I. ANATOMI, HISTOLOGI, DAN FISIOLOGI UMUM GINJAL
Ginjal (ren) merupakan suatu organ berjumlah sepasang, terletak di bagian dorsal dari abdomen, di kanan dan kiri columna vertebralis, ditutupi oleh peritoneum dan dikelilingi oleh jaringan pengikat dan jaringan lemak. Ren dexter terdapat sedikit lebih rendah dari ren sinister oleh karena pendesakan dari hepar. Axis longitudinalis ren sejajar dengan columna vertebralis. Panjang ren sekitar 11,25 cm, lebar sekitar 5 sampai 7,5 cm, dan tebalnya lebih dari 2,5 cm. Ren sinister lebih panjang dan lebih kecil daripada ren dexter. Pembungkusnya adalah lamina fascialis anterior (prerenal) dan posterior (retrorenal), capsula fibrosa, dan capsula adiposa. Ren memiliki facies anterior renalis dan facies dorsalis/posterior renalis. Selain itu juga mamiliki 2 margo, yaitu margo lateralis renalis yang berbentuk convex dan margo medialis renalis yang berbentuk concave. Dan memiliki extremitas superior setinggi kira-kira setinggi tepi atas vertebra thoracalis XII dan extremitas inferiornya setinggi vertebra lumbalis III (Tortora dan Anagnostaskos, 2007).
Bagian ren terdapat 2 macam, yaitu substansia medullaris dan substansia corticalis. Substansia medullaris tersusun oleh massa lurik yang berbentuk conus, disebut sebagai pyramis renalis. Setiap ren tersusun atas 8-18 buah pyramis renalis dengan basis ke pinggir dan apex menuju ke sinus renalis yang akan membentuk papilla renalis yang akan menonjol dan ditembus oleh ductus papillaris Bellini membentuk suatu area cribrosa dan akan bermuara ke dalam calyx minor. Calyces minores akan berkumpul dan membentuk calyx major. Daerah tepi ren adalah substansia corticalis yang mengelilingi pyramides renales dan sampai menjorok di antaranya yang disebut sebagai columna renalis (Bertini). Pada penampang mikroskopis, substansia corticalis tersusun atas daerah berbentuk conus cerah, disebut pars radiata dan daerah gelap, yang disebut pars convulata (Tortora dan Anagnostaskos, 2007).
Secara mikroskopis, ren tersusun atas unit-unit fungsional yang disebut dengan nefron. Ren juga sebagian dibentuk oleh tubulus renalis, yang dimulai dari substansia corticalis kemudian berkelok-kelok menuju ke substansia medullaris kemudian berakhir di apex renalis, tepatnya di pyramis renalis sebagai papilla renalis. Tubulus mulai di cortex dan columna renalis sebagai corpusculum Malphigi yang berupa massa lonjong kecil dan berwarna merah. Setiap corpusculum Malphigi tersusun atas vasa darah sebagai glomerulus dan capsula Bowmani yang tersusun atas dua membrana, bagian luar disebut lamina parietalis dan bagian dalam disebut lamina visceralis, sebagai tempat masuk keluarnya arteriole afferent dan efferent. Di antara kedua lamina tersebut akan terdapat sautu ronnga yang akan melanjutkan ke tubulus kontortus proximalis. Kedua lamina tersebut tersusun atas epitel squameous yang melekat pada membrana basalis. Tubulus contortus proximalis akan berlanjut sebagai pars descendens ductus Henle, membelok membentuk ansa ductus Henle, dan naik disebut pars ascendens ductus Henle, kemudian membesar membentuk tubulus contortus distalis dan akan melengkung serta menyempit masuk ke tubulus collectivus. Tubulus collectivus, pada medulla renalis, akan berkumpul membentuk ductus papillaris Bellini (Tortora dan Anagnostaskos, 2007).
