadaan kebutuhan metabolisme meningkat untuk membuang CO2). Penyebab umum hiperventilasi diantaranya ventilasi mekanis yang berlebihan, keadaan cemas, trauma serebral, keracunan aspirin, dan respons kompensasi terhadap hipoksia. Tanda dan gejala yang berhubungan dengan hipokapnia adalah sering mendesah dan menguap, pusing, palpitasi, tangan dan kaki kesemutan dan baal, serta kedutan otot. Hipokapnia hebat (PaCO2 kurang dari 25 mmHg) dapat menyebabkan kejang. (Wilson, 2007)
Tanda yang paling penting lagi adalah ronki dan wheezing/mengi. Ronki dibagi menjadi 2 macam, yaitu low pitched akibat dari produksi mukus yang berlebihan pada emfisema atau bronkitis kronik. Dan high pitched, yang menunjukkan adanya penyempitan bronkus. Suara ini dihasilkan dari saluran pernapasan yang tiba-tiba terbuka sehingga suara ini adalah gabungan antara osilasi dari dinding dan jalan napas. Suara ini jelas terdengar pada permulaan inspirasi yang merupakan tanda dari edema paru. Dapat juga merupakan tanda pneumonia bila terjadi pada akhir inspirasi dan apabila makin mengeras maka menunjukkan adanya proses fibrosis alveolitis. Ronki terjadi oleh karena pecahnya gelembung-gelembung udara pada waktu inspirasi. Ronki terjadi karena tertutupnya saluran pernapasan, misalnya karena rusaknya saluran pernapasan (bronkiektasis) atau karena abnormalitas cairan interstitial, khususnya pada edema atau fibrosis. Oleh karena efek gravitasi maka ronki lebih terdengar pada bagian paru-paru yang bebas. Pada bronkiektasis, ronki terdengar pada pertengahan inspirasi, begitu juga pada edema paru. Wheezing adalah suara musik yang disebabkan oleh karena terjadinya osilasi udara karena menyempitnya jalan napas. Bunyi ini terutama terdapat pada asma dan bronkitis kronik. Pada asma yang berat wheezing dapat terdengar jelas dan lebih baik pada keadaan mulut yang terbuka daripada di paru-paru. Wheezing yang terdapat lokal biasanya disebabkan oleh tumor atau benda asing, wheezing ini disebut juga dengan monofonik wheezing, sedangkan wheezing yang terjadi pada asma disebut dengan polifonik wheezing. Penyempitan pada saluran napas atas dapat menyebabkan wheezing, baik pada inspirasi maupun pada ekspirasi yang sering terdengar dalam bentuk stridor. (Mukty, et. al.)
3. DISKUSI DAN BAHASAN
Dalam diskusi, kelompok kami membahas mengenai asma dan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) sebagai diagnosis utama untuk pasien dalam skenario. Diagnosis utama ditujukan untuk PPOK dengan bronkitis predominan dan pneumotoraks. Sedangkan, diagnosis bandingnya adalah karsinoma paru. Pada bagian ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai PPOK, pneumotoraks (salah satu penyakit restriktif paru), dan karsinoma paru.
PPOK merupakan salah satu pola obstruktif penyakit paru yang mencakup gangguan konduksi jalan napas atau asinus yang ditandai dengan menurunnya kemampuan menghembuskan udara. Istilah PPOK menunjukkan dua gangguan yang secara umum terjadi bersamaan, adalah bronkitis kronik dan emfisema. Bronkitis kronik didiagnosis berdasarkan gejala klinis: batuk kronik dengan pengeluaran sputum minimum 3 bulan setiap tahunnya, sekurang-kurangnya selama 2 tahun. Emfisema sendiri adalah diagnosis yang didasarkan pada keadaan anatomi patologik: dilatasi dan destruksi rongga udara sebelah distal bronkiolus terminalis, duktus alveolaris, dan dinding alveolar. Perubahan patologis utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi kelenjar penyekresi mukosa dan sel goblet dalam trakea dan bronkus yang diperlihatkan sebagai peningkatan volume mukus. Perubahan patologis pada bronkitis kronik akibat merokok biasanya dimulai dari bronkiolus yang paling kecil, jauh sebelum penemuan lanjutan yang berkaitan dengan bronkitis kronik dan emfisema. Sumbatan mukus edema mukosa dan spasme otot menyebabkan penyempitan saluran napas dan obstruksi pada bronkitis kronik. Emfisema yang menyeluruh adalah dilatasi permanen berbagai bagian asinus pernapasan dengan destruksi jaringan tanpa jaringan parut. Emfisema menyebabkan hilangnya rekoil elastik jaringan paru dan menurunkan kekuatan ekspirasi. Dua pola emfisema generalisata adalah sentrilobular dan panlobular.
Emfisema sentrilobular (CLE) menyerang bagian sentral lobulus, menyebabkan kerusakan dinding dan pembesaran bronkiolus respiratorius. CLE adalah bentuk emfisema yang paling sering dan penyebarannya tidak merata ke seluruh paru, lebih berat menyerang bagian atas paru dan berkaitan dengan merokok, bronkitis kronik, dan peradangan pada saluran napas distal. Patogenesis CLE tampaknya berkaitan dengan sekresi protease ekstraseluler oleh sel-sel radang lokal. Merokok sigaret juga dapat menghambat efek alfa1-antitripsin inhibitor protease sehingga menyebabkan kerusakan. Emfisema panlobular (PLE) melibatkan seluruh lobulus respiratorius: bronkiolus respiratorius, duktus dan sakus alveolaris, serta alveoli. PLE seringkali berkaitan dengan merokok dan cenderung menyebar ke seluruh paru dan lebih menyerang ke bagian dasar paru. Patogenesis PLE seperti juga CLE berhubungan dengan aktivitas protease ekstraseluler yang berlebihan. Seseorang dengan defisiensi alfa1-antitripsin herediter yang berat, khususnya homozigot ZZ, PLE akan muncul pada usia muda. Pasien dengan PPOK digolongkan dalam 2 kelompok berdasarkan gejala klinisnya: emfisema predominan (pink puffer) dan bronkitis predominan (blue bloaters).
Gambaran klinis PPOK pada emfisema predominan mencakup kecenderungan diafragma menjadi tipis, datar, dan berbentuk tong karena udara terperangkap, terdapat riwayat dispnea, batuk dan produksi sputum yang minimal; istilah “pink puffer” digunakan karena, pada awal penyakit, pasien mampu mempertahankan gas darah dan warna yang cukup normal dengan hiperventilasi. Hanya pada tahap akhir pasien mengalami hipoksemia, hiperkapnia, dan kor pulmonale. Gambaran klinis PPOK pada bronkitis predominan mencakup kecenderungan pasien menjadi gemik, namun diameter anteroposterior dada normal atau hanya sedikit meningkat , terdapat riwayat merokok sigaret yang lama, infeksi pernapasan bagian atas yang sering, batuk dan produksi sputum, khususnya selama musim dingin; hipoksemia, hiperkapnia, dan polisitemia kompensatoris berkembang pada awal penyakit, memberi gambaran sianotik sehingga disebut blue bloater. Pasien juga mengalami hipertensi paru dan kor pulmonale lebih awal pada proses penyakit daripada pasien dengan PPOK emfisematosa predominan. Umumnya terdapat ketidakseimbangan V/Q yang bermakna.
Pengobatan PPOK mencakup berhenti merokok, antibiotik untuk infeksi pernapasan bagian atas, vaksin influenza dan pneumokokal profilaktik, obat-obat bronkodilator untuk bronkospasme, hidrasi, fisioterapi dada, latihan bernapas, aliran rendah O2 yang terus menerus, dan progrm olahraga. Terapi peningkatan alfa1-antitripsin serta terapi reduksi volume paru untuk pasien dengan defisiensi herediter masih bersifat eksperimental.
Pneumotoraks adalah adanya udara dalam rongga pleura akibat robeknya pleura. Pneumotoraks dapat diklasifikasikan sesuai dengan penyebabnya, yaitu traumatik dan spontan; pneumortoraks juga dapat diklasifikasikan sesuai dengan urutan peristiwa yang merupakan kelanjutan dari adanya robekan pleura, yaitu terbuka, tertutup, atau pneumotoraks tekanan. Pneumotoraks spontan dapat dibagi menjadi primer atau idiopatik dan sekunder. Pada pneumotoraks primer atau spontan dapat terjadi pada individu yang sehat, biasanya akibat ruptur bula subpleura kongenital. Sedangkan pneumotoraks sekunder dapat terjadi pada misalnya pada ruptur bula emfisematosa atau akibat komplikasi pneumonia atau suatu keganasan. Pneumotoraks juga bisa diklasifikasikan menjadi pneumotoraks traumatik, pneumotoraks terbuka, dan pneumotoraks tegangan. Pneumotoraks traumatik dapat merupakan akibat cedera pada dada (misalnya karena luka akibat pisau atau juga mungkin karena fraktur iga), akibat faktor-faktor iatrogenik (seperti pada komplikasi ventilasi tekana positif, kanula subklavia, atau biopsi paru). Pneumotoraks terbuka (sucking chest wound) terjadi bila terdapat hubungan antara atmosfer dengan rongga pleura melalui dinding dada atau robekan pada pleura dan bronkus atau alveoli dengan hubungan tersebut. Saat inspirasi, udara dihirup ke dalam rongga pleura, menyebabkan menyebabkan paru pada bagian yang terkena menjadi kolaps dan menekan isi mediastinum ke bagian yang tidak terkena; saat ekspirasi, udara keluar melalui dinding dada dan isi mediastinum akan kembali ke tempatnya. Pengobatan dengan menempatkan penutup kedap udara di sekitar luka dan observasi pneumotoraks tegangan dan membuang penutup jika terjadi keadaan ini. Hubungan yang terjadi bila penutup dibuka disebut pneumotoraks tertutup (hubungan antara rongga pleura dan atmosfir dapat menutup sendiri). Pneumotoraks tegangan terjadi bila mekanisme katup membiarkan udara masuk ke rongga pleura tetapi mencegah udara tersebut untuk keluar (hubungan antara rongga pleura dan atmosfer terbuka saat inspirasi dan akan tertutup saat ekspirasi). Keadaan ini dapat terjadi pada ruptur pleura viseral, ruptur bronkus akibat fraktur iga, atau selama ventilasi mekanik dengan tekanan ekspiratorius akhir positif. Pneumotoraks tegangan adalah suatu kegawatdaruratan medis yang membutuhkan aspirasi udara dengan jarum secepatnya untuk mencegah kolaps paru yang komplit dan kematian. Secara umum tanda dan gejala adalah dispnea (jika luas), nyeri pleuritik hebat, trakea bergeser menjauhi sisi yang mengalami pneumotoraks, takikardia, sianosis (jika luas), pergerakan dada terhambat atau kurang pada bagian yang kena, perkusi hipersonor di atas pneumotoraks, perkusi meredup di atas paru yang kolaps, suara naps berkurang atau tidak ada pada sisi yang terkena, dan fremitus vokal dan raba berkurang.
Kanker paru, dalam hal ini akan dibahas karsinoma bronkogenik, serupa dengan kanker di tempat lain, muncul melalui beberapa akumulasi bertahap terhadap kelaina genetik yang menyebabkan transformasi epitel bronkus jinak menjadi jaringan neoplastik. Rangkaina perubahan molekular ini tidak bersifat acak, tetapi mengikuti suatu sekuensi yang sejajar dengan perkembangan histologik menjadi kanker. Sebagai contoh, inaktivasi gen penekan tumor yang terletak di kromosom 3p merupakan kejadian paling awal, sedangkan mutasi TP53 atau pengaktifan onkogen K-RAS terjadi relatif belakangan. Yang lebih penting tampaknya perubahan genetik tertentu seperti hilangnya bahan kromosom 3, dapat ditemukan, bahkan pada epitel bronkus jinak pasien kanker paru, serta di epitel pernapasan perokok yang tidak mengidap kanker paru, yang mengisyaratkan bahwa pajanan ke karsinogen menyababkan mukosa pernapasan secara luas mengalami mutagenisasi (field effect atau efek lapangan). Pada bagian ini, sel yang mengakumulasi mutasi lain akhirnya akan berkembang menjadi kanker. Dalam kaitannya dengan pengaruh karsinogenik, terdapat bukti kuat bahwa merokok dan, dengan derajat yang lebih rendah, gangguan lain dari lingkungan (misalnya pajanan debu, polusi, dan lainnya) merupakan tersangka utama penyebab perubahan genetik yang menyebabkan kanker paru.
Karsinoma bronkogenik adalah lesi yang berkembang perlahan, asimtomatik dan umumnya telah menyebar hingga tidak lagi dapat direseksi sebelum menimbulkan gejala. Pada beberapa kasus, lesi yang masih bersifat lokal dan dapat direseksi menyebabkan batuk kronis dan pengeluaran dahak. Jika sudah timbul suara yang serak, nyeri dada, sindrom vena kava superior, efusi perikardium atau pleura, atau prognosisnya suram. Tumor atau kanker ini bisa menyebabkan gejala oleh karena metastasis ke otak (perubahan mental atau gejala neurologik), hati (hepatosplenomegali), atau tulang (nyeri).
Pajanan rokok dan asbes juga akan berakibat pada mesotelioma maligna, yaitu merupakan kanker sel mesotelium yang jarang ditemukan, biasanya timbul di pleura parietalis atau pleura viseralis, walaupun jarang, juga bisa timbul di peritoneum dan perikardium. Asbestos tidak akan dikeluarkan atau dimetabolisme dari paru sehingga serat ini menetap di tubuh seumur hidup. Serat asbestos ini akan terkumpul di dekat sel mesotel; serat ini menghasilkan spesies oksigen reaktif yang menyebabkan kerusakan DNA dan mutasi yang bersifat onkogenik. Mutasi somatik pada 2 gen penekan tumor, yaitu p16/CDKN2A di kromosom 9p21 dan gen neurofibromatosis 2 (NF2) di kromosom 22q12, dapat ditemukan di mesotelioma maligna. Penelitian terakhir memperlihatkan adanya sekuensi DNA virus SV40 (Simian Virus 40) pada 60% hingga 80% mesotelioma maligna pleura dan mesotelioma peritoneum (lebih jarang terjadi).
Merokok sigaret merupakan temuan yang paling penting dan paling umum berhubungan dengan bronkitis kronik selama kehidupan dan luasnya emfisema pada pemeriksaan setelah kematian. Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa merokok sigaret yang lama akan mengganggu pergerakan silia, menghambat fungsi makrofag alveolar dan akhirnya menyebabkan hipertrofi dan hipersekresi kelenjar pengsekresi mukus. Di samping efek kronik ini, kemungkinan merokok juga akan menghambat antiprotease dan menyebabkan leukosit polimorfonuklear melepaskan enzim proteolitik secara tiba-tiba. Menghirup asap rokok dapat menyebabkan peningkatan resistensi jalan napas secara tiba-tiba akibat konstriksi otot polos melalui saraf vagus, diduga melalui perangsangan reseptor iritan mukosa. Dan hubungan antara berulangnya konstriksi bronkial akut dengan perkembangan obstruksi jalan napas masih belum jelas. Selain merokok, bronkitis kronik juga bisa ditemukan pada seseorang yang sering terpajan dengan debu organik maupun anorganik. Debu anorganik yang dimaksud dalam hal ini adalah pajanan asbes. Asbes (atau asbestos) merupakan istilah untuk berbagai senyawa silikat mineral, termasuk kristolit, amosit, antofilit, dan krokidolit. Asbes bisa menimbulkan berbagai penyakit yang berhubungan dengan paru-paru, selain bronkitis kronik, ada juga fibrosis paru (asbestosis), kanker saluran pernapasan dan pleura dan kadang-kadang peritoneum.
Menurut pembahasan kelompok kami, pasien dalam skenario mengalami PPOK terlebih dahulu dengan bronkitis predominan kemudian emfsema yang dideritanya menyebabkan suatu komplikasi berupa penyakit restrikitif paru: pneumotoraks pada paru kanan. Untuk pemeriksaan leukosit, apabila memang terjadi infeksi pada paru, utamnya paru kanan yang berupa pneumonia, diharapkan jumlah leukosit meningkat.
4. KESIMPULAN
¨ Hal yang aneh yang terjadi pada seorang laki-laki, 70 tahun, adalah sesak napas berat 2 hari ini disertai nyeri dada kanan, dalam 3 hari ini batuk makin sering dengan dahak yang lebih pekat, berwarna kuning kehijauan, kedua tungkai bengkak 1 bulan ini, dan dalam 2 tahun ini rasa batuk dan sesak dirasa lebih berat dan dirasakan adanya mengi.
¨ Keadaan umum, penderita tampak begitu gelisah dan sianotik. Hasil pemeriksaan fisik, didapatkan hasil inspeksi statis: dada kanan menonjol daripada kiri dan saat bernapas dada kanan teringgal. Pemeriksaan fisik perkusi: hipersonor pada paru kanan. Pemeriksaan fisik auskultasi: suara napas lemah pada paru kanan, pada paru kiri didapatkan ronki dan wheezing.
¨ Tanda dan gejala umum pneumotoraks, antara lain: dispnea (jika luas), nyeri pleuritik hebat, trakea bergeser menjauhi sisi yang mengalami pneumotoraks, takikardia, sianosis (jika luas), pergerakan dada terhambat atau kurang pada bagian yang kena, perkusi hipersonor di atas pneumotoraks, perkusi meredup di atas paru yang kolaps, suara naps berkurang atau tidak ada pada sisi yang terkena, dan fremitus vokal dan raba berkurang.
¨ Terapi paling umum untuk pneumotoraks adalah pembedahan dan dengan menempatkan penutup kedap udara di sekitar luka dan observasi pneumotoraks tegangan dan membuang penutup jika terjadi keadaan ini.
¨ Tanda dan gejala umum PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), antara lain: pada emfisema predominan mencakup kecenderungan diafragma menjadi tipis, datar, dan berbentuk tong karena udara terperangkap, terdapat riwayat dispnea, batuk dan produksi sputum yang minimal; istilah “pink puffer” digunakan karena, pada awal penyakit, pasien mampu mempertahankan gas darah dan warna yang cukup normal dengan hiperventilasi. Hanya pada tahap akhir pasien mengalami hipoksemia, hiperkapnia, dan kor pulmonale. Pada bronkitis predominan mencakup kecenderungan pasien menjadi gemik, namun diameter anteroposterior dada normal atau hanya sedikit meningkat , terdapat riwayat merokok sigaret yang lama, infeksi pernapasan bagian atas yang sering, batuk dan produksi sputum, khususnya selama musim dingin; hipoksemia, hiperkapnia, dan polisitemia kompensatoris berkembang pada awal penyakit, memberi gambaran sianotik sehingga disebut blue bloater. Pasien juga mengalami hipertensi paru dan kor pulmonale lebih awal pada proses penyakit daripada pasien dengan PPOK emfisematosa predominan.
