Wednesday, September 30, 2009

RHINOSINUSITIS KRONIK


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Banyak orang yang bermasalah dengan hidungnya, sangat menyiksa bagi mereka karena setiap saat tersumbat sehingga menyulitkan untuk bernafas. Ada beberapa gejala apakah seseorang itu menderita alergi/sensitif pada hidung, yaitu bersin-bersin lebih dari 5 kali secara berurutan disertai ingus yang bening dan encer dan atau tiba-tiba hidung sering tersumbat, hal ini dapat juga disertai rasa gatal di hidung dan mata. Berdasarkan istilah kedokteran penyakit ini disebut rhinitis alergi atau secara awam bisa disebut alergi hidung.
Alergi hidung sering kali muncul bersama dengan asma, hal ini disebabkan karena hidung dan saluran nafas merupakan satu saluran. Sakit kepala, berat di muka, sinusitis dan polip dapat merupakan komplikasi yang sering terjadi apabila sumbatan hidung berlangsung terus menerus dan berat. Menghindari penyebab merupakan pengobatan yang paling baik, dapat juga dilakukan fisioterapi dengan cara menghangatkan daerah hidung, bila hal ini tidak dapat dilakukan baru diperlukan pemberian obat.
Umumnya alergi hidung ada pencetusnya, itu yang harus disadari oleh para penderita, karena jika pencetus/penyebabnya tidak dihindari, akan menambah parah baik sumbatan dan bersin-bersin, begitu juga sebaliknya jika kita hindari akan berkurang secara bertahap sampai hilang.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Adakah hubungan antara gejala yang diderita sejak kecil dengan keluhan sekarang?
2. Bagaimana perjalan penyakit pasien tersebut?
3. Mengapa pengobatan yang didapatkan di Puseksamas (sebanyak 2 kali) tidak menolong atau meringankan keluhan pasien?
4. Apakah hal tersebut (pertanyaan c) berhubungan dengan peningkatan kadar gula darah sewaktu?
5. Bagaimana mekanisme timbulnya semua gejala di skenario tersebut?
6. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan yang ada di skemario tersebut?
7. Diagnosis banding: Rhinitis Alergika, Sinusitis Alergika, dan Polip.
8. Bagaimana penatalakasanaan dan prognosis pasien di skenario tersebut?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Tujuan
a. Mengetahui hal yang mendasari diagnosis penyakit yang diderita melalui pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
b. Mengetahui gejala-gejala penyakit tersebut lebih lanjut serta penatalaksanaannya (kuratif dan rehabilitatif).
c. Mengetahui prognosis pasien yang terdapat di skenario tersebut.
d. Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan kesehatan THT-KL sehingga bisa dilakukan tindakan promotif dan preventif
2. Manfaat
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu menjelaskan :
a. Ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dengan kesehatan THT-KL, meliputi: anatomi, histologi, dan fisiologi.
b. Klasifikasi macam-macam penyakit pada kesehatan THT-KL menurut lokasi, fungsi, dan penyebab.
c. Faktor-faktor yang mempegaruhi/predisposisi dan pencetus timbulnya penyakit/kelainan yang mengenai kesehatan THT-KL.
d. Mekanisme patogenesis, patofisiologi, dan patologi penyakit/kelainan dalam kesehatan THT-KL.
e. Penegakan diagnosis penyakit/kelainan yang mengenai kesehatan THT-KL dari gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan.
f. Diagnosis banding penyakit/kelainan yang mengenai kesehatan THT-KL.
g. Penatalaksanaan penyakit/kelainan yang mengenai kesehatan THT-KL secara komprehensif (medikamentosa, operasi, perilaku, nutrisi, dan rujukan).
h. Prognosis penyakit/kelainan yang mengenai kesehatan THT-KL.
i. Pencegahan (promotif, preventif, dan rehabilitatif) penyakit/kelainan mengenai kesehatan THT-KL di masyarakat.
D. HIPOTESIS
Pasien diduga menderita sinusitis kronik akibat rhinitis alergi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN HISTOLOGI CAVUM NASI ET SINUS PARANASALIS
1. Cavum Nasi
Anatomi
Cavum nasi dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi cavum nasi kanan dan kiri. Pintu masuk cavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut koana, yang menghubungkan cavum nasi dengan nasofaring. Tepat dibelakang nares anterior terdapat vestibulum yang dilapisi oleh kulit. Vestibulum memiliki banyak kelenjar sebasea dan rambut- rambut yang disebut vibrise.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah concha, berturut-turut dari yang terbesar: concha inferior, concha media, concha superior dan concha suprema (biasanya rudimenter). Diantara concha-concha dan dinding lateral hidung terdapat rongga kecil yang disebut meatus. Berdasarkan letaknya terdapat 3 meatus:
a. Meatus inferior, dimuarai oleh duktus nasolakrimalis
b. Meatus medius, dimuarai oleh sinus frontal, sinus maksila dan sinus ethmoidalis anterior
c. Meatus superior, dimuarai oleh sinus ethmoidalis anterior dan sinus sfenoid.
Histologi
a. Mukosa Olfactoria
Menutup permukaan atas concha superior dan recessus sphenoethmoidalis (1/3 bagian atas cavum nasi). Fungsinya menerima rangsang penghidu. Mukosa olfactoria dilapisi oleh pseudo stratified columnar non ciliated epithelium. Epitelnya dibentuk oleh 3 macam sel yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu.
Sel penyokong memiliki apeks silindris yang lebar dan basis yang lebih sempit. Pada permukaan bebasnya terdapat mikrofili, yang terendam dalam selapis cairan. Sel basal berukuran kecil, berbentuk bulat atau kerucut, membentuk lapisan pada basis epitel. Di bawah inti sel penyokong, terdapat sel olfaktorius, dimana pada apeksnya (dendrite) terdapat 6–8 silia yang panjang dan non motil.
Silia ini berespon terhadap zat pembau dengan membangkitkan suatu potensial reseptor. Silia ini sangat memperluas permukaan reseptor. Akson afferent dari neuron bipolar ini bergabung dalam berkas kecil yang mengarah ke SSP, tempat akson tersebut bersinaps dengan neuron dari lobus olfaktorius otak. Lamina propria di epitel olfaktorius memiliki kelenjar Bowman, dimana secret yang dihasilkannya mampu membersihkan silia, sehingga memudahkan akses zat pembau yang baru.
b. Mukosa respiratoria
Melapisi cavum nasi bagian bawah, permukaannya dilapisi oleh pseudo stratified columnar epithelium yang memiliki silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.
Pengondisian Udara
Sewaktu udara memasuki hidung, vibrissae besar menahan partikel kasar debu. Saat udara mencapai fossa nasalis, zat renik dan gas-gas terperangkap dalam lapisan mukus. Mukus ini, bersama sekret serosa, juga berfungsi melembabkan udara yang masuk, yang melindungi lapisan alveoli yang halus agar tidak menjadi kering. Jalinan superfisial yang luas juga menghangatkan udara yang masuk.
Fisiologi hidung
· Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
· Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b.. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.
· Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh :
b. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
c. Silia
d. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
e. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.
· Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
· Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
· Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.
· Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
2. Sinus Paranasalis
Merupakan pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga berbentuk rongga di dalam tulang. Terdapat 4 pasang sinus paranasalis mulai dari yang terbesar, yaitu:
a. Sinus maxillaris
Merupakan sinus paranasal yang terbesar. Ostium dari sinus ini berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris infundibulum etmoid. Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah 1). Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis; 2). Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita; 3). Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia. Lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit, sehingga radang pada infundibulum dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.
b. Sinus frontalis
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Sinus ini dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.
c. Sinus ethmoidalis
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontalis. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila.
d. Sinus sphenoidalis
Sinus sphenoid terletak dalam os. sphenoid di belakang sinus etmoid postrior. Sinus sphenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersphenoid.
Sinus paranasal dilapisi oleh epitel thoraks bertingkat semu bersilia dengan sel goblet. Lamina proprianya mengandung sedikit kelenjar kecil dan menyatu dengan periosteum di bawahnya. Sinus paranasal berhubungan langsung dengan rongga hidung melalui lubang-lubang kecil. Mukus yang dihasilkan di dalam rongga ini terdorong ke dalam hidung sebagai akibat aktivitas sel-sel epitel bersilia.

B. RHINITIS ALERGI
Rinitis alergi adalah reaksi inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut. Di Amerika Serikat terdapat hampir sekitar 20% rata- rata angka kejadian penderita rhinitis alergi (Anonim, 2009). Sementara di Indonesia, prevalensinya berkisar antara 4-40% (Ikawati, 2009).
Timbulnya gejala hiperresponsif hidung pada rinitis alergi adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulanya. Pada fase ini, selain faktor spesifik alergen, iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakeyan, dan Rusmono, 2007).
Degranulasi mastosit dan basofil akan menyebabkan terlepasnya histamin yang akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinorea. Histamin juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellulular Adhesion Mollecule 1 (ICAM 1). Di samping histamin, mediator lain seperti prostaglandin dan leukotrien yang dihasilkan dari metabolisme asam arakidonat atas perintah fosfolipase A2 akan berperan pada fase lambat (Baratawidjaja, 2002). Komplikasi rhinitis alergi yang sering adalah polip hidung, otitis media efusi yang sering residif dan sinusitis paranasal.
C. SINUSITIS
Agen etiologi sinusitis adapat berupa virus, bakteri, dan jamur. Sinusitis dapat dibagi berdasarkan waktu menjadi sinusitis akut dan kronik. Berikut adalah pembagian sinus :
1. Sinusitis Akut
· Sinusitis Maksilaris
Sinusitis maksilaris akut biasanya menyusul infeksi saluran napas atas yang ringan. Alergi hidung kronik, benda asing, dan deviasi septum nasi merupakan faktor-faktor predisposisi lokal yang paling sering ditemukan. Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi. Selama berlangsungnya sinusitis maksilaris akut, pemeriksaan fisik akan mengungkapkan adanya pus dalam hidung. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Gambaran radiologik sinusitis akut mula-mula berupa penebalan mukosa, selanjutnya opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang membengkak hebat, atau akibat akumulasi cairan yang memenuhi sinus. Biakan bakteri yang muncul biasanya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, bakteri anaerob, Branghamella catarrhalis. Sinusitis Maksilaris akut biasanya diterapi dengan antibiotik spektrum luas seperti amoksilin, ampisilin atau eritromisin plus sulfonimid, dengan alternatif lain berupa amoksisilin, sefaklor, sefuroksim, dan trimetoprin plus sulfonamid.
· Sinusitis Etmoidalis
Sinus ini terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Pada dewasa, seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris, serta dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tak dapat dielakkan. Gejalanya nyeri dan nyeri tekan di antara kedua mata dan di atas jembatan hidung, drainase dan sumbatan hidung. Pada anak, dinding lateral labirin etmoidalis (lamina papirasea) seringkali merekah sehingga menjadi selulitis orbita. Pengobatannya antibiotik sistemik.
· Sinusitis Frontalis
Sinus frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus etmoidalis anterior. Sinus frontalis berkembang dari sel-sel udara etmoidalis anterior dan duktus nasalis frontalis berlekuk-lekuk berjalan amat dekat dengan sel-sel ini. Selain daripada gejala infeksi yang umum pada sinus frontalis terdapat nyeri kepala yang khas. Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda menjelang malam.
· Sinusitis Sfenoidalis
Sinusitis sfenoidalis akut terisolasi sangat jarang. Sinus ini dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke verteks kranium.
2. Sinusitis Kronik
Per definisisi, sinusitis kronik berlangsung selama beberapa bulan atau tahun. Gambaran patologis sinusitis kronik adalah kompleks dan ireversibel. Etiologi dan faktor predisposisi sinusitis kronik cukup beragam. Pada era pra-antibiotik, sinusitis hiperplastik kronik timbul akibat sinusitis akut berulang dengan penyembuhan yang tidak lengkap. Gejala sinusitis kronik tidak jelas. Kadang terdapat nyeri kepala, hidung tersumbat, batuk kronis. Pengobatan harus berupa terapi infeksi dan faktor penyebab infeksi secara berbarengan. Tindakan bedah sederhana pada sinusitis maksilaris kronik adalah membuat lubang drainase yang memadai. Prosedurnya nasoanostromi atau pembentukan fenestra nasoantral.
D. POLIP
Polip adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan didalam rongga hidung, berwarna putihkeabu-abuan yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Pembentukan polip diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom serta predisposisisi genetic, menurut teori Bernstain, terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang berturbulensi terutama di daerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitilisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium,, oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip.
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vascular yang mengatakan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan mengakibatkan edema dan lama-kelamaan menjadi polip.
Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab akan membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai.

