Wednesday, December 7, 2011

BEDAH ONKOLOGI - BENJOLAN DI LEHER

I. PENDAHULUAN

Benjolan yang ditemukan pada leher bisa bermacam-macam asal dan penyebabnya. Mulai dari kulit sampai dengan organ yang paling dalam daerah leher. Jika ditinjau dari asalnya, benjolan tersebut bisa berasal dari kulit, jaringan otot, jaringan saraf, jaringan pembuluh darah, jaringan tulang dan tulang rawan, kelenjar getah bening, kelenjar tiroid, atau bisa juga berasal dari kelenjar parotis.

Penyebabnya pun bisa karena infeksi dan inflamasi, neoplasia, kista, metastasis, dan lain-lain. Dalam tulisan ini akan dibahas kasus-kasus tersering yang ditemukan apabila terdapat benjolan di leher, yaitu pembesaran kelenjar tiroid (struma), pembesaran kelenjar getah bening (linfadenopati), dan kista duktus tiroglosus.

II. STRUMA

A. Definisi

Kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tirotosikosis atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tiroid noduler. Berdasarkan patologinya, pembesaran tiroid umumnya disebut struma.

B. Klasifikasi dan Etiologi

Berdasarkan American Society for Study of Goiter, terdapat 4 macam klasifikasi struma, yaitu:

1. Struma Nontoksik Difusa

Penyebab dari penyakit ini bermacam-macam, misalnya defisiensi iodium; Autoimmun thyroiditis: Hashimoto atau postpartum thyroiditis; Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis terhadap hormon tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating immunoglobulin; Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosynthesis hormon tiroid; Terpapar radiasi; Resistensi hormon tiroid; Agen-agen infeksi; Suppuratif Akut : bacterial; Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit; Keganasan tiroid

2. Struma Nontoksik Nodusa

Penyebab dari pernyakit ini, misalnya: kekurangan atau kelebihan iodium yang terjadi pada pasien dengan preexisting penyakit tiroid autoimun; Goitrogenik (obat-obatan: propiltiourasil, litium; makanan: kubis, lobak; dan agen lingkungan: resorsinol, phenolic), riwayat radiasi kepala dan leher.

3. Struma Toksik Difusa

Termasuk penyebab dalam struma toksik difusa adalah Grave’s disease, yang merupakan penyakit autoimun yang masih belum diketahui penyebab pastinya.

4. Struma Toksik Nodusa

Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4; Aktivasi reseptor TSH; Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein Ga.

C. Presentasi Klinis dan Diagnosis

1. Struma Nontoksik

Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan simetri atau nodular. Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini disebut struma nodosa. Dan apabila teraba pembesaran yang batasnya tidak jelas, kemungkinan termausk jenis difusa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme disebut struma nodosa non-toksik. Struma nodosa atau adenomatosa terutama ditemukan di daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Struma multinodosa terjadi pada wanita usia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasi sampai bentuk involusi. Kebanyakan penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma.

Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis harus memeperoleh semua data tentang keadaan benjolan dan riwayat benjolan yang terjadi. Data tentang keadaan benjolan misalnya sejak kapan benjolan terjadi, ukuran awal, ukuran akhir, berapa lama pembesaran terjadi, nyeri atau tidak, ada keluhan menelan atau tidak, ada keluhan serak atau tidak, dan lain-lain.

Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi, palpasi, dan auskultasi. Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan pada leher bagian depan bawah yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan ludah. Diperhatikan kulit di atasnya apakah hiperemi, seperti kulit jeruk, ulserasi. Pada palpasi harus diperhatikan lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau keduanya), ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter), konsistensi, mobilitas, infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar, apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada bagian yang masuk ke retrosternal).

Auskultasi dilakukan untuk menetukan adanya bruit pada pembesaran tiroid atau tidak. Pada struma nontoksik, tidak ditemukan bruit. Bruit hanya khas pada Grave’s disease.

Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan patologi. Pemeriksaan laboratorium yang biasanya diukur untuk kasus ini adalah Free T4 dan TSH (Thyroid Stimulating Hormone). Hasil pemeriksaan biasanya normal karena nontoksik. Pemeriksaan radiologi yang biasanya dibutuhkan adalah pemeriksaan sidik tiroid dan pemeriksaan USG. Pemeriksaan patologi biasanya untuk curiga keganasan, biasanya adalah biopsi jarum halus.

2. Struma Toksik

a. Grave’s Disease (Struma Toksik Difusa)

Grave’s disease adalah bentuk umum dari tirotoksikosis. Penyakit Grave’s terjadi akibat antibodi reseptor TSH yang merangsangsang aktivitas tiroid itu sendiri.

Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktivitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun, sering disertai dengan nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan kelemahan serta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati ditandai dengan mata melotot, fisura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata), dan kegagalan konvergensi. Jaringan orbita dan dan otot-otot mata diinfltrasi oleh limfosit, sel mast dan sel-sel plasma yang mengakibatkan eksoftalmos (proptosis bola mata), okulopati kongestif dan kelemahan gerakan ekstraokuler.

Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada umumnya sama dengan pemeriksaan pada struma nontoksik. Namun, pada auskultasi ditemukan bruit yang khas. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah pemeriksaan laboratorium, yaitu pengukuruan TSH, TSAb (Thyroid Stimulating Antibody), TSH, dan FT4. Hasilnya adalah TSAb meningkat, TSH turun, dan FT4 naik.

b. Plummer’s Disease (Struma Toksik Nodusa)

Penyakit ini biasanya ditemukan pada usia lanjut sebagai perkembangan dari struma nodusa kronik. Penderita dapat memperlihatkan bukti-bukti penurunan berat badan, lemah, dan pengecilan otot. Biasanya ditemukan goiter multi nodular pada pasien-pasien tersebut yang berbeda dengan pembesaran tiroid difus pada pasien penyakit Grave’s. Penderita goiter nodular toksik mungkin memperlihatkan tanda-tanda mata (melotot, pelebaran fisura palpebra, kedipan mata berkurang) akibat aktivitas simpatis yang berlebihan. Meskipun demikian, tidak ada manifestasi oftalmopati infiltrat seperti yang terlihat pada penyakit Graves. Gejala disfagia dan sesak napas mungkin dapat timbul. Beberapa goiter terletak di retrosternal.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik sama dengan struma lainnya. Pemeriksaan penunjang sama dengan Grave’s disease hanya saja tidak ditemukan TSAb.

D. Penatalaksanaan

Semua keadaan struma harus dioperasi untuk indikasi kosmetik, keganasan, penekanan saluran napas, dan gangguan menelan atau berbicara. Pada struma, apabila hanya 1 lobus tiroid yang terkena dilakukan lobektomi. Namun jika sudah 2 lobus yang terkena, maka dilakukan subtotal tiroidektomi. Setelah dilakukan operasi, pasien dengan struma nontoksik biasanya akan diberikan preparat hormon tiroid, misalnya Thyrax. Pada struma toksik, biasanya diberi obat antitiroid seperti misalnya propiltiourasil dan kemudian dilakukan operasi.

III. LIMFADENOPATI

A. Definisi dan Epidemiologi

Kelenjar getah bening dilewati oleh aliran getah bening yang dapat membawa antigen (mikroba, zat asing) dan memiliki sel pertahanan tubuh maka apabila ada antigen yang menginfeksi maka kelenjar getah bening dapat menghasilkan sel-sel pertahanan tubuh yang lebih banyak untuk mengatasi antigen tersebut sehingga kelenjar getah bening membesar. Pembesaran kelenjar getah bening dapat berasal dari penambahan sel-sel pertahanan tubuh yang berasal dari KBG itu sendiri seperti limfosit, sel plasma, monosit dan histiosit,atau karena datangnya sel-sel peradangan (neutrofil) untuk mengatasi infeksi di kelenjar getah bening (limfadenitis), infiltrasi sel-sel ganas atau timbunan dari penyakit metabolit makrofag (gaucher disease).