¨ Terapi PPOK mencakup berhenti merokok, antibiotik untuk infeksi pernapasan bagian atas, vaksin influenza dan pneumokokal profilaktik, obat-obat bronkodilator untuk bronkospasme, hidrasi, fisioterapi dada, latihan bernapas, aliran rendah O2 yang terus menerus, dan progrm olahraga. Terapi peningkatan alfa1-antitripsin serta terapi reduksi volume paru untuk pasien dengan defisiensi herediter masih bersifat eksperimental.
5. DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ingram Jr., R. H. 2007. Bronkitis Kronik, Emfisema dan Obstruksi Jalan Napas. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1347-56.
Maitra, A., V. Kumar. 2007. Paru dan Saluran Napas Atas. Dalam: Kumar, V., R. S. Cortran, dan S. L. Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 509-70.
Mukty, A.,et.al. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press.
Speizer, F. E. 2007. Penyakit Paru karena Lingkungan. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1322-30.
Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.
Wilson, L. M. 2007. Pola Pernapasan Restriktif. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 796-814.
Wilson, L. M. 2007. Pola Obstruktif pada Penyakit Pernapasan. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 783-93.
Wilson, L. M. 2007. Tanda dan Gejala Penting pada Penyakit Pernapasan. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 773-81.
A. Latar Belakang Masalah
Sistem pernapasan meliputi paru, sistem saraf pusat (SSP), dinding dada (dengan diafragma dan otot interkostalis) dan sirkulasi paru. Sistem saraf pusat mengendalikan kerja otot dinding dada, yang bekerja sebagai pompa sistem pernapasan. Karena komponen sistem pernapasan bekerja sama untuk mencapai pertukaran gas, malfungsi tiap-tiap komponen atau perubahan hubungan antara komponen dapat menyebabkan gangguan fungsi. Tiga aspek utama gangguan fungsi pernapasan yaitu gangguan fungsi ventilasi, gangguan sirkulasi pulmonal, dan gangguan pertukaran gas. Untuk pembahasan kali ini akan lebih dibahas mengenai gangguan fungsi ventilasi.
Seperti yang telah dibahas pada skenario sebelumnya, ventilasi merupakan proses yang digunakan oleh paru untuk pertukaran gas di dalam alveoli. Pengukuran fungsi ventilasi untuk keperluan diagnostik terdiri atas pengukuran kuantitas volume udara di dalam paru di bawah kondisi tertentu dan kecepatan pengeluaran udara di dalam paru Dua cara pengukuran volume paru yang lazim digunakan untuk untuk menegakkan diagnosis penyakit pernapasan adalah pengukuran total lung capacity (kapasitas total paru) atau TLC dan residual volume (volume residual) atau RV. Kapasitas total paru (TLC) adalah volume udara yang ada di dalam paru setelah inspirasi maksimal, sedangkan residual volume (RV) adalah volume udara yang tersisa di dalam paru pada akhir ekspirasi maksimal. Volume udara yang dihembuskan keluar dari paru dalam perubahan dari TLC menjadi RV disebut vital capacity (kapasitas vital) atau VC.
Pengukuran aliran udara pernapasan secara klinis yang lazim dilakukan adalah melalui perasat, yaitu pasien melakukan inspirasi hingga mencapai kapasitas total paru dan kemudian menghembuskan udara dengan kuat himgga mencapai volume residual (RV). Tiga pengukuran secara umum dihasilkan dari perekaman volume-waktu, yaitu spirogram yang didapat selama melakukan perasat ekspirasi paksa (forced expiration): (1) volume udara yang dihembuskan keluar selama satu detik pertama ekspirasi (volume ekspirasi paksa dalam satu detik) atau FEV1 (forced expiratory volume in 1 second), (2) total volume yang dihembuskan keluar dengan paksa (FVC, forced vital capacity, kapasitas vital paksa) dan (3) kecepatan aliran udara ekspirasi rata-rata selama kapasitas vital 50 persen (forced expiratory flow antara kapasitas vital 25% dan 75% atau FEF25-75% juga disebut maximal midexpiratory flow rate atau MMFR).
Dari skenario 2 Blok Respirasi, ada beberapa masalah penting, yaitu :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Seorang laki-laki, 70 tahun, perokok datang ke IGD dengan keluhan utama: sesak napas berat 2 hari ini disertai nyeri dada kanan.
- Dalam 3 hari ini batuk makin sering dengan dahak yang lebih pekat, berwarna kuning kehijauan.
- Kedua tungkai bengkak 1 bulan ini.
- Dalam 2 tahun ini rasa batuk dan sesak dirasa lebih berat dan dirasakan adanya mengi.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- Riwayat batuk dan sesak napas sejak 10 tahun yang lalu.
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Penderita pernah menggunakan inhaler sebagai pelega, pernah disarankan berhenti merokok, pernah bekerja di pabrik asbes selama 7 tahun.
- Keadaan umum penderita tampak gelisah dan sianotik.
- Pemeriksaan fisik inspeksi statis: dada kanan menonjol daripada kiri dan saat bernapas dada kanan teringgal. Pemeriksaan fisik perkusi: hipersonor pada paru kanan. Pemeriksaan fisik auskultasi: suara napas lemah pada paru kanan, pada paru kiri didapatkan ronki dan wheezing.
- Pemeriksaan jumlah leukosit belum ada hasil.
- Tidak dilakukan pemeriksaan analisis gas darah.
- Pemeriksaan spirometri belum dapat dilakukan.
- Pemeriksaan foto toraks: paru kanan mengalami kolaps disertai gambaran hiperlusen dan pleural line, sedangkan pada paru kiri emfisematous.
- Pemeriksaan kultur mikroorganisme dan sitologi sputum belum ada hasil.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas, antara lain :
a. Uji fungsi ventilasi: volume paru statis
b.Analisis gas darah
c. Tanda dan gejala umum penyakit pada sistem respirasi
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Mengetahui gejala-gejalanya lebih lanjut dan penatalaksanaannya.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem kerja pernapasan (sistem respirasi) dan penyelesaiaannya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dan melingkupi sistem respirasi meliputi anatomi, histologi dan fisiologi.
b. Menjelaskan proses respirasi secara fisiologis.
c. Menjelaskan tentang proses ventilasi dan transportasi yang terjadi di dalam paru-paru
d. Menjelaskan tentang proses sirkulasi pulmoner dan perubahan/pertukaran gas dalam paru-paru.
e. Menjelaskan perkembangan saluran pernapasan, pertahanan saluran pernapasan dan kontrol feed back dalam sistem pernapasan.
f. Menjelaskan mekanisme batuk dan gejala umum gangguan pernapasan yang lainnya.
g. Menjelaskan mekanisme terjadinya kelainan pada sel/organ pada penyakit-penyakit sistem respirasi meliputi patogenesis, patologi, dan patofisiologinya.
h. Menjelaskan jenis-jenis kelainan pada sistem respirasi meliputi kausa, patogenesis, patologi, patofisiologi, gejala, komplikasi, prognosis, dan dasar terapi pada kelainan karena kondisi obstruksi, kondisi restriktif, insufisiensi pernapasan, penyakit kardiovaskular dan paru, infeksi, penyakit lingkungan, dan neoplasma.
i. Melakukan pemeriksaan yang menunjang diagnosis penyakit paru.
j. Menjelaskan komplikasi yang ditimbulkan pada penyakit-penyakit di sistem respirasi.
k. Menjelaskan manajemen/penatalaksanaan penyakit pada sistem respirasi meliputi dasar-dasar terapi: medikamentosa, konservatif, diet, operatif, rehabilitasi, dll.
l. Menjelaskan symptom dan sign penyakit-penyakit pada sistem respirasi.
m. Menjelaskan penegakan diagnosis penyakit pada sistem respirasi.
n. Menyusun data dari gejala, pemeriksaan fisik, prosedur klinik, dan pemeriksaan laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis sementara dan diagnosis banding pada penyakit sistem respirasi.
o. Menentukan prosedur klinik penunjang diagnosis penyakit sistem respirasi.
