Thursday, December 25, 2008

MERRY CHRISTMAS

jingle bells, jingle bells
jingle all the way
oh what fun it is to ride on a one-horse open sleigh

jingle bells, jingle bells
jingle all the way
oh what fun it is to ride on a one-horse open sleigh


dashing through the snow
on a one-horse open sleigh
over the hills we go

laughing all the way
bells on bob-tails ring
making spirits bright
oh what fun it is to ride and sing a sleighing song tonight


MERRY CHRISTMAS…..
LOVE, JOY, AND PEACE WILL BE WITH US IN CHRISTMAS….
SO, PLEASE WELCOME THE PEACE IN NEW YEAR!!!

Monday, December 22, 2008

TUBERKULOSIS DAN KOMPLIKASINYA

1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi (Daniel, 2007) dan oleh hipersensitivitas yang diperantai oleh sel (cell-mediated hypersensitivity) (Wright, 2007). Menurut buku Depkes disebutkan, tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan ke dalam paru. Kemudian kuman menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfa, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di luar paru. Penyakit ini biasanya terletak di paru tetapi dapat juga mengenai organ lain (TB ekstra paru). Yang penting untuk dipahami pada patogenesis tuberkulosis adalah mengenali bahwa M. tuberculosis mengandung banyak zat imunoreaktif (Daniel, 2007). Lipid permukaan pada mikobakterium dan komponen peptidoglikan dinding sel yang larut air merupakan tambahan yang penting yang dapat menimbulkan efeknya melalui kerja primernya pada makrofag pejamu. Mikobakterium mengandung suatu kesatuan antigen polisakarida dan protein (Daniel, 2007), sebagian mungkin spesifik spesies tetapi yang lainnya secara nyata memiliki epitop yang luas di seluruh genus (Wallace, 2007). Hipersensitivitas yang diperantai sel khas untuk tuberkulosis dan merupakan determinan yang penting pada patogenesis penyakit.
Di Indonesia, tuberkulosis masih merupakan masalah utama yang harus segera ditangani. Dalam ‘Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis’ yang dikeluarkan Departemen kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) tahun 2003, diperkirakan terdapat 8 juta kasus baru terjadi di seluruh dunia setiap tahun dan hampir 3 juta orang meninggal sebagai akibat langsung dari penyakit ini. Kasus tuberculosis pada anak terjadi sekira 1,3 juta setiap tahun dan 450.000 di antaranya meninggal dunia. Laporan World Health Organization (WHO), tahun 1997, menyebutkan Indonesia menempati urutan ketiga dunia dalam hal jumlah kasus TB setelah India dan Cina. Pada tahun 1999 WHO memperkirakan, dari setiap 100.000 penduduk Indonesia akan ditemukan 130 penderita baru TB paru dengan bakteri tahan asam (BTA) positif. Dan pada tahun 2004, setiap tahun terdapat 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. Prof. Dr. Cissy B. Kartasasmita, SpA, dokter spesialis konsultan penyakit paru anak, dalam makalahnya, ‘Pencegahan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak’ ( tahun 2002) menyebutkan, karena sulitnya mendiagnosa TB pada anak, angka kejadian TB anak belum diketahui secara pasti. Namun bila angka kejadian TB dewasa tinggi dapat diperkirakan kejadian TB anak akan tinggi pula. Hal ini terjadi karena setiap orang dewasa dengan basil tahan asam (BTA) positif akan menularkan 10 orang di lingkungannya, terutama anak-anak. Karenanya sangat penting untuk mendeteksi TB pada dewasa dan menelusuri rantai penularannya. Sehingga setiap anak yang mempunyai risiko tertular dapat dideteksi dini dan diberi pencegahan. Beberapa hal yang diduga berperan pada kenaikan angka kejadian TB antara lain adalah, diagnosis dan pengobatan yang tidak tepat, kepatuhan yang kurang, migrasi penduduk, peningkatan kasus HIV/AIDS, dan strategi DOTS ( Directly Observed Therapy Short-course) yang belum berhasil. Strategi DOTS adalah program yang direkomendasikan oleh WHO. Sejak tahun 1995 program ini dilaksanakan untuk menanggulangi pemberantasan tuberkulosis paru di Indonesia. Walaupun begitu, penyebab utama lainnya meningkatnya beban masalah TB adalah kemiskinan, kegagalan program penanggulangan TB, perubahan demografik karena perubahan jumlah penduduk dan perubahan struktur penduduk, serta dampak pandemik HIV. Kegagalan program penanggulangan TB bisa disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan program penanggulangan TB, tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, obat tidak terjamin penyediaannya, pelaporan tidak tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan program penanggulangan TB, tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, obat tidak terjamin penyediaannya, pelaporan tidak standar dan sebagainya), tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat tidak standar), salah persepsi terhadap manfaat dan efektivitas vaksinasi BCG, dan infrastruktur kesehatan yang buruk.
Dari skenario 3 Blok Respirasi, ada beberapa masalah penting, yaitu :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Seorang laki-laki, 30 tahun, datang ke IGD dengan keluhan utama batuk darah sebanyak 250 cc sejak 1 hari yang lalu.
- Ada keluhan batuk dengan dahak sulit keluar sejak 2 bulan diikuti demam yang hilang timbul dan keringat malam.
- Tidak mau makan 2 hari ini, berat badan menurun 4 kg.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- Tiga tahun yang lalu penderita pernah sakit paru dengan suara serak dan telah mendapat pengobatan dari Puskesmas selama 6 bulan.
- Saat mendapatkan pengobatan itu, penderita pernah dirawat di rumah sakit karena muntah-muntah dan mata kuning.
Ø Riwayat Penyakit Keluarga, berupa:
- Ayah penderita meninggal karena penyakit paru menular dan penyakit jantung 6 tahun yang lalu.
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Penderita memiliki kebiasaan merokok.
- Tekanan darah penderita adalah 100/60.
- Pada pemeriksaan didapatkan konjungtiva pucat, auskultasi terdapat suara amforik pada paru kanan, dan didapatkan pembesaran kelenjar leher.
- Pemeriksaan darah belum ada hasil.
- Pada foto toraks tampak gambaran fibroinfiltrat dan kavitas di paru kanan, gambaran sarang tawon pada apeks paru kiri.
- Direncanakan pemeriksaan sputum, biopsi jarum halus pada kelenjar leher, dan bila perlu dilakukan bronkoskopi di atas meja operasi.
- Penderita dibuat tenang untuk dapat merasa mudah mengeluarkan dahak dan kemudian ditampung untuk diukur volumenya.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas, antara lain :
a. Tuberkulosis paru
b.Bronkiektasis
c. Tumor ganas paru
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Menegakkan diagnosis melalui berbagai pemeriksaan yang dilakukan.
Ø Mengetahui gejala-gejalanya lebih lanjut dan penatalaksanaannya.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem kerja pernapasan (sistem respirasi) dan penyelesaiaannya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dan melingkupi sistem respirasi meliputi anatomi, histologi dan fisiologi.
b. Menjelaskan proses respirasi secara fisiologis.
c. Menjelaskan tentang proses ventilasi dan transportasi yang terjadi di dalam paru-paru
d. Menjelaskan tentang proses sirkulasi pulmoner dan perubahan/pertukaran gas dalam paru-paru.
e. Menjelaskan perkembangan saluran pernapasan, pertahanan saluran pernapasan dan kontrol feed back dalam sistem pernapasan.
f. Menjelaskan mekanisme batuk dan gejala umum gangguan pernapasan yang lainnya.
g. Menjelaskan mekanisme terjadinya kelainan pada sel/organ pada penyakit-penyakit sistem respirasi meliputi patogenesis, patologi, dan patofisiologinya.
h. Menjelaskan jenis-jenis kelainan pada sistem respirasi meliputi kausa, patogenesis, patologi, patofisiologi, gejala, komplikasi, prognosis, dan dasar terapi pada kelainan karena kondisi obstruksi, kondisi restriktif, insufisiensi pernapasan, penyakit kardiovaskular dan paru, infeksi, penyakit lingkungan, dan neoplasma.
i. Melakukan pemeriksaan yang menunjang diagnosis penyakit paru.
j. Menjelaskan komplikasi yang ditimbulkan pada penyakit-penyakit di sistem respirasi.
k. Menjelaskan manajemen/penatalaksanaan penyakit pada sistem respirasi meliputi dasar-dasar terapi: medikamentosa, konservatif, diet, operatif, rehabilitasi, dll.
l. Menjelaskan symptom dan sign penyakit-penyakit pada sistem respirasi.
m. Menjelaskan penegakan diagnosis penyakit pada sistem respirasi.
n. Menyusun data dari gejala, pemeriksaan fisik, prosedur klinik, dan pemeriksaan laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis sementara dan diagnosis banding pada penyakit sistem respirasi.
o. Menentukan prosedur klinik penunjang diagnosis penyakit sistem respirasi.

