Thursday, March 29, 2018

PEDIATRI: Kejang demam sederhana, tonsilofaringitis akut, hand foot and mouth disease (HFMD), gizi baik normoweight normoheight

KEJANG DEMAM

Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2 % - 4 % dari populasi anak 6 bulan- 5 tahun. 80 % merupakan kejang demam sederhana, sedangkan 20% kasus adalah kejang demam kompleks. 8% berlangsung lama (lebih dari 15 menit), 16 % berulang dalam waktu 24 jam..1 Pasien pada kasus ini berumur 4 tahun 2 bulan sehingga sesuai dengan prevalensi usia kejang demam.

Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun dengan suhu tubuh 38°C (100.4°F) perrektal atau lebih, bukan disebabkan oleh infeksi atau kelainan sistem saraf pusat maupun faktor metabolik lain seperti ketidakseimbangan elektrolit, tanpa disertai riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.2,3 Dari anamnesis kasus ini, pasien anak usia 4 tahun 2 bulan, datang dengan keluhan kejang yang didahului demam. Pasien ini tidak memiliki riwayat kejang sebelumnya, muntah, diare, atau penurunan kesadaran.

Manifestasi Klinis
Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana yaitu kejang demam yang berlangsung singkat dengan lama kejang kurang dari 15 me­nit, dan umumnya akan berhenti sendiri tanpa pemberian obat. Kejang berbentuk general tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam. 2,3,4
Kejang demam kompleks merupakan kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:
1.         Kejang lama > 15 menit
2.         Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
3.         Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.2,3

Diagnosis
Pasien mengalami kejang 1 kali dalam 24 jam, tidak berulang, kejang seluruh tubuh, tidak ada kelainan neurologis sebelum dan sesudah kejang, kejang didahului oleh demam tinggi, sehingga sesuai dengan kriteria kejang demam sederhana.

Etiologi
Hingga kini etiologi kejang demam belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan oleh :
1.         Infeksi saluran pernafasan atas,
2.         Otitis media,
3.         Pneumonia,
4.         Gastroenteritis, dan
5.         Infeksi saluran kemih.
Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang. Dari suatu penelitian deskriptif retrospektif dengan pendekatan cross sectional didapatkan penyebab kejang demam sederhana terbanyak adalah ISPA sebanyak 55 balita (76,3 %), gastroenteritis 9 balita (12,5 %), penyakit tropis 3 balita (4,2 %), penyakit ISK 3 balita (4,2 %), dan karena penyakit stomatitis sebanyak 2 balita (2,8 %). Pada kasus ini, pelacakan penyebab demam, didapatkan faring hiperemis sehingga menyebabkan nafsu makan pasien menurun, caries dentis pada semua gigi, dan kemerahan pada mukosa telinga. Tidak didapatkan muntah, maupun diare sebelumnya. Ini sesuai dengan gejala dan tanda faringitis akut.3,5-8

Patofisiologi
Karakteristik faktor-faktor yang berpengaruh terhadap bangkitan kejang demam:
1.         Faktor demam
Anak dengan kejang usia kurang dari dua tahun mempunyai risiko bangkitan kejang demam 3-4 kali lebih besar dibanding yang lebih dari dua tahun.9,10
2.         Faktor riwayat kejang dalam keluarga
Anak dengan riwayat kejang dalam keluarga terdekat (first degree relative) mempunyairisiko untuk menderita bangkitan kejang demam 4-5 kali lebih besar dibanding yang tidak.10
3.         Faktor perinatal dan pascanatal
Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara kategori umur ibu saat hamil dengan bangkitan kejang demam, faktor usia kehamilan preterm dan post term, dan kejadian asfiksia dan bayi berat lahir rendah. 10
Pada anamnesis pasien tidak didapatkan riwayat kejang dalam keluarga. Usia pasien 4 tahun 2 bulan dan demam merupakan faktor yang berpengaruh pada bangkitan kejang demam.
Untuk mempertahankan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk memetabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.11-12
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya kosentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ menjadi rendah sedangkan di luar sel neuron terjadi keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan petensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan petensial membran ini dapat diubah oleh adanya perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler, rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya, dan perubahan dari patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan. 11
Pada keadaan demam, kenaikan 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat sampai 20%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron, dan dalam waktu yang singkat dapat terjadi difusi ion kalium listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang.12