Fungsi fisiologis ginjal yang terpenting adalah untuk melakukan pembentukan urin dari proses filtrasi, reabsorbsi, dan sekresi dari darah yang dibawa oleh arteriole afferent. Sedangkan arteriole efferent akan berlanjut sebagai kapiler peritubulus yang kemudian akan membentuk venula, arteriole ini berfungsi sebagai nutrisi ren. Secara fungsional nefron di korteks renalis memiliki aliran darah yang begitu besar untuk kemudian dilakukan proses uropoetik. Nefron di medulla memiliki fungsi pemekatan urin yang dilakukan oleh nefron juxtamedular, biasanya akan bekerja pada suhu yang cukup tinggi untuk menghemat air sehingga proses pemekatan urin bisa dilakukan dengan tetap efektif dalam membuang sisa-sisa metabolisme. Kira-kira 25% dari curah jantung (volume= 5000 cc) mengalir ke ginjal, yang disebut dengan renal blood flow (RBF= 1250 cc). Bagian darah yang akan difiltrasi adalah bagian plasmanya (sekitar 55% dari 1250 cc), yang disebut renal plasm flow (RPF= 700 cc). Kemudian 20% dari RPF akan difiltrasi ke lumen tubulus per menitnya, yang disebut dengan glomerulair filtration rate (GFR= 125-150 cc) atau laju filtrasi glomerulus (LFG). Sedangkan urin yang dihasilkan hanya sekitar 1,5 cc per menitnya karena sekitar 124 cc sisanya akan direabsorbsi. Fungsi filtrasi sangat dipengaruhi oleh tekanan netto. Tekanan kapiler glomeruli adalah sekitar 50% dari tekanan sistolik, misalnya sekitar 60 mmHg. Tekanan netto adalah tekanan kapiler dikurangi tekanan osmotik (32 mmHg) dikurangi tekanan hidrostatik capsula Bowmani (18 mmHg). Jadi besar tekanan netto yang bisa digunakan untuk mendorong plasma keluar untuk kemudian difiltrasi adalah sekitar 10 mmHg (Guyton dan Hall, 2007).
II. GAGAL GINJAL AKUT (GGA; ACUTE RENAL FAILURE)
Gagal ginjal akut secara ringkas didefinisikan sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba tetapi tidak seluruhnya dan bersifat reversibel. Penyebabnya, dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam, yaitu prerenal, intrarenal, dan pascarenal. Penyebab prarenal biasanya disebabkan dalam hal sirkulasi. Bisa terjadi akibat kurangnya perfusi ginjal dan perbaikan akan terjadi dengan cepat setelah kelainan tersebut diperbaiki, misalnya pada pasien hipovolemia, atau hipotensi, penurunan curah jantung, dan peningkatan viskositas darah. Penyebab intrarenal (intrinsik, parenkimal). Akibat penyakit pada gunjal atau pembuluhnya. Terdapat kelainan histologi dan kesembuhan tidak terjadi dengan segera pada perbaikan faktor prarenal atau obstruksi, misalnya nekrosis tubular akut, nekrosis kortikal akut, penyakit glomerulus akut, obstruksi vaskular akut, dan nefrektomi. Penyebab pascarenal atau obstruksi. Terjadi akibat obstruksi aliran urin, misalnya obstruksi pada kandung kemih, urtera, kedua ureter, dan sebagainya (Brady dan Brenner, 2007).
GGA biasanya asimtomatik dan terdiagnosis bila skrining pada pasien yang dirawat di rumah sakit didapatkan adanya peningkatan kadar serum nitrogen urea darah (blood urea nitrogen, BUN) dan kreatinin yang baru terjadi. Biasanya ditemukan oliguria (produksi urin < 400 ml per hari), teteapi tidak selalu terjadi. Untuk tujuan diagnosis dan penatalaksanaan, dapat dibagi menjadi 3 kategori: (1) gangguan hipoperfusi renal, yaitu ginjal secara intrinsik normal (azotemia prarenal, GGA prarenal), (2) penyakit parenkim ginjal (azotemia renal, GGA renal intrinsik), (3) obstruksi saluran kemih akut (azotemia pascarenal, GGA pascarenal) (Brady dan Brenner, 2007).
GGA prarenal berhubungan dengan respons fungsional terhadap hipoperfusi ginjal dan akan sembuh jika ada perbaikan aliran darah ke ginjal dan tekanan ultrafiltrasi glomerulus. Jika keadaan hipoperfusi ini berat dan lama, maka akan menimbulkan kerusakan parenkim ginjal. Azotemia prarenal dapat menimbulkan berbagai macam gangguan hemodinamika, termasuk hipovolemia, menurunnya curah jantung, vasodilatasi sistemik, dan vasokonstriksi renal selektif.
Deplesi volume intravaskuler yang dapat menyebabkan terjadinya GGA prarenal, bisa disebabkan oleh karena perdarahan, luka bakar, dehidrasi, dan lain-lain. Azotemia prarenal bisa timbul jika volume darah arterial “efektif” menurun, meskipun volume darah intravaskuler normal atau bertambah. Hipovolemia ini bisa menyebabkan komplikasi ke arah curah jantung yang rendah dan keadaan vasodilatasi sistemik. Saat terjadi keadaan hipovolemia, dapat menyebabkan penurunan tekanan arteri rata-rata yang terdeteksi sebagai penurunan rangsangan pada baroreseptor arteri dan jantung. Akhirnya, tubuh merespons untuk berusaha mempertahankan tekanan arteri. Salah satu caranya adalah pengaktivan sistem saraf simpatik dan sistem renin-angiotensin-aldosteron serta pelepasan vasopresin dan endotelin. Norepinefrin, angiotensin, vasopresin, dan endotelin dapat menyebabkan vasokontriksi jaringan muskulokutaneus dan splanknik, mengurangi pengeluaran garam dari kelenjar keringat, dan menimbulkan rasa haus. Keadaan ini akan mempertahankan perfusi jantung dan serebral. Respons yang terjadi pada ginjal adalah mempertahanakan perfusi dan filtrasi glomerulus dengan mensintesis vasodilator prostaglandin di ginjal. Adanya angiotensin II juga akan membantu menginduksi konstriksi arteriola eferen, akibatnya tekanan intraglomerulus dipertahankan dan fraksi plasma renal yang difiltrasi glomerulus (fraksi filtrasi) meningkat. Namun, jika hipoperfusi ginjal yang terjadi berat, mekanisme tersebut tidak akan adekuat dan tetap menimbulkan GGA (Goldfarb, et al, 2007).
Ada juga beberapa obat yang bisa menyebabkan hipoperfusi renal yang bisa menimbulkan keadaan azotemia, misalnya inhibitor siklooksigenase yang akan menghambat sintesis prostaglandin renal, inhibitor ACE yang akan menghambat produksi angiotensin II. Selain itu ada beberapa obat yang bisa menyebabkan vasokonstriksi intrarenal, misalnya bahan radiokoktras, siklosporin, epinefrin, dan norepinefrin (Brady dan Brenner, 2007)
GGA renal intrinsik hampir semua penyebabnya adalah iskemia sekunder akibat hipoperfusi ginjal (GGA iskemik) atau toksin (GGA nefrotoksik). Kedua keadaan tersebut sering timbul bersamaan dengan nekrosis tubuler akut (NTA).
GGA iskemik hampir sama mekanisme terjadinya dengan GGA prarenal. GGA iskemik sering terjadi pascabedah kardiovaskuler, trauma berat, sepsis, dan dehidrasi. Keadaan iskemik di ginjal bisa menyebabkan terjadinya GGA oleh karena beberapa mekanisme, yaitu (1) berkurangnya perfusi dan filtrasi glomerulus, (2) obstruksi aliran urin dan tubulus oleh sel dan debris (termasuk silinder) yang berasal dari epitel tubulus yang iskemik, dan (3) kebocoran filtrat glomerulus melalui epitel tubulus yang iskemia. Fltrasi glomerulus sangat tergantung kepada aliran darah. Keadaan vasokonstriksi intrarenal akan mengganggu laju filtrasi glomerulus (LFG) dan oksigenasi renal. Keadaan iskemia renal akan menyebabkan penurunan terus menerus pada aliran darah renalis, tekanan ultrafiltrasi glomerulus, dan daerah permukaan melalui blokade produksi vasodilator dari sel endotel (Goldfarb, et al, 2007).
Fungsi sel epitel bisa tergganggu oleh karena keadaan iskemik, cedera yang diperantarai oleh radikal bebas adalah cedera yang paling berat. Epitel tubulus yang mengalami nekrosis akan menimbulkan kebocoran zat terlarut yang difiltrasi, termasuk kreatinin, urea, dan produk buangan nitrogen lainnya. Selain itu sel tubulus yang nekrotik dapat terkelupas ke dalam lumen tubulus, menghambat aliran urin, meningkatkan terkanan intratubuler, dan mengganggu pembentukan filtrat glomerulus lebih lanjut (Goldfarb, et al, 2007).
GGA nefrotoksik diakibatkan oleh bahan-bahan farmakologik tertentu, misalnya pemberian aminoglikosidan atau sisplatin. Aminoglikosida disaring melalui sawar filtrasi glomerulus dan ditimbun oleh sel tubulus proksimalis setelah berinteraksi dengan sisa fosfolipid dan brush border. Aminoglikosida akan mengganggu proses fosfolipid yang normal oleh lisosom. Sisplatin akan ditimbun oleh sel tubulus proksimalis dan menyebabkan cedera mitokondria, menghambat aktivitas ATPase dan transpor zat terlarut, serta cedera radikal bebas pada membran sel. Kedua obat tersebut juga menyebabkan vasokonstriksi ginjal (Brady dan Brenner, 2007).
NTA merupakan penyebab GGA oleh karena berkurangnya produksi ATP yang digunakan untuk kerja seluler. Berkurangnya ATP akan mengganggu aktivitas Na+/K+-ATPase yang sangat penting untuk fungsi sel normal, konsentrasi sitostolik Na+ dan K+ juga berubah dan akan mengakibatkan pembengkakan. Disfungsi membran plasma Na+/K+-ATPase dan Ca2+ ATPase intraseluler akan menyebabkan tingginya konsentrasi Ca2+ intraseluler. Hal ini akan berakibat cedera sel ginjal dan berlanjut menimbulkan GGA (Goldfarb, et al, 2007).
GGA pascarenal sering diakbiatkan oleh obstruksi saluran kemih. Obstruksi ini akan menyebabkan kemampuan ginjal untuk mencapai kapasitas bersihan ginjal normal untuk mengeluarkan produk buangan nitrogen gagal. Obstruksi yang paling sering adalah adanya obstruksi leher kandung kemih yang bisa disebabkan oleh pembesaran prostat. Selama obstruksi awal, mungkin LFG masih normal, namun lama kelamaan LFG akan mengalami penurunan disertai dilatasi ureter proksimal, pelvis renalis, dan kalikses (Brady dan Brenner, 2007).
Diagnosis kelainan prerenal ditegakkan berdasarkan adanya tanda-tanda gagal ginjal akut (biasanya oliguria dengan kenaikan kreatinin dan ureum plasma melalui pemeriksaan laboratorium darah), urin yang terkonsentrasi dengan retensi natrium sehingga konsentrasi natrium urin rendah, dan perbaikan bila faktor prerenal dihilangkan. Umumnya penyebab jelas diketahui. Kemungkinan obstruksi harus dipertimbangkan sejak awal. Biasanya diperlukan pemeriksaan berupa memasukkan kateter ureter dan USG ginjal. Pada kelainan intrinsik, penyebab tersering adalah nekrosis tubular akut. Terjadi kerusakan yang parah tetapi reversibel pada sel-sel tubulus, biasanya akibat syok atau nefrotoksin. Gejala biasanya gagal ginjal dengan oliguria akut yang sembuh spontan dalam 1-3 minggu. Dapat pula disebabkan oleh obstruksi tubular akut, reaksi alergi, dan sebagainya. Gambaran klinis biasanya gagal ginjal dengan oliguria akut, oliguria berat, atau anuria. Diagnosis pasti ditegakkan dengan biopsi ginjal untuk mengetahui kelainan patologinya (Brady dan Brenner, 2007).
Pada pemeriksaan sedimen urin mungkin bisa sangat membantu memastikan penyebab dari GGA (Goldfarb, et al, 2007), yaitu:
1. Sedimen urin normal, diagnosis mengarah kepada prerenal atau obstruksi
2. Ditemukan rangka sel darah merah di sedimen urin, diagnosis mengarah kepada glomerulonefritis akut atau vaskulitis
3. Ditemukan eosinofil pada sedimen urin, diagnosis mengarah kepada nefritis interstitial akut
4. Ditemukan rangka granular terpigemntasi, diagnosis mengarah kepada NTA
Penatalaksanaan yang terpenting adalah mengetahui di mana letak kelainannya. Kemudian gagal ginjal ditatalaksana sampai fungsinya kembali. Penatalaksanaan secara umum (Goldfarb, et al, 2007; Brady dan Brenner, 2007), antara lain:
1. Diagnosis dan tatalaksana penyebab
a. Kelainan prerenal. Dilakukan pengkajian klinis meliputi faktor pencetus, keseimbangan cairan, dan status dehidrasi. Kemudian diperiksa konsentrasi natrium urin, volume darah dikoreksi, diberikan diuretik, dipertimbangkan pemberian inotropik, dan dopamin.
b. Kelainan renal. Dilakukan pengkajian klinis, urinalisis, pemeriksaan mikroskopik urin, dan mungkin mempertimbangkan dilakukan biopsi ginjal.
c. Kelainan pascarenal. Dilakukan pengkajian klinis apakah kandung kemih penuh, ada pembesaran prostat, gangguan miksi, atau nyeri pinggang. Dicoba pemasangan kateter urin, dan dipertimbangkan pemeriksaan USG ginjal.
2. Penatalaksanaan gagal ginjal
a. Mencapai dan mempertahankan keseimbangan natrium dan air. Masukkan natrium dan dibatasi hingga 60 mmol/hari dan cairan cukup 500 ml/hari di luar kekurangan hari sebelumnya atau 30 ml/jam di luar jumlah urin yang dikeluarkan jam sebelumnya. Namun keseimbangan harus terus diawasi.
b. Memeberikan nutrisi yang cukup, baik melalui suplemen tinggi kalori atau hiperalimentasi intravena.
c. Mencegah dan memperbaiki hiperkalemia. Dilakukan perbaikan asidosis, pemberian glukosa dan insulin intravena, penambahan kalium, pemberian kalsium intravena pada kedaruratan jantung dan dialisis.
d. Mencegah dan memperbaiki infeksi, terutama ditujukan terhadap infeksi saluran napas dan nosokomial. Demam harus segera dideteksi dan diterapi. Kateter harus segera dilepas jika diagnosis obstruksi saluran kemih sudah dapat disingkirkan.
e. Mencegah dan memperbaiki perdarahan saluran cerna. Feses diperiksa untuk adanya perdarahan dan dapat dilakukan endoskopi. Dapat pula dideteksi dari kenaikan rasio ureum : kreatinin, disertai penurunan hemoglobin. Biasanya anatagoni histamin H2 (misalnya ranitidin) diberikan sebagai profilaksis.
f. Dialisis dini atau hemofiltrasi sebaiknya tidak ditunda sampai ureum tinggi, hiperkalemia, atau terjadi kelebihan cairan. Ureum tidak boleh melebihi 30-40 mmol/L. Secara umum continous haemofiltration dan dialisis paling baik dilakukan di ruang intensif, sedangkan hemodialisis intermiten dengan kateter subklavia ditujukan untuk pasien lain dan sebagai tambahan untuk pasien katabolik yang tidak adekuat dengan dialisis peritoneal atau hemofiltrasi.
III. GAGAL GINJAL KRONIK (GGK; CHRONIC RENAL FAILURE)
Merupakan suatu bentuk kegagalan fungsi ginjal yang bersifat persisten dan ireversibel. Gangguan fungsi ginjal adalah penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan ringan, sedang, berat. Pada keadaan gagal ginjal kronik, sangat sering terjadi azotemia pada pasien atau bahkan uremia. Azotemia adalah peningkatan BUN dan ditegakkan bila konsentrasi ureum plasma meningkat. Uremia adalah sindrom akibat gagal ginjal yang berat. Jika sudah terjadi uremia menandakan adanya gagal ginjal terminal, merupakan suatu keadaan yang mana renal tidak mampu berfungsi dengan adekuat untuk keperluan tubuh, sehingga penatalaksanaan pada gagal ginjal terminal hanyalah dialisis dan transplantasi ginjal. Etiologi dari penyakit ini bermacam-macam, misalnya glomerulonefritis, nefropati diabetik, nefropati analgesik, nefropati refluks, ginjal polikistik, dan penyebab-penyebab lainnya yang umum seperti hipertensi, obstruksi, gout, dan sisanya idiopatik. Manifestasi kliniknya bermcam-macam sesuai tempat manifestasinya. Misalnya hipertensi (sistem kardiovaskuler), anemia (hematologi), poliuria (sistem uropoetika), kulit pucat (dermatologi), dan lain sebagainya (Brenner dan Lazarus, 2007).
Urea mewakili kira-kira 80% atau lebih dari sekuruh nitrogen yang diekskresikan ke dalam urin. Senyawa guanidino adalah hasil nitrogen yang paling banyak setelah urea dari metabolisme protein dan meliputi substansi seperti guanidin, metilguanidin dan dimetilguanidin, kreatinin, kreatin, dan asam guanidinosuksinat. Hasil metabolik lainnya adalah toksin uremik, misalnya urat. Ureum berperan dalam hal beberapa kelainan klinis yang ditimbulkan, misalnya anoreksia, rasa lelah, muntah, dan sakit kepala (Goldfarb, et al, 2007).
Perjalanan penyakit GGK, dijelaskan melalui 2 teori (Brenner dan Lazarus, 2007), yaitu:
1. Sudut pandang tradisional
Mengatakan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit namun dalam stadium yang berbeda-beda, dan bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi –fungsi tertentu dapat saja benar-benar rusak atau berubah strukturnya, misalnya lesi organic pada medulla akan merusak susunan anatomik dari lengkung henle.
2. Hipotesis nefron utuh (pendekatan Bricker)
Berpendapat bahwa bila nefron terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan timbul bila jumlah nefron yang sudah sedemikian berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi.Adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal, terjadi peningkatan percepatan filtrasi, beban solute dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron yang terdapat dalam ginjal turun dibawab normal. Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang rendah. Namun akhirnya kalau 75 % massa nefron telah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban solute bagi tiap nefron sedemikian tinggi sehingga keseimbangan glomerolus-tubulus tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun konsentrasi solute dan air menjadi berkurang.
Perjalanan umum gagal ginjal progresif yang akhirnya menjadi kronik, dibagi ke dalam 3 stadium (Brenner dan Lazarus, 2007):
1. Stadium 1
Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antar 40% – 75%). Tahap inilah yang paling ringan, dimana faal ginjal masih baik. Pada tahap ini penderita ini belum merasasakan gejala-gejala dan pemeriksaan laboratorium faal ginjal masih dalam masih dalam batas normal. Selama tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN dalam batas normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberikan beban kerja yang berat, seperti tes pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test LFG yang teliti.
2. Stadium 2
Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20% – 50%). Pada tahap ini penderita dapat melakukan tugas tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjal menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat daloam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat obatan yang bersifat menggnggu faal ginjal. Bila langkah-langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita masuk ke tahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal.
Insufiensi ginjal (faal ginjal antara 20% – 50%). Pada tahap ini penderita dapat melakukan tugas-tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjal menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat dalam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat obatan yang bersifat mengganggu faal ginjal. Bila langkah langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita masuk ke tahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda beda, tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal.
Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutama menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter/hari. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara 5% – 25% . Faal ginjal jelas sangat menurun dan timbul gejala-gejala kekurangan darah, tekanan darah akan naik, aktivitas penderita mulai terganggu.
3. Stadium 3
Uremia gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10%). Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan dimana tidak dapat melakukan tugas sehari-hari sebaimana mestinya. Gejala-gejala yang timbul antara lain mual, munta, nafsu makan berkurang, sesak nafas, pusing, sakit kepala, air kemih berkurang, kurang tidur, kejang-kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Stadum akhir timbul pada sekitar 9 % dari massa nefron telah hancur. Nilai LFG nya 10% dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml/menit atau kurang.
Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala yang cukup parah karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis caiaran dan elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500 cc/hari karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal, kompleks menyerang tubulus gijal, kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan menggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.
Manifestasi klinik GGK, antara lain (Brenner dan Lazarus, 2007):
Sistem Organ | Manifestasi klinis |
| |
Umum Kulit dan adneksanya Kepala leher Mata Kardiovaskular Pernapasan Gastrointestinal Kemih Reproduksi Saraf Tulang Sendi Hematologi | Fatig, malaise Pucat, atrofi, mudah lecet, rapuh, leukonikia Fetor uremik, lidah kering dan berselaput Fundus hipertensif, mata merah Hipertensi, kelebihan cairan, gagal jantung, perikarditis uremik, penyakit vaskular Hiperventilasi, asidosis, edema paru, efusi pleura Anoreksia, nausea, gastritis, ulkus peptikum, colitis uremik Nokturia, poliuria, haus, proteinuria, penyakit ginjal yang mendasari Penurunan libido, impotensi, amenorea, infertilitas Letargi, malaise, tremor, kebingungan, kejang, koma Hiperparatiroidisme, defisiensi vitamin D Gout, pseudogout, kalsifikasi ektra tulang Anemia, defisiensi imun, mudah mengalami perdarahan |
Pemeriksaan penunjang juga diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti GGK beserta kausa primernya. Berikut adalah beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan (Brenner dan Lazarus, 2007; Goldfarb, et al, 2007):
1. Kreatinin plasma akan meningkat seiring dengan penurunan laju filtrasi glomerulus, dimulai bila lajunya kurang dari 60 ml/menit. Pada gagal ginjal terminal, konsentrasi kreatinin di bawah 1 mmol/L. Konsentrasi ureum plasma kurang dapat dipercaya karena dapat menurun pada diet rendah protein dan meningkat pada diet tinggi protein, kekurangan garam, dan keadaan katabolik. Biasanya konsentrasi ureum pada gagal ginjal terminal adalah 20-60 mmol/L.
2. Terdapat penurunan kadar bikarbonat plasma (15-25 mmol/L), penurunan pH, dan peningkatan anion gap. Konsentrasi natrium biasanya normal, namun dapat meningkat atau menurun akibat masukan cairan inadekuat atau berlebihan. Hiperkalemia adalah tanda gagal ginjal yang berat kecuali terdapat masukan berlebihan, asidosis tubular ginjal, atau hiperaldosteronisme.
3. Terdapat poeningkatan konsentrasi fosfat plasma dan peningkatan kalsium plasma. Kemudian fosfatase alkali meningkat. Dapat ditemukan peningkatan parathormon pada kondisi hiperparatiroidisme.
4. Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan anemia normositik normokrom dan terdapat sel Burr pada uremia berat. Leukosit dan trombosit masih dalam batas normal.
5. Pemeriksaan mikroskopik urin menunjukkan kelainan sesuai penyakit yang mendasarinya.
6. Klirens kreatinin meningkat melebihi laju filtrasi glomerulus dan turun menjadi kurang dari 5 ml/menit pada gagal ginjal terminal. Dapat ditemukan pula proteinuria 200-1.000 mg/hari.
7. Pemeriksaan biokimia plasma untuk mengetahui fungsi ginjal dan gangguan elektrolit, mikroskopik urin, urinalisis, tes serologi untuk mengetahui penyebab glomerulonefritis, dan tes-tes penyaringan untuk persiapan sebelum hemodialisis (misalnya hepatitis B dan HIV)
8. Pemeriksaan USG ginjal sangat penting untuk mengetahui ukuran ginjal dan penyebab gagal ginjal, misalnya adanya kista atau obstruksi pelvis ginjal. Dapat juga dilakukan foto polos abdomen. Jika didapt hasil ginjal lebih kecil daripada usia dan besar tubuh pasien, diagnosis mengarah ke GGK.
Penatalaksanaan GGK secara umum adalah sebagai berikut (Goldfarb, et al, 2007; Brady dan Brenner, 2007):
1. Menentukan dan memberikan tatalaksana penyebabnya
2. Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam. Biasanya diusahakan hingga tekanan jugularis sedikit meningkat dan terdapat edema betis ringan. Pada beberapa pasien, furosemid dosis besar (250-1.000 mg/hari) atau diuretik loop (bumetanid, asam etakrinat) diperlukan untuk mencegah kelebihan cairan, sementara pasien lain mungkin memerlukan suplemen natrium klorida atau natrium bikarbonat oral. Pengawasan dilakukan melalui berat badan, urin, dan pencatatan keseimbangan cairan (masukan melebihi keluaran sekitar 500 ml)
3. Diet tinggi kalori dan rendah protein. Diet rendah protein (20-40 g/hari) dan tinggi kalori menghilangkan gejala anoreksia dan nausea dari uremia, menyebabkan penurunan ureum dan perbaikan gejala. Hindari masukan berlebihan dari kalium dan garam.
4. Kontrol hipertensi. Bila tidak terkontrol dapat terakselerasi dengan hasil akhir gagal jantung kiri. Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal, keseimbangan garam dan cairan diatur sendiri tanpa tergantung tekanan darah. Sering diperlukan diuretik loop, selain obat antihipertensi.
5. Kontrol ketidakseimbangan elektrolit. Kelainan yang sering ditemukan adalah hiperkalemia dengan asidosis berat. Untuk mencegah hiperkalemia, dihindari masukan kalium yang besar (batasi hingga 60 mmol/hari), diuretik hemat kalium, obat-obat yang berhubungan dengan ekskresi kalium (misalnya penghambat ACE dan obat antiinflamasi nonsteroid), asidosis berat, atau kekurangan garam yang menyebabkan pelepasan kalium dari sel dan ikut dalam kaliuresis. Deteksi melalui kadar kalium plasma dan EKG. Gejala asidosis baru jelas jika bikarbonat plasma kurang dari 15 mmol/L. Biasanya terjadi pada pasien yang sangat kekurangan garam dan dapat diperbaiki secara spontan dengan dehidrasi. Namun perbaikan yang cepat dapat berbahaya.
6. Mencegah dan tatalaksana penyakit tulang ginjal. Hiperfosfatemia dikontrol dengan obat yang mengikat fosfat seperti aluminium hidroksida (300-1.800 mg) atau kalsium karbonat (500-3.000 mg) pada setiap makan. Namun hati-hati dengan toksisitas obat tersebut. Diberikan suplemen vitamin D dan dilakukan paratiroidektomi atas indikasi.
7. Deteksi dini dan terapi infeksi. Pasien uremia harus diterapi sebagai pasien imunosupresif dan diterapi lebih ketat.
8. Modifikasi terapi obat dengan fungsi ginjal. Banyak obat-obat yang harus diturunkan dosisnya karena metabolitnya toksik dan dikeluarkan oleh ginjal. Misalnya digoksin, aminoglikosida, analgesik opiat, amfoterisin, dan alopurinol. Juga obat-obatan yang meningkatkan katabolisme dan ureum darah, misalnya tetrasiklin, kortikosteroid, dan sitostatik.
9. Deteksi dan terapi komplikasi. Awasi dengan ketat kemungkinan ensefalopati uremia, perikarditis, neuropati perifer, hiperkalemia yang meningkat, kelebihan cairan yang meningkat, infeksi yang mengancam jiwa, kegagalan untuk bertahan, sehingga dari hal-hal tersebut merupakan indikasi diperlukannya dialisis.
10. Persiapan dialisis dan atau program pembedahan transplantasi. Segera dipersiapkan setelah gagal ginjal kronik dideteksi. Indikasi dilakukan dialisis adalah gagal ginjal dengan gejala klinis yang jelas, meski telah dilakukan terapi konservatif (nomor 1-8), atau terjadi komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Brady, H. R., B. M. Brenner. 2007. Gagal Ginjal Akut. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1425-34
Brenner, B. M., J. M. Lazarus. 2007. Gagal Ginjal Kronik. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1435-42
Goldfarb, D.A., Nally-Jr, J.V., Schreiber-Jr, M.J. 2007. Etiology, Pathogenesis, and Management of Renal Failure. Dalam: Wein, J.A., Kavoussi, L.R., Novick, A.C., Partin, A.W., Peters, C.A. 2007. Campbell-Walsh Urology . Edisi 9. Volume 2. Saundeers, Elsevier. pp: 1325-59.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
No comments:
Post a Comment