2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini merupakan kuman batang aerobik dan tahan asam, merupakan organisme patogen dan saprofit. Tempat masuk kuman M. tuberculosis adalah saluran pernapasan, saluran pencernaan (GI), dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. TB adalah penyakit yang dikendalikan oleh respons imunitas diperantai sel. Sel efektor adalah makrofag, dan limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunoresponsif. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh oleh limfosit dan limfokinnya. Respons ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas seluler (lambat). (Price dan Standridge, 2007)
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil; gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada di dalam ruang alveolus, biasanya di bagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas alveolus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri tetapi tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama, leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi, dan timbul pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya sehingga tidak ada sisa yang tertinggal atau proses dapat berjalan terus, dan bakteri dapat terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju yang disebut dengan nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblas menimbulkan respons berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut kolagenosa yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel. Lesi primer paru disebut fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer disebut kompleks Ghon. Kompleks Ghon yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin. Namun, kebanyakan infeksi TB paru tidak terlihat secara klinis atau dengan radiografi. Respons lain pada daerah nekrosis adalah pencairan, yaitu bahan cair lepas ke dalam bronkus yang berhubungan dan menimbulkan kavitas. Bahan tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke dalam percabangan trakeobronkial. Proses ini dapat berulang kembali di bagian lain dari paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah atau usus. Walaupun tanpa pengobatan, kavitas yang kecil dapat menutup dan meninggalkan jaringan parut fibrosis. Bila peradangan mereda, lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat dengan taut bronkus dan rongga. Bahan perkijuan dapat mengental dan tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkijuan, dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif. (Price dan Standridge, 2007)
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah sedikit, yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfo-hematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya enyebabkan TB milier; hal ini akan terjadi jika fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskular dan tersebar ke organ-organ tubuh. (Price dan Standridge, 2007)
Manifestasi klinis TB bisa bermacam-macam, antara lain batuk produktif yang berkepanjangan (lebih dari 3 minggu), nyeri dada, dan hemoptisis. Gejala sistemik yang ditimbulkan juga bisa bermacam-macam, antara lain demam menggigil, keringat malam, kelemahan, hilangnya nafsu makan, dan mengalami penurunan berat badan. Seseorang yang dicurigai TB harus dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan fisik, tes tuberkulin, foto toraks, dan pemeriksaan bakteriologi ataupun histologi. Tes tuberkulin harus dilakukan oleh seluruh pasien yang dicurigai TB walaupun tes tersebut bisa memberikan hasil negatif palsu, misalnya pada orang-orang dengan imunosupresif. Walaupun tes tuberkulin intradermal negatif, bagi pasien yang menderita TB dengan batuk produktif dan hemoptisis harus menjalani foto toraks untuk penegakan diagnosis. Kasus TB juga diperkuat oleh adanya kultur bakteriologi dan anamnesis mengenai riwayat pajanan pasien terhadap droplet dan mungkin infeksi TB sebelumnya seta kondisi kesehatan pasien (HIV, malnutrisi, dan lainnya). (Daniel, 2007)
Bila kultur bakteriologi untuk organisme M. tuberkulosis positif, maka dipercaya sebagai kasus TB. Reaksi positif pada uji tuberkulin mengindikasikan adanya infeksi tetapi tidak berarti terdapat penyakit secara klinis. Namun, uji ini merupakan alat diagnosis yang penting dalam mengevaluasi seseorang secara individu dan juga berguna dalam menentukan prevalensi TB dalam masyarakat. Untuk reaksi hipersensitivitas, patogenitas basil tidak berasal dari keracunan intrisik apapun tetapi dari kemampuannya untuk menimbulkan reaksi hipersensitivitas pada pejamu. Reaksi tersebut merupakan produk dari basil yang berupa tuberkuloprotein. Respons peradangan dan nekrosis jaringan adalah akibat dari respons hipersensitivitas seluler (tipe lambat) terhadap pejamu terhadap basil TB. (Daniel, 2007)
B. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah keadaan yang ditandai dengan dilatasi kronik bronkus dan bronkiolus ukuran sedang. Teradapat dua bentuk anatomis yang lazim, yaitu sakular dan silindris. Bronkiektasis sakular adalah dilatasi berupa rongga yang bulat seperti kavitas, seringkali ditemukan pada bronkus yang mengalami dilatasi dan khas pada orang dewasa. Bronkiektasis timbul apabila dinding bronkus melemah akibat perubahan peradangan kronik yang mengenai mukosa serta lapisan otot. Bahan-bahan purulen terkumpul pada daerah yang melebar ini dan mengakibatkan infeksi yang menetap pada segmen atau lobus yang terserang. Infeksi kronik selanjutnya semakin merusak dinding bronkus. Tidak ada penyabab tunggal yang khas dari bronkiektasis karena penyakit ini dilandasi oleh suatu kelainan anatomis. Bronkiektasis paling sering timbul pada masa kanak-kanak akibat infeksi berulang saluran pernapasan bagian bawah, yang mungkin timbul sebagai komplikasi penyakit campak, batuk rejan, atau infleunza. Penyumbatan bronkus akibat neoplasma atau aspirasi benda asing juga dapat menimbulkan bronkiektasis dan infeksi sekunder pada percabangan bronkus bagian distal. Bronkiektasis pada lobus atas dapat dikaitkan dengan tuberkulosis meskipun keadaan ini seringkali tidak menimbulkan gejala karena drainase bronkus dapat terjadi dengan bantuan gravitasi. Fibrosis kistik dan sindrom Kartagener , merupakan contoh-contoh penyakit kongenital yang berkaitan dengan bronkiektasis. Gambaran klinis utama dari bronkiektasis adalah batuk kronik yang jarang, bersifat produktif dengan banyak sputum mukopurulen yang berbau busuk. Batuk semakin berat jika pasien berubah posisi. Jumlah sputum yang dikeluarkan bergantung pada stadium penyakit, tetapi pada kasus yang berat bisa mencapai 200 mL sehari. Hemoptisis sering terjadi, biasanya berupa sputum yang mengandung darah. Gambaran penyakit lanjut dan tidak diobati adalah pneumonia rekuren, malnutrisi, jari-jari tabuh, kor pulmonale, dan gagal jantung kanan. (Wilson, 2007)
Pengobatan yang paling penting adalah pembersihan bronkus setiap hari dengan seksama, disertai drainase postural yang biasanya harus dilanjutkan seumur hidup. Bronkodilator yang digunakan untuk menurunkan kejadian obstruksi jalan napas dan untuk membantu pembersihan sekret, berguna pada pasien dengan saluran napas yang hipereaktif. Pemberian antibiotik untuk mengontrol infeksi juga merupakan terapi lain yang penting. Vaksinasi yang diberikan tepat pada waktunya terhadap penyakit anak-anak yang sering disertai komplikasi pneumonia, penggunaan antibiotik yang benar dan pengobatan lain pada pneumonia, serta pengangkatan segera benda asing yang daspirasi, semuanya merupakan tindakan pencegahan. (Wilson, 2007)
C. Tumor Ganas Paru
Dalam hal ini akan ditinjau dari segi karsinoma bronkogenik saja. Karsinoma bronkogenik disebabkan oleh beberapa hal, yaitu merokok, bahaya industri, dan polusi udara. Adanya suatu karsinogen yang ditemukan dalam udara polusi dan juga pada asap rokok, yaitu 3,4 benzopiren. Bahaya industri yang sangat penting dalam timbulnya karsinoma bronkogenik adalah asbes. Tumor yang spesifik akan pajanann asbes ini adalah mesotelioma jinak lokal atau ganas difus dari pleura. Selain karena pajanan asbes, juga oleh karena pajanan uranium, kromat, arsen, esi, dan oksida besi. Dua faktor yang lain yang berperan dalam timbulnya kanker adalah makanan dan kecenderungan familial. Karsinoma bronkogenik biasanya dibagi menjadi kanker paru sel kecil (small cell lung cancer, SCLC) dan kanker paru sel tidak kecil (non small cell lung carcinoma, NSCLC). Yang termasuk ke dalam NSCLC adalah karsinoma epidermoid, adenokarsinoma, karsinoma sel-sel besar, atau campuran dari ketiganya. (Wilson, 2007)
Karsinoma sel skuamosa (epidermoid), merupakan tipe histologik karsinoma bronkogenik yang paling sering ditemukan, berasal dari permukaan epitel bronkus. Perubahan epitel termasuk metaplasia, atau displasia akibat merokok jangka panjang, secara khas akan mengawali sebelum tumor. Karsinoma sel skuamosa biasanya terletak sentral di sekitar hilus dan menonjol ke dalam bronki besar. Diameter tumor jarang melebihi beberapa sentimeter dan cenderung menyebar secara langsung ke kelenjar getah bening hilus, dinding dada, dan mediastinum. Karsinoma sel skuamosa sering disertai dengan batuk dan hemoptisis akibat iritasi atau ulserasi, pneumonia, dan pembentukan asbes akibat osbtruksi dan infeksi sekunder. Karena tumor ini cenderung agak lamban dalam bermetastasis, maka pengobatan dini dapat memperbaiki prognosis. (Vinai dan Kumar, 2007)
Adenokarsinoma, memperlihatkan susunan seluler seperti kelenjar bronkus dan dapat mengandung mukus. Kebanyakan jenis tumor ini timbul di bagian perifer segmen bronkus dan kadang-kadang dapat dikaitkan dengan jaringan parut lokal pada paru dan fibrosis intersitital kronik. Lesi seringkali meluas ke pembuluh darah dan limfe pada stadium dini, dan sering bermetastasis jauh sebelum lesi primer menyebabkan gejala-gejala. (Vinai dan Kumar, 2007)
Karsinoma sel bronkial alveolar, merupakan subtipe adenokarsinoma yang jarang ditemukan, dan yang berasal dari epitel alveolus dan bronkiolus terminalis. Awitan pada umumnya tidak nyata, disertai tanda-tanda yang menyerupai pneumonia. Pada beberapa kasus, secara makroskopis neoplasma ini mirip konsolidasi uniform pneumonia lobaris. Secara mikroskopis, tampak kelompok-kelompok alveolus yang dibatasi oleh sel-sel jernih penghasil mukus, dan terdapat banyak sputum mukoid. Prognosisnya buruk kecuali kalau dilakukan pembuangan lobus yang terserang pada saat penyakit masih dini. Adenokarsinoma adalah satu-satunya tipe histologi kanker paru yang tidak mempunyai kaitan jelas dengan merokok. (Vinai dan Kumar, 2007)
Karsinoma sel besar, adalah sel-sel ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam-macam. Sel-sel ini cenderung timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat-tempat yang jauh. (Vinai dan Kumar, 2007)
Karsinoma sel kecil, seperti tipe sel skuamosa, biasanya terletak di tengah di sekitar percabangan utama bronki. Tidak seperti kanker paru yang lain, jenis tumor ini timbul dari sel-sel Kulchitsky, komponen normal epitel bronkus. Secara mikroskopis, tumor ini terbentuk dari sel-sel kecil (sekitar 2 kali ukuran limfosit) dengan inti hiperkromatik pekat dan sitoplasma sedikit. Sel-sel ini sering sering menyerupai biji sel oat sehingga sering diberi nama karsinoma sel oat. Karsinoma sel-sel kecil memiliki waktu pembelahan yang tecepat dan prognosis yang terburuk dibandingkan dengan berbagai jenis karsinoma bronkogenik lain. Metastasis dini ke mediastinum dan kelenjar limfe hilus, demikian pula dengan penyebaran hematogen ke organ-organ distal juga sering dijumpai. (Vinai dan Kumar, 2007)
Gejala kanker paru yang paling sering biasanya berupa manifestasi lokal penyakit yang telah lanjut, termasuk batuk persisten, dispnea, hemoptisis, nyeri pleura atau nyeri dada, jari yabuh, dan adanya osteoartropati hipertrofik (HOA). Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelelahan adalah manifestasi kanker paru yang lanjut. Manifestasi penyebaran lokal kanker paru adalah sindrom vena kava, sindrom Horner, tamponade jantung, keterlibatan pleksus brakialis yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri dan kelemahan pada pundak dan lengan, penekanan pada nervus laringeus rekuren sehingga timbul suara serak, pneumonia berulang, dan efusi pleura. Penyebran metastatik merupakan gambaran kanker paru yang sering terjadi. Metastasis kanker paru di bagian ekstratoraks yang sering terjadi adalah pada kelenjar getah bening skalenus, adrenal, hati, otak, tulang, dan ginjal. Efek klinis metastasis distal adalah aktifnya temapt-tempat pertumbuhan sekunder. (Wilson, 2007)
Tingkatan atau stadium kanker paru jenis NSCLC berdasar atas T, N, S dan stadium akan mempengaruhi jenis terapi. Pada NSCLC stadium I, II, dan IIIA terapi yang dianjurkan adalah reseksi bedah. Untuk NSCLC stadium IIIB dan IV, digunakan terapi kombinasi antara kemoterapi dan radiasi. Sedangkan stadium pada SCLC digunakan sistem 2 stadium, yaitu penyakit stadium terbatas dan penyakit stadium berat. Untuk SCLC stadium terbatas, artinya terbatas pada satu hemitoraks dan kelenjar getah bening regional. Pilihan terapi yang digunakan adalah terapi kombinasi antara kemoterapi dan radiasi pada bagian dada yang terserang. SCLC satdium berat artinya mengacu pada berbagai tumor yang meluas hingga keluar batas definisi tingkat penyakit terbatas. Pilihan terapi yang digunakan adalah kombinasi terapi kemoterapi dan radiasi yang secara umum digunakan untuk mengobati daerah metastasis, khususnya pada otak atau tulang dan untuk memulihkan obstruksi vena kava. (Wilson, 2007)