Limfadenopati merujuk kepada ketidaknormalan kelenjar getah bening dalam ukuran, konsistensi ataupun jumlahnya. Pada daerah leher (cervikal), pembesaran kelenjar getah bening didefinisikan bila kelenjar membesar lebih dari diameter satu sentimeter. Pembesaran kelenjar getah bening di daerah leher sering terjadi pada anak-anak. Sekitar 38% sampai 45% pada anak normal memiliki kelenjar getah bening daerah leher yang teraba. Pasien usia >40tahun dengan limfadenopati yang tidak dapat dijelaskan memiliki risiko keanasan 4% dibanding risiko keganasan 0,4% bila ditemukan pada psien <40tahun.

B. Etiologi

Pembesaran kelenjar getah bening dapat dibedakan menjadi lokal atau umum (generalized). Pembesaran kelenjar getah bening umum didefinisikan sebagai pembesaran kelenjar getah bening pada dua atau lebih daerah. Daerah-daerah terdapatnya kelenjar getah bening adalah :

Penyebab yang paling sering adalah hasil dari proses infeksi dan infeksi yang biasanya terjadi adalah infeksi oleh virus pada saluran pernapasan bagian atas (rinovirus, virus parainfluenza, influenza, respiratory syncytial virus (RSV), coronavirus, adenovirus atau reovirus). Virus lainnya virus ebstein barr, cytomegalovirus, rubela, rubeola, virus varicella-zooster, herpes simpleks virus, coxsackievirus, human immunodeficiency virus.

Bakteri pada peradangan KGB (limfadenitis) dapat disebabkan Streptokokus beta hemolitikus Grup A atau stafilokokus aureus. Bakteri anaerob bila berhubungan dengan caries dentis (gigi berlubang) dan penyakit gusi. Difteri, Hemofilus influenza tipe b jarang menyebabkan hal ini. Bartonella henselae, mikrobakterium atipik dan tuberkulosis dan toksoplasma.

Keganasan seperti leukimia, neuroblastoma, rhabdomyosarkoma dan limfoma juga dapat menyebabkan limfadenopati. Penyakit lainnya yang salah satu gejalanya adalah limfadenopati adalah kawasaki, penyakit kolagen, lupus. Obat-obatan juga menyebabkan limfadenopati umum. Limfadenopati daerah leher perah dilaporkan setelah imunisasi (DPT,polio atau tifoid).

Masing-masing penyebab tidak dapat ditentukan hanya dari pembesaran kelenjar getah bening saja, melainkan dari gejala-gejala lainnya yang menyertai pembesaran kelenjar getah bening.

C. Gejala Klinis

Diagnosis limfadenopati memerlukan anamnesis (wawancara), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan. Pada anamnesis dapat didapatkan :

Anamnesis

Keterangan

Lokasi pembesaran kelenjar getah bening

Pembesaran kelenjar getah bening pada dua sisi leher secara mendadak biasanya disebabkan oleh infeksi virus saluran pernapasan bagian atas. Pada infeksi oleh penyakit kawasaki umumnya pembesaran KGB hanya satu sisi saja. Apabila berlangsung lama (kronik) dapat disebabkan infeksi oleh mikobakterium, toksoplasma, ebstein barr virus atau citomegalovirus.

Gejala-gejala penyerta (symptoms)

Demam, nyeri tenggorok dan batuk mengarahkan kepada penyebab infeksi saluran pernapasan bagian atas. Demam, keringat malam dan penurunan berat badan mengarahkan kepada infeksi tuberkulosis atau keganasan. Demam yang tidak jelas penyebabnya, rasa lelah dan nyeri sendi meningkatkan kemungkinan oleh penyakit kolagen atau penyakit serum (serum sickness-ditambah riwayat obat-obatan atau produk darah).