Pemeriksaan
Pemeriksaan fisis yang diperlukan adalah pemeriksaan status kesadaran, tanda vital. Pemeriksaan spesifik untuk neurologi antara lain pemeriksaan tanda rangsang meningeal (kaku kuduk, Brudnizki I dan II, Kernique, Laseque), nervus kranial, peningkatan tekanan intrakranial (ubun-ubun besar membonjol, papil edema), refleks fisiologis, refleks patologis, tonus. Pemeriksaan fisis tambahan untuk menyingkirkan penyebab kejang demam.
Pasien pada kasus ini dalam pemeriksaan fisik ditemukan tonsil yang membesar dan hiperemis, faring hiperemis, dan terdapat ujud kelainan kulit berupa papul eritema pada kaki dan tangan, serta ditemukan sariawan dan bibir pecah-pecah. Pemeriksaan ini bisa menunjukkan adanya proses infeksi spesifik.
Pemeriksaan penunjang laboratorium darah tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan labora­torium yang dapat dikerjakan misalnya darah rutin, morfologi darah tepi, elektrolit dan gula darah.3 Pemeriksaan penunjang pada penderita ini tidak menunjukkan adanya gangguan elektrolit, urinalisis dan kultur urin menunjukkan adanya infeksi saluran kemih. Pada pemeriksaan morfologi darah tepi menyokong proses infeksi sebagai etiologi kejang demam pada pasien ini.

Terapi
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang (potong kejang) adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Do­sis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.2,3
Penatalaksanaan kejang demam pada anak mencakup dalam tiga hal.
1. Pengobatan fase akut yaitu membebaskan jalan napas dan memantau fungsi vital tubuh. Saat ini diazepam intravena atau rektal merupakan obat pilihan utama, oleh karena mempunyai masa kerja yang singkat. Jika tidak ada diazepam, dapat digunakan luminal suntikan intramuskular atau yang lebih praktis midazolam intranasal.12
2. Mencari dan mengobati penyebab kejang demam. Penyebab demam dilacak dengan pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi. Pada pemeriksaan fisik dapat dicari fokal infeksi yang dapat menjadi port de entry patogen dan pemeriksaan penunjang yang dapat membantu diagnosis penyebab demam sehingga kejang dapat dicegah.
3. Pengobatan profilaksis.
a. Intermiten: anti konvulsan segera diberikan pada waktu pasien demam (suhu rektal lebih dari 38oC) dengan menggunakan diazepam oral, klonazepam atau kloralhidrat supositoria.
b. Rumatan: memberikan fenobarbital atau asam valproat setiap hari untuk mencegah berulangnya kejang demam dengan syarat tertentu. Diberikan pengobatan rumatan ini jika kejang lama lebih dari 15 menit, kejang fokal, terdapat kelainan neurologi yang nyata sebelum atau sesudah kejang. Dipertimbangkan bila kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam, kejang demam pada bayi kurang dari 12 bulan, kejang demam ≥ 4 kali per tahun. Pemberian obat-obatan untuk penatalaksanaan kejang demam pada anak, harus dipertimbangkan antara khasiat terapeutik obat dan efek sampingnya.9,11,12
Pasien ini diberikan terapi diet nasi lauk 1500 kkal/hari, infus D1/2 NS 12 tetes per menit makro, injeksi diazepam (0.3 mg/kgbb/kali): 4.5 mg iv pelan bila kejang, injeksi ampisilin (25 mg/kgBB/6 jam) = 500 mg/6 jam, parasetamol (15 mg/kgbb/kali): 4x2 cth (240 mg) per oral, diazepam (0.3 mg/kgBB/kali) = 4.5 mg peroral jika suhu ≥ 38.5 oC. Pasien ini diberikan antikejang intermiten tetapi tidak diberi terapi antikejang rumatan karena tidak memenuhi kriteria pemberian antikejang rumatan.

Prognosis
Prognosis dari kejadian kejang demam adalah :
1.         Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neu­rologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.
2.         Kemungkinan mengalami kematian
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan
3.         Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang demam antara lain adalah riwayat kejang demam dalam keluarga, usia kurang dari 12 bulan, temperatur yang rendah saat kejang, serta cepatnya kejang setelah demam.
Bila seluruh faktor di atas didapatkan pada pasien, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat fak­tor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.Pada suatu penelitian menyebutkan bahwa riwayat keluarga dengan kejang demam merupakan faktor risiko terhadap berulangnya kejang demam.3 Pada anamnesis tidak didapatkan keluarga dengan riwayat kejang baik dengan maupun tanpa demam, usia pasien saat kejang pertama 2 tahun 4 bulan dan kejang disertai demam.


HAND, FOOT, AND MOUTH DISEASE (HFMD)

Etiologi
Penyakit HFMD adalah penyakit yang disebabkan oleh enterovirus non polio seperti coxsackievirus A5, A7, A9, A10, A16, B1, B2, B3, B5, echovirus, dan enterovirus lainnya. Penyebab tersering dari penyakit ini adalah virus coxsackievirus A-16 dan enterovirus 71. Enterovirus termasuk dalam famili Pikornaviridae yang artinya virus RNA yang kecil. Subkelompok enterovirus yaitu coxsackievirus, ekovirus, dan poliovirus. Penamaan Coxsakie karena sewaktu ditemukan, virus ini berasal dari sampel tinja yang normal dari orang di daerah Coxsakie, New York. Coxsakievirus termasuk virus kecil tanpa envelope dengan single stranded, panjangnya 7400 nukleotida.13

Patogenesis
Infeksi Coxsackievirus merupakan infeksi yang sangat menular. Masa inkubasi enterovirus dan coxsackievirus rata-rata 3-6 hari. Transmisi terjadi melalui kontak langsung melalui droplet, sekresi oral atau feses dalam rute fekal-oral atau oral-oral. Implantasi enterovirus terjadi pada faring dan saluran cerna bagian bawah. Enterovirus  menginvasi dan membelah diri (replikasi) pada saluran cerna. Dalam 24 jam infeksi menyebar ke nodus limfa regional. Pada sekitar hari ke 3 terjadi viremia minor yang melibatkan banyak tempat-tempat sekunder. Multiplikasi virus di tempat ini terjadi bersama dengan mulainya gejala klinis. Penyakit dapat bervariasi dari ringan ke infeksi yang mematikan. Viremia mayor terjadi selama periode multiplikasi pada tempat-tempat sekunder, biasanya berakhir pada hari ke 3-7 infeksi. Selama 7 hari, kadar neutralizing antibody akan meningkat dan virus akan dieliminasi dari tubuh.13,14


Manifestasi Klinis
Setelah masa inkubasi penyakit HFMD yaitu sekitar 3 sampai 6 hari timbul gejala prodromal selama 12 sampai 24 jam berupa demam yang tidak terlalu tinggi, malaise, dan nyeri abdominal atau gejala respiratorik lainnya. Dua puluh lima persen pasien dapat mengalami limfadenopati submandibular dan  atau servikal.
Gejala klinis ditandai dengan adanya ulserasi berupa lesi di sekitar mulut yang sangat pedih sehingga menyebabkan anak tidak mau makan. Lesi di mulut berupa makula yang dapat berkembang menjadi vesikel, dengan daerah tersering timbul yaitu di palatum, lidah, serta mukosa pipi (buccal). Lesi mukokutaneus yang terjadi berupa timbul makula sampai papula yang berkembang cepat menjadi vesikel dengan dikelilingi dasar yang kemerahan (eritem). Vesikel cepat mengalami erosi yang dikelilingi halo yang kemerahan. Lesi sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut.15

Penatalaksanaan
Penyakit HFMD ini merupakan suatu penyakit yang bersifat self-limiting disease yang dapat sembuh dalam  waktu 7-10 hari. Pengobatan yang dilakukan bersifat simptomatik. Tatalaksana sistemik diantaranya berupa terapi simptomatik yaitu pemberian antipiretik untuk mengatasi demam dan analgesik untuk mengatasi arthralgia.13-15

  
TONSILOFARINGITIS AKUT

Definisi
Tonsilofaringitis akut digunakan untuk menunjukkan semua infeksi faring dan tonsil yang berlangsung hingga 14 hari. Tonsilofaringitis merupakan peradangan membran mukosa faring dan struktur lain di sekitarnya.16

Etiologi
Faringitis merupaka salah satu penyakit yang sering terjadi pada anak. Keterlibatan tonsil pada faringitis tidak menyebabkan perubahan derajat beratnya penyakit. Tonsilofaringitis biasanya terjadi pada anak, meskipun jarang terjadi pada anak di bawah usia 1 tahun. Insiden meningkat sesuai dengan beratambahnya usia, mencapai puncak pada umur 4-7 yahun, dam berlanjut hingga dewasa. Insiden tonsilofaringitis streptokokus tertinggi pada usia 5-18 tahun, jarang di bawah usia 3 tahun dan sebanding antara laki-laki dengan perempuan.17
Tonsilofaringitis dapat disebabkan oleh bakteri atau virus. Oleh karena itu diperlukan strategi untuk malakukan diagnosis dan memberikan tatalaksana agar dapat membedakan pasien-pasien yang membutuhkan antibiotik, dan mencegah serta meminimalkan penggunaan medikomentosa yang tidak perlu.
Berbagai bakteri dan virus dapat menjadi penyebab tonsilofaringitis, baik sebagai penyakit tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus merupakan etiologi terbanyak tonsilofaringitis akut, terutama pada anak berusia ≤3 tahun (pra sekolah). Virus penyebab penyakit respiratori seperti  Adenovirus, Rhinovirus, Parainfluenza virus, dapat menjadi penyebab tonsilofaringitis. Virus Epstein Barr (EBV) dapat menyebabkan tonsilofaringitis, tetapi disertai dengan gejala infeksimononukleosis seperti splenimegali dan limfadenopati generalisata. Infeksi sistemik seperti infeksi virus campak, virus Rubella, Citomegalovirus (CMV), dan berbagai virus lainnya juga dapat menyebabkan gejala tonsilofaringitis akut.16,17
Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA) adalah penyebab terbanyak tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15-30% dari tonsilofaringitisakut pada anak, sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5-10% kasus. Strptokokus grup A biasanya bukan penyebab yang umum pada anak usia prasekolah, tetapi pernah dilaporkan terjadi di tempat penitipan anak.17

Patogenesis
Nasofaring dan orofaring adalah tempat untuk organisme ini, kontak langsung dengan mukosa nasofaring atau orofaring yang terinfeksi atau dengan benda yang terkontaminasi seperti sikat gigi merupakan cara penularan yang kurang berperan, demikian juga penularan melalui makanan.
Penyebaran SBHGA memrlukan pejamu yang rentan dan difasilitasi dengan kontak yang erat. Infeksi jarang terjadi pada nak berusia di bawah 2 tahun, mungkin karena kurang kuatnya SBHGA melekat pada sel-sel epitel. Remaja biasanya telah menalami kontak dengan organisme beberapa kali sehingga terbentuk kekebalan, oleh karena itu infeksi SBHGA jarang terjadi pada kelompok ini.
Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring yang kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus  menyebabkan iritasi mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian besar peradangan melibatkan nasofaring, uvula, dan palatum mole. Perjalanan penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius di faring yang menyebabkan peradangan lokal, sehingga menyebabkan eritema faring, tonsil, atau keduanya. Infeksi streptokokus ditandai dengan invasi lokal serta penglepasan toksin ekstraselular dan protease. Transmisi dari virus yang khusus dan SBHGA terutama terjadi akibat kontak tangan dengan sekret hidung dibandingkan dengan kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang pendek, yaitu 24-72 jam.18


Manifestasi Klinis
Gejala tonsilofaringitis khas akibat bakteri berupa nyeri tenggorokan dengan awitan mendadak, disfagia dan demam. Urutan gejala yang biasa dikeluhkan oleh anak berusia di bawah 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Selain itu juag dilaporkan demam yang dapat mencapai suhu 40˚C, beberapa jam kemudian terdapat nyeri tenggorok. Gejala seperti rinorea, suara serak, batuk, konjungtivitis, dan diare biasanya disebabkan oleh virus. Kontak dengan pasien rinitis juga dapat ditemukan dalam anamnesis.18,19
Pada pemeriksaan fisik, pasien tonsilofaringitis akut menunjukkan tanda infeksi streptokokus, yaitu eritema pada tonsil dan faring yang disertai dengan pembesaran tonsil.



Penatalaksanaan
Usaha untuk membedakan tonsilofaringitis bakteri atau virus bertujuan agar pemberian antibiotik sesuai indikasi. Tonsilofaringitis streptokokus grup A merupakan satu-satunya tonsilofaringitis yang memiliki indikasi kuat dan aturan khusus dalam penggunaan antibiotik.
Penggunaan antibiotik tidak diperlukan pada tonsilofaringitis virus karena tidak akan mempercepat waktu penyembuhan atau mengurangi derajat keparahan. Istirahat cukup dan pemberian cairan intravena yang sesuai terpi suportif yang dapat diberikan. Selain tiu, pemberian obat kumur dan obat hisap, pada anak yang cukup besar dapat meringankan keluhan nyeri tenggorok. Apabila terdapat nyeri atau demam, dapat diberikan paracetamol atau ibuprofen. Pemberian antibiotik pada faringitis harus berdasar pada gejala klinis dan hasil kultur positif pada pemeriksaan usapan tenggorok.16-19

DAFTAR PUSTAKA

1.     Oluwabusi T, Sood SK. Update on the management of simple febrile seizures: emphasis on minimal intervention. Curr Opin Pediatr. 2012;24:259-65.

2.     Mikati M, Hani A. Febrile seizures. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St Geme JW, Schor NF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-20. Philadelphia: Elsevier; 2016. h. 4072-4

3.    Pusponegoro H, Widodo D, Ismael S. Konsensus penatalaksanaan kejang demam. Jakarta : IDAI; 2005.

4.    Girodias JB, Benoit B. Approach to the febrile child: a challenge bridging the gap between the literature and clinical practice. Paediatr Child Health. 2003;8:76-82.

5.    Baumann RJ. Pediatric febrile seizures. 2015 Oct 14 [diakses tanggal 20 Maret 2016]. Tersedia di:
http://emedicine.medscape.com/article/1176205-overview

6.    Sadleir LG, Scheffer IE. Febrile seizures. BMJ. 2007;334:307-11.

7.    Mohammadi M. Febrile seizures: four steps algorithmic clinical approach. Iran J Pediatr. 2010;20:5-15.

8.    Delpisheh A, Veisani Y, Sayehmiri K, Fayyazi K. Febrile seizures: etiology, prevalence, and geographical variation. Iran J Child Neurol. 2014;8:20-7.

9.    Bauchner H. Febrile seizures: guideline for the neurodiagnostic evaluation of the child with a simple febrile seizure. AAP. 2011;127:389.

10. Ostergaard JR. Febrile seizures. Acta Paediatr. 2009;98:771-3.

11. Mewasingh LD. Febrile seizures. Systematic review 324. BMJ Clinical Evidence. 2014          Jan [diakses tanggal 20 Maret 2016]. Tersedia di:

12. Timmins WS. Managing febrile seizures. BMJ. 2015;351:4240.

13. Goksugur N. Hand, foot, and mouth disease. N Engl J Med. 2010;362:49-52.

14.  Frydenberg A, StarrM. Hand, foot, and mouth disease. Aust Fam Physician. 2003;32:594-5.

15.  Stock I. Hand, foot, and mouth disease – more than a harmless “childhood disease”. Med Monatsschr Pharm. 2014;37:4-10.

16.  Scholz H. Streptococcal-A tonsillopharyngitis: a 5-day course of cefuroxime axetil versus a 10-day course of penicillin V. results depending on the children's age. Chemotherapy. 2004;50:51-4.

17.  Stelter K. Tonsillitis and sore throat children. GMS Curr Top Otorhinolaryngol Head Neck Surg. 2014;13:3205-10.

18.  Bisno AL. Acute pharyngitis. N Engl J Med. 2011;344:205-11.

19. Wessels MR. Streptococcal pharyngitis. 2011;364:648-55