3. DISKUSI DAN BAHASAN
Dalam diskusi, kelompok kami membahas mengenai tuberkulosis sebagai diagnosis utama dan diagnosis banding paling dekat adalah bronkiektasis.
Penyakit infeksi TB pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu infeksi primer dan infeksi post primer. Pada infeksi primer (keradangan permulaan) gambaran patologis berupa gambaran bronkopneumonia yang dikelilingi oleh sel radang lokal. Pada tahap permulaan, fokus primer dapat memberikan keluhan atau tanda seperti suhu badan meningkat ringan atau seubfebril, anak tampak sakit, nyeri pada persendian, malaise, anorekasia, terlihat lelah, dan uji kulit dengan tuberkulin menunjukkan rekasi negatif. Setelah infeksi primer berjalan kurang lebih 12 minggu, yaitu setelah timbul kekebalan spesifik terhadap basil tuberkulosis, maka akan terjadi pembesaran kelenjar limfe ragional sebagai akibat penyebaran limfogen. Dan dengan hal ini, ada beberapa perubahan tanda dan gejala, misalnya rekasi tuberkulin menjadi positif, batuk-batuk oleh karena ada pembesaran kelenjar yang menekan saluran pernapasan (bronkus), pembesaran kelenjar limfe yang tampak pada foto toraks (kelenjar bagian hilus, trakea, dan leher), tampak infiltrat halus yang tersebar luas pada seluruh lapang paru (TB paru milier), panas badan meninggi, dan mungkin juga kejang karena meningitis. Infeksi primer yang terjadi stelah terbentuknya kekebalan/imunitas spesifik, dapat sembuh sendiri dengan meninggalkan atau tanpa meninggalkan bekas berupa fibrotik dan kalsifikasi (dilihat melalui foto toraks).
Reaksi tubuh terhadap TB paru post primer, mengalami keradangan endogen: berasal dari fokus lama (dormant) di dalam paru yang mengalami kekambuhan. Dan keradangan eksogen: karena infeksi baru yang berasal dari luar. TB post primer biasanya, merupakan infeksi ulang, hal ini ditunjukkan dengan adanya proses keradangan pada daerah subklavikula dan bukan pada puncak paru. Gambaran patologisnya ada 2 macam yang penting, yaitu pneumonia lobular dan fokus asinus. Pneumonia lobular ini bisa sembuh sendiri secara sempurna, atau bisa mengalami proses nekrosis yang terbungkus kapsul dan kemudian sembuh dengan meninggalkan sisa pengapuran, atau juga bisa mengalami perkejuan (perlunakan) dan akhirnya akan membentuk rongga atau kavitas atau kaverne (kavitas berdinding tebal). Untuk gambaran fokus asinus, terbentuk sebagai akibat dari penyebaran basil TB secara bronkogen, berasal dari kaverne atau karena proses penyembuhan yang meninggalkan jaringan ikat atau fibrosis.
Pada TB paru primer, permulaan infeksi, basil TB masuk ke dalam tubuh yang belum mempunyai kekebalan, selanjutnya tubuh mengadakan perlawanan dengan cara yang umum yaitu melalui infiltrasi sel-sel radang ke jaringan tubuh yang mengandung basil TB. Reaksi tubuh ini disebut reaksi nonspesifik (Tahap pra-alergis) yang berlangsung kurang lebih 3-7 minggu. Pada tahap ini tubuh akan menunjukkan reaksi-reaksi radang. Setelah tahap reaksi radang nonspesifik dilampaui, reaksi tubuh memasuki tahap alergis yang kira-kira berlangsung selama 3-7 minggu juga. Pada saat itu sudah terbentuk zat anti sehingga tubuh dapat menunjukkan reaksi yang khas, yaiu tanda-tanda keradangan umum ditambah uji tuberkulin yang positif. Berdasar atas hal tersebut, TB primer akan diklasifikasikan menjadi 3 macam, yaitu TB primer sederhana (secara radiologis tidak tampak kelainan, uji tuberkulin positif), TB primer dengan kelainan radiologis (pada gambaran radiologis tampak pembesaran kelenjar limfe mediastinum, uji tuberkulin positif), TB primer dengan kelainan radiologis lain (gambaran radiologis tampak adanya kelainan pada parenkim paru dan pleura, uji tuberkulin positif).
TB primer sering disertai dengan penyulit, misalnya pembesaran kelenjar servikal superfisial, pleuritis TB, efusi pleura, TB milier, dan meningitis TB. Pada pembesaran kelenjar servikal superfisial, terjadi penyebaran langsung TB ke kelenjar limfe mediastinum bagian atas dan para trakea berasal dari kelenjar hilus. Paling sering menyerang kelenjar limfe supraklavikula dan servikal anterior. Kelainan di kelenjar tersebut bereaksi sangat lambat terhadap obat anti TB (OAT). Bila terjadi abses pada kelenjar dilakukan pembedahan. Pleuritis TB, adalah kelainan pada pleura yang juga merupakan penyulit dini TB primer dan terjadi 6-8 bulan setelah serangan awal. Sering disertai kelainan pada kulit yaitu eritema nodusum. Efusi pleura, juga merupakan penyulit TB primer yang biasanya jernih. Pada keadaan ini, prognosis penyakit masih baik. Reaksi terhadap OAT seringkali dramatis karena dapat memberikan resolusi sempurna dalam 1-2 minggu akan tetapi kemungkinan untuk menderita TB post primer si kemudian hari lebih besar. TB milier, kelainan ini paling dini dibandingkan dengan penyulit TB primer yang lain. Proses TB milier terjadi 8 bulan setelah timbul TB primer, gambaran radiologis tampak 2 minggu setelah gejala klinis. Karena penyebaran yang meluas ke seluruh organ, maka perlu dicari kemungkinan adaya tuberkel di fundus okuli, sumsum tulang, dan hati.Sedangkan untuk meningitis TB, dapat terjadi sebagai akibat dari penyebaran hematogen atau fokus pengkejuan yang pecah di rongga subarakhnoid pada tahap akhir TB milier.
TB post primer sering diistilahkan sebagai TB progresif (progressive TB), TB tipe dewasa (adult type TB), phthysis, dan lain-lain. Infeksi bisa didapatkan dari luar maupun dari dalam. Infeksi dari luar (eksogen), misalnya adalah infeksi ulang pada tubuh yang pernah menderita TB. Sedangkan infeksi dari dalam (endogen), misalnya adalah infeksi dari basil yang sudah berada di dalam tubuh, merupakan proses lama yang pada mulanya tenang dan oleh suatu keadaan menjadi aktif kembali.
Secara umum proses awal TB paru menahun berupa satu atau lebih pneumonia lobular yang juga disebut fokus dari “Asmann”. Fokus ini mengambil tempat di daerah subklavikula yang sesuai dengan daerah posterolateral dari lobus superior atau di lapangan tengah paru yang sesuai dengan segmen superior dari lobus inferior, walaupun lokasi ini jaraang dijumpai. Lesi infiltrat dini tersebut tidak stabil. Dapat sembuh dengan jalan resorbsi menjadi fibrosis, mengalami kalsifikasi atau dapat menjadi progresif yang proses eksudatifnya menjadi bertambah luas, disertai dengan perkejuan-perkejuan dan berakhir dengan timbulnya kavitas. Proses dikatakan menahun apabila progresivitasnya berjalan perlahan-lahan atau ada kavitas yang disertai penyembuhan di satu bagian, sedangkan di bagian lain dari paru proses masih tetap aktif dan meluas. Proses tersebut dapat meluas melalui 4 cara, yaitu:
- Penyebaran langsung basil TB ke daerah sekitarnya.
- Penyebaran basil TB melalui saluran pernapasan (brongenik, duktal, canalicular dissemination).
- Penyebaran basil TB melalui saluran limfe (limfogen). Penyebaran secara limfogen inilah yang bertanggung jawab atas proses di pleura, dinding toraks dan tulang belakang.
- Penyebaran basil TB dengan cara hematogen. Hal inilah yang menimbulkan TB milier, dengan syarat: proses berasal dari paru dan telah meluas sampai menembus vena pulmonalis, pecahnya proses yang terdapat di dinding vena sehingga basil TB ikut aliran darah ke tempat lain, basil TB berasal dari kelenjar mediastinum yan pecah (umumnya pada TB primer), dan penyebaran yang berasal dari TB ekstrapulmonar.
Tanda dan gejala yang umum pada TB tidaklah khas dan bisa bervariasi. Batuk, yang timbul dini merupakan gangguan yang sering dikeluhkan. Biasanya batuk ringan sehingga dianggap batuk biasa atau akibat rokok. Proses yang paling ringan ini menyebabkan sekret akan terkumpul pada waktu penderita tidur dan dikeluarkan saat penderita bangun pagi hari. Bila proses destruksi berlanjut, sekret dikeluarkan terus menerus sehingga batuk menjadi lebih dalam dan sangat mengganggu penderita pada waktu siang maupun malam hari. Bila yang terkena trakea dan/atau bronkus, batuk akan terdengar sangat keras, lebih sering atau terdengar berulang-ulang (paroksismal). Bila laring yang terserang, batuk terdengar sebagai hollow sounding cough, yaitu batuk tanpa tenaga dan disertai suara serak. Dahak juga sebagai petunjuk utama. Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit kemudian berubah menjadi mukopurulen/kuning atau kuning hijau sampai purulen dan kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi pengejuan dan perlunakan. Dahak jarang berbau busuk, kecuali bila ada infeksi anaerob. Batuk darah sering terjadi pada penderita TB. Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpaln-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak (profus). Batuk darah jarang merupakan tanda permulaan dari penyakit TB atau initial symptom karena batuk darah merupakan tanda telah terjadinya ekskavasi dan ulserasi pembuluh darah pada dinding kavitas. Batuk bisa terjadi secara masif bila terjadi kerobekan aneurisma Rassmussen pada dinding kavitas atau ada perdarahan yang berasal dari bronkiektasis atau ulserasi trakeo-bronkial. Keadaan ini bisa menyebabkan kematian karena adanya penyumbatan saluran napas oleh bekuan darah. Batuk darah yang disebabkan oleh TB paru, pada pemeriksaan radiologis akan tampak pada kelainan keculai bila penyebab batuk tersebut adalah trakeobronkitis. Pada pasien TB yang sudah sembuh, masih sering terdapat batuk darah, hal ini dikarenakan robekan jaringan paru atau darah berasal dari bronkiektasis pada penyakit paru. Pada keadaan seperti inilah dahak sering dinyatakan BTA -. Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Wheezing pada TB paru dikarenakan oleh penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan oleh sekret, bronkostenosis, radang, jaringan granulasi, ulserasi. Dispnea merupakan late symptom dari proses lanjut TB paru akibat adanya restriksi dan obstruksi saluran pernapasan serta loss of vascular bed yang dapat berakibat pada gangguan difusi, hipertensi pulmonal dan korpulmonal. Gejala umum lainnya adalah panas badan, menggigil, keringat malam, ganggan menstruasi, anoreksia, dan lemah badan.
Akibat adanya proses infeksi TB paru, hal ini berakibat pada perubahan tanda-tanda fisik pada pasien. Perubahan volume paru misalnya, pada keadaan fibrosis, atelektasis dan kavitas memperkecil volume jaringan paru yang terkena sehingga menarik jaringan sekitar seperti trakea, mediastinum, fosa supraklavikularis dan infraklavikularis, ditambah lagi dengan penebalan pleura. Konsolidasi pada parenkim tidak mengubah volume paru. Perubahan pergerakan pernapasan yang merupakan perubahan fisik lainnya, dikarenakan oleh daerah yang terkena penyakit akan berkurang gerakannya. Perubahan penghantaran suara akibat konsolidasi dan fibrosis pada parenkim paru dengan saluran pernapasan yang masih terbuka akan meningkatkan penghantaran getaran suara sehingga fremitus suara meningkat. Suara napas menjadi bronkovesikular atau bronkial, didapatkan bronkofoni atau suara bisikan yang disebut dengan whispered pectoriloque. Atelektasis obstruktif dan penebalan pleura akan menghambat penghantaran getaran suara tetapi atelektasis parsial meningkatkan penghantaran getaran suara. Sekret yang berada di dalam bronkus akan menimbulkan suara tambahan berupa ronki basah. Suara ronki kasar atau halus tergantung dari tempat sekret berada. Penyempitan saluran pernapasan menimbulkan ronki kering, dan jika penyempitan ini disertai kavitas, dapat terdengar suara yang disebut hollow sound sampai amforik.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan, antara lain:
- Dahak merupakan sampel yang sangat patognomonis untuk TB paru. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis (dengan pengecatan tertentu) untuk menentukan BTA + sangat berguna untuk penegakan diagnosis TB paru.
- Pemeriksaan cairan pleura dilakukan untuk pasien TB paru yang diduga dengan penyulit efusi pleura. Pemeriksaan ini dilakukan secara makroskopis maupun mikroskopis.
- Pemeriksaan darah tidak bisa digunakan sebagai pegangan untuk diagnosis TB paru karena pemeriksaan darah tidak menunjukkan gambaran TB yang khas. Setidaknya, pemeriksaan darah dapt digunakan untuk membantu menentukan aktivitas penyakit.
- Pemeriksaan laju endap darah (LED) sering meningkat pada proses aktif tetapi LED yang normal tidak dapat mengesampingkan proses TB aktif.
- Pemeriksan leukosit daapt normal atau sedikit meningkat pada proses yang aktif.
- Pemeriksaan hemoglobin menunjukkan anemia pada penyakit TB berat akibat penyakit kronis dan mungkin juga karena anemia defisiensi besi.
- Uji tuberkulin merupakan pemeriksaan untuk menunjukkan reaksi imunitas seluler yang timbul setelah 4-6 minggu penderita mengalami infeksi pertama dengan basil TB.
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Tahap awal (intensif) pasien mendapatkan obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA + menjadi BTA – (konversi) dalam 2 bulan. Untuk tahap lanjutan, pasien mendapat jenis obat lebih sedikit tetapi dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan ini penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Obat yang diberikan sebagai OAT, antara lain:
Jenis OAT, Sifat, Dosis Harian (mg/kgBB), Dosis 3 x 1 minggu (mg/kgBB):
Isoniazid (H), Bakterisid, 5 (4-6), 10 (8-12)
Rifampicin (R) ,Bakterisid ,10 (8-12) ,10 (8-12)
Pyrazinamide (Z), Bakterisid, 25 (20-30), 35 (30-40)
Streptomycin (S), Bakterisid, 15 (12-16), 15 (12-18)
Ethambutol (E), Bakteriostatik, 15 (15-20), 30 (20-35)
Pada program pemerintah, menggunakan 4 macam jenis program OAT. Ada OAT kategori 1 yang merupakan 2(HRZE)/4(HR)3: artinya pada tahap intensif diberikan OAT-KDT yang berisikan HRZE selama 2 bulan (56 hari) dan diminum setiap hari, dan pada tahap lanjutan diberikan OAT-KDT yang berisikan HR selama 4 bulan (16 minggu) dan diminum 3 kali seminggu. OAT kategori 2 yang merupakan 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3: artinya pada tahap intensif selama 2 bulan pertama (56 hari) akan diberikan OAT-KDT yang berisikan HRZE yang diminum setiap hari dan S injeksi yang diberikan setiap hari, kemudian tahap intensif 1 bulan berikutnya (28 hari) akan diberikan OAT-KDT yang berisikan HRZE dan diminum setiap hari, sedangkan pada tahap lanjutannya akan diberikan OAT-KDT berisikan HR selama 5 bulan (20 minggu) diminum 3 kali seminggu dan diberikan E selama 5 bulan (20 minggu) juga diminum 3 kali seminggu. OAT sisipan yang merupakan (HRZE), jadi diberikan OAT-KDT yang berisikan HRZE selama 1 bulan (28 hari) dan diminum setiap hari. Dan yang terakhir adalah OAT kategori anak yang merupakan 2 (HRZ)/4(HR), yang berarti pada tahap intensif akan diberikan OAT kombipak yang terdiri atas HRZ selama 2 bulan dan diminum setiap hari, sedangkan untuk tahap lanjutan diberikan OAT kombipak yang terdiri atas HR selama 4 bulan dan diminum setiap hari juga.
OAT-KDT atau FDC adalah obat yang didalamnya merupakan kombinasi 2 atau 4 macam jenis obat dari keempat macam OAT, yaitu H, R, Z, atau E. Untuk OAT kategori anak, sementara ini hanya tersedia dalam bentuk kombipak, jadi OAT jenis H, R, atau Z diperoleh dalam sediaan terpisah. Paket kombipak (terpisah) H, R, Z, atau E untuk dewasa juga disediakan dalam bentuk blister yang akan diberikan pada pasien TB dewasa jika pasien tersebut mengalami efek samping pada pemberian OAT-KDT. OAT di Puskesmas Gilingan didapatkan dari WHO dan tersedia dalam bentuk paket dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan atau kontinuitas pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan. KDT sendiri memiliki beberapa keuntungan, yaitu dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan (BB) sehingga menjamin efektivitas obat dan mengurangi efek samping, mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan risiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep, jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
OAT kategori 1 diindikasikan untuk pasien baru TB paru BTA positif dan pasien TB ekstra paru. OAT kategori 2 diindikasikan untuk pasien TB BTA positif yang telah diobati sebelumnya dengan hasil pasien kambuh, pasien gagal, dan pasien dengan pengobatan setelah putus berobat. OAT kategori 1 juga diindikasikan untuk pasien TB paru BTA negatif dengan foto toraks positif. Pengobatan TB ini juga berdasar atas berat badan pasien, dengan ketentuan: jika berat badan pasien TB dewasa adalah 30-37 kg diberikan 2 tablet OAT-KDT, 38-54 kg diberikan 3 tablet OAT-KDT, 55-70 kg diberikan 4 tablet OAT-KDT, untuk berat badan pasien lebih dari atau sama dengan 71 kg diberikan 5 tablet OAT-KDT. Untuk pasien TB anak-anak kurang dari 5 kg harus dirujuk ke Rumah Sakit, untuk berat badan 6-10 kg diberikan setengan wadah kombipak, untuk berat badan 10-20 kg diberikan satu wadah kombipak, dan untuk berat badan 20-30 kg diberikan 2 wadah kombipak. Sedangkan untuk tahap lanjutan, pemberian S injeksi diberikan berdasar atas berat badan juga, yaitu 30-37 kg diberikan 500 mg S inj, 38-54 kg diberikan 750 mg S inj, 55-70 kg diberikan 1000 mg S inj, dan jika berat badan lebih dari atau sama dengan 71 kg juga diberikan 1000 mg inj.
Pengobatan kategori 1 menggunakan paket kombipak ada 2 macam ketentuan:
- Pengobatan intensif setiap harinya selama 2 bulan (56 hari, 56 kali menelan obat) diberikan 1 tablet H (@ 300 mg), 1 kaplet R (@ 450 mg), 3 tablet Z (@ 500 mg), dan 3 tablet E (@ 250 mg).
- Pengobatan lanjutan selama 4 bulan (16 minggu) dan setiap 3 kali seminggu (48 kali menelan obat) diberikan 2 tablet H (@ 300 mg) dan 1 kaplet R (@ 450 mg).
Pengobatan kategori 2 menggunakan paket kombipak ada 4 macam ketentuan pula:
- Pengobatan intensif setiap harinya selama 2 bulan pertama (56 hari, 56 kali menelan obat) diberikan 1 tablet H (@ 300 mg), 1 kaplet R (@ 450 mg), 3 tablet Z (@ 500 mg), 3 tablet E (@ 250 mg), dan S inj (0,75 g).
- Pengobatan intensif setiap harinya selama 1 bulan berikutnya (28 hari, 28 kali menelan obat) diberikan 1 tablet H (@ 300 mg), 1 kaplet R (@ 450 mg), 3 tablet Z (@ 500 mg), dan 3 tablet E (@ 250 mg).
- Pengobatan lanjutan selama 5 bulan (20 minggu) dan setiap 3 kali seminggu (60 kali menelan obat) diberikan 2 tablet H (@ 300 mg), 1 kaplet R (@ 450 mg), 1 tablet E (@ 250 mg), dan 2 tablet E (@ 400 mg).
- Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan.
Pengobatan kategori OAT sisipan terdapat beberapa ketentuan:
- Tahap intensif menggunakan kombipak selama 1 bulan (28 hari, 28 kali menelan obat) diberikan 1 tablet H (@ 300 mg), 1 kaplet R (@ 450 mg), 3 tablet Z (@ 500 mg), dan 3 tablet E (@ 250 mg).
- Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.
Dalam penanganan pasien TB perlu dilakukan evaluasi atas keberhasilan pengobatan. Untuk prosedur penjaringan suspek sampai pengobatan sudah dibahas di bagian sebelumnya. Jadi pada bagian ini akan dibahas mengenai tahap akhir program penatalaksanaan TB di Puskesmas Gilingan. Tahap akhir setelah pengobatan dengan pilihan kategori OAT yang tepat adalah pemeriksaan dahak ulang, dengan ketentuan sebagai berikut:
- Jika pasien baru BTA + dengan OAT kategori 1, pada pemeriksaan dahak akhir tahap intensif memberikan hasil BTA -, maka tahap lanjutan dimulai tetapi jika hasil BTA +, dilanjutkan dengan OAT sisipan selama 1 bulan dan bila setelahnya masih tetap BTA +, tahap lanjutan tetap diberikan. Pada pemeriksaan dahak sebulan sebelum AP atau pada akhir AP, jika didapatkan negatif (BTA -) dinyatakan sembuh tetapi jika hasilnya BTA + maka dinyatakan gagal dan harus diganti dengan OAT kategori 2 dimulai dari awal.
- Jika pasien baru BTA – dan Rontgen (RO) + dengan OAT kategori 3, pada pemeriksaan dahak pada akhir tahap intensif memberikan hasil BTA -, maka pasien diberikan OAT tahap lanjutan sampai selesai dan dianggap pengobatan lengkap tetapi jika didapatkan hasil BTA +, maka harus diganti dengan OAT kategori 2 dan dimulai dari awal.
- Jika pasien dengan terapi OAT kategori 2, pada pemeriksaan dahak akhir tahap intensif, diperoleh BTA -, maka diteruskan ke pengobatan tahap lanjutan tetapi jika siperoleh hasil BTA +, maka diberikan sisipan 1 bulan dan bila setelahnya masih positif, pengobatan diteruskan ke tahap lanjutan (bila perlu juga dilakukan uji kepekaan obat). Pada pemeriksaan dahak sebulan sebelum AP atau pada akhir AP diperoleh negatif keduanya, berarti pasien sembuh tetapi jika diperoleh hasil BTA +, kasus TB termasuk kasus kronik dan harus dirujuk ke unit pelayanan spesialistik.
Pencegahan penyakit TB bisa dilakukan dengan berbagai cara, yaitu pencegahan terhadap infeksi TB dan meningkatkan daya tahan tubuh, serta memberikan pengobatan sampai tuntas pada penderita TB. Pencegahan infeksi TB dilakukan dengan melakukan pencegahan terhadap sputum yang infeksius. Hal ini bisa dilakukan dengan jalan case finding dengan pemeriksaan BTA, pemeriksaan foto toraks, dan uji tuberkulin dengan Mantoux. Selain itu bisa dilakukan dengan isolasi penderita dan mengobati penderita, serta membuat lingkunagan atau ruangan dengan ventilasi baik dan mendapatkan sinar matahari yang cukup. Dalam meningkatkan daya tahan tubuh harus dilakukan dengan memperbaiki standar dan kualitas hidup, dan perlu peningkatan daya tahan tubuh terhadap infeksi TB dengan melakukan vaksinasi BCG.
Pada pasien di atas tidak diberikan keterangan lebih lanjut mengenai pengobatan paket untuk penyakit paru yang diderita sebelumnya sehingga kita tidak bisa mengetahui apakah sebenarnya pasien sebelumnya sudah sembuh atau putus obat. Mata kuning dan muntah-muntah yang dialami pasien mungkin karena jenis obat , dalam hal ini adalah OAT, yang diberikan kepada pasien melaui paket obat. Rifampisin dan etambutolmemberikan efek samping muntah dan mual. Mata kuning mungkin disebabkan oleh isoniazid dan rifampisin. Adanya kelainan ikterik ini, setelah pengobatan atau selama pengobatan, perlu dilakukan tes fungsi hati (SGPT dan SGOT) pada pasien yang bersangkutan.
Pembahasan dilanjutkan pada bronkiektasis. Bronkiektasis biasanya bukan merupakan penyakit yang bisa berdiri sendiri dengan satu macam penyebab yang spsesifik karena bronkiektasis biasanya disebabkan oleh penyakit lain dan juga bisa menjadi penyulit penyakit paru lainnya. Misalnya penyakit infeksi kronik seperti TB paru. Bronkiektasis adalah pelebaran atau dilatasi bronkus lokal dan permanen sebagai akibat dari kerusakan struktur dinding.
Radang pada saluran pernapasan menyebabkan silia dari sel epitel bronkus tidak berfungsi. Epitel kolumnar mengalami degenerasi dan diganti menjadi epitel bertatah. Selanjutnya elemen kartilago muskularis mengalami nekrosis dan jaringan elastis yang terdapat di sekitarnya akan mengalami kerusakan sehingga berakibat dinding bronkus menjadi lemah, melebar tak beraturan, dan permanen. Bila ulserasi mengenai pembuluh darah, dapat terjadi batuk darah berulang. Selain itu timbul hipertrofi dari pembuluh darah serta terbentuk banayak anstomosis antara vena bronkialis dengan vena pulmonaris (right to left shunt) dengan akibatnya timbul hipoksemia kronis dan berakhir dengan kor pulmonal kronis. Selain akibat peradangan, bronkiektasis juga bisa sebagai akibat faktor mekanik. Bisa karena distensi mekanis sebagai akibat dari dinding bronkus yang lemah, sekret yang menumpuk dalam bronkus, adanya tumor atau pembesaran kelenjar limfe. Peningkatan tekanan intrabronkial distal dari penyempitan batuk juga merupakan penyebab mekanik, selain itu mungkin karena penarikan dinding bronkus oleh karena fibrosis jaringan paru, sebagai akibat timbulnya perlekatan lokal yang permanen dari dinding bronkus.
Gambaran klinik pada pasien bronkiektasis bervariasi yang pada dasarnya hampir sama dengan penyakit paru lainnya. Gejala klinik timbul akibat gangguan fungsi silia dan adanya stasis sekret sehingga memungkinkan sekret terkumpul di segmen yang mengalami dilatasi. Penderita tampak kurus, astenia, dan anoreksia. Adanya panas badan akibat infeksi sekunder dan sesan napas. Penderita bronkiektasis mengeluh batuk produktif yang sering bersifat menahun yang disertai dahak purulen dalam jumlah banyak. Pada pemeriksaan radiologi akan tampak infiltrat pada paru bagian basal dengan daerah radiolusen yang multipel menyerupai sarang lebah (honey comb appearence). Bronkografi merupakan cara untuk mendiagnosis bronkiektasis yang pasti karena bisa menampakkan adanya ektasis dengan menggunakan bahan kontras.
Untuk diagnosis kanker diperlukan pemeriksaan lebih lanjut, biasanya diagnosis pasti ditegakkan melalui pemeriksaan biopsi, sitologi, dan pemeriksaan adiologi, serta bronkoskopi. Bronkoskopi yang disertai biopsi merupakan teknik yang paling baik dalam mendiagnosis karsinoma sel skuamosa. Biopsi kelenjar skalenus adalah cara terbaik untuk mendiagnosis kanker-kanker yang tidak terjangkau oleh bronkoskopi. Pemeriksaan sitologi sputum, bilasan bronkus, dan pemeriksaan cairan pleura juga penting dilakukan untuk diagnosis kanker paru. Jadi,rencana biopsi jarum halus di skenario dimungkinkan untuk mengetahui adanya kanker paru yang telah bermetastasis secara limfogen atau penyulit TB yang berupa pembesaran kelenjar limfe sevikal.

4. KESIMPULAN
¨ Hal yang aneh yang terjadi pada seorang laki-laki, 30 tahun, adalah batuk darah sebanyak 250 cc sejak 1 hari yang lalu, ada keluhan batuk dengan dahak sulit keluar sejak 2 bulan diikuti demam yang hilang timbul dan keringat malam, dan tidak mau makan 2 hari ini, berat badan menurun 4 kg.
¨ Keadaan umum dan hasil pemeriksaan fisik, didapatkan hasil: konjungtiva pucat, auskultasi terdapat suara amforik pada paru kanan, dan didapatkan pembesaran kelenjar leher. Pada foto toraks tampak gambaran fibroinfiltrat dan kavitas di paru kanan, gambaran sarang tawon pada apeks paru kiri.
¨ Tanda dan gejala umum TB antara lain batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih, dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun atau tidak bertambah selama 3 bulan, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam dan meriang lebih dari satu bulan
¨ Terapi TB adalah dengan pemberian OAT kombinasi dosis tetap, misalnya Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Ethambutol, dan Streptomisin injeksi dengan ketentuan dan dosis tertentu.
¨ Pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis TB bisa dilakukan dengan pemeriksaan mikrobiologi sputum dan foto toraks.
¨ Tanda dan gejala umum bronkiektasis antara lain batuk kronik yang jarang, bersifat produktif dengan banyak sputum mukopurulen yang berbau busuk, panas badan, astenia, kurus, dan anoreksia.
¨ Terapi bronkiektasis meliputi mengobati penyakit dasar, drainase postural, penggunaan antibiotika dengan cepat dan segera, pemberian mukolitik dan ekspektoran, atau bahkan pembedahan. Indikasi dilakukan pembedahan adalah batuk darah berulang, proses ektasis lokal/soliter.
¨ Pemeriksaan penujang untuk penegakan diagnosis bronkiektasis adalah dengan pemeriksaan radiologis dan bronkografi.
¨ Apabila memang hasil biopsi jarum halus tidak menunjukkan adanya kanker paru berarti penegakan diagnosis semnetara ini untuk pasien di skenario adalah TB (merupakan penyakit infeksi kronis) tipe post primer, kemudian komplikasi dari TB tersebut adalah bronkiektasis dan penyulit TB di skenario adalah pembesaran kelenjar limfe servikal.

5. DAFTAR PUSTAKA
Daniel, T. M. 2007. Tuberkulosis. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 2. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 799-808.
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Frances K. Widmann. 1995. Clinical Interpretation of Laboratory Tests. 9th ed. Philadelphia : F. A. Davis Company.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Madoff, L. C. dan D. L. Kasper. 2007. Pendahuluan pada Penyakit Menular: Interaksi Pejamu-Parasit. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 2. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 540-4.
Maitra, A., V. Kumar. 2007. Paru dan Saluran Napas Atas. Dalam: Kumar, V., R. S. Cortran, dan S. L. Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 509-70.
Mukty, A.,et.al. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press.
Onderdonk, A. B. 2007. Pemeriksaan Laboratorium untuk Diagnosis Penyakit Infeksi. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 2. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 545-50.
Price, S. A. dan M. P. Standridge. 2007. Tuberkulosis Paru. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 852-62.
Siti Boedina Kresno, et.al. 1995. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium. 9th ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Siti Boedina Kresno. 2003. IMUNOLOGI : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. 4th ed. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Speizer, F. E. 2007. Penyakit Paru karena Lingkungan. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1322-30.
Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.
Wilson, L. M. 2007. Pola Obstruktif pada Penyakit Pernapasan. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 783-93.
Wilson, L. M. 2007. Tanda dan Gejala Penting pada Penyakit Pernapasan. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 773-81.
Wright, P. W. dan R. J. Wallace. 2007. Obat Antimikobakterium. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 2. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 794-8.