Riwayat penyakit sekarang dan dahulu

Adanya peradangan tonsil (amandel) sebelumnya mengarahkan kepada infeksi oleh streptokokus; luka lecet pada wajah atau leher atau tanda-tanda infeksi mengarahkan penyebab infeksi stafilokokus; dan adanya infeksi gigi dan gusi juga dapat mengarahkan kepada infeksi bakteri anaerob. Transfusi darah sebelumnya dapat mengarahkan kepada citomegalovirus, epstein barr virus atau HIV.

Penggunan obat-obatan

Limfadenopati dapat timbul setelah pemakaian obat-obatan seperti fenitoin dan isoniazid. Obat-obatan lainnya seperti allupurinol, atenolol, captopril, carbamazepine, cefalosporin, emas, hidralazine, penicilin, pirimetamine, quinidine, sulfonamida, sulindac). Pembesaran karena obat umumnya seluruh tubuh (generalisata)

Paparan terhadap infeksi

Paparan/kontak sebelumnya kepada orang dengan infeksi saluran napas atas, faringitis oleh streptokokus, atau tuberkulosis turut membantu mengarahkan penyebab limfadenopati.

Riwayat perjalanan atau pekerjaan

Perjalanan ke daerah-daerah afrika dapat mengakibatkan terkena tripanosomiasis, orang yang bekerja dalam hutan dapat terkena tularemia

D. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik

Secara umum

Malnutrisi atau pertumbuhan yang terhambat mengarahkan kepada penyakit kronik (berjalan lama) seperti tuberkulosis, keganasan atau gangguan sistem kekebalan tubuh

Karakteristik dari kelenjar getah bening

KGB dan daerah sekitarnya harus diperhatikan. Kelenjar getah bening harus diukur untuk perbandingan berikutnya. Harus dicatat ada tidaknya nyeri tekan, kemerahan, hangat pada perabaan, dapat bebas digerakkan atau tidak dapat digerakkan, apakah ada fluktuasi, konsistensi apakah keras atau kenyal.

· Ukuran : normal bila diameter <1cm (pada epitroclear >0,5cm dan lipat paha >1,5cm dikatakan abnormal)

· Nyeri tekan : umumnya diakibatkan peradangan atau proses perdarahan

· Konsistensi : keras seperti batu mengarahkan kepada keganasan, padat seperti karet mengarahkan kepada limfoma; lunak mengarahkan kepada proses infeksi; fluktuatif mengarahkan telah terjadinya abses/pernanahan

· Penempelan/bergerombol : beberapa KGB yang menempel dan bergerak bersamaan bila digerakkan. Dapat akibat tuberkulosis, sarkoidosis, keganasan.

Pembesaran KGB leher bagian posterior (belakang) terdapat pada infeksi rubela dan mononukleosis. Supraklavikula atau KGB leher bagian belakang memiliki risiko keganasan lebih besar daripada pembesaran KGB bagian anterior.

Pembesaran KGB leher yang disertai daerah lainnya juga sering disebabkan oleh infeksi virus.

Keganasan, obat-obatan, penyakit kolagen umumnya dikaitkan degnan pembesaran KGB generalisata.

Pada pembesaran KGB oleh infeksi virus, KGB umumnya bilateral (dua sisi-kiri/kiri dan kanan), lunak dan dapat digerakkan. Bila ada infeksi oleh bakteri, kelenjar biasanya nyeri pada penekanan, baik satu sisi atau dua sisi dan dapat fluktuatif dan dapat digerakkan. Adanya kemerahan dan suhu lebih panas dari sekitarnya mengarahkan infeksi bakteri dan adanya fluktuatif menandakan terjadinya abses. Bila limfadenopati disebabkan keganasan tanda-tanda peradangan tidak ada, KGB keras dan tidak dapat digerakkan (terikat degnan jaringan di bawahnya)

Pada infeksi oleh mikobakterium pembesaran kelenjar berjalan minguan-bulan, walaupun dapat mendadak, KGB menjadi fluktuatif dan kulit diatasnya menjadi tipis, dan dapat pecah dan terbentuk jembatan-jembatan kulit di atasnya.