BAB III
PEMBAHASAN

Pasien dalam skenario 1 blok XVII THT-KL datang ke Puskesmas dengan keluhan hidung tersumbat. Keluhan ini dapat terjadi oleh beberapa faktor sehingga anamnesis perlu dilakukan secara teliti seperti apakah keluhan sumbatan ini terjadi terus menerus atau hilang timbul, pada satu atau kedua lubang hidung atau bergantian; adakah sebelumya riwayat terpapar bahan alergen seperti debu, tepung sari, bulu binatang, trauma hidung, pemakaian obat tetes hidung dekongestan untuk jangka waktu yang lama, perokok atau peminum alkohol yang berat; maupun apakah mulut dan tenggorok merasa kering.
Hasil anamnesis mengenai riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga diperlukan dalam memecahkan permasalahan kasus ini. Dalam skenario 1 disebutkan bahwa sejak kecil penderita sering bersin-bersin lebih dari 5 kali pada pagi hari, dan menghilang siang hari, disertai hidung gatal dan mata berair. Berdasarkan gejala-gejala ini pasien kemungkinan menderita rinitis alergi sejak kecil dengan faktor pemicu berupa udara dingin. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 bahwa rinitis alergi memiliki gejala-gejala pada hidung seperti bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh imunoglobulin E (Ig E).
Mekanisme terjadinya gejala-gejala tersebut diawali pada kontak pertama dengan alergen atau tahap tersensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell /APC) akan menangkap alergen yang menempel di mukosa permukaan hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA (Human Leucocyte Antigen) kelas II membentuk kompleks peptida MHC (Major Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Selanjutnya sel penyaji akan melepas sitokin seperi interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Ig E. Ig E di sirkulasi darah akan masuk jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai Ig E akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (preformed mediators) terutama histamin.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule (ICAM 1). Refleks bersin dan hipersekresi sebenarnya juga adalah refleks fisiologik yang berfungsi protektif terhadap antigen yang masuk melalui hidung. Iritasi sedikit saja pada daerah mukosa dapat seketika menimbulkan respons hebat di seluruh mukosa hidung. Selanjutnya melalui saluran penghubung kelenjar air mata, iritasi tersebut berlanjut dengan ditandai respons mata berair walaupun respons ini tidak terjadi pada semua kasus.
Selain histamin juga dikeluarkan newly preformed mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien D4 (LT D4), leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin (IL 3, IL 4, IL4, IL5, dan IL 6), serta Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF). Efek mediator ini menyebabkan vasodilatasi dan meningkatnya permeabilitas vaskular sehingga menyebabkan gejala hidung tersumbat (nasal blockage), meningkatnya sekresi kelenjar sehingga menimbulkan gejala beringus kental (mucous rhinorrhoe).
Sejumlah mediator peptida (sitokin) berperan dalam proses terjadinya eosinofilia. Sitokin biasanya diproduksi oleh limfosit T, tapi dapat juga oleh sel mast, basofil, makrofag, dan epitel. IL-4 berperan merangsang sel limfosit B melakukan isotype switch untuk memproduksi IgE, di samping berperan juga meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada epitel vaskuler (VCAM-1) yang secara selektif mendatangkan eosinofil ke jaringan. IL-3 berperan merangsang pematangan sel mast. IL-5 berperan secara selektif untuk diferensiasi dan pematangan eosinofil dalam sumsum tulang, mengaktifkan eosinofil untuk melepaskan mediator, dan memperlama hidup eosinofil dalam jaringan. Akibat meningkatnya eosinofil dalam jaringan maka terjadilah proses yang berkepanjangan dengan keluhan hidung tersumbat, hilangnya penciuman, dan hipereaktivitas hidung.
Kurang lebih 50% rinitis alergik merupakan manifestasi reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat. Gejala baru timbul setelah 4-6 jam pasca pajanan alergen akibat reaksi inflamasi jaringan yang berkepanjangan. Prostaglandin (PGD2) banyak terdapat di sekret hidung ketika terjadi fase cepat, tetapi tidak terdapat pada fase lambat, karena mediator ini banyak dihasilkan oleh sel mast. Fase cepat diperankan oleh sel mast dan basofil, sedangkan fase lambat lebih diperankan oleh basofil. (Irawati, Kasakeyan dan Rusmono, 2007)
Kesehatan sinus dipengaruhi patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar di dalam Kompleks Ostio-Meatal (KOM). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial. Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen dan berbau. Keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil, inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista yang pada skenario ditandai dengan adanya massa soliter dengan permukaan halus yang menggantung di nasopharynx sampai oropharynx yang berwarna keabu-abuan. Karena tekanan atmosfer yang lebih tinggi dibanding tekanan dalam telinga karena berisi eksudat, maka udara menekan membran timpani ke dalam sehingga pada pemeriksaan telinga, membran timpani tampak retraksi dan cone of light mengecil sebagai akibat dari gangguan pada tuba auditiva. Tekanan ini juga meyebabkan sekret hidung masuk ke dalam nasopharynx atau tenggorok yang disebut post nasal drip (+). Keluhan nyeri atau rasa tekan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis akut yang kadang-kadang terasa nyeri juga di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, yang dapat menjalar ke nyeri gigi dan telinga (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).
Dari proses / mekanisme kronis yang melatarbelakangi terjadinya gejala-gejala yang terjadi pada pasien diatas pada kenyataannya tidak berhenti hingga fase tersebut. Seperti yang disampaikan dalam beberapa literatur bahwa ada hubungan antara proses terjadinya rinitis dengan polip nasi serta sinusitis. Beberapa hal yang perlu diketahui bersama berkaitan dengan proses yang mengawali patogenesis timbulnya polip nasi yakni: 1) inflamasi kronik; 2) disfungsi saraf otonom; 3) kelainan genetik. Kemudian sebagaimana teori yang disampaikan oleh Bernstein, polip nasi timbul akibat proses inflamasi yang mendasarinya. Mekanisme inflamasi akan menyebabkan terjadinya edema pada mukosa yang melapisi hidung. Sebagaimana yang telah dijelaskan juga sebelumnya, terjadinya edema akibat peningkatan permeabilitas membrane vaskuler dan pelebaran sinus yang ada di daerah hidung itu sendiri. Melalui mediator perantara yang paling dianggap bertanggungjawab terhadap terjadinya rinitis alergi, histamin1 serta terjadinya peningkatan Ig E sebagai substansi yang menjembatani antara organ efektor dengan mediator tersebut di atas. Perubahan mukosa hidung ini juga dipicu oleh aliran udara yang bertubulensi, terutama terjadi di daerah sempit osteomeatal. Daerah kompleks osteometal merupakan celah sempit pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh concha media dan lamina papiraceae. Dengan demikian daerah kompleks osteomeatal ini menjadi penting sebagai unit yang berperan sebagai tempat ventilasi serta drainase sinus-sinus yang letaknya di anterior seperti sinus maksila, sinus ethmoidalis anterior dan sinus frontal. Sehingga kerusan pada sinus ini, terutama oleh terjadinya perubahan mukosa yang melapisinya, merupakan jalan yang menjembatani terjadinya gangguan sinus-sinus yang terkait. Dalam kasus ini terutama terjadi gangguan drainase sinus maksilaris sebagaimana yang akan nampak pada pemeriksaan X-foto sinus paranasal, sebagai gambaran kabut di daerah sinus maksilaris.
Selanjutnya kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung juga akan diikuti dengan prolaps submukosa serta reepitelisasi dan pembentukan kelenjar yang baru. Di dalam lapisan submukosa sendiri terdapat tunika propria yang kaya akan pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. Pembentukan lapisan epitel mukosa yang baru serta kolaps submukosa yang baru ini pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya peningkatan penyerapan natrium oleh sel-sel epitel mukosa hidung. Natrium sendiri memiliki kemampuan / efek untuk menarik air yang ada di vaskuler, sehingga ada keadaan akhir akan terjadi retensi air yang membentuk suatu polip.
Proses yang demikian nampaknya terus berlanjut pada pasien ini, sehingga menyebabkan mukosa menjadi sembab dan polip yang terbentuk oleh proses yang kronik ini akan mulai turun dari tempat asal perkembangannya (yakni yang ada di kompleks osteomatal di meatus medius) menuju rongga hidung serta membentuk tangkai.
Gambaran yang akan terlihat pada pemeriksaan adalah terbentuknya suatu massa bertangkai dengan permukaan licin, berbentuk bulat/ lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening, lobuar dan pada kasus ini adalah soiter, walaupun bisa juga terbentuk multiple. Ada pendapat juga yang menyatakan bahwa polip yang berkaitan dengan rinitis alergi ini biasa terbentuk bilateral, artinya bisa jadi polip ini terbentuk di cavum nasi dextra dan sinistra. Sedangkan dalam kasus ini terbentuk hanya unilateral kanan. Polip yang terjadi terus menerus tanpa pengobatan yang adekuat akan berkembang lebih lanjut menjadi polip choane atau disebut juga sebagai polip antero choane. Polip choane / anterochoane ini merupakan polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring, seperti yang nampak pada pasien ini yang bahkan mencapai orofaring.
Berdasarkan jenis sel peradangannya polip dikelompokkan menjadi dua yakni polip tipe eosinofilik, dan tipe neutrofilik. Pasien dalam skenario menderita polip eosinofilik di mana polip ini merupakan manifestasi penyakit lanjutan karena rinitis alergi. Selain itu dilihat dari pembagian stadium polip ada 3 tingkat menurut Mackay dan Lund (1997). Stadium 1: polip masih terbatas di meatus medius; stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidug tapi belum memenuhi rongga hidung; stadium 3: polip yang massif. Sesuai dengan pembagian ini pasien telah mencapai polip stadium 3 dimana massa yang terbentuk telah mencapai nasofaring bahkan nampak di orofaring. (Mangunkusumo dan Wardani, 2007)
Terjadinya post nasal drip (+) dapat disebabkan oleh adanya infeksi sekunder, yang ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan swab nampak kuman Staphillococcus aureus. Walupun keabsahan akan terjadinya infeksi oleh kuman spesies ini belum dapat dipastikan dengan pemeriksaan swab, karena pemeriksaan ini dilakukan di daerah vestibulum nasi. Walau demikian tetap perlu diwaspadai dengan dilakukan pemeriksaan yang lebih akurat agar pasien dapat memperoleh terapi yang sesuai, dengan indikasi post nasal drip (+). Pada pengobatan yang diberikan sebelumnya oleh dokter puskesmas tidak memberikan efek yang diharapkan disebabkan penyakit ini telah berjalan cukup lama, sehingga dimungkinkan terjadinya akumulasi sitokin-sitokin yang sangat banyak. Proses kronik yang terjadi pada rinitis alergi menyebabkan sekret yang dihasilkan oleh sel-sel goblet menjadi berlebihan, diikuti terjadinya reepitelisasi pada kompleks osteomeatal juga merupakan predisposisi terjadinya keluhan bau amis, karena sekret yang dihasilkan merupakan kumpulan dari kuman-kuman maupun sel-sel yang nekrotik yang kemudian terkumpul tanpa adanya drainase yang baik.

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN
1. Pasien menderita sinusitis kronis.
2. Rinitis alergi yang diderita pasien sejak kecil merupakan faktor predisposisi terjadinya polip dan sinusitis.
B. SARAN
Perlu dilakukan pemeriksaan ulang terhadap kadar gula darah sewaktu, ditambah dengan pemeriksaan gula darah puasa dan gula darah 2 jam post prandial. Hal ini dimaksudkan untuk mengecek adakah penyakit diabetes mellitus pada pasien. Jika ternyata hasil pemeriksaan menunjukkan diabetes mellitus, perlu dilakukan koreksi sebelum diadakan operasi.
Pemeriksaan resistensi antimikroba dapat dilakukan untuk menentukan medikamentosa yang tepat. Apalagi riwayat pengobatan pasien menunjukkan pernah diterapi antibiotik sampai 2 kali tetapi tidak memberikan perubahan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Rinitis Alergi. http://www.klikdokter.com. (5 September 2009)
Baratawidjaja, Karnen Garna. 2002. Imunologi Dasar Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ikawati,Zullies. 2009. Allergic Rhinitis. http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id. (5 September 2009)
Irawati,N., Kasakeyan, E., dan Rusmono, N. 2007. Rinitis Alergi in Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Mangunkusumo, E. dan Soetjipto, D. 2007. Sinusitis in Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.Mangunkusumo, E. dan Wardani, R.S. 2007. Sinusitis in Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Tuesday, June 2, 2009

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN, PREEKLAMPSIA, DAN EKLAMPSIA


1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Beberapa jam terakhir pada kehamilan manusia, ditandai dengan kontraksi uterus yang menyebabkan dilatasi serviks dan mendorong janin melalui jalan lahir. Banyak energi dikeluarkan pada waktu ini; oleh karena itu, penggunaan istilah labor (kerja keras), dimaksudkan untuk menggambarkan proses ini. Kontraksi miometrium pada persalinan terasa nyeri sehingga istilah nyeri persalinan digunakan untuk mendeskripsikan proses ini. Namun, sebelum kontraksi yang kuat dan terasa nyeri dimulai, uterus harus dipersiapkan untuk persalinan. Pada 36 sampai 38 minggu pertama kehamilan, miometrium tidak responsif; setelah masa tenang yang panjang ini, diperlukan fase transisi agar ketidakresponsifan miometrium menghilang dan serviks melunak dan mendatar. Memang, ada banyak status fungsional uterus yang harus dilaksanakan selama kehamilan dan masa nifas; status-status fungsional ini diuraikan belakangan dan digolong-golongkan sebagai fase-fase uterus pada persalinan.
Kontraksi miometrium yang tidak menyebabkan dilatasi serviks dapat dirasakan kapan pun selama kehamilan. Kontraksi-kontraksi ini ditandai dengan kejadian yang tidak dapat diramalkan, intensitas rendah, dan durasinya singkat. Rasa tidak nyaman yang ditimbulkan biasanya terbatas di abdomen bawah dan lipat paha. Menjelang akhir masa kehamilan, ketika uterus mengalami persiapan untuk bersalin, kontraksi jenis ini lebih sering, khususnya pada multipara, dan kadangkala disebut sebagai persalinan palsu. Namun, pada beberapa ibu, kontraksi kuat uterus yang menimbulkan dilatasi serviks, penurunan janin, dan pelahiran knseptus dimulai secara mendadak, dan tampaknya tanpa peringatan.
Dari skenario 3 Blok Sistem Reproduksi, adapun ringkasan dari skenario tersebut, adalah :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Seorang wanita ibu hamil dengan status G4P2A1, hamil 37 minggu, datang ke Klinik Bersalin dengan keluhan lendir darah pervaginam yang disertai perut kenceng-kenceng teratur sejak 4 jam yang lalu.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- (tidak ada data)
Ø Riwayat Penyakit Keluarga, berupa:
- (tidak ada data)
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Hasil pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam oleh dokter, didapatkan keadaan umum yang baik.
- Hasil vital sign: tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 80 kali/menit, suhu 37 derajat Celcius, RR 20 kali/menit
- Hasil pengamatan: terdapat edema pada tungkai bawah
- Hasil pemeriksaan obstetri: janin tunggal, presentasi kepala, punggung kiri, denyut jantung janin masih baik
- Hasil pemeriksaan fetal well being: masih baik
- Hasil pemeriksaan kematangan serviks (Bishop score): serviks sudah matang dengan nilai 8
- Dilatasi seviks sudah pembukaan sebesar 3 cm
- Hasil pemeriksaan dituliskan dalam lembar partograf
- Setelah 10 jam pada persalinan, penderita terlihat ingin mengejan, perineum terlihat menonjol dan anus terbuka, dilakukan pemeriksaan dalam, ternyata pembukaan sudah lengkap.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas sebagai dasar teori, antara lain :
a. Asuhan antenatal
b.Tanda-tanda permulaan persalinan dan in partu
c. Kekuatan yang mendorong janin keluar
d. Fisiologi mekanisme persalinan biasa dan involusi uterus
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Mengetahui penegakkan diagnosis melalui berbagai pemeriksaan yang dilakukan.
Ø Mengetahui gejala-gejala penyakit tersebut lebih lanjut serta penatalaksanaannya.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem reproduksi wanita dan penyelesaiaannya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu menjelaskan :
a. Ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dengan sistem reproduksi, meliputi: biologi, anatomi, histologi, fisiologi, dan biokimia, dan sebagainya.
b. Klasifikasi macam-macam penyakit pada sistem reproduksi.
c. Keadaan normal dan patologis pada kasus-kasus obstetrik meliputi: fisiologi organ reproduksi, ANC-kehamilan, maternal fisiologis persalinan, puerperium/nifas.
d. Keadaan normal dan patologis pada kasus-kasus ginekologi meliputi: kondisi anatomi organ, kelainan genetik dan kongenital, infeksi, tumor, perdarahan abnormal pada uterus dan kelainan pada payudara.
e. Penyebab-penyebab terjadinya gangguan pada sistem reproduksi beserta mekanismenya.
f. Faktor-faktor pencetus terjadinya gangguan pada sistem reproduksi.
g. Manajemen/penatalaksanaan penyakit pada sistem reproduksi, meliputi dasar-dasar terapi meliputi medikamentosa, konservatif, diet, operatif, rehabilitasi.
h. Prosedur klinik penunjang diagnosa penyakit sistem reproduksi meliputi: radiologi:USG, HSG, Tomografi: aksial hipofisis, dll.
i. Pemeriksaan laboratorium penunjang diagnosa penyait sistem reproduksi meliputi: mikroskopik yaitu pemeriksaan sekret vagina: bau, pH, usap vaginal, pemeriksaan dengan NaCl, dengan potasium hidroklorida, usap endoservikal dan servikal, mikrobiologi: etiologi infeksi: gram, kimia: FSH serum.
j. Prognosis secara umum tentang penyakit pada sistem reproduksi.
k. Penyususnan data dari simtom/gejala, pemeriksaan fisik, prosedur klinik, dan pemeriksaan laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis sementara dan diagnosis banding pada penyakit sistem reproduksi.
l. Prosedur keterampilan klinik untuk mendiagnosis penyakit pada sistem reproduksi meliputi pemeriksaan perineal, pemeriksaan genitalia wanita, pemeriksaan ginekologik dan obstetrik, dll.
m. Tindakan promotif dan preventif penyakit pada sistem reproduksi dengan mempertimbangkan faktor-faktor pencetus.
n. Perancangan penatalaksanaan penyakit-penyakit pada sistem reproduksi.
o. Ketrampilan kegiatan di lapangan dalam upaya pencegahan pada kelainan di sistem reproduksi.

2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Asuhan Antenatal
Asuhan antenatal atau antenatal care (ANC) adalah upaya preventif program pelayanan kesehatan obstetrik untuk optimalisasi luaran maternal dan neonatal melalui serangkaina kegiatan pemantauan rutin selama kehamilan. Ada 6 alasan penting untuk mendapatkan asuhan antenatal, yaitu membangun rasa saling percaya antara klien dan petugas kesehatan, mengupayakan terwujudnya kondisi terbaik bagi ibu dan bayi yang dikandungnya, memperoleh informasi dasar tentang kesehatan ibu dan kehamilannya, mengidentifikasi dan menata laksana kehamilan risiko tinggi, memberikan pendidikan kesehatan yang diperlukan dalam menjaga kualitas kehamilan dan merawat bayi, menghindarkan gangguan kesehatan selama kehamilan yang kana membahayakan keselamatan ibu hamil dan bayi yang dikandungnya. Bila kehamilan termasuk risiko tinggi perhatian dan jadwal kunjungan harus lebih ketat. Namun, bila kehamilan normal, jadwal asuhan cukup empat kali. Dalam bahasa program kesehatan ibu dan anak, kunjungan antenatal ini diberi kode angka K yang merupakan singkatan dari kunjungan. Pemeriksaann antenatal yang lengkap adalah K1, K2, K3, dan K4. Hal ini berarti minimal dilakukan sekali kunjungan antenatal hingga usia kehamilan 28 minggu, sekali kunjungan antenatal selama kehamilan 28 selama kehamilan 28 sampai 36 minggu dan sebanyak dua kali kunjugan antenatal pada usia kehamilan di atas 36 minggu. Selama melakukan kunjungan untuk asuhan antenatal, para ibu hamil akan mendapatkan serangkaian pelayanan yang terkait dengan upaya memastikan ada atau tidaknya kehamilan dan penelusuran berbagai kemungkinan adanya penyulit atau gangguan kesehatan selama kehamilan yang mungkin dapat mengganggu kualitas dan luaran kehamilan. Identifikasi kehamilan diperoleh melalui pengenalan perubahan anatomik dan fisiologik kehamilan. Bila diperlukan, dapat dilakukan uji hormonal kehamilan dengan menggunakan berbagai metode yang tersedia. (Adriaansz, 2008)
Hal yang pertama ditinjau adalah identifikasi dan riwayat kesehatan, meliputi hal-hal berikut ini. Data umum pribadi, meliputi nama, usia, alamat, pekerjaan ibu/suami, lamanya menikah, kebiasaan yang dapat merugikan kesehatan. Keluhan saat ini, meliputi jenis dan sifat gangguan yang dirasakan ibu, lamanya mengalami gangguan tersebut. Riwayat haid, meliputi hari pertama haid terakhir (HPHT), usia kehamilan dan taksiran persalinan (rumus Naegle: tanggal HPHT ditambah 7 dan bulan dikurangi 3). Riwayat kehamilan dan persalinan, meliputi, asuhan antenatal, persalinan, dan nifas kehamilan sebelumnya, cara persalinan, jumlah dan jenis kelamin anak hidup, berat badan lahir, cara pemberian asupan bagi bayi yang dilahirkan, informasi dan saat persalinan atau keguguran terakhir. Riwayat kehamilan saat ini, meliputi identifikasi kehamilan, identifikasi penyulit (preeklampsia atau hipertensi dalam kehamilan), penyakit lain yang diderita, gerakan bayi dalam kandungan. Riwayat penyakit dalam keluarga, meliputi diabetes melitus, hipertensi atau hamil kembar, dan kelainan bawaan. Riwayat penyakit ibu, meliputi, penyakit yang pernah diderita, DM, hipertensi dalam kehamilan, infeksi saluran kemih, penyakit jantung, infeki virus yang berbahaya, alergi obat atau makanan tertentu, pernah mendapat transfusi darah dan indikasi tindakan tersebut, inkompatibilitas rhesus, paparan sinar-X. Riwayat penyakit yang memerlukan tindakan pembedahan, meliputi dilatasi dan kuretase, reparasi vagina, seksio sesarea, serviks inkompeten, operasi nonginekologi. Hal-hal lainnya yang termasuk dalam identifikasi dan riwayat kesehatan ini adalah riwayat mengikuti program keluarga berencana (KB), riwayat imunisasi, riwayat menyusui. (Adriaansz, 2008)
Pemeriksaan yang dilakukan, meliputi hal-hal berikut ini. Keadaan umum, meliputi tanda vital, pemeriksaan jantung dan paru, pemeriksaan payudara, kelainan otot dan rangka serta neurologik. Pemeriksaan abdomen, meliputi inspeksi: bentuk dan ukuran abdomen, jaringan parut bekas operasi, tanda-tanda kehamilan, gerakan janin, varises atau pelebaran vena, hernia, edema; palpasi: tinggi fundus, punggung bayi, presentasi, sejauh mana bagian terbawah bayi masuk pintu atas panggul; auskultasi: 10 minggu dengan Doppler, 20 minggu dengan fetoskop Pinard; inspekulo vagina untuk identifikasi vaginitis pada trimester I atau II. Pemeriksaan laboratorium, meliputi analisis urin rutin, analisis tinja rutin, Hb, MCV, golongan darah, hitung jenis sel darah, gula darah, antigen hepatitis B virus, antibodi Rubella, HIV/VDRL. Tidak lupa, dilakukan ultrasonografi (USG) rutin pada kehamilan 18 sampai dengan 22 minggu untuk identifikasi kelainan janin. (Adriaansz, 2008)
Kunjungan antenatal, sebaiknya dilakukan secara berkala dan teratur. Bila kehamilan normal, jumlah kunjungan cukup empat kali, satu kali pada trimester I, satu kali pada trimester II, dan dua kali pada trimester III. Hal ini dapat memberikan peluang yang lebih besar bagi petugas kesehatan untuk mengenali secara dini berbagai penyulit atau gangguan kesehatan yang terjadi pada ibu hamil. Beberapa penyakit atau penyulit tidak segera timbul bersamaan dengan terjadinya kehamilan (misalnya, hipertensi dalam kehamilan) atau baru akan menampakkan gejala pada usia kehamilan tertentu (misalnya, perdarahan antepartum yang disebabkan oleh plasenta previa). Selain itu, upaya memberdayakan ibu hamil dan keluarganya tentang proses kehamilan dan masalahnya melalui penyuluhan atau konseling dapat berjalan efektif apabila tersedia cukup waktu untuk melaksanakan pendidikan kesehatan yang diperlukan. (Adriaansz, 2008)
Setiap kunjungan ke kunjungan berikutnya, sebaiknya dilakukan pencatatan mengenai keluhan yang dirasakan ibu hamil, hasil pemeriksaan setiap kunjungan, dan menilai kesejahteraan janin (fetal well being). Untuk menilai kesejahteraan janin pada kehamilan risiko tinggi dapat dilakukan berbagai jenis pemeriksaan atau pengumpulan informasi, baik yang diperoleh dari ibu hamil maupun pemeriksaan oleh petugas kesehatan. Pemeriksaan yang memerlukan peralatan canggih umumnya dilakukan dengan peralatan pencatat denyut jantung janin (kardiotokografi) dan peralatan USG yang disebut dengan pemeriksaan biofisik janin (biophysic profile). Berbagai jenis pemeriksaan tersebut salah satunya adalah pengukuran tinggi fundus uteri terutama lebih dari 20 minggu yang akan disesuaikan dengan usia kehamilan saat pemeriksaan dilakukan. Tinggi fundus yang normal sama dengan usia kehamilan. Pemeriksaan yang lainnya, antara lain gerakan menendang atau tendangan janin (10 gerakan/12 jam), gerakan janin, gerakan janin yang menghilang dalam waktu 48 jam diindikasikan dengan hipoksia berat atau janin meninggal, denyut jantung janin, dan USG. Bila usia kehamilan memasuki 34 munggu, selain pemeriksaan di atas, juga dilakukan pula pemeriksaan tentang penilaian besar janin, letak dan presentasi, juga penilaian luas panggul. (Adriaansz, 2008)
Tidak semua ibu hamil dan keluarganya mendapat pendidikan dan konseling kesehatan yang memadai tentang kesehatan reproduksi, terutama tentangkehamilan dan upaya untuk menjaga agar kehamilan tetap sehat dan berkualitas. Kunjungan antenatal memberi kesempatan bagi petugas kesehatan untuk memberikan informasi keehatan esensial bagi ibu hamil dan keluarganya termasuk rencana persalinan (di mana, penolong, dana, pendamping, dan sebagainya) dan cara merawat bayi. Beberapa informasi peting tersebut adalah sebagai berikut. Nutrisi yang adekuat, mencakup kalori, protein, kalsium, zat besi, dan asam folat. Perawatan payudara perlu dilakukan karena payudara ibu perlu dipersiapkan sejak sebelum bayi lahir sehingga dapat segera berfungsi baik saat diperlukan. Perawatan gigi perlu dilakukan oleh ibu hamil, paing tidak du aklai melakukan pemeriksaan gigi, yaitu pada trimester I dan III. Penjadwalan pemeriksaan gigi untuk trimester pertama terkait dengan hiperemesis dan ptialisme (produksi liur yang berlebihan) sehingga kebersihan rongga mulut harus selalu terjaga. Sementara itu, pada trimester ketiga, terkait dengan adanya kebutuhan kalsium untuk pertumbuhan janin sehingga perlu diketahui apakah terdapat pengaruh yang merugikan pada gigi ibu hamil. Dianjurkan pula untuk selalu menyikat gigi setelah makan karena ibu hamil sangat rentan terhadap terjadinya carries dan ginggivitis. Selain itu semua, ada satu hal yang penting lagi, yaitu kebersihan tubuh harus tetap terjaga selama kehamilan dan setelah kehamilan. (Adriaansz, 2008)
B. Tanda-Tanda Permulaan Persalinan dan In Partu
Sebelum terjadi persalinan sebenarnya beberapa minggu sebelumnya, wanita memasuki “bulannya” atau “minggunya” atau “harinya” yang disebut dengan kala pendahuluan (prepatory stage of labor). Ini memberikan tanda-tanda sebagai berikut (Cunningham, et. al., 2005):
- Lightening atau settling atau dropping, yaitu kepala turun memasuki pintu atas panggul terutama pada primigravida. Pada multipara tidak begitu kentara.
- Perut kelihatan lebih melebar, fundus uteri turun.
- Perasaan sering-sering atau susah kencing (polakisuria) karena kandung kemih tertekan oleh bagian terbawah janin.
- Perasaan sakit di perut dan di pinggang oleh adanya kontraksi-kontraksi lemah dari uterus, kadang-kadang disebut “false labor poins”.
- Serviks menjadi lembek, mulai mendatar, dan sekresinya bertambah bisa bercampur darah (bloody show).
Untuk tanda-tanda in partu, yaitu (Cunningham, et. al., 2005):
- Rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering, dan teratur.
- Keluar lendir bercampur darah (show) yang lebih banyak karena robekan-robekan kecil pada serviks.
- Kadang-kadang ketuban pecah dengan sendirinya.
- Pada pemeriksaan dalam: serviks mendatar dan pembukaan telah ada.
Faktor-faktor yang sangat berperan dalam persalinan, antara lain:
- Kekuatan yang mendorong janin keluar (power), meliputi: his (kontraksi uterus), kontraksi otot-otot dinding perut, kontraksi diafragma, dan ligamentous action terutama ligamentum rotundum.
- Faktor janin
- Faktor jalan lahir, bahwa pada waktu partus akan terjadi perubahan-perubahan pada uterus, serviks, vagina, dan dasar panggul.
C. Kekuatan yang Mendorong Janin Keluar
Sudah diketahui bahwa uterus memiliki tiga lapisan otot polos, yaitu lapisan-lapisan luar longitudinal, lapisan dalam sirkular, dan di antara dua lapisan ini terdapat lapisan dengan otot-otot yang beranyaman “tikar”. Berbeda dengan otot polos lain, pemendekan otot rahim lebih besar, tenaga dapat disebarkan ke segala arah dan karena susunannya tidak teroganisasi secara memanjang hal ini memudahkan pemendekan, kaapsitas untuk meningkatkan tekanan dan menyebabkannya tidak bergantung pada letak atau presentasi janin. His adalah salah satu kekuatan pada ibu yang menyebabkan serviks membuka dan mendorong janin ke bawah. His yang sempurna, bila terdapat (a) kontraksi yang simetris, (b) kontraksi paling kuat atau adanya dominasi di fundus uteri, dan (c) sesudah itu terjadi relaksasi. (Joewono, 2008)
Frekuensi his adalah jumlah his dalam waktu tertentu. Amplitudo dikalikan dengan frekuensi his dalam 10 menit menggambarkan kaektifan uterus dan ini diukur dengan unit Montevideo. Umpama amplitudo 50 mmHg, frekuensi his 3 kali dalam 10 menit, maka aktivitas uterus adalah 50 dikalikan 3, yaitu 150 unit Montevideo. Nilai yang adekuat untuk terjadinya persalinan adalah 150 sampai dengan 200 unit Montevideo. (Joewono, 2008)
Tiap his dimulai sebagai gelombang dari salah satu sudut di mana tuba masuk ke dalam dinding uterus yang disebut sebagai pace maker tempat gelombang his berasal. Gelombang bergerak ke dalam dan ke bawah dengan kecepatan 2 cm tiap detik sampai ke seluruh uterus. His paling tinggi di fundus uteri yang lapisan ototnya paling tebal dan puncak kontraksi terjadi simultan di seluruh bagian uterus. Sesudah tiap his, otot-otot korpus uteri menjadi lebih pendek daripada sebelumnya yang disebut sebagai retraksi. Oleh karena serviks kurang mengandung otot, serviks tertarik dan terbuka (penipisan dan pembukaan); lebih-lebih jika ada tekanan oleh bagian janin yang keras, umpamanya kepala. (Joewono, 2008)
Aktivitas miometrium dimulai saat kehamilan. Bila melakukan pemeriksaan ginekologik pada waktu hamil kadang dapat diraba adanya kontraksi uterus (tanda Braxton-Hicks). Pada seluruh trimester kehamilan dapat dicatat adanya kontraksi ringan dengan amplitudo 5 mmHg yang tidak teratur. His sesudah kehamilan 30 minggu terasa lebih kuat dan sering. Sesudah 36 minggu, aktivitas uterus lebih meningkat lagi sampai persalinan dimulai. Jika persalinan mulai, yakni pada permulaan kala I, frekuensi dan ampitudo his meningkat. (Joewono, 2008)
Amplitudo uterus meningkat terus sampai 60 mmHg pada akhir kala I dan frekuensi his menjadi 2 sampai 4 kontraksi tiap 10 menit. Juga durasi his meningkat dari hanya 20 detik pada permulaan partus sampai 60-90 detik pada akhir kala I atau pada permulaan kala II. His yang sempurna dan efektif bila koordinasi dari gelombang permulaan kala II. His yang sempurna dan efektif bila ada koordinasi dari gelombang kontraksi sehingga kontraksi simetris dengan dominasi di fundus uteri, dan mempunyai amplitudo 40 sampai 60 mmHg yang berdurasi 60 samapi 90 detik dengan jangka waktu antara kontraksi 2 sampai 4 menit, dan pada relaksasi tonus uterus kurang dari 12 mmHg. Jika frekuensi dan amplitudo his lebih tinggi maka dapat mengurangi pertukaran oksigen. Terjadilah hipoksia janin dan timbul gawat janin yang secara klinik dapat ditentukan dengan antara lain menghitung detak jantung janin ataupun dengan pemeriksaan kardiotokografi. (Joewono, 2008)
His menyebabkan pembukaan dan penipisan di samping tekanan air ketuban pada permulaan kala I dan selanjutnya oleh kepala janin yang makin masuk ke rongga panggul dan sebagai benda keras yang mengadakan tekanan kepada serviks hinga pembukaan menjadi lengkap. Secara klinis pengukuran ini kurang bermanfaat dan sampai saat ini pengukuran kontraksi uterus dilakukan secara klinis dengan meletakkan tangan pada daerah fundus dan mencatat frekuensi, interval, dan durasinya.
Beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap kontraksi rahim adalah besar rahim, besar janin, berat badan ibu, dan lain-lain. Namun, dilaporkan tidak adanya perbedaan hasil pengukuran tekanan intrauterus kala II antara wanita obese dan tidak obese. Gambaran klinis kontraksi uterus, frekuensi, intensitas, dan durasi di atas tidak dapat dipercaya untuk mengukur kemajuan persalinan ataupun indeks normalitas. Yang berguna untuk mengakses kemajuan persalinan adalah pembukaan dan penurunan. (Joewono, 2008)
Pada kala II ibu menambah kekuatan uterus yang sudah optimum itu dengan adanya peningkatan tekanan intraabdomen akibat ibu melakukan kontraksi diafragma dan otot-otot dinding abdomen yang akan lebih efisien jika badan ibu dalam keadaan fleksi dan glotis tertutup. Dagu ibu di dadanya, badan dalam fleksi dan kedua tangan menarik pahanya dekat pada lutut. Dengan demikian, kepala/bokong janin didorong membuka diafragma pelvis dan vulva, setelah anak lahir kekuatan his tetap ada untuk pelepasan dan pengeluaran uri. Posisi ibu yang tegak (duduk, jongkok, atau berdiri) lebih mempermudah upaya mengejan ibu yang mungkin diakibatkan bantuan gravitasi dan merupakan posisi yang lebih fisiologis, meskipun penelitian-penelitian yang ada menghasilkan kesimpulan yang definitif. Posisi ibu yang tegak (bukan terlentang/dorsolitotomi) serta pendampingan oleh suami yang kontinyu dianjurkan oleh berbagai ahli. Pada kala III atau kala uri yang berlangsung 2 sampai menit, amplitudo his masih tinggi sekitar 60 sampai 80 mmHg tetapi frekuensinya berkurang. Hal ini disebut aktivitas uterus menurun. Sesudah 24 jam pascapersalinan, intensitas dan frekuensi his menurun. (Joewono, 2008)
Di tingkat sel, mekanisme kontraksi ada dua, yaitu akut dan kronik. Yang akut diakibatkan oleh masuknya ion kalsium ke dalam sel yang dimulai dengan depolarisasi membran sel. Meningkatnya konsentrasi kalsium bebas dalam sel memicu satu reaksi berantai yang menyebabkan pembentukan hubungan (cross bridges) antara filamen aktin dan miosin sehingga sel berkontraksi. Sementara itu, mekanisme yang kronik diakibatkan pengaruh hormon yang memediasi transkripsi gen yang menekan atau meningkatkan kontraktilitas sel yaitu CAP (Contraction Associated-proteins). Yang menyebabkan uterus mulai kontraksi (mulai in partu) sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Diperkirakan adanya sinyal biomolekuler dari janin yang diterima otak ibu akan memulai kaskade penurunan progesteron, estrogen, dan peningkatan prostaglandin dan oksitosin sehingga terjadilah tanda-tanda persalinan. Satu teori yang menyatakan bahwa janin merupakan dirigen dari orkestrasi kehamilannya sendiri, dan komunikasi biomolekuler antara ibu dan janin ini merupakan bagian dari awal ikatan (bonding and attachment) antara ibu dan janin yang akan terjalin seumur hidup. (Joewono, 2008)
Kontraksi uterus umumnya tidak seberapa sakit tetapi kadang-kadang dapat mengganggu sekali. Juga pada waktu ibu menyusui, ibu merasakan his yang kadang-kadang mengganggu akibat refleks pengeluaran oksitosin. Oksitosin membuat uterus berkontraksi di samping membuatotot polos di sekitar alveola berkontraksi pula sehingga air susu ibu dapat keluar. Perasaan sakit pada waktu his amat subjektif, tidak hanya bergantung pada intensitas his tetapi bergantung pula pada keadaan mental orangnya. Nyeri waktu melahirkan dinggap sebagai satu-satunya nyeri fisiologis sehingga ada pendapat yang menyatakan tidak perlu dikurangi intensitasnya. Perasaan sakit pada his mungkin disebabkan oleh iskemia dalam korpus uteri tempat terdapat banyak serabut saraf dan diterukan melalui saraf sensorik di pleksus hipogastrik ke sistem saraf pusat. Sakit di pinggang sering terasa pada kala pembukaan dan bila bagian terbawah uterus turut berkontraksi sehingga serabut sensorik turut terangsang. Pada kala II perasaan sakit disebabkan oleh peregangan vagina, jaringan-jaringan dalam panggul, dan perineum. Sakit ini dirasakan di pinggang, dalam panggul, dan menjalar ke paha sebelah dalam. Perasaan sakit ini tampaknya sesuai dengan puncak kontraksi yang tercatat secara manual dan puncak tekanan yang tercatat dengan alat. (Joewono, 2008)
D. Fisiologi Mekanisme Persalinan Biasa dan Involusi Uterus
Sebelum ke mekanisme persalinan, perlu diketahui tentang sebab-sebab yang menimbulkan persalinan. Apa yang menyebabkan persalinan belum diketahui dengan benar dan pasti, yang ada hanyalah merupakan teori-teori yang kompleks antara lain teori yang mengemukakan faktor hormonal, struktur rahim, sirkulasi rahim, pengaruh tekanan pada saraf, dan nutrisi.
- Teori penurunan hormon: 1-2 minggu sebelum partus mulai terjadi penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron. Progesteron bekerja sebagai penenang otot-otot polos rahim dan akan menyebabkan kekejangan pembuluh darah sehingga timbul his bila kadar progesteron turun.
- Teori plasenta menjadi tua akan menyebabkan turunnya kadar estrogen dan progesteron yang menyebabkan kekejangan pembuluh darah hal ini akan menimbulkan kontraksi rahim.
- Teori distensi rahim: rahim yang menjadi besar dan merenggang menyebabkan iskemia otot-otot rahim sehingga mengganggu sirkulasi utero-plasenter.
- Teori iritasi mekanik: di belakang serviks terletak ganglion servikale (pleksus Frankenhauser). Bila ganglion ini digeser dan ditekan, misalnya oleh kepala janin, akan timbul kontraksi urterus.
- Induksi partus (induction of labor), dengan jalan: gagang laminaria (berupa laminaria dimasukkan ke dalam kanalis servikalis dengan tujuan merangsang pleksus Frankenhauser), amniotomi (pemecahan ketuban), oksitoria drips (pemberian oksitosin menurut tetesan per infus)
Berikut ini dijelaskan mekanisme persalinan. Kontraksi uterus selama persalinan dimulai terutama dari puncak fundus uteri dan menyebar ke bawah ke seluruh korpus uteri. Selain itu, intensitas kontraksi sangat besar pada puncak dan korpus uteri tetapi lemah pada segmen bawah uterus yang berdekatan dengna serviks. Oleh karena itu, setiap kontraksi uterus cenderung mendorong bayi ke bawah ke arah serviks. Pada bagian awal persalinan, kontraksi mungkin hanya terjadi sekali setiap 30 menit. Dengan maujunya persalinan, kontraksi akhirnya timbul lebih sering, sekali setiap 1 sampai 3 menit, dan intrnstias kontraksinya bertambah sangat kuat, dengan periode relaksasi yang singkat di antara kontraksi. Gabungan kontraksi uterus dan otot-otot abdomen selama kelahiran bayi menyebabkan bayi terdorong ke bawah kira-kira dengan kekuatan 25 pon setiap kontraksi yang kuat. Untungnya, kontraksi persalinan terjadi secara intermiten karena kontraksi yang kuat menghalangi atau kadang-kadang bahkan menghentikan aliran darah melalui plasenta dan akan menyebabkan kematian fetus bila kontraksi terus berlangsung. Memang pada pemakaian berlebihan dari berbagai zat perangsang uterus seperti oksitosin, dapat menyebabkan spasm uterus, dan bukan kontraksi ritmis, yang dapat menyebabkan kematian fetus. (Guyton dan Hall, 2007)
Pada 95 persen kelahiran, kepala merupakan bagian pertama yang dikeluarkan dari bayi, dan pada sebagian besar sisanya, bokong dikeluarkan pertama kali. Kepala bertindak sebagai baji untuk membuka struktur-struktur jalan lahir ketika fetus didorong ke bawah. Hambatan utama yang pertama dari pengeluaran fetus adalah serviks uteri. Menjelang akhir kehamilan, serviks menjadi lunak, yang memungkinkan serviks meregang saat konntraksi persalinan mulai terjadi di dalam uterus. Apa yang disebut kala satu persalinan (kala I) adalah suatu periode dilatasi serviks yang progresif, berlangsung sampai pembukaan serviks sebesar kepala fetus. Stadium ini biasanya berlangsung selama 8 sampai 24 jam pada kehamilan pertama tetapi sering hanya berlangsung beberapa menit pada kehamilan yang sudah berkali-kali. Sekali serviks telah berdilatasi sempurna, ketuban biasanya pecah dan cairan ketuban tiba-tiba mengalir keluar ke vagina. Kemudian kepala fetus bergerak dengan cepat masuk ke jalan lahir, dan dengan kekuatan tambahan dari atas, kepala terus turun melalui jalan lahir sampai akhirnya terjadi kelahiran. Keadaan ini disebut kala dua persalinan (kala II), dan kala dua ini bisa berlangsung paling cepat 1 menit pada multipara, sampai 30 menit atau lebih pada primigravida. (Guyton dan Hall, 2007)
Selama 10 sampai 45 menit setelah kelahiran bayi, uterus terus berkontraksi menjadi semakin mengecil, yang menyebabkan efek penglepasan antara dinding uterus dan plasenta sehingga memisahkan plasenta dari tempat implantasinya. Pemisahan plasenta akan membuka sinus-sinus plasenta dan menyebabkan perdarahan. Jumlah perdarahan terbatas, rata-rata 350 mililiter melalui melanisme berikut ini: Serabut-serabut otot polos dari uteru diatur dalam sususnan angka delapan mengelilingi pembuluh-pembuluh darah sewaktu pembuluh tersebut melewati dinding uterus. Oleh karena itu, kontraksi uterus setelah persalinan bayi menyebabkan konstriksi pembuluh darah yang sebelumnya menyuplai darah ke plasenta. Selain itu, diyakini bahwa vasokonstriktor, yaitu prostaglandin yang terbentuk pada tempat pemisahan plasenta, menyebabkan spasme pembuluh darah tambahan. (Guyton dan Hall, 2007)
Pada setiap kontraksi uterus, ibu mengalami rasa nyeri yang sangat hebat. Rasa nyeri pada permulaan persalinan mungkin terutama disebabkan oleh hipoksia otot-otot uterus akibat kompresi pembuluh darah di dalam uterus. Nyeri ini tidak dirasakan lagi bilas araf hipogastrikus, yang membawa serabut-serabut sensorik viseral yang berasal dari uterus, telah dipotong. Akan tetapi, selama kala dua persalinan, ketika fetus dikeluarkan melalui jalan lahir, rasa nyeri yang lebih hebat terjadi karena regangan serviks, regangan perineum, dan regangan atau robekan dari struktur-struktur dalam saluran vagina itu sendiri. Rasa nyeri ini dikonduksikan ke medulla spinalis dan otak ibu oleh saraf somatik, bukan oleh saraf sensoris viseral. (Guyton dan Hall, 2007)
Selama 4 sampai 5 minggu pertama setelah persalinan, uterus mengalami involusi. Berat uterus dalam 1 minggu menjadi kurang dari setengah beratnya saat pascapersalinan, dan dalam 4 minggu, bila ibu menyusui, ukuran uterus menjadi sekecil sebelum kehamilan. Pada permulaan involusi uterus, tempat plasenta pada permukaan endometrium megalami autolisis, menghasilkan sekret vagina yang dikenal sebagai “lokia”, yang mula-mula berupa darah dan selanjutnya bersifat serosa, terus berlangsung samapi sekitar 10 hari. Setelah waktu ini, permukaan endometrium mengalami reepitelisasi dan siap untuk kehidupan seksual nongravid yang normal kembali. (Guyton dan Hall, 2007)
Secara ringkas, proses persalinan meliputi empat kala, yaitu (Cunningham, et. al., 2005):
- Kala I : waktu untuk pembukaan serviks sampai menajdi pembukaan lengkap 10 cm.
- Kala II : kala pengeluaran janin, waktu uterus dengan kekuatan his ditambah kekuatan mengedan mendorong janin keluar hingga lahir.
- Kala III : waktu untuk pelepasan dan pengeluaran uri.
- Kala IV : mulai dari lahirnya uri selama 1-2 jam.
Kala I merupakan kala pembukaan. In partu (partus dimulai) ditandai dengan keluarnya lendir bercampur darah (bloody show) karena serviks mulai membuka (dilatasi) dan mendatar (effacement). Darah berasal dari pecahnya pembuluh darah kapiler sekitar kanalis servikalis karena pergeseran ketika serviks mendatar dna terbuka. Kala pembukaan terdiri dari 2 fase, yaitu (Cunningham, et. al., 2005):
- Fase laten: di mana pembukaan serviks berlangsung lambat; sampai pembukaan 3 cm berlangsung dalam 7 sampai 8 jam.
- Fase aktif: berlangsung selama 6 jam dan dibagi atas 3 subfase: periode akselerasi berlangsung 2 jam, pembukaan menjadi 4 cm; periode dilatasi maksimal (steady) selama 2 jam pembukaan berlangsung cepat menjadi 9 cm; periode deselerasi berlangsung lambat, dalam waktu 2 jam pembukaan menjadi 10 cm atau lengkap.
Kala II merupakan kala pengeluaran janin, his terkoordinir, kuat, cepat, dan lebih lama, kira-kira 2 sampai 3 menit sekali. Kepala janin telah turun masuk ruang panggul sehingga terjadilah tekanan pada otot-otot dasar panggul yang secara reflektoris menimbulkan rasa mengedan. Karena tekanan pada rektum, ibu merasa seperti ingin buang air besar, dengan tanda anus terbuka. Pada waktu his, kepala janin mulai kelihatan, vulva membuka dan perineum meregang. Dengan his mengedan yang terpimpin, akan lahirlah kepala, diikuti oleh seluruh badan janin. Kala II pada primi sekitar satu setengah sampai 2 jam, pada multi sekitar setengah sampai satu jam. (Cunningham, et. al., 2005)
Kala III merupakan kala pengeluaran uri. Setelah bayi lahir, kontraksi rahim istirahat sebentar. Uterus teraba keras dengan fundus uteri setinggi pusat, dan berisi plasenta yang menjadi tebal dua kali sebelumnya. Beberapa saat kemudian, timbul his pelepasan dan pengeluaran uri. Dalam waktu beberpaa menit sampai seluruh plasenta terlepas, terdorong ke dalam vagina dan akan lahir spontan atau dengan sedikit dorongan dari atas simfisis atau fundus uteri. Seluruh proses biasanya berlangsung 5 sampai 30 menit setelah bayi lahir. Pengeluaran plasenta disertai dengan pengeluaran darah kira-kira 100 sampai 200 cc. (Cunningham, et. al., 2005)
Kala IV adalah pengawasan selama 1 jam setelah bayi dan uri lahir untuk mengamati keadaan ibu terutama terhadap bahaya perdarahan postpartum.
Perlu diketahui beberapa alasan mengapa sebagian besar kelahiran janin lebih banyak pada bagian letak kepala. Alasan tersebut, antara lain (Cunningham, et. al., 2005):
- Teori akomodasi: bentuk rahim memungkinkan bokong dan ekstremitas yang volumenya besar berada di atas, dan kepala di bawah di ruangan yang lebih sempit.
- Teori gravitasi: karena kepala relatif besar dan berat, maka akan turun ke bawah. Karena his yang kuat, teratur dan sering, maka kepala janin turun memasuki pintu atas panggul (engagement). Karena menyesuaikan diri dengan jalan lahir, kepala bertambah menekuk (fleksi maksimal) sehingga lingkar kepala yang memasuki panggul, dengan ukuran yang terkecil: diameter suboccipito-bregmatika adalah 9,5 cm dan sirkumferensia suboccipito-bregmatika adalah 32 cm.

3. DISKUSI DAN BAHASAN
Dalam skenario, sangat dimungkinkan terdapat adanya hipertensi dalam kehamilan. Walaupun tekana darah pasien masih dalam batas aman, yaitu 140/90 mmHg dan tanda edema masih terdapat pada tungkai bawah. Sebelum ke aspek klinik mengenai hiperteni dalam kehamilan, akan dibahas mengenai hal-hal yang paling mendasar dalam hipertensi dalam kehamilan.
Hipertensi dalam kehamilan (HDK) merupakan 5-15 persen penyulit dalam kehamilan dan merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin. Di Indonesia, mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan selain oleh etiologi yang tidak jelas, juga oleh perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas nonmedik dan sistem rujukan yang belum sempurna. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami oleh semua lapisan ibu hamil sehingga pengetahuan tentang pengelolaan hipertensi dalam kehamilan harus benar-benar dipahami oleh semua tenaga medik baik di pusat maupun di daerah.
Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan, yang dapat dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai berikut:
- Primigravida, primipaternitas
- Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes melitus, hidrops fetalis, bayi besar
- Umur yang ekstrim
- Riwayat keluarga yang pernah preeklampsia atau eklampsia
- Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
- Obesitas
Teori-teori yang berkaitan mengenai patofisiologi hipertensi dalam kehamilan ada banyak. Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan jelas. Banyak teori yang telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan tetapi tidak ada satu pun teori tersebut dianggap mutlak benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah:
Teori kelainan vaskularisasi plasenta- Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-cabang arteri uterina dan arteri ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus miometrium berupa arteri arkuata dan arteri arteri arkuata memberi cabang arteria radialis. Arteria radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi cabang ke arteri spiralis. Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteri spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingg aterjadilah dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberikan dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada derah utero plasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan “remodelling arteri spiralis”.
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan remodelling arteri spiralis sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan patogenesis HDK selanjutnya.
Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron sedangkan pada preeklampsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran darah ke uteroplasenta.
Teori iskemia plasenta dan pembentukan oksidan atau radikal bebas – Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis, dengan akibat plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia atau hipoksia akan menghasilkan oksidan (disebut juga radikal bebas). Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima elektron atau atom/molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan yang penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan pada manusia adalah suatu proses normal karena oksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap sebagai bahan toksin yang beredar dalam darah, maak dulu hipertensi dalam kehamilan disebut dengan toxaemia. Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membran sel, juga akan merusak nukleus, dan protein sel endotel. Produksi oksidan (radikal bebas) dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu diimbangi dengan produksi abtioksidan.
Peroksida lemak sebagai oksidan pad ahipertensi dalam kehamilan – Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan, khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, misal vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan menurun sehingga terjadi dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi. Peroksida lemak sebagai oksidan atau radikal bebas yang sangat toksis ini akan beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah dan akan merusak membran sel endotel. Membran sel endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak karena letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap radikal hidroksil yang akan berubah menjadi peroksida lemak.
Teori disfungsi sel endotel – Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari membran sel endotel. Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut “disfungsi endotel”. Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi:
- Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin (PGE2); suatu vasodilator kuat.
- Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat-tempat di lapisan endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi tromboksan (TXA2) suatu vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal perbandingan kadar prostasiklin dengan tromboksan lebih tinggi kadar prostasiklin (lebih tinggi vasodilator). Pada preeklampsia kadar tromboksan lebih tinggi dari kadar prostasiklin sehingga terjadi vasokonstriksi dengan terjadi kenaikan tekanan darah.
- Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerulair endotheliosis).
- Peningkatan permeabilitas kapiler.
- Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO (vasodilator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor) meningkat.
- Peningkatan faktor koagulasi.
Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin – Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi dalam kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut.
- Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida.
- Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan suami yang sebelumnya.
- Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Lamanya periode berhubungan seks sampai saat kehamilan ialah makin lama periode ini, makin kecil terjadinya hiperteni dalam kehamilan.
Pada perempuan hamil normal, respons imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam modulasi respons imun sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis sel oleh sel Natural Killer (NK) ibu. Selain itu, adanya HLA-G akan memudahkan invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan prakondisi untuk terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu, di samping untuk menghadapai sel NK ibu. Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penrunan ekspresi HLA-G. Berkurangnay HLA-G di desidua daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga merangsang produksi sitikon sehingga memudahkan terjadinya rekasi inflamasi. Kemungkinan terjadi immune-maladaptation pada preeklampsia. Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang mempunyai kecenderungan terjadi preeklampsia ternyata mempunyai proporsi Sel Helper yang lebih rendah dibandingkan yang normotensif.
Teori adaptasi kardiovaskuler – Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap barang-barang vasopresor. Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan bahan vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respons vasokontriksi. Pada kehamilan normal, terjadinya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor adalah akibat dilindungi adanya sintesis prostaglansin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan bahwa daya refrakter terhadap bahan vasopresor akan hilang bila diberikan prostaglandin sintesa inhibitor (bahan yang menghambat produksi prostaglandin). Prodtaglandin ini kemudian ditemukan sebagai prostasiklin. Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan vasokonstriktor, dan ternyata terjadi penignkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang sehingga banyak peneliti telah membuktikan bahwa peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor pada hipertensi dalam kehamilan sudah terjadi pada trimester I. Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang akan menjadi hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan 20 minggu. Fakta ini dapat dipakai sebagai prediksi akan terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Teori genetik – Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipe ibu lebih dominan menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak perempuannya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklampsia.
Teori defisiensi gizi (diet) – Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian yang penting yang pernah dilakukan di Inggris ialah penelitian tentang pengaruh diet pada preeklampsia beberapa waktu sebelum pecahnya Perang Dunia II. Suasana serba sulit mendapat gizi yang cukup dalam persiapan perang menimbulkan kenaikan insiden hipertensi dalam kehamilan. Pemelitian terakhir mebuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk minyak hati halibut, dapat mengurangi risiko preeklampsia. Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah.
Teori stimulus inflamasi – Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, plasenta juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif. Bahan-bahan ini sebagai benda asing yang kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas, masih dalam batas wajar, sehingga rekasi infalamsi juga masih dalam batas normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia, di mana pada preeklampsia terjadi peningkatan stres oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin banayk sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada hamil ganda, maka reaksi stres oksidatif akan sangat meningkat sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban rekasi inflamasi pada darah ibu menjadi jauh lebih besar dibanding dengan reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Respons inflamasi ini akan mengaktivasi sel endotel, dan sel-sel makrofag atau granulosit yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada ibu. Disfungsi sel endotel akibat preeklampsia karena produksi debris trofoblas plasenta yang berlebihan, emangakibatkan aktivitas leukosit yang sangat tinggi pada sirkulasi ibu sehingga bisa menyebabkan kekacauan adaptasi dari proses intravaskular pada kehamilan yang biasanya berlangsung normal dan menyeluruh.
Pembahasan selanjutnya adalah mengenai preeklampsia dan eklampsia. Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Eklampsia adalah preeclampsia yang disertai kejang dan atau koma yang timbul bukan akibat kelainan neurologi. Superimposed preeklampsia-eklampsia adalah timbulnya preeklampsia atau eklampsia pada pasien yang menderita hipertensi kronik.
Pada pre-eklampsia terjadi spasmus pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Pada biopsi ginjal ditemukan spasmus yang hebat dari arteriola glomerulus. Pada beberapa kasus lumen arteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat dilalui oleh satu sel darah merah. Jadi jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasmus, maka tekanan darah dengan sendirinya akan naik sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigenisasi jaringan dapat dicukupi. Sedangkan kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan penimbunan air yang berlebihan dalam ruangan interstisial belum diketahui sebabnya, mungkin disebabkan oleh retensi air dan garam. proteinuri mungkin disebabkan oleh spasmus Arteriola sehingga terjadi perubahan glomerulus. Perubahan pada organ-organ:
- Perubahan pada otak
Pada pre-eklampsi aliran darah dan pemakaian oksigen tetap dalam batas-batasn ormal. Pada eklampsi, resistensi pembuluh darah meninggi, ini terjadi pula pada pembuluh darah otak. Edema terjadi pada otak yang dapat menimbulkan kelainan serebral dan kelainan pada visus. Bahkan pada keadaan lanjut dapat terjadi perdarahan.
- Perubahan pada uri dan rahim
Aliran darah menurun ke plasenta menyebabkan gangguan plasenta, sehinggaterjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin. Pada pre-eklampsi dan eklampsi sering terjadi bahwa tonus rahim dan kepekaan terhadap rangsangan meningkat maka terjadilah partus prematurus.
- Perubahan pada ginjal
Filtrasi glomerulus berkurang oleh karena aliran ke ginjal kurang. Hal ini menyebabkan filfrasi natrium melalui glomerulus menurun, sebagai akibatnya terjadilah retensi garam dan air. Filnasi glomerulus dapat turun sampai 50% dari normal sehingga pada keadaan lanjut dapat terjadi oliguria dan anuria.
- Perubahan pada paru-paru
Kematian wanita pada pre-eklampsi dan eklampsi biasanya disebabkan oleh edema paru. Ini disebabkan oleh adanya dekompensasi kordis. Bisa pula karena terjadinya aspires pnemonia. Kadang-kadang ditemukan abses paru.
- Perubahan pada mata
Dapat ditemukan adanya edema retina spasmus pembuluh darah. Bila ini dijumpai adalah sebagai tanda pre-eklampsi berat. Pada eklampsi dapat terjadi ablasio retinae, disebabkan edema intra-okuler dan hal ini adalah penderita berat yang merupakan salah satu indikasi untuk terminasi kehamilan. Suatu gejala lain yang dapat menunjukkan arah atau tanda dari pre-eklampsi berat akan terjadi eklampsi adalah adanya: skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini disebabkan perubahan peredaran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.
- Perubahan pada keseimbangan air dan elektrolit
Pada pre-eklampsi ringan biasanya tidak dijumpai perubahan nyata pada metabolisme air, elektrolit, kristaloid dan protein serum. Dan tidak terjadi ketidakseimbangan elektrolit. Gula darah,bikarbonasn atrikusd an pH normal. Pada pre-eklampsi berat dan pada eklampsi : kadar gula darah naik sementara asam laktat dan asam organik lainnya naik sehingga cadangan alkali akan turun. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh kejang-kejang. Setelah konvulsi selesai zat-zat organik dioksidasi sehingga natrium dilepas lalu bereaksi dengan karbonik sehingga terbentuk bikarbonas natrikus. Dengan begitu cadangan alkali dapat kembali pulih normal.
Preeklampsia dibagi dalam 2 golongan :
a. Pre-eklampsi ringan, bila keadaan sebagai berikut :
- Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi rebah terlentang/tidur berbaring, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih, atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 x pemeriksaan dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
- Edema umum, kaki, jari tangan dan muka, atau kenaikan berat badan 1 kg atau lebih perminggu.
- Proteinuria kwantitatif 0,3 gr atau lebih perliter, kwalitatif 1+atau 2+ pada urin kateter atau midstream
b. Pre-eklampsi berat:
- Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih
- Proteinuria 5 gr atau lebih perliter
- Oliguria, jmlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam
- Adanya gangguan serebral, gangguan visus dan rasa nyeri di epigastrium
- Ada edema paru dan sianosis
Frekuensi – Pada primigravida lebih banyak dijumpai dari multigravida, terutama Primigravida usia muda. Faktor-faktor predisposisi untuk terjadinya pre-eklampsi adalah molahidatidosa diabetes mellitus, kehamilan ganda hidropos futalis, obesitas, dan umur lebih dari 35 tahun.
Diagnosis ditegakkan dari gambaran klinik : pertambahan berat badan yang berlebihan, edema hipertensi dan timbul proteinuria. Gejala subjektif : sakit kepala di daerah frontal, nyeri epigastrium; gangguan visus : penglihatan kabur, skotoma, diplopia; mual dan muntah. Ganguan serebral lainnya : oyong, refleks tinggi dan tidak tenang. Pemeriksaan : tekanan darah tinggi, refleks meninggi, dan pemeriksaan laboraturium : proteinuria.
Penatalaksanaan pre-eklampsia ringan antara lain:
Pencegahan:a) Pemeriksaan antenatal teratur dan bermutu serta teliti, mengenal tanda-tanda sedini mungkin (pre-eklampsi ringan), lalu diberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat.
b) Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya preeklampsi kalau ada faktor-faktor predisposisi
c) Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, dan pentingnya mengatur diit rendah garam, lemak, karbohidrat; tinggi protein dan menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan.
Penangananan:Tujuan utama penanganan adalah :
a) Untuk mencegah terjadinya pre-eklampsi dan eklampsi
b) Hendaknya janin lahir hidup
c) Trauma pada janin seminimal mungkin
Pengobatan preeklampsia ringan adalah simtiomatis dan wanita dapat di :
- Rawat jalan dengan skemaa periksa ulang yang lebih sering, misalnya 2 x seminggu- Rawat inap
- Penanganan rawat jalan atau rawat inap :
a) Istirahat di tempat tidur adalah istirahat pokok
b) Diit rendah garam
c) Berikan obat-obatan seperti valium tablet 5 mg dosis 3x sehari, atau tablet fenobarbital 30 mg dengan dosis 3x sehari, diuretika dan antihipertensi tidak dianjurkan, karena obat ini tidak begitu bermanfaat bahkan bisa menutupi tanda dan gejala pre-eklampsi berat.
Dengan cara di atas biasanya pre-eklampsi ringan jadi tenang dan hilang, ibu hamil dapat dipulangkan dan diperiksa ulang lebih sering dari biasa.
Bila pada beberapa kasus gejala masih menetap, penderita tetap dirawat inap. Lakukan monitor keadaan janin : kadar estriol urin, amnioskopik dan ultrasografi dan sebagainya. Bila keadaan mengizinkan, barulah pada kehamilan minggu ke 37 ke atas dilakukan induksi partus.
Penatalaksanaan pada pre-eklampsi berat, antara lain:
- Pre-eklampsi berat kehamilan dan 37 minggu :
a) Jika janin belum menunjukkan tanda-tanda maturitas paru-paru, dengan pemeriksaan shake dan rasio L/S maka penangannya adalah sebagai berikut:
- Berikan suntikan sulfas magnesikus dosis 8 gr intramuskuler, kemudian disusul dengan injeksi tambahan 4 gr intramuskuler setiap 4 jam (selama tidak ada kontra-indikasi).
- Jika da perbaikan jalannya penyakit, pemberian sulfas magnesikus dapat diteruskan lagi selama 24 jam sampai dicapai kriteria preeklampsi ringan (kecuali jika ada kontra-indikasi).
- Selanjutnya wanita dirawat diperiksa dan janin dimonitor, penimbangan berat badan seperti pre-eklampsi ringan sambil mengawasi timbul lagi gejala.
- Jika dengan terapi di atas tidak ada perbaikan, dilakukan terminasi kehamilan : induksi partus atau cara tindakan lain, melihat keadaan.
b) Jika pada pemeriksaan telah dijumpai tanda-tanda kematangan paru janin, maka penatalaksanaan kasus sama seperti pada kehamilan di atas 37 minggu.
- Pre-eklampsi berat kehamilan 37 minggu ke atas :
a) Penderita di rawat inap
* Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar isolasi
* Berikan diit rendah garam dan tinggi protein
* Berikan suntikan sulfas magnesikus 8 gr intramuskuler 4 gr bokong kanan dan 4 g bokong kiri
* Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap 4 jam
* Syarat pemberian MgSo4 adalah : refleks patela (+); diurese 100 cc dalam 4 jam yang lalu; respirasi 16 permenit dan harus tersedia antidotumnya: kalsiumg lukonas 10%a mpul 10 cc.
* Infus dekstrosa 5 % dan Ringer laktat
b) Obat antihipertensif : injeksi katapres I ampul i.m dan selanjutnya dapat diberikan tablet katapres 3x½ tablet sehari.
c) Diuretika tidak diberikan, kecuali terdapat edema umum, edema paru dan kegagalan jantung kongestif. Untuk itu dapat disuntikkan inhavena lasix 1ampul.
d) Segera setelah pemberian sulfas magnesikus kedua, dilakukan induksi partus dengan atau tanpa amniotomi. Untuk induksi dipakai oksitosin (pitosin atau sintosinon) 10 satuan dalam infus tetes.
e) Kala II harus dipersingkat dengan ekstraksi vakum atau forseps, jadi wanita dilarang mengedan.
f) Jangan berikan methergin postpartum, kecuali terjadi perdarahan disebabkan atonia uteri.
g) Pemberian sulfas magnesikus kalau tidak ada kontraindikasi, diteruskan dosis 4 gr setiap 4 jam dalam 24 jampostpartum.
h) Bila ada indikasi obstetrik dilakukan seksio cesaria.
Selanjutnya, akan dibahas mengenai eklampsia. Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti "halilintar". Kata tersebut dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului oleh tanda-tanda lain. Diketahui bahwa eklampsia pada umumnya timbul pada wanita hamil atau dalam masa nifas dengan tanda-tanda pre-eklampsia. Pada wanita yang yang menderita eklampsia timbul serangan kejangan yang diikuti oleh koma. Pada penderita pre-eklampsi berat timbul konvulsi bisa diikuti oleh koma. Menurut saat timbulnya dibagi dalam :
a) Eklampsia gravidarum (50%)
b) Eklampsia parturientum (40%)
c) Eklampsia puerperium( 10%)
Gejala-gejala eklampsia:
Pada umumnya kekejangan didahului oleh makin memburuknya preeclampsia dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan,m ual keras, nyeri epigastrium hiperrefleksia. Bila keadaan ini tidak dikenal dan tidak segera diobati, akan timbul kejangan, terutama pada persalinan bahaya ini besar.
Konvulsi eklampsia dibagi dalam 4 tingkat :
a) Stadium invasi (awal atau aurora)
Mata terpaku dan terbuka tanpa melihat, kelopak mata dan tangan bergetar, kepala dipalingkan kanan atau kiri yang berlangsung kira-kira 30 detik.
b) Stadium kejang tonik
Seluruh otot badan jadi kaku, wajah kaku, tangan menggenggam dan kaki membengkok ke dalam, pemafasan berhenti, muka mulai kelihatan sianosis, lidah dapat tergigit. Stadium ini berlangsung kira-kira 20-30 detik.
c) Stadium kejang klonik
Semua otot berkontraksi dan berulang-ulang dalam waktu yang cepat. Mulut terbuka dan menutup, keluar ludah berbusa dan lidah dapat tergigit. Mata melotot, muka kelihatan kongesti dan sianosis. Setelah berlangsung selama 1-2 menit kejang klonik berhenti dan penderita tidak sadar, menarik nafas seperti mendengkur.
d) Stadium koma
Lamanya ketidaksadaran (koma) ini beberapa menit sampai berjam-jam. Kadang-kadang antara kesadaran timbul serangan baru dan akhirnya wanita tetap dalam keadaan koma. Selama serangan tekanan darah meninggi, nadi cepat dan suhu naik sampai 40°C.Komplikasi serangan-serangan adalah :
- Lidah tergigit
- Terjadi perlukaan dan fraktur
- Gangguan pernafasan
- Perdarahan otak
- Solutio plasentae
- Merangsang persalinan
Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran. Dengan adanyatanda dan gejala pre-eklampsia yang disusul oleh serangan kejang-kejang seperti yang diuraikan, maka diagnosis eklampsia tidak diragukan. Walaupun demikian, eklampsia harus dibedakan dari :
- Epilepsi, dalam anamnesis diketahui adanya serangan sebelum hamil muda dan tanda pre-eklampsia tidak ada.
- Kejang karena obat anastesia apabila obat anastesia lokal tersuntikkan ke dalam vena, dapat timbul kejang.
- Koma karena sebab lain, seperti diabetes, perdarahan otak, meningitis, ensefalitis.
Komplikasi yang terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utama adalah melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita pre-eklampsia dan eklampsia. Komplikasi di bawah ini biasanya terjadi pada pre-eklampsia berat dan eklampsia.
a) Solusio plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada pre-eklampsia.
b) Hipofibrirngenemia
c) Hemolisis. Penderita dengan pre-eklampsi berat kadang-kadang menunjukkan gejala klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus.
d) Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal penderita eklampsia.
e) Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlansung sampai seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retin4 hal ini merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri.
f) Edema poru-paru. Hal ini disebabkan karena gagal jantung.
g) Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pre-eklampsia dan eklampsia merupakan akibat vasopasmus arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia tetapi ternyata juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.
h) Sindroma HELLP. Yaitu haemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet.
i) Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel endothelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
j) Kompliknsi lain. Lidah tergigit, trauma dan fraktur karena jatuh akibat kejang-kejang pneumonia aspirasi, dan DIC (disseminated intra vascular coogulation)
k) Prematuritas, dismaturitas, dan kematian janin intra-uterin.
Eklampsia di lndonesia masih merupakan penyakit pada kehamilan yang meminta korban besar dari ibu dan bayi. Kematian ibu biasanya disebabkan oleh Perdarahan otak, dekompensasio kordis dengan edema paru-paru, kegagalan ginjal, masuknya isi lambung ke dalam jalan pemapasan sewaktu terjadi kejang, infeksi. Sedang sebab kematian bayi terutama oleh hipoksia intrauterin dan prematuritas. Kriteria untuk menentukan prognosis eklampsia dalah:
a) Koma yang lama (prolonged coma)
b) Nadi di atas 120 x menit
c) Suhu 103°F atau 39,4°C atau lebih
d) Tekanan darah di atas 200 mmHg
e) Proteinuria 10 gr atau lebih
f) Tidak ada edema edema menghilang. Bila tidak ada atau hanya satu kriteria di atas, eklampsi masuk kelas ringan, bila dijumpai 2 atau lebih maka eklampsi masuk kelas berat dan prognosis akan lebih jelek.
Diagnosis banding yang ditegakkan adalah plasenta previa dan solusio plasenta.
Plasenta previa ialah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir. Pada keadaan normal plasenta terletak dibagian atas uterus. Plasenta previa didasarkan atas terabanya jaringan plasenta melalui pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu. Jenis plasenta previa:
- Plasenta previa totalis : seluruh pembukaan jalan lahir tertutup plasenta.
- Plasenta previa lateralis/parsialis : sebagian pembukaan jalan lahir tertutup plasenta.
- Plasenta previa marginalis : pinggir plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan.
- Plasenta letak rendah : plasenta yang letaknya abnormal pada segmen bawah uterus, tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir.
Pinggir plasenta berada kira-kira 3 atau 4 cm diatas pinggir pembukaan, sehingga tidak akan teraba pada pembukaan jalan lahir. Karena klasifikasi tidak didasarkan pada keadaan anatomik melainkan fisiologis, maka klasifikasi akan berubah setiap waktu.
Gambaran klinik plasenta previa:
- HAP (haemmoraghic ante partum) atau perdarahan ante partum tanpa nyeri dan perdarahan tanpa alasan
- Darah berwarna merah segar
- Bagian terbawah janin belum masuk PAP
- Kelainan letak janin
Tanda utama plasenta previa adalah perdarahan tanpa alasan, maka sesegera mungkin pasien datang ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.
Diagnosis banding yang kedua adalah solusio plasenta. Solusio plasenta ialah terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada korpus uteri sebelum janin lahir.
Solusio plasenta dibagi dalam 3 macam :
- Solusio plasenta totalis : plasenta lepas seluruhnya
- Solusio plasenta parsialis : plasenta lepas sebagian
- Solusio plasenta ringan / ruptura sinus marginalis : Plasenta lepas pinggirnya (sedikit).
Penyebab solusio plasenta belum diketahui.
Faktor predisposisi:
- Umur ibu tua
- Multiparitas
- Hipertensi kronis
- Preeklamsi
- Trauma
- Tali pusat pendek
- Tekanan vena cava inferior
- Defisiensi asam folik
Manifestasi klinis dari solusio plasenta, antara lain:
- Solusio plasenta ringan
Terjadi ruptura sinus marginalis / sebagian kecil plasenta yang lepas, perdarahan sedikit / terjadi bisa pervaginam dan berwarna kehitaman, perut agak sakit atau tegang, bagian janin masih mudah diraba.
- Solusio plasenta sedang
Terjadi pelepasan plasenta lebih dari 1/4 bagian atau kurang dari 2/3 bagian, sakit perut berlebihan, perdarahan pervaginam, dinding uterus tegang dan nyeri tekan sehingga janin sukar diraba, ibu syok dan gawat janin, kelainan pembekuan darah & ginjal.
- Solusio plasenta berat
Plasenta lepas lebih dari 2/3 bagian, terjadi tiba-tiba, ibu syok dan janin sudah meninggal, terjadi perdarahan pervaginam, kelainan pembekuan darah & payah ginjal. Gejala solusio plasenta, antara lain:
- Jika darah masih sedikit maka tidak selalu terjadi perdarahan pervaginam.
- Gejala awal : nyeri abdomen, uterus tegang, nyeri tekan uterus
- Darah berwarna kehitaman
- Perdarahan banyak sehingga terjadi syok & janin sudah meninggal
Komplikasi solusio plasenta, adalah:
- Perharahan sehingga terjadi syok hipovolemik
- Kelainan pembekuan darah
- Oliguria sampai dengan payah ginjal
- Gawat janin sampai menyebabkan kematian janin

4. KESIMPULAN
¨ Pasien, seorang wanita ibu hamil dengan status G4P2A1, hamil 37 minggu, datang ke Klinik Bersalin dengan keluhan lendir darah pervaginam yang disertai perut kenceng-kenceng teratur sejak 4 jam yang lalu. Hasil pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam oleh dokter, didapatkan keadaan umum yang baik. Hasil vital sign: tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 80 kali/menit, suhu 37 derajat Celcius, RR 20 kali/menit. Hasil pengamatan: terdapat edema pada tungkai bawah. Hasil pemeriksaan obstetri: janin tunggal, presentasi kepala, punggung kiri, denyut jantung janin masih baik. Hasil pemeriksaan fetal well being: masih baik. Hasil pemeriksaan kematangan serviks (Bishop score): serviks sudah matang dengan nilai 8. Dilatasi seviks sudah pembukaan sebesar 3 cm. Setelah 10 jam pada persalinan, penderita terlihat ingin mengejan, perineum terlihat menonjol dan anus terbuka, dilakukan pemeriksaan dalam, ternyata pembukaan sudah lengkap.
¨ Diagnosis utama mengenai keadaan yang dialami pasien dalam skenario tersebut adalah kehamilan normal menuju tanda dan gejala preeklampsia ringan.
¨ Untuk lebih memastikan apakah benar preeklampsia rinagn, perlu diketahui adanya proteinuria atau tidak melalui pemeriksaan urin rutin.
¨ Diagnosis preeklampsia ringan, tidak bisa hanya berdasar atas edema tungkai bawah dan tekanan darah 140/90 mmHg. Bisa saja edema tungkai dan tekanan darah yang sedikit naik merupakan pengaruh fisiologis dalam kehamilan, kecuali jika memang edema menyeluruh atau edema yang ada pada muka, lengan, perut dan tekanan darahnya 140/90 mmHg, bisa dikatakan sebagai preeklampsia ringan.
¨ Jika memang benar terjadi preeklampsia ringan, maka penatalaksanaan dapat berupa:
- Rawat jalan dengan skemaa periksa ulang yang lebih sering, misalnya 2 x seminggu- Rawat inap
- Penanganan rawat jalan atau rawat inap :
a) Istirahat di tempat tidur adalah istirahat pokok
b) Diit rendah garam
c) Berikan obat-obatan seperti valium tablet 5 mg dosis 3x sehari, atau tablet fenobarbital 30 mg dengan dosis 3x sehari, diuretika dan antihipertensi tidak dianjurkan, karena obat ini tidak begitu bermanfaat bahkan bisa menutupi tanda dan gejala pre-eklampsi berat.
¨ Diagnosis bandingnya antara lain solusio plasenta dan plasenta previa.





5. DAFTAR PUSTAKA
Adriaansz, G. 2008. Asuhan Antenatal. Dalam: Prawirohardjo, S. 2008. Ilmu Kebidanan. Edisi 2. Editor: Saifuddin, A. B., et. al. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp: 278-87

Angsar, M. D., J. C. Mose. 2008. Hipertensi dalam Kehamilan. Dalam: Prawirohardjo, S. 2008. Ilmu Kebidanan. Edisi 2. Editor: Saifuddin, A. B., et. al. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp: 530-61

Chalik, T. M. A. 2008. Perdarahan pada Kehamilan Lanjut dan Persalinan. Dalam: Prawirohardjo, S. 2008. Ilmu Kebidanan. Edisi 2. Editor: Saifuddin, A. B., et. al. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp: 492-521

Crum, C. P., S. C. Lester, dan R. S. Cotran. 2007. Sistem Genitalia Perempuan dan Payudara. Dalam: Kumar, V., R. S. Cortran, dan S. L. Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 759-88.

Cunningham, F. G., N. F. Gant, K. J. Leveno, L. C. Gilstrap III, J. C. Hauth, K. D. Wenstrom. 2005. Obstetri Williams . Edisi 21. Volume 1. Editor: Profitasari, et. al. Terjemahan: Hartono, A., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Cunningham, F. G., N. F. Gant, K. J. Leveno, L. C. Gilstrap III, J. C. Hauth, K. D. Wenstrom. 2005. Obstetri Williams . Edisi 21. Volume 2. Editor: Profitasari, et. al. Terjemahan: Hartono, A., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Keman, K. 2008. Fisiologi dan Mekanisme Persalinan Normal. Dalam: Prawirohardjo, S. 2008. Ilmu Kebidanan. Edisi 2. Editor: Saifuddin, A. B., et. al. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp: 296-314

Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.

Joewono, H. R. 2008. His dan Tenaga Lain dalam Persalinan. Dalam: Prawirohardjo, S. 2008. Ilmu Kebidanan. Edisi 2. Editor: Saifuddin, A. B., et. al. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp: 288-95