Tuesday, December 16, 2008

POLA PENYAKIT OBSTRUKTIF DAN RESTRIKTIF PARU

1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem pernapasan meliputi paru, sistem saraf pusat (SSP), dinding dada (dengan diafragma dan otot interkostalis) dan sirkulasi paru. Sistem saraf pusat mengendalikan kerja otot dinding dada, yang bekerja sebagai pompa sistem pernapasan. Karena komponen sistem pernapasan bekerja sama untuk mencapai pertukaran gas, malfungsi tiap-tiap komponen atau perubahan hubungan antara komponen dapat menyebabkan gangguan fungsi. Tiga aspek utama gangguan fungsi pernapasan yaitu gangguan fungsi ventilasi, gangguan sirkulasi pulmonal, dan gangguan pertukaran gas. Untuk pembahasan kali ini akan lebih dibahas mengenai gangguan fungsi ventilasi.
Seperti yang telah dibahas pada skenario sebelumnya, ventilasi merupakan proses yang digunakan oleh paru untuk pertukaran gas di dalam alveoli. Pengukuran fungsi ventilasi untuk keperluan diagnostik terdiri atas pengukuran kuantitas volume udara di dalam paru di bawah kondisi tertentu dan kecepatan pengeluaran udara di dalam paru Dua cara pengukuran volume paru yang lazim digunakan untuk untuk menegakkan diagnosis penyakit pernapasan adalah pengukuran total lung capacity (kapasitas total paru) atau TLC dan residual volume (volume residual) atau RV. Kapasitas total paru (TLC) adalah volume udara yang ada di dalam paru setelah inspirasi maksimal, sedangkan residual volume (RV) adalah volume udara yang tersisa di dalam paru pada akhir ekspirasi maksimal. Volume udara yang dihembuskan keluar dari paru dalam perubahan dari TLC menjadi RV disebut vital capacity (kapasitas vital) atau VC.
Pengukuran aliran udara pernapasan secara klinis yang lazim dilakukan adalah melalui perasat, yaitu pasien melakukan inspirasi hingga mencapai kapasitas total paru dan kemudian menghembuskan udara dengan kuat himgga mencapai volume residual (RV). Tiga pengukuran secara umum dihasilkan dari perekaman volume-waktu, yaitu spirogram yang didapat selama melakukan perasat ekspirasi paksa (forced expiration): (1) volume udara yang dihembuskan keluar selama satu detik pertama ekspirasi (volume ekspirasi paksa dalam satu detik) atau FEV1 (forced expiratory volume in 1 second), (2) total volume yang dihembuskan keluar dengan paksa (FVC, forced vital capacity, kapasitas vital paksa) dan (3) kecepatan aliran udara ekspirasi rata-rata selama kapasitas vital 50 persen (forced expiratory flow antara kapasitas vital 25% dan 75% atau FEF25-75% juga disebut maximal midexpiratory flow rate atau MMFR).
Dari skenario 2 Blok Respirasi, ada beberapa masalah penting, yaitu :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Seorang laki-laki, 70 tahun, perokok datang ke IGD dengan keluhan utama: sesak napas berat 2 hari ini disertai nyeri dada kanan.
- Dalam 3 hari ini batuk makin sering dengan dahak yang lebih pekat, berwarna kuning kehijauan.
- Kedua tungkai bengkak 1 bulan ini.
- Dalam 2 tahun ini rasa batuk dan sesak dirasa lebih berat dan dirasakan adanya mengi.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- Riwayat batuk dan sesak napas sejak 10 tahun yang lalu.
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Penderita pernah menggunakan inhaler sebagai pelega, pernah disarankan berhenti merokok, pernah bekerja di pabrik asbes selama 7 tahun.
- Keadaan umum penderita tampak gelisah dan sianotik.
- Pemeriksaan fisik inspeksi statis: dada kanan menonjol daripada kiri dan saat bernapas dada kanan teringgal. Pemeriksaan fisik perkusi: hipersonor pada paru kanan. Pemeriksaan fisik auskultasi: suara napas lemah pada paru kanan, pada paru kiri didapatkan ronki dan wheezing.
- Pemeriksaan jumlah leukosit belum ada hasil.
- Tidak dilakukan pemeriksaan analisis gas darah.
- Pemeriksaan spirometri belum dapat dilakukan.
- Pemeriksaan foto toraks: paru kanan mengalami kolaps disertai gambaran hiperlusen dan pleural line, sedangkan pada paru kiri emfisematous.
- Pemeriksaan kultur mikroorganisme dan sitologi sputum belum ada hasil.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas, antara lain :
a. Uji fungsi ventilasi: volume paru statis
b.Analisis gas darah
c. Tanda dan gejala umum penyakit pada sistem respirasi
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Mengetahui gejala-gejalanya lebih lanjut dan penatalaksanaannya.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem kerja pernapasan (sistem respirasi) dan penyelesaiaannya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dan melingkupi sistem respirasi meliputi anatomi, histologi dan fisiologi.
b. Menjelaskan proses respirasi secara fisiologis.
c. Menjelaskan tentang proses ventilasi dan transportasi yang terjadi di dalam paru-paru
d. Menjelaskan tentang proses sirkulasi pulmoner dan perubahan/pertukaran gas dalam paru-paru.
e. Menjelaskan perkembangan saluran pernapasan, pertahanan saluran pernapasan dan kontrol feed back dalam sistem pernapasan.
f. Menjelaskan mekanisme batuk dan gejala umum gangguan pernapasan yang lainnya.
g. Menjelaskan mekanisme terjadinya kelainan pada sel/organ pada penyakit-penyakit sistem respirasi meliputi patogenesis, patologi, dan patofisiologinya.
h. Menjelaskan jenis-jenis kelainan pada sistem respirasi meliputi kausa, patogenesis, patologi, patofisiologi, gejala, komplikasi, prognosis, dan dasar terapi pada kelainan karena kondisi obstruksi, kondisi restriktif, insufisiensi pernapasan, penyakit kardiovaskular dan paru, infeksi, penyakit lingkungan, dan neoplasma.
i. Melakukan pemeriksaan yang menunjang diagnosis penyakit paru.
j. Menjelaskan komplikasi yang ditimbulkan pada penyakit-penyakit di sistem respirasi.
k. Menjelaskan manajemen/penatalaksanaan penyakit pada sistem respirasi meliputi dasar-dasar terapi: medikamentosa, konservatif, diet, operatif, rehabilitasi, dll.
l. Menjelaskan symptom dan sign penyakit-penyakit pada sistem respirasi.
m. Menjelaskan penegakan diagnosis penyakit pada sistem respirasi.
n. Menyusun data dari gejala, pemeriksaan fisik, prosedur klinik, dan pemeriksaan laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis sementara dan diagnosis banding pada penyakit sistem respirasi.
o. Menentukan prosedur klinik penunjang diagnosis penyakit sistem respirasi.

2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Uji Fungsi Ventilasi: Volume Paru Statis
Volume dan kapasitas paru merupakan pengukuran anatomis yang dipengaruhi oleh latihan fisik dan penyakit. Terdapat empat volume paru dan empat kapasitas paru. Kapasitas paru selalu terdiri dari dua vuolume paru atau lebih. Volume dan kapasitas paru ini dapat langsung diukur menggunakan spirometer. Spirometer adalah suatu alat yang sederhana yang dilengkapi pompa atau bel yang akan bergeser pada waktu paien bernapas ke dalamnya melalui sebuah katup dan tabung penghubung. Pada waktu menggunakan spirometer, grafik akan terekam pada sebuah drum yang dapat berputar dengan sebuah pena pencatat. Spirometri langsung dengan memakai komputer pada waktu pasien berada di tempat tidur sering dilakukan. Pengukuran volume paru statis dalam praktik digunakan untuk mencerminkan elastisitas paru dan toraks. Pengukuran yang paling berguna adalah VC, TLC, FRC, dan RV. Penyakit yang membatasi pengembangan paru (penyakit paru restriktif) akan mengurangi volume-volume ini. Sebaliknya, penyakit-penyakit yang menyumbat saluran napas (penyakit paru obstruktif) hampir selalu dapat meningkatkan FRC dan RV akibat hiperinflasi paru. TLC dapat normal atau meningkat, dan VC seringkali menurun. Pada penyakit paru dengan RV yang meningkat karena udara terperangkap, VC harus menurun dalam jumlah besar, karena TLC relatif stabil (kecuali bila sebagian paru telah diangkat pada saat pembedahan) dan karena TLC = RV + VC. (Wilson, 2007)
Kapasitas dan volume paru, secara ringkas dijelaskan sebagai berikut. Volume tidal (VT) adalah jumlah udara yang diinspirasi atau diekspirasi pada setiap kali bernapas (nilai ini adalah untuk keadaan istirahat), bernilai rata-rata 500 mL untuk laki-laki dewasa. Volume cadangan inspirasi (IRV) adalah jumlah udara yang dapat diinspirasi secra paksa sesudah inhalasi volume tidal normal, bernilai rata-rata 3100 mL untuk laki-laki dewasa. Volume cadangan ekspirasi (ERV) adalah jumlah udara yang dapat diekspirasi secara paksa sesudah ekspirasi volume tidal yang normal, bernilai rata-rata 1200 mL untuk laki-laki dewasa. Volume residu (RV) adalah jumlah udara yang tertinggal dalam paru sesudah ekspirasi paksa, bernilai rata-rata 1200 mL. Kapasitas paru total (TLC) adalah jumlah udara maksimal yang dapat dimasukkan ke dalam paru sesudah inspirasi maksimal: TLC = VT + IRV + ERV + RV; TLC = VC + RV, bernilai rata-rata 6000 mL untuk laki-laki dewasa. Kapasitas vital (VC) adalah jumlah udara maksimal yang dapat diekspirasi sesudah inspirasi maksimal : VC = VT + IRV + ERV (seharusnya 80% dari TLC), bernilai rata-rata 4800 mL pada laki-laki dewasa. Kapasitas inspirasi (IC) adalah jumlah udara maksimal yang dapat diinspirasi sesudah ekspirasi normal: IC = VT + IRV, bernilai rata-rata 3600 mL pada laki-laki dewasa. Kapasitas residu fungsional (FRC) adalah volume udara yang tertinggal dalam paru sesudah ekspirasi volume tidal normal: FRC = ERV + RV, bernilai rata-rata 2400 mL pada laki-laki dewasa. Untuk kapasitas dan volume paru normal pada wanita dewasa, nilai normalnya sekitar lebih kecil 25% dari nilai kapasitas dan volume pada laki-laki dewasa.(Wilson, 2007)
B. Analisis Gas Darah
Untuk menilai fungsi pernapasan secara adekuat perlu juga mempelajari hal-hal di luar paru seperti volume dan distribusi gas yang diangkut oleh sistem sirkulasi. Dalam hal ini ada teknik tertentu yang dipakai untuk mengumpulkan darah yang diperlukan untuk mengukur gas-gas darah. Biasanya yang digunakan adalah sampel darah arteri. Arteri radialis (atau brakialis) sering dipilih karena arteri ini mudah dicapai. Volume yang diambil sekitar 5 mL darah, kemudian udaranya dikeluarkan, darah disimpan di atas es dan langsung dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. PaCO2 merupakan petunjuk ventilasi alveolar (VA) yang terbaik. Bila PaCO2 meningkat, penyebab langsung selalu hipoventilasi alveolar. Hipoventilasi menyebabkan asidosis respiratorik dan penurunan pH darah. Hipoventilasi alveolar dapat terjadi bila VT menurun (efek ruang mati), seperti pada pernapasan yang cepat dan dangkal. Hipoventilasi dapat pula terjadi jika frekuensi pernapasan menurun seperti pada kelebihan dosis narkotik ataupun barbiturat. PaCO2 dapat pula meningkat untuk mengkompensasi alkalosis metabolik. Akibatnya dalam interpretasi nilai PaCO2 secara tepat, perlu dipertimbangkan pula pH darah dan kadar bikarbonat guna menentukan apakah suatu perubahan timbul akibat kondisi pernapasan primer atau justru sebagai tindakan kompensasi dari suatu kondisi metabolik. (Wilson, 2007)
Penyebab langsung penurunan PaCO2 adalah selalu hiperventilasi alveolar. Hiperventilasi menyebabkan alkalosis respiratorik dan kenaikan pH darah. Hiperventilasi sering timbul pada asma dan pneumonia dan menggambarkan usaha tubuh untuk meningkatkan PaO2 dengan usaha membuang CO2 yang berlebihan dari paru. Cedera atau tumor otak, keracunan aspirin, dan ketegangan dapat juga menyebabkan hiperventilasi atau dapat juga merupakan proses kompensasi untuk mengatasi asidosis metabolik. Sering juga terdapat keadaan di mana terdapat perubahan bikarbonat yang menggambarkan usaha ginjal untuk mengompensasi keadaan asidosis atau alkalosis respiratorik, sedangkan adanya perubahan PaCO2 pada gangguan metabolik menggambarkan peran paru dalam usaha kompensasi. Tujuan kompensasi ini adalah untuk mengembalikan pH darah ke nilai normalnya. (Wilson, 2007)
Bila nilai PO turun sampai di bawah nilai normal, terjadi hipoksemia. PaO2 menurun sedikit sesuai dengan usia; sehingga PaO2 70 mmHg masih normal untuk yang berusia di atas 60 tahun. Pada gagal pernapasan berat, PaO2 makin menurun sampai 30-40 mmHg. Hipoksemia akibat penyakit paru disebabkan oleh salah satu atau lebih dari mekanisme di berikut ini: (1) ketidakseimbangan antara proses ventilasi dan perfusi (penyebab tersering), (2) hipoventilasi alveolar, (3) gangguan difusi, atau (4) pirau anatomik intrapulmonar. Hipoksemia akibat tiga kelainan yang pertama dapat diperbaiki dengan pemberian O2. Tetapi pirau anatomik intrapulmonar (pirau arteriovenosa) tidak dapat diatasi dengan terapi O2. Perubahan gas darah arteri merupakan hal yang kritis dalam diagnosis kegagalan pernapasan atau ventilasi yang mungkin atau ventilasi yang mungkin timbul secara perlahan-lahan. Apabila kadar PaO2 turun di bawah niali normal, terjadi insufiensi pernapasan, dan terjadi kegagalan pernapasan bila PaO2 turun sampai 50 mmHg. PaCO2 dapat meningkat turun sampai di bawah nilai normal pada insufisiensi atau kegagalan pernapasan. (Wilson, 2007)
C. Tanda dan Gejala Umum Penyakit pada Sistem Respirasi
Tanda dan gejala yang paling umum yang terdapat pada penyakit-penyakit dalam sistem respirasi adalah batuk, pengeluaran sputum, hemoptisis, dispnea, dan nyeri dada. Walaupun masih ada banyak tanda khas lainnya pada penyakit sistem respirasi tetapi tanda-tanda tersebut merupakan tanda-tanda yang paling khas. Berikut akan sedikit dibicarakan mengenai tanda-tanda tersebut.
Batuk merupakan refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi percabangan trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme yang penting untuk membersihkan saluran napas bagian bawah, dan banyak orang dewasa normal yang batuk beberapa kali setelah bangun tidur pada pagi hari untuk membersihkan trakea dan faring dari sekret yang terkumpul selama tidur. Batuk juga merupakan gejala tersering penyakit pernapasan. Segala jenis batuk yang berlangsung lebih dari tiga minggu harus diselidiki untuk memastikan penyebabnya. Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk adalah rangsangan mekanik, kimia, dan peradangan. Inhalasi asap, debu, dan benda-benda asing kecil merupakan penyebab batuk yang paling sering. Prokok seringkali menderita batuk kronik karena terus menerus mengisap benda asing (asap), dan saluran napasnya sering mengalami peradangan kronik. Rangsangan mekanik dari tumor (ekstrinsik maupun intrinsik) terhadap saluran napas merupakan penyebab lain yang dapat menimbulkan batuk (tumor yang paling sering menimbulkan batuk adalah karsinoma bronkogenik). Setiap proses peradangan saluran napas dengan atau tanpa eksudat dapat mengakibatkan batuk. Bronkitis kronik, asma, tuberkulosis, dan pneumonia merupakan penyakit yang secara tipikal memiliki batuk sebagai gejala yang mencolok. Batuk dapat bersifat produktif, pendek, dan tidak produktif, keras dan parau (seperti ada tekanan pada trakea), sering, jarang, atau paroksismal (serangan batuk yang intermiten). (Wilson, 2007)
Orang dewasa normal menghasilkan mukus sekitar 100 mL dalam saluran napas setiap hari. Mukus ini diangkut menuju faring dengan gerakan pembersihan normal silia yang melapisi saluran pernapasan. Kalau terbentuk mukus yang berlebihan, proses normal pembersihan mungkin tidak efektif lagi sehingga akhirnya mukus tertimbun. Bila hal ini terjadi, membran mukosa akan terangsang dan mukus dibatukkan keluar sebagai sputum. Pembentukan mukus yang berlebihan mungkin disebabkan oleh gangguan fisik, kimiawi, atau infeksi pada membran mukosa. Kapan saja seorang pasien membentuk sputum, perlu dievaluasi sumber, warna, volume, dan konsistensinya. Sputum yang dihasilkan sewaktu membersihkan tenggorokan kemungkinan besar berasal dari sinus atau saluran hidung, dan bukan dari saluran napas bagian bawah. Sputum yang banyak sekali dan purulen menyatakan adanya proses supuratif, seperti abses paru, sedangkan pembentukan sputum yang terus meningkat perlahan dalam waktu bertahun-tahun merupakan tanda bronkitis kronik atau bronkiektasis. Warna sputum juga penting. Sputum yang berwarna kekuning-kuningan menunjukkan infeksi. Sputum yang berwarna hijau merupakan petunjuk adanya penimbunan nanah. Warna hijau timbul karena adanya verdoperoksidase yang dihasilkan oleh leukosit polimorfonuklear (PMN) dalam sputum. Sputum yang berwarna hijau sering ditemukan pada bronkiektasis karena penimbunan sputum dalam bronkiolus yang melebar dan terinfeksi. Banyak penderita infeksi pada saluran napas bagian bawah mengeluarkan sputum berwarna hijau pada pagi hari tetapi semakin siang semakin menjadi kuning. Fenomena ini mungkin disebabkan karena penimbunan sputum yang purulen di malam hari, disertai pengeluaran verdoperoksidase. Sifat dan konsistensi sputum juga dapat memberikan informasi yang berguna. Sputum yang berwarna merah muda dan berbusa merupakan tanda edema paru akut. Sputum yang berlendir, pekat dan berwana abu-abu atau putih merupakan tanda bronkitis kronik. Sedangkan sputum yang berbau busuk merupakan anda abses paru akut atau bronkiektasis. (Wilson, 2007)
Sputum dapat bercampur dengan darah atau dapat juga seluruh cairan yang dikeluarkan dari paru berupa darah. Hemoptisis adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk darah atau sputum yang berdarah. Setiap proses yang mengganggu kesinambungan pembuluh darah paru dapat mengakibatkan perdarahan. Batuk darah merupakan suatu gejala yang serius dan dapat merupakan manifestasi pertama dari tuberkulosis aktif. Penyebab hemoptisis lain yang sering adalah karsinoma bronkogenik, infark paru, bronkiektasis, dan abses paru. Sputum yang mengandung darah (sehingga berwarna seperti karat) merupakan ciri khas yang dapat ditemukan pada pneumonia pneumokokus. Sputum yang terlihat seperti jelly buah kismis (merah bata) terdapat pada pneumonia Klebsiella. Jika darah atau sputum yang mengandung darah dibatukkan, perlu ditentukan apakah memang sumbernya berasal dari saluran napas bagian bawah dan bukan dari saluran hidung atau saluran cerna. Darah yang berasal dari saluran cerna (hematemesis) biasanya berwarna gelap (seperti warna kopi) dan disertai mual, muntah, dan anemia. Darah yang berasal dari saluran napas bawah (di bawah glotis) biasanya berwarna merah cerah, berbusa, dan terdapat riwayat batuk dengan atau tanpa anemia. Darah yang berasal dari saluran napas atas (misalnya, darah dari hidung setelah tonsilektomi) bila sering ditelan, dapat terlihat seperti darah dari bagian pencernaan ketika dimuntahkan. (Wilson, 2007)
Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas dan merupakan gejala utama dari penyakit kardiopulmonar. Seorang yang mengalami dispnea sering mengeluh napasnya menjadi pendek atau merasa tercekik. Gejala objektif sesak napas termasuk juga penggunaan otot-otot pernapasan tambahan (sternokleidomastoideus, scalenus, trapezius, pectoralis mayor), pernapasan cuping hidung, takipnea, dan hiperventilasi. Sesak napas tidak selalu menunjukkan adanya penyakit; orang normal akan mengalami hal yang sama setelah melakukan kegiatan fisik dalam tingkat-tingkat yang berbeda. Pemeriksa harus dapat membedakan sesak napas dari gejala dan tanda lain yang mungkin memiliki perbedaan klinis yang mencolok. Takipnea adalah frekuensi pernapasan yang cepat, lebih cepat dari pernapasan normal (12 hingga 20 kali per menit) yang dapat muncul dengan atau tanpa dispnea. Hiperventilasi adalah ventilasi yang lebih besar daripada jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan pengeluaran CO2 normal, hal ini dapat diidentifikasi dengan memantau tekanan parsial CO2 arteri, atau tegangannya (PaCO2), yaitu lebih rendah dari angka normal (40 mmHg). Dispnea sering dikeluhkan pada sindrom hiperventilasi yang sebenarnya merupakan seseorang yang sehat dengan stres emosional. Selanjutnya, gejala lelah yang berlebihan juga harus dibedakan dengan dispnea. Seseorang yang sehat mengalami lelah yang berlebihan setelah melakukan kegiatan fisik dalam tingkat yang berbeda-beda, dan gejala ini juga dapat dialami pada penyakit kardiovaskular, neuromuskular, dan penyakit lain selain paru. Sumber penyebab dispnea bisa bermacam-macam, misalnya: (1) reseptor-reseptor mekanik pada otot-otot pernapasan, paru, dan dinding dada; dalam teori tegangan panjang, elemen-elemen sensoris, gelondong otot pada khususnya, berperan penting dalam membandingkan tegangan dalam otot dengan derajat elastisitasnya; dispnea terjadi jika tegangan yang ada tidak cukup besar untuk satu panjang otot (volume napas tercapai); (2) kemoreseptor untuk tegangan CO2 dan O2 (PCO2 dan PO2) (teori hutang oksigen); (3) peningkatan kerja pernapasan yang mengakibatkan sangat meningkatnya rasa sesak napas; dan (4) ketidakseimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasi. Mekanisme tegangan panjang yang tidak sesuai adalah teori yang paling banyak diterima karena teori tersebut menjelaskan paling banyak kasus klinis dispnea. Besarnya tenaga fisik yang dikeluarkan untuk menimbulkan dispnea bergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat, jenis latihan fisik, dan terlibatnya emosi dalam melakukan hal tersebut. Selain itu, terdapat beberapa variasi gejala umum dispnea. Ortopnea adalah sesak napas pendek yang terjadi pada posisi berbaring dan biasanya keadaan diperjelas dengan penambahan sejumlah bantal atau penambahan elevasi sudut untuk mencegah perasaan tersebut. Penyebab tersering ortopnea adalah gagal jantung kongestif akibat peningkatan volume darah di vaskularisasi sentral pada posisi berbaring. Ortopnea juga merupakan gejala yang sering muncul pada banyak gangguan pernapasan. Ada juga bentuk lain berupa dispnea nokturnal paroksismal menyatakan timbulnya dispnea pada malam hari dan memerlukan posisi duduk dengan segera untuk bernapas. Membedakan dispnea nokturna paroksismal dengan ortopnea adalah aktu timbulnya gejala setelah beberapa jam dalam posisi tidur. Penyebabnya sama dengan penyebab ortopnea yaitu gagal jantung kongestif, dan waktu timbulnya yang terlambat itu karena mobilisasi cairan edema perifer dan penambahan volume intravaskular pusat. Pasien dengan gejala utama dispnea biasanya memiliki satu dari keadaan ini, yaitu penyakit kardiovaskular, emboli paru, penyakit paru interstitial atau alveolar, gangguan dinding dada dan otot-otot, penyakit obstruktif paru, atau kecemasan. Dispnea adalah gejala utama edema paru, gagal jantung kongestif, dan penyakit katup jantung. Emboli paru ditandai dengan dispnea mendadak. Dispnea merupakan gejala paling nyata pada penyakit yang menyerang percabangan trakeobronkial, parenkim paru, dan rongga pleura. Dispnea biasanya dikaitkan dengan penyakit restriktif yaitu terdapat peningkatan kerja pernapasan akibat meningkatnya resistensi elastik paru (pneumonia, atelektasis, kongesti) atau dinding dada (obesitas, kifoskoliosis) atau pada penyakit jalan napas obstruktif dengan meningkatnya resistensi nonelastik bronkial (emfisema, bronkitis, asma). Tetapi jika beban keja pernapasan meningkat secara kronik maka pasien yang bersangkutan dapat menyesuaikan diri dan tidak mengalami dispnea. Dispnea juga bisa terjadi jika otot pernapasan lemah, misalnya pada miastenia gravis, selain itu juga pada lumpuh (pada poliomielitis, sindrom Guillain-Barre), letih akibat meningkatnya kerja pernapasan, atau otot pernapasan kurang mampu melakukan kerja mekanis (contohnya, emfisema yang berat atau pada obesitas). (Wilson, 2007)
Ada berbagai penyebab nyeri dada tetapi nyeri dada yang paling khas pada penyakit paru adalah nyeri akibat radang pleura (pleuritis). Hanya lapisan parietalis pleura yang merupakan sumber nyeri karena pleura viseralis dan parenkim paru dianggap sebagai organ yang tidak peka. Umumnya pleuritis terjadi mendadak tetapi juga dapat timbul secara bertahap. Nyeri terjadi pada tempat yang mengalami peradangan dan biasanya tempat peradangan dapat diketahui dengan tepat. Nyeri itu bagaikan teriris-iris dan tajam, diperberat dengan batuk, bersin dan napas yang dalam sehingga pasien sering bernapas cepat dan dangkal serta menghindri gerakan-gerakan yang tidak diperlukan. Nyeri dapat sedikit diredakan dengan menekan daerah yang terkena peradangan tersebut. Penyebab utama nyeri pleuritik ini adalah infeksi paru atau infark meskipun keadaan seperti itu juga dapat diderita tanpa timbulnya nyeri. Pasien dengan pneumotoraks atau ateletaksis yang berat kadang-kadang dapat mengalami nyeri dada yang diduga akibat tarikan pada pleura parietalis karena adanya perlekatan dengan pleura viseralis. Nyeri pleura harus dibedakan dari penyebab nyeri dada yang lain, seperti iskemia miokardial, perikarditis, kostokondrosis, dan herpes zoster (disebabkan terkenanya nervus interkostalis). (Wilson, 2007)
Sianosis adalah berubahnya warna kulit menjadi kebiruan (terutama di bawah kuku) dan membran mukosa akibat meningkatnya jumlah Hb tereduksi (deoksigenasi) dalam kapiler (Hb teroksigenasi dalam darah arteri berwarna merah terang; darah vena dengan Hb terdeoksigenasi berwarna merah kebiruan). Sianosis dapat digunakan sebagai tanda insufisiensi pernapasan, meskipun bukan merupakan tanda yang dapat diandalkan. Ada 2 jenis sianosis, yaitu sianosis sentral dan perifer. Sianosis sentral disebabkan oleh insufisiensi oksigenasi Hb dalam paru, dan paling mudah diketahui pada wajah, bibir, cuping telinga, serta bagian bawah lidah. Sianosis biasanya tak diketahui sebelum jumlah absolut Hb terduksi mencapai 5 gram per 100 mL atau lebih pada sesorang dengan konsentrasi Hb yang normal (saturasi O2/SaO2 kurang dari 90%). Jumlah normal Hb tereduksi dalam jaringan kapiler adalah 2,5 g per 100 mL. Pada orang dengan konsentrasi Hb yang normal, sianosis akan pertama kali terdeteksi pada SaO2 kira-kira 75% dan PaO2 50 mmHg atau kurang. Penderita anemia (konsentrasi Hb rendah) mungkin tidak pernah mengalami sianosis walaupun mereka menderita hipoksia jaringan yang berat karena jumlah absolut Hb tereduksi kemungkinan tidak dapat mencapai 5g per 100 mL. Sebaliknya orang yang menderita polisitemia (konsentrasi Hb yang tinggi) dengan mudah mempunyai kadar Hb tereduksi 5 g per 100 mL walaupun hanya mengalami hipoksia yang ringan sekali. Faktor-faktor lain yang menyulitkan pengenalan sianosis adalah variasi ketebalan kulit, pigmentasi, dan kondisi penerangan. Selain sianosis yang disebabkan oleh insufisiensi pernapasan (sianosis sentral), akan terjadi sianosis perifer apabila aliran darah banyak berkurang sehingga sangat menurunkan saturasi darah vena, dan akan menyebabkan suatu daerah menjadi biru. Sianosis perifer dapat terjadi akibat insufisiensi jantung, sumbatan pada aliran darah, atau vasokonstriksi pembuluh darah akibat suhu yang dingin. Sejumlah kecil methemoglobin atau sulfhemoglobin dalam sirkulasi dapat menimbulkan sianosis, walaupun jarang terjadi. Ada banyak hal yang mengakibatkan sianosis (dan sianosis sulit dikenali) sehingga sianosis merupakan petunjuk insufisiensi paru yang tidak dapat diandalkan. (Wilson, 2007)
Istilah hipoksemia menyatakan nilai PaO2 yang rendah dan seringkali ada hubungannya dengan hipoksia atau oksigenasi jaringan yang tidak memadai. Hipoksemia tidak selalu disertai dengan hipoksia jaringan. Seseorang masih dapat mempunyai oksigenasi jaringan yang normal, tetapi menderita hipoksemia; seperti juga seseorang yang masih dapat memiliki PaO2 normal tetapi menderita hipoksia jaringan (karena gangguan pengiriman oksigen dan penggunaan oksigen oleh sel-sel). Tetapi ada hubungan antara PaO2 dengan hipoksia jaringan, meskipun terdapat nilai PaO2 yang tepat pada jaringan yang menggunakan O2. Kalau semua dianggap sama, makin cepat timbulnya hipoksemia, semakin berat pula kelainan jaringan yang diderita. Pada umumnya nilai PaO2 yang terus menerus kurang dari 50 mmHg disertai hipoksia jaringan dan asidosis (yang disebabkan oleh metabolisme anaerobik). Hipoksia dapat terjadi pada nilai PaO2 normal maupun rendah sehingga evaluasi pengukuran gas darah harus selalu dikaitkan dengan pengamatan klinik dari pasien yang bersangkutan. Sianosis merupakan satu tanda yang tidak tepat diandalkan karena SaO2 harus kurang dari 75% pada orang dengan keadaan Hb normal sebelum tanda itu dapat diketahui. (Wilson, 2007)
Seperti halnya ventilasi, yang dianggap memadai bila suplai O2 seimbang dengan kebutuhan O2, pembuangan CO2 melalui paru baru dianggap memadai bila pembuangannya seimbang dengan pembentukan CO2. CO2 mudah sekali mengalami difusi sehingga tekanan CO2 dalam udara alveolus sama dengan tekanan CO2 dalam darah arteri; sehingga PaCO2 merupakan gambaran ventilasi alveolus yang langsung dan segera yang berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Dengan demikian PaCO2 digunakan untuk menilai kecukupan ventilasi alveolar (VA) karena pembuangan CO2 dari paru seimbang dengan VA sehingga PaCO2 langsung berkaitan dengan produksi CO2 (VCO2) dan sebaliknya berkaitan dengan ventilasi alveolar: PaCO2 sebanding dengan VCO2 atau VA. Ventilasi yang memadai akan mempertahankan kadar PaCO2 sebesar 40 mmHg. Hiperkapnia adalah peningkatan PaCO2 sampai di atas 45 mmHg; sedangkan hipokapnia adalah PaCO2 kurang dari 35 mmHg. Penyebab langsung retensi CO2 adalah hipoventilasi alveolar (ventilasi kurag memadai, untuk mengimbangi pembentukan CO2). Hiperkapnia selalu disertai hipoksia dalam derajat tertentu apabila pasien bernapas dengan udara yang terdapat dalam ruangan. Penyebab utama hiperkapnia adalah penyakit obstruktif saluran napas, obat-obat yang menekan fungsi pernapasan, kelemahan atau paralisis otot pernapasan, trauma dada atau pembedahan abdominal yang mengakibatkan pernapasan menjadi dangkal, dan kehilangan jaringan paru. Tanda klinik yang dikaitkan dengan hiperkapnia adalah kekacauan mental yang berkembang menjadi koma, sakit kepala (akibat vasodilatasi serebral), asteriksis atau tremor kasar pada tangan yang regang (flapping tremor), dan volume denyut nadi yang penuh disertai dengan tangan dan kaki yang terasa panas dan berkeringat (akibat vasodilatasi perifer karena hiperkapnia). Hiperkapnia kronik akibat penyakit paru kronik dapat mengakibatkan pasien sangat toleran terhadap PaCO2 yang tinggi sehingga pernapasan terutama dikendalikan oleh hipoksia. Dalam keadaan ini bila diberi oksigen kadar tinggi, pernapasan akan dihambat sehingga hiperkapnia bertambah berat. Kehilangan CO2 dari paru yang berlebihan (hipokapnia) akan terjadi apabila terjadi hiperventilasi (ventilasi dalam keadaan kebutuhan metabolisme meningkat untuk membuang CO2). Penyebab umum hiperventilasi diantaranya ventilasi mekanis yang berlebihan, keadaan cemas, trauma serebral, keracunan aspirin, dan respons kompensasi terhadap hipoksia. Tanda dan gejala yang berhubungan dengan hipokapnia adalah sering mendesah dan menguap, pusing, palpitasi, tangan dan kaki kesemutan dan baal, serta kedutan otot. Hipokapnia hebat (PaCO2 kurang dari 25 mmHg) dapat menyebabkan kejang. (Wilson, 2007)
Tanda yang paling penting lagi adalah ronki dan wheezing/mengi. Ronki dibagi menjadi 2 macam, yaitu low pitched akibat dari produksi mukus yang berlebihan pada emfisema atau bronkitis kronik. Dan high pitched, yang menunjukkan adanya penyempitan bronkus. Suara ini dihasilkan dari saluran pernapasan yang tiba-tiba terbuka sehingga suara ini adalah gabungan antara osilasi dari dinding dan jalan napas. Suara ini jelas terdengar pada permulaan inspirasi yang merupakan tanda dari edema paru. Dapat juga merupakan tanda pneumonia bila terjadi pada akhir inspirasi dan apabila makin mengeras maka menunjukkan adanya proses fibrosis alveolitis. Ronki terjadi oleh karena pecahnya gelembung-gelembung udara pada waktu inspirasi. Ronki terjadi karena tertutupnya saluran pernapasan, misalnya karena rusaknya saluran pernapasan (bronkiektasis) atau karena abnormalitas cairan interstitial, khususnya pada edema atau fibrosis. Oleh karena efek gravitasi maka ronki lebih terdengar pada bagian paru-paru yang bebas. Pada bronkiektasis, ronki terdengar pada pertengahan inspirasi, begitu juga pada edema paru. Wheezing adalah suara musik yang disebabkan oleh karena terjadinya osilasi udara karena menyempitnya jalan napas. Bunyi ini terutama terdapat pada asma dan bronkitis kronik. Pada asma yang berat wheezing dapat terdengar jelas dan lebih baik pada keadaan mulut yang terbuka daripada di paru-paru. Wheezing yang terdapat lokal biasanya disebabkan oleh tumor atau benda asing, wheezing ini disebut juga dengan monofonik wheezing, sedangkan wheezing yang terjadi pada asma disebut dengan polifonik wheezing. Penyempitan pada saluran napas atas dapat menyebabkan wheezing, baik pada inspirasi maupun pada ekspirasi yang sering terdengar dalam bentuk stridor. (Mukty, et. al.)

3. DISKUSI DAN BAHASAN
Dalam diskusi, kelompok kami membahas mengenai asma dan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) sebagai diagnosis utama untuk pasien dalam skenario. Diagnosis utama ditujukan untuk PPOK dengan bronkitis predominan dan pneumotoraks. Sedangkan, diagnosis bandingnya adalah karsinoma paru. Pada bagian ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai PPOK, pneumotoraks (salah satu penyakit restriktif paru), dan karsinoma paru.
PPOK merupakan salah satu pola obstruktif penyakit paru yang mencakup gangguan konduksi jalan napas atau asinus yang ditandai dengan menurunnya kemampuan menghembuskan udara. Istilah PPOK menunjukkan dua gangguan yang secara umum terjadi bersamaan, adalah bronkitis kronik dan emfisema. Bronkitis kronik didiagnosis berdasarkan gejala klinis: batuk kronik dengan pengeluaran sputum minimum 3 bulan setiap tahunnya, sekurang-kurangnya selama 2 tahun. Emfisema sendiri adalah diagnosis yang didasarkan pada keadaan anatomi patologik: dilatasi dan destruksi rongga udara sebelah distal bronkiolus terminalis, duktus alveolaris, dan dinding alveolar. Perubahan patologis utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi kelenjar penyekresi mukosa dan sel goblet dalam trakea dan bronkus yang diperlihatkan sebagai peningkatan volume mukus. Perubahan patologis pada bronkitis kronik akibat merokok biasanya dimulai dari bronkiolus yang paling kecil, jauh sebelum penemuan lanjutan yang berkaitan dengan bronkitis kronik dan emfisema. Sumbatan mukus edema mukosa dan spasme otot menyebabkan penyempitan saluran napas dan obstruksi pada bronkitis kronik. Emfisema yang menyeluruh adalah dilatasi permanen berbagai bagian asinus pernapasan dengan destruksi jaringan tanpa jaringan parut. Emfisema menyebabkan hilangnya rekoil elastik jaringan paru dan menurunkan kekuatan ekspirasi. Dua pola emfisema generalisata adalah sentrilobular dan panlobular.
Emfisema sentrilobular (CLE) menyerang bagian sentral lobulus, menyebabkan kerusakan dinding dan pembesaran bronkiolus respiratorius. CLE adalah bentuk emfisema yang paling sering dan penyebarannya tidak merata ke seluruh paru, lebih berat menyerang bagian atas paru dan berkaitan dengan merokok, bronkitis kronik, dan peradangan pada saluran napas distal. Patogenesis CLE tampaknya berkaitan dengan sekresi protease ekstraseluler oleh sel-sel radang lokal. Merokok sigaret juga dapat menghambat efek alfa1-antitripsin inhibitor protease sehingga menyebabkan kerusakan. Emfisema panlobular (PLE) melibatkan seluruh lobulus respiratorius: bronkiolus respiratorius, duktus dan sakus alveolaris, serta alveoli. PLE seringkali berkaitan dengan merokok dan cenderung menyebar ke seluruh paru dan lebih menyerang ke bagian dasar paru. Patogenesis PLE seperti juga CLE berhubungan dengan aktivitas protease ekstraseluler yang berlebihan. Seseorang dengan defisiensi alfa1-antitripsin herediter yang berat, khususnya homozigot ZZ, PLE akan muncul pada usia muda. Pasien dengan PPOK digolongkan dalam 2 kelompok berdasarkan gejala klinisnya: emfisema predominan (pink puffer) dan bronkitis predominan (blue bloaters).
Gambaran klinis PPOK pada emfisema predominan mencakup kecenderungan diafragma menjadi tipis, datar, dan berbentuk tong karena udara terperangkap, terdapat riwayat dispnea, batuk dan produksi sputum yang minimal; istilah “pink puffer” digunakan karena, pada awal penyakit, pasien mampu mempertahankan gas darah dan warna yang cukup normal dengan hiperventilasi. Hanya pada tahap akhir pasien mengalami hipoksemia, hiperkapnia, dan kor pulmonale. Gambaran klinis PPOK pada bronkitis predominan mencakup kecenderungan pasien menjadi gemik, namun diameter anteroposterior dada normal atau hanya sedikit meningkat , terdapat riwayat merokok sigaret yang lama, infeksi pernapasan bagian atas yang sering, batuk dan produksi sputum, khususnya selama musim dingin; hipoksemia, hiperkapnia, dan polisitemia kompensatoris berkembang pada awal penyakit, memberi gambaran sianotik sehingga disebut blue bloater. Pasien juga mengalami hipertensi paru dan kor pulmonale lebih awal pada proses penyakit daripada pasien dengan PPOK emfisematosa predominan. Umumnya terdapat ketidakseimbangan V/Q yang bermakna.
Pengobatan PPOK mencakup berhenti merokok, antibiotik untuk infeksi pernapasan bagian atas, vaksin influenza dan pneumokokal profilaktik, obat-obat bronkodilator untuk bronkospasme, hidrasi, fisioterapi dada, latihan bernapas, aliran rendah O2 yang terus menerus, dan progrm olahraga. Terapi peningkatan alfa1-antitripsin serta terapi reduksi volume paru untuk pasien dengan defisiensi herediter masih bersifat eksperimental.
Pneumotoraks adalah adanya udara dalam rongga pleura akibat robeknya pleura. Pneumotoraks dapat diklasifikasikan sesuai dengan penyebabnya, yaitu traumatik dan spontan; pneumortoraks juga dapat diklasifikasikan sesuai dengan urutan peristiwa yang merupakan kelanjutan dari adanya robekan pleura, yaitu terbuka, tertutup, atau pneumotoraks tekanan. Pneumotoraks spontan dapat dibagi menjadi primer atau idiopatik dan sekunder. Pada pneumotoraks primer atau spontan dapat terjadi pada individu yang sehat, biasanya akibat ruptur bula subpleura kongenital. Sedangkan pneumotoraks sekunder dapat terjadi pada misalnya pada ruptur bula emfisematosa atau akibat komplikasi pneumonia atau suatu keganasan. Pneumotoraks juga bisa diklasifikasikan menjadi pneumotoraks traumatik, pneumotoraks terbuka, dan pneumotoraks tegangan. Pneumotoraks traumatik dapat merupakan akibat cedera pada dada (misalnya karena luka akibat pisau atau juga mungkin karena fraktur iga), akibat faktor-faktor iatrogenik (seperti pada komplikasi ventilasi tekana positif, kanula subklavia, atau biopsi paru). Pneumotoraks terbuka (sucking chest wound) terjadi bila terdapat hubungan antara atmosfer dengan rongga pleura melalui dinding dada atau robekan pada pleura dan bronkus atau alveoli dengan hubungan tersebut. Saat inspirasi, udara dihirup ke dalam rongga pleura, menyebabkan menyebabkan paru pada bagian yang terkena menjadi kolaps dan menekan isi mediastinum ke bagian yang tidak terkena; saat ekspirasi, udara keluar melalui dinding dada dan isi mediastinum akan kembali ke tempatnya. Pengobatan dengan menempatkan penutup kedap udara di sekitar luka dan observasi pneumotoraks tegangan dan membuang penutup jika terjadi keadaan ini. Hubungan yang terjadi bila penutup dibuka disebut pneumotoraks tertutup (hubungan antara rongga pleura dan atmosfir dapat menutup sendiri). Pneumotoraks tegangan terjadi bila mekanisme katup membiarkan udara masuk ke rongga pleura tetapi mencegah udara tersebut untuk keluar (hubungan antara rongga pleura dan atmosfer terbuka saat inspirasi dan akan tertutup saat ekspirasi). Keadaan ini dapat terjadi pada ruptur pleura viseral, ruptur bronkus akibat fraktur iga, atau selama ventilasi mekanik dengan tekanan ekspiratorius akhir positif. Pneumotoraks tegangan adalah suatu kegawatdaruratan medis yang membutuhkan aspirasi udara dengan jarum secepatnya untuk mencegah kolaps paru yang komplit dan kematian. Secara umum tanda dan gejala adalah dispnea (jika luas), nyeri pleuritik hebat, trakea bergeser menjauhi sisi yang mengalami pneumotoraks, takikardia, sianosis (jika luas), pergerakan dada terhambat atau kurang pada bagian yang kena, perkusi hipersonor di atas pneumotoraks, perkusi meredup di atas paru yang kolaps, suara naps berkurang atau tidak ada pada sisi yang terkena, dan fremitus vokal dan raba berkurang.
Kanker paru, dalam hal ini akan dibahas karsinoma bronkogenik, serupa dengan kanker di tempat lain, muncul melalui beberapa akumulasi bertahap terhadap kelaina genetik yang menyebabkan transformasi epitel bronkus jinak menjadi jaringan neoplastik. Rangkaina perubahan molekular ini tidak bersifat acak, tetapi mengikuti suatu sekuensi yang sejajar dengan perkembangan histologik menjadi kanker. Sebagai contoh, inaktivasi gen penekan tumor yang terletak di kromosom 3p merupakan kejadian paling awal, sedangkan mutasi TP53 atau pengaktifan onkogen K-RAS terjadi relatif belakangan. Yang lebih penting tampaknya perubahan genetik tertentu seperti hilangnya bahan kromosom 3, dapat ditemukan, bahkan pada epitel bronkus jinak pasien kanker paru, serta di epitel pernapasan perokok yang tidak mengidap kanker paru, yang mengisyaratkan bahwa pajanan ke karsinogen menyababkan mukosa pernapasan secara luas mengalami mutagenisasi (field effect atau efek lapangan). Pada bagian ini, sel yang mengakumulasi mutasi lain akhirnya akan berkembang menjadi kanker. Dalam kaitannya dengan pengaruh karsinogenik, terdapat bukti kuat bahwa merokok dan, dengan derajat yang lebih rendah, gangguan lain dari lingkungan (misalnya pajanan debu, polusi, dan lainnya) merupakan tersangka utama penyebab perubahan genetik yang menyebabkan kanker paru.
Karsinoma bronkogenik adalah lesi yang berkembang perlahan, asimtomatik dan umumnya telah menyebar hingga tidak lagi dapat direseksi sebelum menimbulkan gejala. Pada beberapa kasus, lesi yang masih bersifat lokal dan dapat direseksi menyebabkan batuk kronis dan pengeluaran dahak. Jika sudah timbul suara yang serak, nyeri dada, sindrom vena kava superior, efusi perikardium atau pleura, atau prognosisnya suram. Tumor atau kanker ini bisa menyebabkan gejala oleh karena metastasis ke otak (perubahan mental atau gejala neurologik), hati (hepatosplenomegali), atau tulang (nyeri).
Pajanan rokok dan asbes juga akan berakibat pada mesotelioma maligna, yaitu merupakan kanker sel mesotelium yang jarang ditemukan, biasanya timbul di pleura parietalis atau pleura viseralis, walaupun jarang, juga bisa timbul di peritoneum dan perikardium. Asbestos tidak akan dikeluarkan atau dimetabolisme dari paru sehingga serat ini menetap di tubuh seumur hidup. Serat asbestos ini akan terkumpul di dekat sel mesotel; serat ini menghasilkan spesies oksigen reaktif yang menyebabkan kerusakan DNA dan mutasi yang bersifat onkogenik. Mutasi somatik pada 2 gen penekan tumor, yaitu p16/CDKN2A di kromosom 9p21 dan gen neurofibromatosis 2 (NF2) di kromosom 22q12, dapat ditemukan di mesotelioma maligna. Penelitian terakhir memperlihatkan adanya sekuensi DNA virus SV40 (Simian Virus 40) pada 60% hingga 80% mesotelioma maligna pleura dan mesotelioma peritoneum (lebih jarang terjadi).
Merokok sigaret merupakan temuan yang paling penting dan paling umum berhubungan dengan bronkitis kronik selama kehidupan dan luasnya emfisema pada pemeriksaan setelah kematian. Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa merokok sigaret yang lama akan mengganggu pergerakan silia, menghambat fungsi makrofag alveolar dan akhirnya menyebabkan hipertrofi dan hipersekresi kelenjar pengsekresi mukus. Di samping efek kronik ini, kemungkinan merokok juga akan menghambat antiprotease dan menyebabkan leukosit polimorfonuklear melepaskan enzim proteolitik secara tiba-tiba. Menghirup asap rokok dapat menyebabkan peningkatan resistensi jalan napas secara tiba-tiba akibat konstriksi otot polos melalui saraf vagus, diduga melalui perangsangan reseptor iritan mukosa. Dan hubungan antara berulangnya konstriksi bronkial akut dengan perkembangan obstruksi jalan napas masih belum jelas. Selain merokok, bronkitis kronik juga bisa ditemukan pada seseorang yang sering terpajan dengan debu organik maupun anorganik. Debu anorganik yang dimaksud dalam hal ini adalah pajanan asbes. Asbes (atau asbestos) merupakan istilah untuk berbagai senyawa silikat mineral, termasuk kristolit, amosit, antofilit, dan krokidolit. Asbes bisa menimbulkan berbagai penyakit yang berhubungan dengan paru-paru, selain bronkitis kronik, ada juga fibrosis paru (asbestosis), kanker saluran pernapasan dan pleura dan kadang-kadang peritoneum.
Menurut pembahasan kelompok kami, pasien dalam skenario mengalami PPOK terlebih dahulu dengan bronkitis predominan kemudian emfsema yang dideritanya menyebabkan suatu komplikasi berupa penyakit restrikitif paru: pneumotoraks pada paru kanan. Untuk pemeriksaan leukosit, apabila memang terjadi infeksi pada paru, utamnya paru kanan yang berupa pneumonia, diharapkan jumlah leukosit meningkat.

4. KESIMPULAN
¨ Hal yang aneh yang terjadi pada seorang laki-laki, 70 tahun, adalah sesak napas berat 2 hari ini disertai nyeri dada kanan, dalam 3 hari ini batuk makin sering dengan dahak yang lebih pekat, berwarna kuning kehijauan, kedua tungkai bengkak 1 bulan ini, dan dalam 2 tahun ini rasa batuk dan sesak dirasa lebih berat dan dirasakan adanya mengi.
¨ Keadaan umum, penderita tampak begitu gelisah dan sianotik. Hasil pemeriksaan fisik, didapatkan hasil inspeksi statis: dada kanan menonjol daripada kiri dan saat bernapas dada kanan teringgal. Pemeriksaan fisik perkusi: hipersonor pada paru kanan. Pemeriksaan fisik auskultasi: suara napas lemah pada paru kanan, pada paru kiri didapatkan ronki dan wheezing.
¨ Tanda dan gejala umum pneumotoraks, antara lain: dispnea (jika luas), nyeri pleuritik hebat, trakea bergeser menjauhi sisi yang mengalami pneumotoraks, takikardia, sianosis (jika luas), pergerakan dada terhambat atau kurang pada bagian yang kena, perkusi hipersonor di atas pneumotoraks, perkusi meredup di atas paru yang kolaps, suara naps berkurang atau tidak ada pada sisi yang terkena, dan fremitus vokal dan raba berkurang.
¨ Terapi paling umum untuk pneumotoraks adalah pembedahan dan dengan menempatkan penutup kedap udara di sekitar luka dan observasi pneumotoraks tegangan dan membuang penutup jika terjadi keadaan ini.
¨ Tanda dan gejala umum PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), antara lain: pada emfisema predominan mencakup kecenderungan diafragma menjadi tipis, datar, dan berbentuk tong karena udara terperangkap, terdapat riwayat dispnea, batuk dan produksi sputum yang minimal; istilah “pink puffer” digunakan karena, pada awal penyakit, pasien mampu mempertahankan gas darah dan warna yang cukup normal dengan hiperventilasi. Hanya pada tahap akhir pasien mengalami hipoksemia, hiperkapnia, dan kor pulmonale. Pada bronkitis predominan mencakup kecenderungan pasien menjadi gemik, namun diameter anteroposterior dada normal atau hanya sedikit meningkat , terdapat riwayat merokok sigaret yang lama, infeksi pernapasan bagian atas yang sering, batuk dan produksi sputum, khususnya selama musim dingin; hipoksemia, hiperkapnia, dan polisitemia kompensatoris berkembang pada awal penyakit, memberi gambaran sianotik sehingga disebut blue bloater. Pasien juga mengalami hipertensi paru dan kor pulmonale lebih awal pada proses penyakit daripada pasien dengan PPOK emfisematosa predominan.
¨ Terapi PPOK mencakup berhenti merokok, antibiotik untuk infeksi pernapasan bagian atas, vaksin influenza dan pneumokokal profilaktik, obat-obat bronkodilator untuk bronkospasme, hidrasi, fisioterapi dada, latihan bernapas, aliran rendah O2 yang terus menerus, dan progrm olahraga. Terapi peningkatan alfa1-antitripsin serta terapi reduksi volume paru untuk pasien dengan defisiensi herediter masih bersifat eksperimental.

5. DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ingram Jr., R. H. 2007. Bronkitis Kronik, Emfisema dan Obstruksi Jalan Napas. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1347-56.
Maitra, A., V. Kumar. 2007. Paru dan Saluran Napas Atas. Dalam: Kumar, V., R. S. Cortran, dan S. L. Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 509-70.
Mukty, A.,et.al. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press.
Speizer, F. E. 2007. Penyakit Paru karena Lingkungan. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1322-30.
Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.
Wilson, L. M. 2007. Pola Pernapasan Restriktif. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 796-814.
Wilson, L. M. 2007. Pola Obstruktif pada Penyakit Pernapasan. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 783-93.
Wilson, L. M. 2007. Tanda dan Gejala Penting pada Penyakit Pernapasan. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 773-81.