Tanda-tanda penyerta

(sign)

Adanya tenggorokan yang merah, bercak-bercak putih pada tonsil, bintik-bintik merah pada langit-langit mengarahkan infeksi oleh bakteri streptokokus. Adanya selaput pada dinding tenggorok, tonsil, langit-langit yang sulit dilepas dan bila dilepas berdarah, pembengkakan pada jaringan lunak leher (bull neck) mengarahkan kepada infeksi oleh bakteri difteri. Faringitis, ruam-ruam dan pembesaran limpa mengarahkan kepada infeksi epstein barr virus. Adanya radang pada selaput mata dan bercak koplik mengarahkan kepada campak. Adanya pucat, bintik-bintik perdarahan (bintik merah yang tidak hilang degnan penekanan), memar yang tidak jelas penyebabnya, dan pembesaran hati dan limpa mengarahkan kepada leukomia. Demam panjang yang tidak berespon dengan obat demam; kemerahan pada mata; peradangan pada tenggorok, “strawberry tongue”; perubahan pada tangan dan kaki (bengkak, kemerahan pada telapak tangan dan kaki); limfadenopati satu sisi (unilateral) mengarahkan kepada penyakit kawasaki.

E. Tatalaksana

Tatalaksana pembesaran KGB leher didasarkan kepada penyebabnya. Banyak kasus dari pembesaran KGB leher sembuh dengan sendirinya dan tidak membutuhkan pengobatan apapun selain dari observasi. Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6 minggu dapat menjadi indikasi untuk dilaksanakan biopsi kelenjar getah bening. Biopsi dilakukan bila terdapat tanda dan gejala yang mengarahkan kepada keganasa, KGB yang menetap atau bertambah besar dengan pengobatan yang tepat, atau diagnosis belum dapat ditegakkan.

Pembesaran KGB pada anak-anak biasanya disebabkan oleh virus dan sembuh sendiri, walaupun pembesaran KGB dapat berlangsung mingguan. Pengobatan pada infeksi KGB oleh bakteri (limfadenitis) adalah antibiotik oral 10 hari dengan pemantauan dalam 2 hari pertama flucloxacillin 25mg/kgBB empat kali sehari. Bila ada reaksi alergi terhadap antibiotik golongan penisilin dapat diberikan cephalexin 25mg/kg (sampai dengan 500mg) tiga kali sehari atau eritromisin 15mg/kg (sampai 500mg) tiga kali sehari.

Bila penyebab limfadenopati adalah mikobakterium tuberkulosis maka diberikan obat anti tuberkulosis selama 9-12 bulan. Bila disebabkan mikobakterium selain tuberkulosis maka memerlukan pengangkatan KGB yang terinfeksi atau bila pembedahan tidak memungkinkan atau tidak maksimal diberikan antibiotik golongan makrolida dan antimikobakterium. Pemeriksaan penunjang bila limfadenopati akut tidak diperlukan, namun bila berlangsung >2minggu dapat diperiksakan serologi darah untuk epstein barr virus, citomegalovirus, hiv, toxoplasma; tes mantoux, rontgen dada, biopsi dimana semuanya disesuaikan dengan tanda dan gejala yang ada dan yang paling mengarahkan diagnosis.

IV. KISTA DUCTUS TIROGLOSUS

A. Definisi

Duktus tiroglosus adalah suatu transitory endodermal tube, membawa jaringan pembentuk tiroid pada ujung caudal, duktus menghilang setelah tiroid pindah ke lokasi sebenarnya di leher.Titik asalnya biasanya ditandai pada dasar lidah orang dewasa dengan foramen caecum. Jika perkembangannya tidak sempurna, terjadi pembentukan kista sepanjang jalur embrioniknya. Duktus tiroglosus adalah penghubung tiroid dan lidah saat embrional. Normalnya berobliterasi saat 7-10 minggu masa gestasi dan mengalami atrofi.