2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Uji Fungsi Ventilasi: Volume Paru Statis
Volume dan kapasitas paru merupakan pengukuran anatomis yang dipengaruhi oleh latihan fisik dan penyakit. Terdapat empat volume paru dan empat kapasitas paru. Kapasitas paru selalu terdiri dari dua vuolume paru atau lebih. Volume dan kapasitas paru ini dapat langsung diukur menggunakan spirometer. Spirometer adalah suatu alat yang sederhana yang dilengkapi pompa atau bel yang akan bergeser pada waktu paien bernapas ke dalamnya melalui sebuah katup dan tabung penghubung. Pada waktu menggunakan spirometer, grafik akan terekam pada sebuah drum yang dapat berputar dengan sebuah pena pencatat. Spirometri langsung dengan memakai komputer pada waktu pasien berada di tempat tidur sering dilakukan. Pengukuran volume paru statis dalam praktik digunakan untuk mencerminkan elastisitas paru dan toraks. Pengukuran yang paling berguna adalah VC, TLC, FRC, dan RV. Penyakit yang membatasi pengembangan paru (penyakit paru restriktif) akan mengurangi volume-volume ini. Sebaliknya, penyakit-penyakit yang menyumbat saluran napas (penyakit paru obstruktif) hampir selalu dapat meningkatkan FRC dan RV akibat hiperinflasi paru. TLC dapat normal atau meningkat, dan VC seringkali menurun. Pada penyakit paru dengan RV yang meningkat karena udara terperangkap, VC harus menurun dalam jumlah besar, karena TLC relatif stabil (kecuali bila sebagian paru telah diangkat pada saat pembedahan) dan karena TLC = RV + VC. (Wilson, 2007)
Kapasitas dan volume paru, secara ringkas dijelaskan sebagai berikut. Volume tidal (VT) adalah jumlah udara yang diinspirasi atau diekspirasi pada setiap kali bernapas (nilai ini adalah untuk keadaan istirahat), bernilai rata-rata 500 mL untuk laki-laki dewasa. Volume cadangan inspirasi (IRV) adalah jumlah udara yang dapat diinspirasi secra paksa sesudah inhalasi volume tidal normal, bernilai rata-rata 3100 mL untuk laki-laki dewasa. Volume cadangan ekspirasi (ERV) adalah jumlah udara yang dapat diekspirasi secara paksa sesudah ekspirasi volume tidal yang normal, bernilai rata-rata 1200 mL untuk laki-laki dewasa. Volume residu (RV) adalah jumlah udara yang tertinggal dalam paru sesudah ekspirasi paksa, bernilai rata-rata 1200 mL. Kapasitas paru total (TLC) adalah jumlah udara maksimal yang dapat dimasukkan ke dalam paru sesudah inspirasi maksimal: TLC = VT + IRV + ERV + RV; TLC = VC + RV, bernilai rata-rata 6000 mL untuk laki-laki dewasa. Kapasitas vital (VC) adalah jumlah udara maksimal yang dapat diekspirasi sesudah inspirasi maksimal : VC = VT + IRV + ERV (seharusnya 80% dari TLC), bernilai rata-rata 4800 mL pada laki-laki dewasa. Kapasitas inspirasi (IC) adalah jumlah udara maksimal yang dapat diinspirasi sesudah ekspirasi normal: IC = VT + IRV, bernilai rata-rata 3600 mL pada laki-laki dewasa. Kapasitas residu fungsional (FRC) adalah volume udara yang tertinggal dalam paru sesudah ekspirasi volume tidal normal: FRC = ERV + RV, bernilai rata-rata 2400 mL pada laki-laki dewasa. Untuk kapasitas dan volume paru normal pada wanita dewasa, nilai normalnya sekitar lebih kecil 25% dari nilai kapasitas dan volume pada laki-laki dewasa.(Wilson, 2007)
B. Analisis Gas Darah
Untuk menilai fungsi pernapasan secara adekuat perlu juga mempelajari hal-hal di luar paru seperti volume dan distribusi gas yang diangkut oleh sistem sirkulasi. Dalam hal ini ada teknik tertentu yang dipakai untuk mengumpulkan darah yang diperlukan untuk mengukur gas-gas darah. Biasanya yang digunakan adalah sampel darah arteri. Arteri radialis (atau brakialis) sering dipilih karena arteri ini mudah dicapai. Volume yang diambil sekitar 5 mL darah, kemudian udaranya dikeluarkan, darah disimpan di atas es dan langsung dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. PaCO2 merupakan petunjuk ventilasi alveolar (VA) yang terbaik. Bila PaCO2 meningkat, penyebab langsung selalu hipoventilasi alveolar. Hipoventilasi menyebabkan asidosis respiratorik dan penurunan pH darah. Hipoventilasi alveolar dapat terjadi bila VT menurun (efek ruang mati), seperti pada pernapasan yang cepat dan dangkal. Hipoventilasi dapat pula terjadi jika frekuensi pernapasan menurun seperti pada kelebihan dosis narkotik ataupun barbiturat. PaCO2 dapat pula meningkat untuk mengkompensasi alkalosis metabolik. Akibatnya dalam interpretasi nilai PaCO2 secara tepat, perlu dipertimbangkan pula pH darah dan kadar bikarbonat guna menentukan apakah suatu perubahan timbul akibat kondisi pernapasan primer atau justru sebagai tindakan kompensasi dari suatu kondisi metabolik. (Wilson, 2007)
Penyebab langsung penurunan PaCO2 adalah selalu hiperventilasi alveolar. Hiperventilasi menyebabkan alkalosis respiratorik dan kenaikan pH darah. Hiperventilasi sering timbul pada asma dan pneumonia dan menggambarkan usaha tubuh untuk meningkatkan PaO2 dengan usaha membuang CO2 yang berlebihan dari paru. Cedera atau tumor otak, keracunan aspirin, dan ketegangan dapat juga menyebabkan hiperventilasi atau dapat juga merupakan proses kompensasi untuk mengatasi asidosis metabolik. Sering juga terdapat keadaan di mana terdapat perubahan bikarbonat yang menggambarkan usaha ginjal untuk mengompensasi keadaan asidosis atau alkalosis respiratorik, sedangkan adanya perubahan PaCO2 pada gangguan metabolik menggambarkan peran paru dalam usaha kompensasi. Tujuan kompensasi ini adalah untuk mengembalikan pH darah ke nilai normalnya. (Wilson, 2007)
Bila nilai PO turun sampai di bawah nilai normal, terjadi hipoksemia. PaO2 menurun sedikit sesuai dengan usia; sehingga PaO2 70 mmHg masih normal untuk yang berusia di atas 60 tahun. Pada gagal pernapasan berat, PaO2 makin menurun sampai 30-40 mmHg. Hipoksemia akibat penyakit paru disebabkan oleh salah satu atau lebih dari mekanisme di berikut ini: (1) ketidakseimbangan antara proses ventilasi dan perfusi (penyebab tersering), (2) hipoventilasi alveolar, (3) gangguan difusi, atau (4) pirau anatomik intrapulmonar. Hipoksemia akibat tiga kelainan yang pertama dapat diperbaiki dengan pemberian O2. Tetapi pirau anatomik intrapulmonar (pirau arteriovenosa) tidak dapat diatasi dengan terapi O2. Perubahan gas darah arteri merupakan hal yang kritis dalam diagnosis kegagalan pernapasan atau ventilasi yang mungkin atau ventilasi yang mungkin timbul secara perlahan-lahan. Apabila kadar PaO2 turun di bawah niali normal, terjadi insufiensi pernapasan, dan terjadi kegagalan pernapasan bila PaO2 turun sampai 50 mmHg. PaCO2 dapat meningkat turun sampai di bawah nilai normal pada insufisiensi atau kegagalan pernapasan. (Wilson, 2007)
C. Tanda dan Gejala Umum Penyakit pada Sistem Respirasi
Tanda dan gejala yang paling umum yang terdapat pada penyakit-penyakit dalam sistem respirasi adalah batuk, pengeluaran sputum, hemoptisis, dispnea, dan nyeri dada. Walaupun masih ada banyak tanda khas lainnya pada penyakit sistem respirasi tetapi tanda-tanda tersebut merupakan tanda-tanda yang paling khas. Berikut akan sedikit dibicarakan mengenai tanda-tanda tersebut.
Batuk merupakan refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi percabangan trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme yang penting untuk membersihkan saluran napas bagian bawah, dan banyak orang dewasa normal yang batuk beberapa kali setelah bangun tidur pada pagi hari untuk membersihkan trakea dan faring dari sekret yang terkumpul selama tidur. Batuk juga merupakan gejala tersering penyakit pernapasan. Segala jenis batuk yang berlangsung lebih dari tiga minggu harus diselidiki untuk memastikan penyebabnya. Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk adalah rangsangan mekanik, kimia, dan peradangan. Inhalasi asap, debu, dan benda-benda asing kecil merupakan penyebab batuk yang paling sering. Prokok seringkali menderita batuk kronik karena terus menerus mengisap benda asing (asap), dan saluran napasnya sering mengalami peradangan kronik. Rangsangan mekanik dari tumor (ekstrinsik maupun intrinsik) terhadap saluran napas merupakan penyebab lain yang dapat menimbulkan batuk (tumor yang paling sering menimbulkan batuk adalah karsinoma bronkogenik). Setiap proses peradangan saluran napas dengan atau tanpa eksudat dapat mengakibatkan batuk. Bronkitis kronik, asma, tuberkulosis, dan pneumonia merupakan penyakit yang secara tipikal memiliki batuk sebagai gejala yang mencolok. Batuk dapat bersifat produktif, pendek, dan tidak produktif, keras dan parau (seperti ada tekanan pada trakea), sering, jarang, atau paroksismal (serangan batuk yang intermiten). (Wilson, 2007)
Orang dewasa normal menghasilkan mukus sekitar 100 mL dalam saluran napas setiap hari. Mukus ini diangkut menuju faring dengan gerakan pembersihan normal silia yang melapisi saluran pernapasan. Kalau terbentuk mukus yang berlebihan, proses normal pembersihan mungkin tidak efektif lagi sehingga akhirnya mukus tertimbun. Bila hal ini terjadi, membran mukosa akan terangsang dan mukus dibatukkan keluar sebagai sputum. Pembentukan mukus yang berlebihan mungkin disebabkan oleh gangguan fisik, kimiawi, atau infeksi pada membran mukosa. Kapan saja seorang pasien membentuk sputum, perlu dievaluasi sumber, warna, volume, dan konsistensinya. Sputum yang dihasilkan sewaktu membersihkan tenggorokan kemungkinan besar berasal dari sinus atau saluran hidung, dan bukan dari saluran napas bagian bawah. Sputum yang banyak sekali dan purulen menyatakan adanya proses supuratif, seperti abses paru, sedangkan pembentukan sputum yang terus meningkat perlahan dalam waktu bertahun-tahun merupakan tanda bronkitis kronik atau bronkiektasis. Warna sputum juga penting. Sputum yang berwarna kekuning-kuningan menunjukkan infeksi. Sputum yang berwarna hijau merupakan petunjuk adanya penimbunan nanah. Warna hijau timbul karena adanya verdoperoksidase yang dihasilkan oleh leukosit polimorfonuklear (PMN) dalam sputum. Sputum yang berwarna hijau sering ditemukan pada bronkiektasis karena penimbunan sputum dalam bronkiolus yang melebar dan terinfeksi. Banyak penderita infeksi pada saluran napas bagian bawah mengeluarkan sputum berwarna hijau pada pagi hari tetapi semakin siang semakin menjadi kuning. Fenomena ini mungkin disebabkan karena penimbunan sputum yang purulen di malam hari, disertai pengeluaran verdoperoksidase. Sifat dan konsistensi sputum juga dapat memberikan informasi yang berguna. Sputum yang berwarna merah muda dan berbusa merupakan tanda edema paru akut. Sputum yang berlendir, pekat dan berwana abu-abu atau putih merupakan tanda bronkitis kronik. Sedangkan sputum yang berbau busuk merupakan anda abses paru akut atau bronkiektasis. (Wilson, 2007)
Sputum dapat bercampur dengan darah atau dapat juga seluruh cairan yang dikeluarkan dari paru berupa darah. Hemoptisis adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk darah atau sputum yang berdarah. Setiap proses yang mengganggu kesinambungan pembuluh darah paru dapat mengakibatkan perdarahan. Batuk darah merupakan suatu gejala yang serius dan dapat merupakan manifestasi pertama dari tuberkulosis aktif. Penyebab hemoptisis lain yang sering adalah karsinoma bronkogenik, infark paru, bronkiektasis, dan abses paru. Sputum yang mengandung darah (sehingga berwarna seperti karat) merupakan ciri khas yang dapat ditemukan pada pneumonia pneumokokus. Sputum yang terlihat seperti jelly buah kismis (merah bata) terdapat pada pneumonia Klebsiella. Jika darah atau sputum yang mengandung darah dibatukkan, perlu ditentukan apakah memang sumbernya berasal dari saluran napas bagian bawah dan bukan dari saluran hidung atau saluran cerna. Darah yang berasal dari saluran cerna (hematemesis) biasanya berwarna gelap (seperti warna kopi) dan disertai mual, muntah, dan anemia. Darah yang berasal dari saluran napas bawah (di bawah glotis) biasanya berwarna merah cerah, berbusa, dan terdapat riwayat batuk dengan atau tanpa anemia. Darah yang berasal dari saluran napas atas (misalnya, darah dari hidung setelah tonsilektomi) bila sering ditelan, dapat terlihat seperti darah dari bagian pencernaan ketika dimuntahkan. (Wilson, 2007)
Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas dan merupakan gejala utama dari penyakit kardiopulmonar. Seorang yang mengalami dispnea sering mengeluh napasnya menjadi pendek atau merasa tercekik. Gejala objektif sesak napas termasuk juga penggunaan otot-otot pernapasan tambahan (sternokleidomastoideus, scalenus, trapezius, pectoralis mayor), pernapasan cuping hidung, takipnea, dan hiperventilasi. Sesak napas tidak selalu menunjukkan adanya penyakit; orang normal akan mengalami hal yang sama setelah melakukan kegiatan fisik dalam tingkat-tingkat yang berbeda. Pemeriksa harus dapat membedakan sesak napas dari gejala dan tanda lain yang mungkin memiliki perbedaan klinis yang mencolok. Takipnea adalah frekuensi pernapasan yang cepat, lebih cepat dari pernapasan normal (12 hingga 20 kali per menit) yang dapat muncul dengan atau tanpa dispnea. Hiperventilasi adalah ventilasi yang lebih besar daripada jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan pengeluaran CO2 normal, hal ini dapat diidentifikasi dengan memantau tekanan parsial CO2 arteri, atau tegangannya (PaCO2), yaitu lebih rendah dari angka normal (40 mmHg). Dispnea sering dikeluhkan pada sindrom hiperventilasi yang sebenarnya merupakan seseorang yang sehat dengan stres emosional. Selanjutnya, gejala lelah yang berlebihan juga harus dibedakan dengan dispnea. Seseorang yang sehat mengalami lelah yang berlebihan setelah melakukan kegiatan fisik dalam tingkat yang berbeda-beda, dan gejala ini juga dapat dialami pada penyakit kardiovaskular, neuromuskular, dan penyakit lain selain paru. Sumber penyebab dispnea bisa bermacam-macam, misalnya: (1) reseptor-reseptor mekanik pada otot-otot pernapasan, paru, dan dinding dada; dalam teori tegangan panjang, elemen-elemen sensoris, gelondong otot pada khususnya, berperan penting dalam membandingkan tegangan dalam otot dengan derajat elastisitasnya; dispnea terjadi jika tegangan yang ada tidak cukup besar untuk satu panjang otot (volume napas tercapai); (2) kemoreseptor untuk tegangan CO2 dan O2 (PCO2 dan PO2) (teori hutang oksigen); (3) peningkatan kerja pernapasan yang mengakibatkan sangat meningkatnya rasa sesak napas; dan (4) ketidakseimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasi. Mekanisme tegangan panjang yang tidak sesuai adalah teori yang paling banyak diterima karena teori tersebut menjelaskan paling banyak kasus klinis dispnea. Besarnya tenaga fisik yang dikeluarkan untuk menimbulkan dispnea bergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat, jenis latihan fisik, dan terlibatnya emosi dalam melakukan hal tersebut. Selain itu, terdapat beberapa variasi gejala umum dispnea. Ortopnea adalah sesak napas pendek yang terjadi pada posisi berbaring dan biasanya keadaan diperjelas dengan penambahan sejumlah bantal atau penambahan elevasi sudut untuk mencegah perasaan tersebut. Penyebab tersering ortopnea adalah gagal jantung kongestif akibat peningkatan volume darah di vaskularisasi sentral pada posisi berbaring. Ortopnea juga merupakan gejala yang sering muncul pada banyak gangguan pernapasan. Ada juga bentuk lain berupa dispnea nokturnal paroksismal menyatakan timbulnya dispnea pada malam hari dan memerlukan posisi duduk dengan segera untuk bernapas. Membedakan dispnea nokturna paroksismal dengan ortopnea adalah aktu timbulnya gejala setelah beberapa jam dalam posisi tidur. Penyebabnya sama dengan penyebab ortopnea yaitu gagal jantung kongestif, dan waktu timbulnya yang terlambat itu karena mobilisasi cairan edema perifer dan penambahan volume intravaskular pusat. Pasien dengan gejala utama dispnea biasanya memiliki satu dari keadaan ini, yaitu penyakit kardiovaskular, emboli paru, penyakit paru interstitial atau alveolar, gangguan dinding dada dan otot-otot, penyakit obstruktif paru, atau kecemasan. Dispnea adalah gejala utama edema paru, gagal jantung kongestif, dan penyakit katup jantung. Emboli paru ditandai dengan dispnea mendadak. Dispnea merupakan gejala paling nyata pada penyakit yang menyerang percabangan trakeobronkial, parenkim paru, dan rongga pleura. Dispnea biasanya dikaitkan dengan penyakit restriktif yaitu terdapat peningkatan kerja pernapasan akibat meningkatnya resistensi elastik paru (pneumonia, atelektasis, kongesti) atau dinding dada (obesitas, kifoskoliosis) atau pada penyakit jalan napas obstruktif dengan meningkatnya resistensi nonelastik bronkial (emfisema, bronkitis, asma). Tetapi jika beban keja pernapasan meningkat secara kronik maka pasien yang bersangkutan dapat menyesuaikan diri dan tidak mengalami dispnea. Dispnea juga bisa terjadi jika otot pernapasan lemah, misalnya pada miastenia gravis, selain itu juga pada lumpuh (pada poliomielitis, sindrom Guillain-Barre), letih akibat meningkatnya kerja pernapasan, atau otot pernapasan kurang mampu melakukan kerja mekanis (contohnya, emfisema yang berat atau pada obesitas). (Wilson, 2007)
Ada berbagai penyebab nyeri dada tetapi nyeri dada yang paling khas pada penyakit paru adalah nyeri akibat radang pleura (pleuritis). Hanya lapisan parietalis pleura yang merupakan sumber nyeri karena pleura viseralis dan parenkim paru dianggap sebagai organ yang tidak peka. Umumnya pleuritis terjadi mendadak tetapi juga dapat timbul secara bertahap. Nyeri terjadi pada tempat yang mengalami peradangan dan biasanya tempat peradangan dapat diketahui dengan tepat. Nyeri itu bagaikan teriris-iris dan tajam, diperberat dengan batuk, bersin dan napas yang dalam sehingga pasien sering bernapas cepat dan dangkal serta menghindri gerakan-gerakan yang tidak diperlukan. Nyeri dapat sedikit diredakan dengan menekan daerah yang terkena peradangan tersebut. Penyebab utama nyeri pleuritik ini adalah infeksi paru atau infark meskipun keadaan seperti itu juga dapat diderita tanpa timbulnya nyeri. Pasien dengan pneumotoraks atau ateletaksis yang berat kadang-kadang dapat mengalami nyeri dada yang diduga akibat tarikan pada pleura parietalis karena adanya perlekatan dengan pleura viseralis. Nyeri pleura harus dibedakan dari penyebab nyeri dada yang lain, seperti iskemia miokardial, perikarditis, kostokondrosis, dan herpes zoster (disebabkan terkenanya nervus interkostalis). (Wilson, 2007)
Sianosis adalah berubahnya warna kulit menjadi kebiruan (terutama di bawah kuku) dan membran mukosa akibat meningkatnya jumlah Hb tereduksi (deoksigenasi) dalam kapiler (Hb teroksigenasi dalam darah arteri berwarna merah terang; darah vena dengan Hb terdeoksigenasi berwarna merah kebiruan). Sianosis dapat digunakan sebagai tanda insufisiensi pernapasan, meskipun bukan merupakan tanda yang dapat diandalkan. Ada 2 jenis sianosis, yaitu sianosis sentral dan perifer. Sianosis sentral disebabkan oleh insufisiensi oksigenasi Hb dalam paru, dan paling mudah diketahui pada wajah, bibir, cuping telinga, serta bagian bawah lidah. Sianosis biasanya tak diketahui sebelum jumlah absolut Hb terduksi mencapai 5 gram per 100 mL atau lebih pada sesorang dengan konsentrasi Hb yang normal (saturasi O2/SaO2 kurang dari 90%). Jumlah normal Hb tereduksi dalam jaringan kapiler adalah 2,5 g per 100 mL. Pada orang dengan konsentrasi Hb yang normal, sianosis akan pertama kali terdeteksi pada SaO2 kira-kira 75% dan PaO2 50 mmHg atau kurang. Penderita anemia (konsentrasi Hb rendah) mungkin tidak pernah mengalami sianosis walaupun mereka menderita hipoksia jaringan yang berat karena jumlah absolut Hb tereduksi kemungkinan tidak dapat mencapai 5g per 100 mL. Sebaliknya orang yang menderita polisitemia (konsentrasi Hb yang tinggi) dengan mudah mempunyai kadar Hb tereduksi 5 g per 100 mL walaupun hanya mengalami hipoksia yang ringan sekali. Faktor-faktor lain yang menyulitkan pengenalan sianosis adalah variasi ketebalan kulit, pigmentasi, dan kondisi penerangan. Selain sianosis yang disebabkan oleh insufisiensi pernapasan (sianosis sentral), akan terjadi sianosis perifer apabila aliran darah banyak berkurang sehingga sangat menurunkan saturasi darah vena, dan akan menyebabkan suatu daerah menjadi biru. Sianosis perifer dapat terjadi akibat insufisiensi jantung, sumbatan pada aliran darah, atau vasokonstriksi pembuluh darah akibat suhu yang dingin. Sejumlah kecil methemoglobin atau sulfhemoglobin dalam sirkulasi dapat menimbulkan sianosis, walaupun jarang terjadi. Ada banyak hal yang mengakibatkan sianosis (dan sianosis sulit dikenali) sehingga sianosis merupakan petunjuk insufisiensi paru yang tidak dapat diandalkan. (Wilson, 2007)
Istilah hipoksemia menyatakan nilai PaO2 yang rendah dan seringkali ada hubungannya dengan hipoksia atau oksigenasi jaringan yang tidak memadai. Hipoksemia tidak selalu disertai dengan hipoksia jaringan. Seseorang masih dapat mempunyai oksigenasi jaringan yang normal, tetapi menderita hipoksemia; seperti juga seseorang yang masih dapat memiliki PaO2 normal tetapi menderita hipoksia jaringan (karena gangguan pengiriman oksigen dan penggunaan oksigen oleh sel-sel). Tetapi ada hubungan antara PaO2 dengan hipoksia jaringan, meskipun terdapat nilai PaO2 yang tepat pada jaringan yang menggunakan O2. Kalau semua dianggap sama, makin cepat timbulnya hipoksemia, semakin berat pula kelainan jaringan yang diderita. Pada umumnya nilai PaO2 yang terus menerus kurang dari 50 mmHg disertai hipoksia jaringan dan asidosis (yang disebabkan oleh metabolisme anaerobik). Hipoksia dapat terjadi pada nilai PaO2 normal maupun rendah sehingga evaluasi pengukuran gas darah harus selalu dikaitkan dengan pengamatan klinik dari pasien yang bersangkutan. Sianosis merupakan satu tanda yang tidak tepat diandalkan karena SaO2 harus kurang dari 75% pada orang dengan keadaan Hb normal sebelum tanda itu dapat diketahui. (Wilson, 2007)
Seperti halnya ventilasi, yang dianggap memadai bila suplai O2 seimbang dengan kebutuhan O2, pembuangan CO2 melalui paru baru dianggap memadai bila pembuangannya seimbang dengan pembentukan CO2. CO2 mudah sekali mengalami difusi sehingga tekanan CO2 dalam udara alveolus sama dengan tekanan CO2 dalam darah arteri; sehingga PaCO2 merupakan gambaran ventilasi alveolus yang langsung dan segera yang berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Dengan demikian PaCO2 digunakan untuk menilai kecukupan ventilasi alveolar (VA) karena pembuangan CO2 dari paru seimbang dengan VA sehingga PaCO2 langsung berkaitan dengan produksi CO2 (VCO2) dan sebaliknya berkaitan dengan ventilasi alveolar: PaCO2 sebanding dengan VCO2 atau VA. Ventilasi yang memadai akan mempertahankan kadar PaCO2 sebesar 40 mmHg. Hiperkapnia adalah peningkatan PaCO2 sampai di atas 45 mmHg; sedangkan hipokapnia adalah PaCO2 kurang dari 35 mmHg. Penyebab langsung retensi CO2 adalah hipoventilasi alveolar (ventilasi kurag memadai, untuk mengimbangi pembentukan CO2). Hiperkapnia selalu disertai hipoksia dalam derajat tertentu apabila pasien bernapas dengan udara yang terdapat dalam ruangan. Penyebab utama hiperkapnia adalah penyakit obstruktif saluran napas, obat-obat yang menekan fungsi pernapasan, kelemahan atau paralisis otot pernapasan, trauma dada atau pembedahan abdominal yang mengakibatkan pernapasan menjadi dangkal, dan kehilangan jaringan paru. Tanda klinik yang dikaitkan dengan hiperkapnia adalah kekacauan mental yang berkembang menjadi koma, sakit kepala (akibat vasodilatasi serebral), asteriksis atau tremor kasar pada tangan yang regang (flapping tremor), dan volume denyut nadi yang penuh disertai dengan tangan dan kaki yang terasa panas dan berkeringat (akibat vasodilatasi perifer karena hiperkapnia). Hiperkapnia kronik akibat penyakit paru kronik dapat mengakibatkan pasien sangat toleran terhadap PaCO2 yang tinggi sehingga pernapasan terutama dikendalikan oleh hipoksia. Dalam keadaan ini bila diberi oksigen kadar tinggi, pernapasan akan dihambat sehingga hiperkapnia bertambah berat. Kehilangan CO2 dari paru yang berlebihan (hipokapnia) akan terjadi apabila terjadi hiperventilasi (ventilasi dalam keadaan kebutuhan metabolisme meningkat untuk membuang CO2). Penyebab umum hiperventilasi diantaranya ventilasi mekanis yang berlebihan, keadaan cemas, trauma serebral, keracunan aspirin, dan respons kompensasi terhadap hipoksia. Tanda dan gejala yang berhubungan dengan hipokapnia adalah sering mendesah dan menguap, pusing, palpitasi, tangan dan kaki kesemutan dan baal, serta kedutan otot. Hipokapnia hebat (PaCO2 kurang dari 25 mmHg) dapat menyebabkan kejang. (Wilson, 2007)
Tanda yang paling penting lagi adalah ronki dan wheezing/mengi. Ronki dibagi menjadi 2 macam, yaitu low pitched akibat dari produksi mukus yang berlebihan pada emfisema atau bronkitis kronik. Dan high pitched, yang menunjukkan adanya penyempitan bronkus. Suara ini dihasilkan dari saluran pernapasan yang tiba-tiba terbuka sehingga suara ini adalah gabungan antara osilasi dari dinding dan jalan napas. Suara ini jelas terdengar pada permulaan inspirasi yang merupakan tanda dari edema paru. Dapat juga merupakan tanda pneumonia bila terjadi pada akhir inspirasi dan apabila makin mengeras maka menunjukkan adanya proses fibrosis alveolitis. Ronki terjadi oleh karena pecahnya gelembung-gelembung udara pada waktu inspirasi. Ronki terjadi karena tertutupnya saluran pernapasan, misalnya karena rusaknya saluran pernapasan (bronkiektasis) atau karena abnormalitas cairan interstitial, khususnya pada edema atau fibrosis. Oleh karena efek gravitasi maka ronki lebih terdengar pada bagian paru-paru yang bebas. Pada bronkiektasis, ronki terdengar pada pertengahan inspirasi, begitu juga pada edema paru. Wheezing adalah suara musik yang disebabkan oleh karena terjadinya osilasi udara karena menyempitnya jalan napas. Bunyi ini terutama terdapat pada asma dan bronkitis kronik. Pada asma yang berat wheezing dapat terdengar jelas dan lebih baik pada keadaan mulut yang terbuka daripada di paru-paru. Wheezing yang terdapat lokal biasanya disebabkan oleh tumor atau benda asing, wheezing ini disebut juga dengan monofonik wheezing, sedangkan wheezing yang terjadi pada asma disebut dengan polifonik wheezing. Penyempitan pada saluran napas atas dapat menyebabkan wheezing, baik pada inspirasi maupun pada ekspirasi yang sering terdengar dalam bentuk stridor. (Mukty, et. al.)
3. DISKUSI DAN BAHASAN
Dalam diskusi, kelompok kami membahas mengenai asma dan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) sebagai diagnosis utama untuk pasien dalam skenario. Diagnosis utama ditujukan untuk PPOK dengan bronkitis predominan dan pneumotoraks. Sedangkan, diagnosis bandingnya adalah karsinoma paru. Pada bagian ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai PPOK, pneumotoraks (salah satu penyakit restriktif paru), dan karsinoma paru.
PPOK merupakan salah satu pola obstruktif penyakit paru yang mencakup gangguan konduksi jalan napas atau asinus yang ditandai dengan menurunnya kemampuan menghembuskan udara. Istilah PPOK menunjukkan dua gangguan yang secara umum terjadi bersamaan, adalah bronkitis kronik dan emfisema. Bronkitis kronik didiagnosis berdasarkan gejala klinis: batuk kronik dengan pengeluaran sputum minimum 3 bulan setiap tahunnya, sekurang-kurangnya selama 2 tahun. Emfisema sendiri adalah diagnosis yang didasarkan pada keadaan anatomi patologik: dilatasi dan destruksi rongga udara sebelah distal bronkiolus terminalis, duktus alveolaris, dan dinding alveolar. Perubahan patologis utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi kelenjar penyekresi mukosa dan sel goblet dalam trakea dan bronkus yang diperlihatkan sebagai peningkatan volume mukus. Perubahan patologis pada bronkitis kronik akibat merokok biasanya dimulai dari bronkiolus yang paling kecil, jauh sebelum penemuan lanjutan yang berkaitan dengan bronkitis kronik dan emfisema. Sumbatan mukus edema mukosa dan spasme otot menyebabkan penyempitan saluran napas dan obstruksi pada bronkitis kronik. Emfisema yang menyeluruh adalah dilatasi permanen berbagai bagian asinus pernapasan dengan destruksi jaringan tanpa jaringan parut. Emfisema menyebabkan hilangnya rekoil elastik jaringan paru dan menurunkan kekuatan ekspirasi. Dua pola emfisema generalisata adalah sentrilobular dan panlobular.
Emfisema sentrilobular (CLE) menyerang bagian sentral lobulus, menyebabkan kerusakan dinding dan pembesaran bronkiolus respiratorius. CLE adalah bentuk emfisema yang paling sering dan penyebarannya tidak merata ke seluruh paru, lebih berat menyerang bagian atas paru dan berkaitan dengan merokok, bronkitis kronik, dan peradangan pada saluran napas distal. Patogenesis CLE tampaknya berkaitan dengan sekresi protease ekstraseluler oleh sel-sel radang lokal. Merokok sigaret juga dapat menghambat efek alfa1-antitripsin inhibitor protease sehingga menyebabkan kerusakan. Emfisema panlobular (PLE) melibatkan seluruh lobulus respiratorius: bronkiolus respiratorius, duktus dan sakus alveolaris, serta alveoli. PLE seringkali berkaitan dengan merokok dan cenderung menyebar ke seluruh paru dan lebih menyerang ke bagian dasar paru. Patogenesis PLE seperti juga CLE berhubungan dengan aktivitas protease ekstraseluler yang berlebihan. Seseorang dengan defisiensi alfa1-antitripsin herediter yang berat, khususnya homozigot ZZ, PLE akan muncul pada usia muda. Pasien dengan PPOK digolongkan dalam 2 kelompok berdasarkan gejala klinisnya: emfisema predominan (pink puffer) dan bronkitis predominan (blue bloaters).
Gambaran klinis PPOK pada emfisema predominan mencakup kecenderungan diafragma menjadi tipis, datar, dan berbentuk tong karena udara terperangkap, terdapat riwayat dispnea, batuk dan produksi sputum yang minimal; istilah “pink puffer” digunakan karena, pada awal penyakit, pasien mampu mempertahankan gas darah dan warna yang cukup normal dengan hiperventilasi. Hanya pada tahap akhir pasien mengalami hipoksemia, hiperkapnia, dan kor pulmonale. Gambaran klinis PPOK pada bronkitis predominan mencakup kecenderungan pasien menjadi gemik, namun diameter anteroposterior dada normal atau hanya sedikit meningkat , terdapat riwayat merokok sigaret yang lama, infeksi pernapasan bagian atas yang sering, batuk dan produksi sputum, khususnya selama musim dingin; hipoksemia, hiperkapnia, dan polisitemia kompensatoris berkembang pada awal penyakit, memberi gambaran sianotik sehingga disebut blue bloater. Pasien juga mengalami hipertensi paru dan kor pulmonale lebih awal pada proses penyakit daripada pasien dengan PPOK emfisematosa predominan. Umumnya terdapat ketidakseimbangan V/Q yang bermakna.
Pengobatan PPOK mencakup berhenti merokok, antibiotik untuk infeksi pernapasan bagian atas, vaksin influenza dan pneumokokal profilaktik, obat-obat bronkodilator untuk bronkospasme, hidrasi, fisioterapi dada, latihan bernapas, aliran rendah O2 yang terus menerus, dan progrm olahraga. Terapi peningkatan alfa1-antitripsin serta terapi reduksi volume paru untuk pasien dengan defisiensi herediter masih bersifat eksperimental.
Pneumotoraks adalah adanya udara dalam rongga pleura akibat robeknya pleura. Pneumotoraks dapat diklasifikasikan sesuai dengan penyebabnya, yaitu traumatik dan spontan; pneumortoraks juga dapat diklasifikasikan sesuai dengan urutan peristiwa yang merupakan kelanjutan dari adanya robekan pleura, yaitu terbuka, tertutup, atau pneumotoraks tekanan. Pneumotoraks spontan dapat dibagi menjadi primer atau idiopatik dan sekunder. Pada pneumotoraks primer atau spontan dapat terjadi pada individu yang sehat, biasanya akibat ruptur bula subpleura kongenital. Sedangkan pneumotoraks sekunder dapat terjadi pada misalnya pada ruptur bula emfisematosa atau akibat komplikasi pneumonia atau suatu keganasan. Pneumotoraks juga bisa diklasifikasikan menjadi pneumotoraks traumatik, pneumotoraks terbuka, dan pneumotoraks tegangan. Pneumotoraks traumatik dapat merupakan akibat cedera pada dada (misalnya karena luka akibat pisau atau juga mungkin karena fraktur iga), akibat faktor-faktor iatrogenik (seperti pada komplikasi ventilasi tekana positif, kanula subklavia, atau biopsi paru). Pneumotoraks terbuka (sucking chest wound) terjadi bila terdapat hubungan antara atmosfer dengan rongga pleura melalui dinding dada atau robekan pada pleura dan bronkus atau alveoli dengan hubungan tersebut. Saat inspirasi, udara dihirup ke dalam rongga pleura, menyebabkan menyebabkan paru pada bagian yang terkena menjadi kolaps dan menekan isi mediastinum ke bagian yang tidak terkena; saat ekspirasi, udara keluar melalui dinding dada dan isi mediastinum akan kembali ke tempatnya. Pengobatan dengan menempatkan penutup kedap udara di sekitar luka dan observasi pneumotoraks tegangan dan membuang penutup jika terjadi keadaan ini. Hubungan yang terjadi bila penutup dibuka disebut pneumotoraks tertutup (hubungan antara rongga pleura dan atmosfir dapat menutup sendiri). Pneumotoraks tegangan terjadi bila mekanisme katup membiarkan udara masuk ke rongga pleura tetapi mencegah udara tersebut untuk keluar (hubungan antara rongga pleura dan atmosfer terbuka saat inspirasi dan akan tertutup saat ekspirasi). Keadaan ini dapat terjadi pada ruptur pleura viseral, ruptur bronkus akibat fraktur iga, atau selama ventilasi mekanik dengan tekanan ekspiratorius akhir positif. Pneumotoraks tegangan adalah suatu kegawatdaruratan medis yang membutuhkan aspirasi udara dengan jarum secepatnya untuk mencegah kolaps paru yang komplit dan kematian. Secara umum tanda dan gejala adalah dispnea (jika luas), nyeri pleuritik hebat, trakea bergeser menjauhi sisi yang mengalami pneumotoraks, takikardia, sianosis (jika luas), pergerakan dada terhambat atau kurang pada bagian yang kena, perkusi hipersonor di atas pneumotoraks, perkusi meredup di atas paru yang kolaps, suara naps berkurang atau tidak ada pada sisi yang terkena, dan fremitus vokal dan raba berkurang.
Kanker paru, dalam hal ini akan dibahas karsinoma bronkogenik, serupa dengan kanker di tempat lain, muncul melalui beberapa akumulasi bertahap terhadap kelaina genetik yang menyebabkan transformasi epitel bronkus jinak menjadi jaringan neoplastik. Rangkaina perubahan molekular ini tidak bersifat acak, tetapi mengikuti suatu sekuensi yang sejajar dengan perkembangan histologik menjadi kanker. Sebagai contoh, inaktivasi gen penekan tumor yang terletak di kromosom 3p merupakan kejadian paling awal, sedangkan mutasi TP53 atau pengaktifan onkogen K-RAS terjadi relatif belakangan. Yang lebih penting tampaknya perubahan genetik tertentu seperti hilangnya bahan kromosom 3, dapat ditemukan, bahkan pada epitel bronkus jinak pasien kanker paru, serta di epitel pernapasan perokok yang tidak mengidap kanker paru, yang mengisyaratkan bahwa pajanan ke karsinogen menyababkan mukosa pernapasan secara luas mengalami mutagenisasi (field effect atau efek lapangan). Pada bagian ini, sel yang mengakumulasi mutasi lain akhirnya akan berkembang menjadi kanker. Dalam kaitannya dengan pengaruh karsinogenik, terdapat bukti kuat bahwa merokok dan, dengan derajat yang lebih rendah, gangguan lain dari lingkungan (misalnya pajanan debu, polusi, dan lainnya) merupakan tersangka utama penyebab perubahan genetik yang menyebabkan kanker paru.
Karsinoma bronkogenik adalah lesi yang berkembang perlahan, asimtomatik dan umumnya telah menyebar hingga tidak lagi dapat direseksi sebelum menimbulkan gejala. Pada beberapa kasus, lesi yang masih bersifat lokal dan dapat direseksi menyebabkan batuk kronis dan pengeluaran dahak. Jika sudah timbul suara yang serak, nyeri dada, sindrom vena kava superior, efusi perikardium atau pleura, atau prognosisnya suram. Tumor atau kanker ini bisa menyebabkan gejala oleh karena metastasis ke otak (perubahan mental atau gejala neurologik), hati (hepatosplenomegali), atau tulang (nyeri).
Pajanan rokok dan asbes juga akan berakibat pada mesotelioma maligna, yaitu merupakan kanker sel mesotelium yang jarang ditemukan, biasanya timbul di pleura parietalis atau pleura viseralis, walaupun jarang, juga bisa timbul di peritoneum dan perikardium. Asbestos tidak akan dikeluarkan atau dimetabolisme dari paru sehingga serat ini menetap di tubuh seumur hidup. Serat asbestos ini akan terkumpul di dekat sel mesotel; serat ini menghasilkan spesies oksigen reaktif yang menyebabkan kerusakan DNA dan mutasi yang bersifat onkogenik. Mutasi somatik pada 2 gen penekan tumor, yaitu p16/CDKN2A di kromosom 9p21 dan gen neurofibromatosis 2 (NF2) di kromosom 22q12, dapat ditemukan di mesotelioma maligna. Penelitian terakhir memperlihatkan adanya sekuensi DNA virus SV40 (Simian Virus 40) pada 60% hingga 80% mesotelioma maligna pleura dan mesotelioma peritoneum (lebih jarang terjadi).
Merokok sigaret merupakan temuan yang paling penting dan paling umum berhubungan dengan bronkitis kronik selama kehidupan dan luasnya emfisema pada pemeriksaan setelah kematian. Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa merokok sigaret yang lama akan mengganggu pergerakan silia, menghambat fungsi makrofag alveolar dan akhirnya menyebabkan hipertrofi dan hipersekresi kelenjar pengsekresi mukus. Di samping efek kronik ini, kemungkinan merokok juga akan menghambat antiprotease dan menyebabkan leukosit polimorfonuklear melepaskan enzim proteolitik secara tiba-tiba. Menghirup asap rokok dapat menyebabkan peningkatan resistensi jalan napas secara tiba-tiba akibat konstriksi otot polos melalui saraf vagus, diduga melalui perangsangan reseptor iritan mukosa. Dan hubungan antara berulangnya konstriksi bronkial akut dengan perkembangan obstruksi jalan napas masih belum jelas. Selain merokok, bronkitis kronik juga bisa ditemukan pada seseorang yang sering terpajan dengan debu organik maupun anorganik. Debu anorganik yang dimaksud dalam hal ini adalah pajanan asbes. Asbes (atau asbestos) merupakan istilah untuk berbagai senyawa silikat mineral, termasuk kristolit, amosit, antofilit, dan krokidolit. Asbes bisa menimbulkan berbagai penyakit yang berhubungan dengan paru-paru, selain bronkitis kronik, ada juga fibrosis paru (asbestosis), kanker saluran pernapasan dan pleura dan kadang-kadang peritoneum.
Menurut pembahasan kelompok kami, pasien dalam skenario mengalami PPOK terlebih dahulu dengan bronkitis predominan kemudian emfsema yang dideritanya menyebabkan suatu komplikasi berupa penyakit restrikitif paru: pneumotoraks pada paru kanan. Untuk pemeriksaan leukosit, apabila memang terjadi infeksi pada paru, utamnya paru kanan yang berupa pneumonia, diharapkan jumlah leukosit meningkat.
4. KESIMPULAN
¨ Hal yang aneh yang terjadi pada seorang laki-laki, 70 tahun, adalah sesak napas berat 2 hari ini disertai nyeri dada kanan, dalam 3 hari ini batuk makin sering dengan dahak yang lebih pekat, berwarna kuning kehijauan, kedua tungkai bengkak 1 bulan ini, dan dalam 2 tahun ini rasa batuk dan sesak dirasa lebih berat dan dirasakan adanya mengi.
¨ Keadaan umum, penderita tampak begitu gelisah dan sianotik. Hasil pemeriksaan fisik, didapatkan hasil inspeksi statis: dada kanan menonjol daripada kiri dan saat bernapas dada kanan teringgal. Pemeriksaan fisik perkusi: hipersonor pada paru kanan. Pemeriksaan fisik auskultasi: suara napas lemah pada paru kanan, pada paru kiri didapatkan ronki dan wheezing.
¨ Tanda dan gejala umum pneumotoraks, antara lain: dispnea (jika luas), nyeri pleuritik hebat, trakea bergeser menjauhi sisi yang mengalami pneumotoraks, takikardia, sianosis (jika luas), pergerakan dada terhambat atau kurang pada bagian yang kena, perkusi hipersonor di atas pneumotoraks, perkusi meredup di atas paru yang kolaps, suara naps berkurang atau tidak ada pada sisi yang terkena, dan fremitus vokal dan raba berkurang.
¨ Terapi paling umum untuk pneumotoraks adalah pembedahan dan dengan menempatkan penutup kedap udara di sekitar luka dan observasi pneumotoraks tegangan dan membuang penutup jika terjadi keadaan ini.
¨ Tanda dan gejala umum PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), antara lain: pada emfisema predominan mencakup kecenderungan diafragma menjadi tipis, datar, dan berbentuk tong karena udara terperangkap, terdapat riwayat dispnea, batuk dan produksi sputum yang minimal; istilah “pink puffer” digunakan karena, pada awal penyakit, pasien mampu mempertahankan gas darah dan warna yang cukup normal dengan hiperventilasi. Hanya pada tahap akhir pasien mengalami hipoksemia, hiperkapnia, dan kor pulmonale. Pada bronkitis predominan mencakup kecenderungan pasien menjadi gemik, namun diameter anteroposterior dada normal atau hanya sedikit meningkat , terdapat riwayat merokok sigaret yang lama, infeksi pernapasan bagian atas yang sering, batuk dan produksi sputum, khususnya selama musim dingin; hipoksemia, hiperkapnia, dan polisitemia kompensatoris berkembang pada awal penyakit, memberi gambaran sianotik sehingga disebut blue bloater. Pasien juga mengalami hipertensi paru dan kor pulmonale lebih awal pada proses penyakit daripada pasien dengan PPOK emfisematosa predominan.
¨ Terapi PPOK mencakup berhenti merokok, antibiotik untuk infeksi pernapasan bagian atas, vaksin influenza dan pneumokokal profilaktik, obat-obat bronkodilator untuk bronkospasme, hidrasi, fisioterapi dada, latihan bernapas, aliran rendah O2 yang terus menerus, dan progrm olahraga. Terapi peningkatan alfa1-antitripsin serta terapi reduksi volume paru untuk pasien dengan defisiensi herediter masih bersifat eksperimental.
5. DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ingram Jr., R. H. 2007. Bronkitis Kronik, Emfisema dan Obstruksi Jalan Napas. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1347-56.
Maitra, A., V. Kumar. 2007. Paru dan Saluran Napas Atas. Dalam: Kumar, V., R. S. Cortran, dan S. L. Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 509-70.
Mukty, A.,et.al. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press.
Speizer, F. E. 2007. Penyakit Paru karena Lingkungan. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1322-30.
Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.
Wilson, L. M. 2007. Pola Pernapasan Restriktif. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 796-814.
Wilson, L. M. 2007. Pola Obstruktif pada Penyakit Pernapasan. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 783-93.
Wilson, L. M. 2007. Tanda dan Gejala Penting pada Penyakit Pernapasan. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 773-81.
1 comment:
hm.. leh tau ga syapa ce yg korea or jepang nama fotonya..
thx...
gw nak fk maranatha..
Post a Comment