Kista duktus tiroglosus adalah kantung berisi cairan yang terdapat saat lahir, pada garis tengah leher. Terjadi karena penutupan inkomplit dari suatu segmen duktus tiroglosus; struktur seperti tabung yang normalnya menutup saat perkembangan embrio.

B. Patofisiologi

Saat perkembangan janin, kelenjar tiroid yang berasal dari dalam mulut (pangkal lidah). Di antara kelenjar tiroid dan dasar lidah akan dihubungkan oleh duktus tiroglosus. Kemudian selama perkembangan embrionik, kelenjar tiroid akan turun mencapai daerah leher dan di duktus tiroglosus akan berubah menjadi sinus tiroglosus.

Secara fisiologis sinus ini akan mengalami atrofi dan obliterasi. Namun, ada beberapa kasus di mana sinus ini menetap, yang akhirnya sinus ini akan terisi cairan mukoid dan berkembang menjadi kista duktus tiroglosus.

C. Etiologi

Duktus tiroglosus tidak obliterasi atau atrofi oleh karena :

1. Infeksi tenggorokan berulang akan merangsang sisa epitel tractus sehingga terjadi degenerasi kistik.

2. Sumbatan ductus tiroglosus menyebabkan penumpukan sekret sehingga terbentuk kista.

D. Gejala Klinis dan Diagnosis

1. Biasanya ditemukan sebelum usia 5 tahun, tetapi bisa juga muncul disegala usia.lokasinya yaitu di daerah tirohyoid (terbanyak), suprahyoid, suprasternal atau intralingual.

2. Teraba massa di garis tengah leher, asimtomatis jika di bawah tingkatan tulang hyoid.

3. Massa teraba bulat, licin, kecil di bagian tengah leher. Massa ikut bergerak jika menelan, lembek dan berwarna kemerahan.

4. Nyeri pada leher, disfagia, kadang bisa sampai sesak napas

5. Dengan pembukaan kecil di kulit dekat massa maka bisa dilakukan drainase mucus dai kista duktus tiroglossus.

6. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis yaitu USG leher (jaringan tiroid normal terlihatt, untuk membedakan massa kistik atau solid), CT scan atau MRI (untuk mengetahui ukuran, lokasi, dan hubungan dengan struktur lainnya) dan FNAB (jika ragu suatu massa neoplastik).

E. Penatalaksanaan

Dengan dilakukan operasi prosedur sistrunk. Indikasi dilakuka operasi yaitu untuk alasan kosmetik (mengganggu penampilan) dan jika terjadi infeksi berulang.

Prosedur operasi sistrunk yaitu dengan memotong os hyoid bagian sentral 1-1,5 cm (memotong saluran kista yang melekat di os hyoid), kemudian elevasi os hyoid dan kista ke cranial. Lihat dan ikuti saluran sampai ke pangkal lidah, aspirasi sebagian isi kista, kemudian masukkan methylene blue untuk memudahkan penglihatan. Ikuti saluran kista lagi dan bebaskan ke proksimal sampai dengan ujungnya, lakukan ligasi dan potong di distal ligasi.


DAFTAR PUSTAKA

Bazemore A, Smucker DR. Lymphadenopathy and Malignancy. Am Fam Physician 2002;66:2103-10. Diakses dari http://www.aafp.org/afp/20021201/2103.html

Ferrer R. Lymphadenopathy : Differential diagnosis and evaluation. AAFP (58);6.1998. Diakses dari http://www.aafp.org/afp/981015ap/ferrer.html

Jong, W.D., Sjamsuhidajat. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC

Leung AKC, Robson WLM. Childhood Cervical Lymphadenopathy. Diakses dari http://www.medscape.com/viewarticle/467025

Reasner, C. A. dan R. L. Talbert. 2003. Thyroid Disorders. Dalam: Dipiro, J. T., R. L. Talbert, G. C. Yee, G. R. Matzke, B. G. Wells, L. M. Posey. 2003. Pharmacotherapy A Patophysiologic Approach. Edisi 5. Volume 2. New York: McGRAW-HILL Medical Publishing Division. pp: 1359-1376.

No comments: