Saturday, October 25, 2008

LAPORAN JEPITAN SARAF (CARPAL TUNNEL SYNDROME)

For any1 who needs this information, u can read it intentionally, or even u make my composition as ur reference!!
For anyfault, i aint responsible!
D most important qualification if u want to read and make as reference for ur mind, u have to tell me by sending sms or contacting me to +6281328452132 OR +6285643359787 OR +6281804470620 OR +62818254833 !
It's forbidden for u to make my composition for ur goal without telling me 1st!!!!!


1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nervus medianus tersusun oleh belahan fasikulus lateralis dan belahan fasikulus medialis. Ia membawakan serabut-serabut radiks ventralis dan dorsalis C.6, C.7, C.8, dan T.1. Otot-otot yang dipersarafinya ialah otot-otot yang melakukan pronasi lengan bawah (m.pronator teres dan m.pronator kuadratus), fleksi falangs paling ujung jari telunjuk, jari tengah dan ibu jari (mm.lumbrikales sisi radial), fleksi jari telunjuk, jari tengah dan ibu jari pada sendi metakarpofalangeal (mm.lumbrikales dan mm.interoseae sisi radial), fleksi jari sisi radial di sendi interfalangeal (mm.fleksor digitorum profundus sisi radial), oposisi dan abduksi ibu jari (m.opones polisis dan m.abduktor polisis brevis). Kawasan sensoriknya mencakup kulit yang menutupi telapak tangan, kecuali daerah ulnar selebar 11/2 jari. Dan pada dorsum manus kawasan sensoriknya adalah kulit yang menutupi falangs kedua dan falangs ujung jari telunjuk, jari tengah, dan separuh jari manis.
N. medianus sering terjepit atau tertekan dalam perjalanannya melalui m.pronator teres, siku dan retinakulum pergelangan tangan. Pada luka di pergelangan tangan, misalnya, n.medianus dapat terpotong bersama dengan n.ulnaris. Hal itu sering terjadi pada kecelakaan di mana tangan menerobos kaca. Kelumpuhan yang menyusulnya melanda ketiga jari sisi radial, sehingga ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah tidak dapat difleksikan, baik di sendi metakarpofalangeal, maupun di sendi interfalangeal. Ibu jari tidak dapat melakukan oposisi dan abduksi. Atrofi otot-otot tenar akan cepat menyusul kelumpuhan tersebut.
Dari skenario 3 Blok Neurologi, ada beberapa masalah penting, yaitu :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Seorang wanita berusia 48 tahun, dengan kesemutan dan merasa lemah pada tangan kanan (keluhan utama).
- Gangguan labih jelas (faktor pemberat) apabila untuk bekerja menggunakan tangan kanan berlebihan (misalnya saat mencuci dengan tangan dan mengendarai sepeda motor).
- Penderita sering (kuantitas keluhan) terbangun malam hari karena merasa kesemutan pada tangan kanannya.
- Gangguan akan berkurang (faktor peringan) jika tangan dikibas-kibaskan dan akan hilang juga saat beristirahat.
- Keluhan seperti itu semakin lama semakin berat.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- Sejak dua tahun yang lalu keluhan tersebut sudah muncul tetapi hilang timbul.
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Hasil pemeriksaan: kekuatan otot normal, atrofi pada otot tangan (tenar dan hipotenar), gangguan sensibilitas berupa hipoaestesia, tes Tinel positif, tes Phalen positif.
- Dokter memberikan obat NSAID dan penanganan di bagian rehabilitasi medik.
- Dokter menasihati pasien agar menghindari posisi-posisi tangan yang salah yang akan menyebabkan keluhan bertambah berat.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas, antara lain :
a. Carpal Tunnel Syndrome
b.Nervus Ulnaris
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Mengetahui gejala-gejalanya lebih lanjut dan penatalaksanaannya.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem kerja saraf dan penyelesaiaannya dalam masyarakat.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan anatomi, fisiologi, dan histologi dari sistem saraf pusat dan tepi serta sistem saraf kranial.
b. Menjelaskan klasifikasi, kausa, patoenesis, patofisiologi dari kelainan pada sistem saraf pusat dan tepi.
c. Menjelaskan dasar-dasar diagnosis kelainan sistem saraf pusat dan tepi.
d. Menjeaskan macam-macam cara disgnosis kelainan sistem saraf pusat dan tepi.
e. Menjelaskan penatalaksanaan, prognosis, dan rehabilitasi pada penderita kelainan sistem saraf pusat dan tepi.
f. Melakukan pemeriksaan sistem saraf pusat dan tepi.
g. Menyususn data dari symptom, pemeriksaan fisik, prosedur klinis, dan pemeriksaan laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis penyakit susunan saraf.
h. Merancang tindakan preventif penyakit susunan saraf dengan mempertimbangkan factor pencetus.
i. Menjelaskan cara pencegahan komplikasi penyakit susunan saraf.
j. Melakukan penyuluhan kesehatan tentang penyakit susunan saraf dalam rangka upaya preventif dan promotif.
k. Menggunakan teknologi informasi untuk mencari informasi terkini mengenai penyaki susunan saraf.
l. Merancang manajemen penyakit susunan saraf.

2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Proses Kontraksi Otot secara Normal
Otot rangka kita mengalami kontraksi saat terdapat adanya kekuatan menarik antara filamen aktin-miosin. Proses tersebut diawali dengan adanya suatu potensial aksi yang berjalan di sepanjang sebuah saraf motorik sampai ke ujungnya pada serabut otot. Di setiap ujung, saraf akan menyekresi substansi neurotransmiter, yaitu asetilkolin, dalam jumlah sedikit. Asetilkolin bekerja pada area setempat pada membran serabut otot untuk membuka banyak “kanal bergerbang asetilkolin” melalui molekul-molekul protein yang terapung pada membran. Terbukanya kanal bergerbang asetilkolin memungkinkan sejumlah besar ion natrium untuk berdifusi ke bagian dalam membran serabut otot. Peristiwa ini akan menimbulkan potensial aksi pada membran. Potensial aksi akan berjalan di sepanjang membran serabut otot dengan cara yang sama seperti potensial aksi berjalan di sepanjang membran serabut saraf. Potensial aksi ini akan menimbulkan depolarisasi membran otot dan banyak aliran listrik potensial aksi mengalir melalui pusat serabut otot. Di sini potensial aksi menyebabkan retikulum sarkoplasma melepaskan sejumlah besar ion kalsium, yang telah tersimpan dalam retikulum ini. Ion-ion kalsium menimbulkan kekuatan menarik antara filamen aktin dan miosin yang menyebabkan kedua filamen tersebut bergeser satu sama lain, dan akan menghasilkan proses kontraksi. Setelah kurang dari satu detik, ion kalsium dipompa kembali ke dalam retikulum sarkoplasma oleh pompa membran Ca++, dan ion-ion ini tetap disimpan dalam retikulum sarkoplasma sampai potensial aksi otot yang baru datang lagi; pengeluaran ion kalsium dari miofibril akan menyebabkan kontraksi otot terhenti. (Guyton dan Hall, 2007)
B. Carpal Tunnel Syndrome
Atau juga disebut sebagai sindroma terowongan karpal, merupakan suatu neuropati jepitan (entrapment) n.medianus di pergelangan tangan yang menimbulkan parestesia dan kelemahan tangan. Sindroma (kumpulan gejala) ini disebabkan oleh tekanan pada saraf medianus sewaktu saraf ini bersama dengan tendo fleksor jari tangan melewati terowongan yang dibentuk oleh tulang karpal dan ligamentum karpal transversus. Penekanan pada n.medianus dapat disebabkan oleh semua proses yang mencapai saluran karpal. Tenosinovitis lokal pada tendo fleksor jari tangan sering merupakan penyebab sindroma saluran karpal, terutama pada perempuan berusia pertengahan. Edema prahaid atau selama kehamilan juga bisa menimbulkan gejala ini. Gejala dapat dicetuskan oleh aktivitas yang memerlukan fleksi, pronasi, dan supinasi berulang pergelangan tangan, seperti menyulam, mengemudi, menjalankan komputer, dan bermain golf. Penyebab sindroma karpal yang lain (sering bilateral) adalah artritis reumatoid, akromegali, hipotiroidisme, dan amiloidosis. Sindroma saluran karpal unilateral cenderung disebabkan oleh trauma, aktivitas jasmani yang menggunakan satu pergelangan tangan, tuberkolosis, gout, atau penyakit endapan kalsium pirofosfat. (Gilliland, 2007)
Pasien merasa baal (mati rasa) atau parestesia pada permukaan palmar ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah, dan separuh radial jari manis. Dapat timbul rasa baal atau parestesia di seluruh tangan. Nyeri dapat terasa di lengan bawah dan kadang-kadang ke bahu dan leher. Nyeri atau kesemutan pada jari sering timbul pada malam hari dan akan berkurang apabila penderita menggoyang atau menggerak-gerakkan tangan. Kelemahan dan atrofi otot tenar biasanya timbul belakangan dan dapat timbul tanpa gangguan sensorik yang bermakna. Kelemahan otot tenar bermanifestasi sebagai penurunan kekuatan abduksi, oposisi dan fleksi jempol. Pada pemeriksan, gejala parestesia atau nyeri pada jari dapat dicetuskan dengan perkusi di permukaan voler pergelangan tangan (tanda Tinel) atau dengan fleksi penuh pergelangan tangan selama 1 menit (tes Phalen). Tes diagnostik yang lebih peka dan spesifik untuk menimbulkan gejala sindroma saluran karpal adalah dengan menekan saluran karpal dengan sfignomanometer modifikasi yang diatur pada 150 mmHg selama 60 detik. Pada distribusi saraf medianus mungkin dapat dibuktikan adanya penurunan rasa sentuh atau hiperpatia terhadap tusukan jarum dan pelebaran diskriminasi 2 titik. Penelitian tentang hantaran n.medianus memperlihatkan perlambatan latensi melintasi pergelangan tangan, yang memastikan diagnosis. Terapi pasien dengan hanya gejala sensorik dan kelainan minor hantaran saraf adalah bidai pergelangan tangan yang terutama dipakai malam hari, obat antiradang, dan suntikan lokal dengan steroid. Bila gejala menetap atau timbul kelainan motorik, diindikasikan dekompresi saluran karpal secara bedah disertai pembebasan ligamentum karpal transvesus. (Gilliland, 2007)
C. Nervus Ulnaris
N.ulnaris mengandung serabut-serabut rsdiks ventral/dorsal C.8 dan T.1. N.ulnaris merupakan salah satu cabang terbesar dari fasikulus medialis. Di belakang kondilus medialis humeri ia dapat teraba. Otot-otot yang dipersarafinya adalah m.fleksor karpi ulnaris, kedua m.digitorum profundus sisi ulnar, m.palmaris brevis (salah satu pembentuk eminentia hypothenaris), kedua m.lumbrikalis sisi ulnar, kedua m.interosei dorsalis sisi ulnar, m.adduktor polisis, dan bagian ulnar m.fleksor polisis brevis. Karena kelumpuhan otot-otot tersebut, maka tangan yang lumpuh memperlihatkan sikap yang khas, yang dinamakan “clawhand’. Dan dalam pada itu, jari kelingking dan jari manis tidak dapat berfleksi di persendian metakarpofalangeal, sedangkan segenap falangs jari-jari tersebut bersikap menekuk. Lagipula ibu jari tidak dapat melakukan adduksi serta atrofi melanda otot interosei sisi ulnar dan otot-otot hipotenar. Kawasan sensoriknya ialah kulit yang menutupi jari kelingking dan separuh jari manis. Lesi pada n.ulnaris dapat terjadi karena fraktur atau dislokasi di siku. Oleh sebab kubitus valgus atau osteofit, n.ulnaris dapat tergeser sehingga pindah dari belakang kondilus humeri ke depannya. Sering juga kita jumpai neuritis n.ulnaris karena kuman Hansen. Pada tahap dininya dirasakan nyeri sepanjang jari kelingking tetapi pada tahap lanjutnya terdapat anestesia dan “clawhand”. (Mardjono dan Sidharta, 2008)

3. DISKUSI DAN BAHASAN
Salah satu kumpulan gejala yang disebabkan oleh jepitan saraf adalah CTS (Carpal Tunnel Syndrome) atau STK (Sindroma Terowongan Karpal). Terdapat beberapa hipotesis mengenai patogenesis STK. Pada umumnya adalah faktor mekanik dan faktor vaskular sangat berperan dalam timbulnya STK. Sebagian besar STK terjadi secara perlahan-lahan (kronis) akibat gerakan pada pergelangan tangan yang terus menerus sehingga terjadi penebalan atau tenosinovitits pada fleksor retinakulum. Hal ini merupakan penyebab tersering. Pada keadaan kronis terdapat penebalan fleksor retinakulum yang menekan saraf medianus. Tekanan yang berulang-ulang dan lama pada saraf medianus akan menyebabkan tekanan intrafasikuler meninggi. Keadaan ini menyebabkan perlambatan aliran vena intrafasikuler. Bendungan/kongesti ini lama-kelamaan akan mengganggu nutrisi intrafasikuler, selanjutnya terjadi anoksia yang akan merusak endotel dan menimbulkan kebocoran protein sehingga terjadi edema epineural. Hipotesis ini dapat menerangkan keluhan yang sering terjadi pada STK yaitu berupa rasa nyeri dan bengkak terutama pada malam/pagi hati yang akan menghilang atau berkurang setelah tangan yang bersangkutan digerak-gerakkan atau diurut, mungkin karena terjadi perbaikan dari gangguan vaskuler ini. Bila keadaan ini berlanjut, akan terjadi fibrosis epineural dan merusak serabut saraf. Lama kelamaan saraf menjadi atrofi dan diganti jaringan ikat sehingga fungsi saraf medianus terganggu.
Pada STK yang akut, biasanya terjadi penekanan/kompresi yang melebihi tekanan perfusi kapiler sehingga terjadi gangguan mikrosirkulasi saraf dan saraf menjadi iskemik, selain itu juga terjadi peninggin tekanan fasikuler yang akan memperberat keadaan iskemik ini. Selanjutnya terjadi pelebaran pembuluh darah yang akan menyebabkan edema dan menimbulkan gangguan aliran darah pada saraf dan merusak saraf tersebut (sama dengan yang kronis). Pengaruh mekanik/tekanan langsung pada saraf tepi dapat pula menimbulkan invaginasi nodus Ranvier dan demielinisasi setempat sehingga konduksi saraf terganggu. Selain dari faktor mekanik dan vaskuler ini mungkin ada keadaan lain yang membuat saraf medianus menderita dalam terowongan karpal.
Etiologi dari STK bisa bermacam-macam. Hal ini bisa salah satunya merupakan pekerjaan atau aktivitas yang menggunakan tangan secara berulang, hal ini merupakan faktor predisposisi dan dapat meningkatkan risiko terjadinya STK. Namun setiap keadaan yang menyebabkan tekanan/kompresi saraf medianus dalam terowongan karpal merupakan etiologi STK, misalnya:
- Semua keadaan yang mengurangi luas/ukuran terowongan karpal, misalnya kelainan anatomis bawaan, patah tulang. Akromegali osteofit, eksostosis tulang, perkapuran, dll, yang dapat mempengaruhi struktur pergelangan tangan. Dapat pula terjadi penebalan fleksor retinakulum (ini yang tersering) misalnya karena proses radang pada artritis reumatoid.
- Keadaan yang menyebabkan isi terowongan karpal berlebihan, misalnya terdapat otot abberant dalam terowongan, atau terjadi trombosis pada arteri. Yang paling sering menyebabkan isi terowongan karpal berlebihan adalah proses radang seperti tenosinovitis nonspesifik yang dapat menyebabkan penebalan dan fibrosis sinovium, radang tuberkulosis, histoplasmosis. Tofi gout, neoplasma/neurinoma atau ganglion juga pernah dilaporkan.
- Penyakit sistemik yang berhubungan dengan neuropati seperti diabetes melitus, uremi, dll yang ternyata menyebabkan saraf medianus di terowongan karpal menjadi sensitif terhadap jebakan.
- STK akut biasanya disebabkan oleh trauma (fraktur atau dislokasi) pergelangan tangan. Dapat juga karena infeksi pergelangan tangan atau lengan bawah. Perdarahan spontan, trombosis, dll yang kesemuanya dapat menyebabkan peninggian tekanan dalam terowongan karpal dan menekan saraf medianus.
- Keadaan sisitemik lainnya seperti kegemukan, kehamilan, menopause, miksedema, gagal jantung ataupun gangguan keseimbangan hormon yang mengakibatkan penimbunan lemak atau cairan yang juga menimbulkan edema dalam terowongan.
- Defisiensi vitamin B6 (piridoksin) memegang peranan sebagai penyebab STK.
- Idiopatik
Gambaran klinik dari STK umumnya menimbulkan keluhan yang berangsur-angsur. Rasa nyeri di tangan yang biasanya timbul malam atau pagi hari. Penderita sering terbangun karena nyeri dan berusaha mengatasi keluhannya dengan menggerak-gerakkan tangan atau mengurutnya, ternyata rasa nyeri ini dapat hilang atau dikurangi. Keluhan juga berkurang bila tangan atau pergelangan istirahat dan sebaliknya keluhan bertambah pada pergelangan tangan yang menyebabkan tekanan dalam terowongan bertambah. Lama kelamaan keluhan ini makin sering dan makin berat bahkan dapat menetap pada siang maupun malam hari. Rasa baal, kesemutan, atau rasa seperti terkena strum listrik pada jari-jari. Biasanya jari ke-1, 2, 3, dan 4 (sisi radial). Kadang-kadang tidak dapat dibedakan jari mana terkena atau dirasakan gangguan pada semua jari. Dapat pula terasa gangguan pada beberapa jari saja, misalnya jari ke-3 dan ke-4, tetapi tidak pernah keluhan pada jari ke-5 (kelingking saja). Kadang-kadang rasa nyeri dapat terasa sampai lengan atas dan leher,tetapi rasa baal, kesemutan hanya terbatas pada distal pergelangan tangan saja. Jari-jari, tangan, dan pergelangan tangan terdapat edema dan kaku terutama pagi hari dan menghilang setelah mengerjakan sesuatu. Gerakan jari-jari kurang terampil, misalnya sewaktu menyulam atau memungut benda kecil. Bila terjadi pada anak-anak, sering dilaporkan bahwa dia bermain hanya dengan jari ke-4 dan ke-5 saja. Dan juga bisa terjadi otot telapak tangan mengecil dan makin lama makin mengecil.
Diagnosis bisa ditegakkan melalui pemeriksaan fisik yang meliputi pemeriksaan mototrik. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memeriksa otot-otot yang diinervasi saraf medianus sisi distal dari terowongan karpal, misalnya m.abduktor polisis brevis, m.fleksor polisis brevis, dan m.lumbrikalis kesatu dan kedua, serta m.oponens polisis. Dilakukan juga pemeriksaan sensorik. Pada STK hampir selalu terdapat parestesia, maka pemeriksaan ini perlu dilakukan. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksan hipoaesteisa, pemeriksaan membedakan 2 titik, pemeriksaan hiperestesia, dan pemeriksaan persepsi vibrasi. Pemeriksaan fungsi ototnom, bisa dilihat apakah terdapat perbedaan keringat, kulit kering dan licin yang berbatas tegas pada distribusi saraf medianus. Tes provokasi juga perlu dilakukan, misalnya tanda dari Tinel, tes tekan, tes bendungan, tes Phalen, tes kebalikan Phalen, tanda mengibaskan tangan (tanda Flick), tes stress saraf medianus yang terjepit, dan kombinasi tes Phalen dan tes tekan. Untuk diagnosis mungkin juga perlu dilakukan pemeriksaan penunjang, misalnya EMG dan pemeriksaan laboratorium (meliputi pemeriksaan kadar gula darah, kadar hormon tiroid, dan pemeriksaan darah lengkap). Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan adalah foto polos, tomografi komputer, resonansi magnetik, dan ultrasonografi (USG).
Diagnosis banding dalam kasus dalam skenario yang juga merupakan kemungkinan penyakit yang ada bersama STK adalah neuropati ulnar. Neuropati ulnar juga hampir sama dengan STK, dapat menyebabkan keluhan kesemutan atau kelemahan pada tangan atau nyeri pada lengan. Untuk membedakannya dari STK, pada neuropati ulnar, gangguan sensorik biasanya terbatas pada jari ke-5 dan setengah sisi ulnar jari ke-4. Gangguan motorik akan berpengaruh pada otot-otot intrinsik tangan kecuali oponen polisis, fleksor polisis brevis, abduktor polisis brevis, lumbrikalis kesatu dan kedua.
Terapi yang bisa diberikan adalah terapi konservatif dan terapi operatif (diindikasikan apabila kasus tidak mengalami perbaikan setelah terapi konservatif atau bila terjadi gangguan sensorik yang berat atau adanya atrofi otot-otot thenar). Terapi konservatif bisa dilakukan dengan:
- Mengistirahatkan pergelangan tangan.
- Pemberian obat antiinflamasi nonsteroid. Pemberian obat ini diindikasikan karena penebalan fleksor retinakulum (ini etiologi yang tersering) misalnya karena proses radang pada artritis reumatoid.
- Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan. Bidai dapat dipasang terus menerus atau hanya pada malam hari selama 2-3 minggu.
- Injeksi steroid, misalnya deksametason 1-4 mg atau hidrokortison 10-25 mg atau metilprednisolon 20 mg/40 mg diinjeksikan ke dalam terowongan karpal dengan menggunakan jarum no.23 atau no.25 pada lokasi 1 cm ke arah proksimal lipat pergelangan tangan di sebelah medial tendon m.palmaris longus. Bila belum berhasil, suntikan dapat diulangi setelah 2 minggu atau lebih. Tindakan operasi bisa dilakukan bila hasil terapi belum memuaskan setelah diberi 3 kali suntikan.
- Kontrol cairan, misalnya dengan pemberian diuretika.
- Vitamin B6 (piridoksin). Beberapa penulis berpendapat bahwa salah satu penyebab STK adalah defisiensi piridoksin sehingga mereka menganjurkan pemberian piridoksin 100-300 mg/hari selama 3 bulan. Tetapi ada beberapa penulis lainnya berpendapat bahwa pemberian piridoksin tidak bermanfaat bahkan dapat menimbulkan neuropati bila diberikan pada dosis besar.
- Fisioterapi, ditujukan pada perbaikan askularisasi pergelangan tangan.
Prognosis dari terapi yang diberikan pada STK ringan umumnya baik. Perbaikan yang paling cepat dirasakan adalah hilangnya rasa nyeri yang kemudian diikuti perbaikan sensorik. Biasanya perbaikan motorik dan otot-otot yang mengalami atrofi baru diperoleh kemudian. Keseluruhan proses perbaikan STK setelah operasi ada yang sampai memakan waktu 18 bulan. Komplikasi yang dapat dijumpai adalah kelemahan dan hilangnya sensibilitas yang persisten di daerah distribusi n.medianus. Komplikasi yang berat adalah reflek sympathetic dystrophy yang ditandai dengan nyeri hebat, hiperalgesia, disestesia, dan gangguan trofik.
Pencegahan untuk STK bisa dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
- Usahakan agar pergelangan tangan selalu dalam posisis netral.
- Perbaiki cara memegang atau menggenggam alat benda. Gunakanlah seluruh tangan dan jari-jari untuk menggenggam sebuah benda, jangan hanya menggunakan ibu jari dan telunjuk.
- Batasi gerakan tangan yang repetitif.
- Istirahatkan tangan secara periodik.
- Kurangi kecepatan dan kekuatan tangan agar pergelangan tangan memiliki waktu untuk beristirahat.
- Latih otot-otot tangan dan lengan bawah dengan melakukan peregangan secara teratur.

4. KESIMPULAN
¨ Hal yang aneh yang terjadi pada adalah seorang wanita berusia 48 tahun, dengan kesemutan dan merasa lemah pada tangan kanan, gangguan labih jelas (faktor pemberat) apabila untuk bekerja menggunakan tangan kanan berlebihan (misalnya saat mencuci dengan tangan dan mengendarai sepeda motor), penderita sering (kuantitas keluhan) terbangun malam hari karena merasa kesemutan pada tangan kanannya, gangguan akan berkurang (faktor peringan) jika tangan dikibas-kibaskan dan akan hilang juga saat beristirahat.
¨ Hasil pemeriksaan: kekuatan otot normal, atrofi pada otot tangan (tenar dan hipotenar), gangguan sensibilitas berupa hipoaestesia, tes Tinel positif, tes Phalen positif.
¨ Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk menetukan adanya sindrom atau penyakit yang lebih spesifik, mengalami sindrom terowongan karpal (STK) atau juga mengalami neuropati ulnar.
¨ Tanda dan gejala umum STK, antara lain: merasa baal (mati rasa) atau parestesia pada permukaan palmar ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah, dan separuh radial jari manis. Dapat timbul rasa baal atau parestesia di seluruh tangan. Nyeri dapat terasa di lengan bawah dan kadang-kadang ke bahu dan leher. Nyeri atau kesemutan pada jari sering timbul pada malam hari dan akan berkurang apabila penderita menggoyang atau menggerak-gerakkan tangan. Kelemahan dan atrofi otot tenar biasanya timbul belakangan dan dapat timbul tanpa gangguan sensorik yang bermakna. Kelemahan otot tenar bermanifestasi sebagai penurunan kekuatan abduksi, oposisi dan fleksi jempol.
¨ Terapi STK antara lain terapi konservatif dan terapi operatif.
¨ Masalah STK sebagai salah satu bentuk jepitan saraf sangat penting untuk diungkapkan karena masalah ini sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita akibat kesalahan posisi dalam melakukan kegiatan sehari-hari, trauma, atau karena hal lainnya.

5. DAFTAR PUSTAKA
Burns, D. K., V. Kumar. 2007. Sistem Saraf. Dalam: Kumar, V., R. S. Cortran, dan S. L. Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 903-948.
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Gilliland, B. C. 2007. Polikondritis Berulang dan Berbagai Artritis Lain. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 4. Edisi 13. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1902-1903.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Mardjono, M., P. Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Edisi 5. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat



Saturday, October 18, 2008

LAPORAN KEJANG DAN EPILEPSI

For any1 who needs this information, u can read it intentionally, or even u make my composition as ur reference!!
For anyfault, i aint responsible!
D most important qualification if u want to read and make as reference for ur mind, u have to tell me by sending sms or contacting me to +6281328452132 OR +6285643359787 OR +6281804470620 OR +62818254833 !
It's forbidden for u to make my composition for ur goal without telling me 1st!!!!!
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejang adalah masalah neurologik yang relatif sering dijumpai. Diperkirakan bahwa 1 dari 10 orang akan mengalami kejang suatu saat selama hidup mereka. Dua puncak untuk insidensi kejang adalah dekade pertama kehidupan dan setelah usia 60 tahun. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari suatu populasi neuron yang sangat mudah terpicu (focus kejang) sehingga mengganggu fungsi normal otak. Namun, kejang juga terjadi dari jaringan otak normal di bawah kondisi patologik tertentu, seperti perubahan keseimbangan asam basa atau elektrolit. Kejang itu sendiri, apabila berlangsung singkat, jarang menimbulkan kerusakan, tetapi kejang dapat merupakan manifestasi dari suatu penyakit mendasar yang membahayakan, misalnya gangguan metabolisme, infeksi intrakranium, gejala putus-obat, intoksikasi obat, atau ensefalopati hipertensi. Bergantung pada lokasi neuron-neuron fokus kejang ini, kejang dapat bermanifestasi sebagai kombinasi perubahan tingkat kesadaran dan gangguan dalam fungsi motorik, sensorik, atau autonom. Istilah “kejang” bersifat general, dan dapat digunakan penjelasan-penjelasan lain yang spesifik sesuai karakteristik yang diamati. Kejang dapat terjadi hanya sekali atau berulang. Kejang rekuren, spontan, dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolisme yang terjadi bertahun-tahun disebut epilepsi. Bangkitan motorik generalisata yang menyebabkan hilangnya hilangnya kesadaran dan kombinasi kontraksi otot tonik-klonik sering disebut kejang. Kejang konvulsi biasanya menimbulkan kontraksi otot rangka yang hebat dan involunter yang mungkin meluas dari satu bagian tubuh ke seluruh tubuh atau mungkin terjadi secara mendadak disertai keterlibatan seluruh tubuh. Status epileptikus adalah suatu kejang yang berkepanjangan atau serangkaian kejang repetitif tanpa pemulihan kesadaran antariktus atau juga bisa dikatakan sebagai keadaan aktivitas kejang yang kontinu atau intermiten yang berlangsung selama 20 menit atau lebih saat pasien kehilangan kesadarannya.
Data mengenai inidensi kejang agak sulit diketahui. Diperkirakan bahwa 10% orang akan mengalami paling sedikit satu kali kejang selama hidup mereka dan sekitar 0,3% sampai 0,5% akan didiagnosis mengidap epilepsi (didasarkan pada kriteria dua atau lebih kejang spontan/tanpa pemicu). Laporan-laporan spesifik-jenis kelamin mengisyaratkan angka yang sedikit lebih besar pada laki-laki disbanding dengan perempuan. Insidensi berdasarkan usia memperlihatkan pola konsisten berupa angka paling tinggi pada tahun pertama kehidupan, penurunan pesat menuju usia remaja, dan pendataran secara bertahap selama usia pertengahan untuk kembali memuncak pada usia setelah 60 tahun. Lebih dari 75% pasien dengan epilepsi mengalami kejang pertama sebelum usia 20 tahun; apabila kejang pertama terjadi setelah usia 20 tahun, maka gangguan kejang tersebut biasanya sekunder. Epilepsi dapat diklasifikasikan sebagai tipe idiopatik atau simtomatik. Pada epilepsi idiopatik atau esensial, tidak dapat dibuktikan adanya suatu lesi sentral. Pada epilepsi simtomatik atau sekunder, terdapat kelainan serebrum yang mendorong terjadinya respons kejang. Di antara berbagai yang mungkin menyebabkan epilepsi sekunder adalah cedera kepala (termasuk yang terjadi sebelum dan setelah kelahiran), gangguan metabolik dan gizi (hipoglikemia, fenilketonuria, defisiensi vitamin B6), factor toksik (intoksikasi alcohol, putus-obat narkotik, uremia), ensefalitis, hipoksia, gangguan sirkulasi, gangguan keseimbangan elektrolit (terutama hiponatremia dan hipokalsemia), dan neoplasma.
Dari skenario 2 Blok Neurologi, ada beberapa masalah penting, yaitu :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Seorang wanita berusia 16 tahun datang di Poliklinik Penyakit Saraf setelah sebelumnya mendapat serangan kejang untuk yang kedua kalinya.
- Penderita menyangkal adanya riwayat demam sebelumnya dan penderita juga menyatakan belum pernah periksa ke dokter maupun minum obat anti kejang setelah serangan kejang yang pertam akali.
- Dikatakan oleh penderita bahwa pada kejang yang kedua tersebut, sebelum kejang penderita sedang bermain game di komputer.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- Kedua serangan kejang tersebut diikuti dengan tidak sadar selama kira-kira 3 menit, kemudian kesadarannya kembali normal kembali dan dapat bekerja seperti sebelumnya.
- Sebelum umur 1 tahun, penderita sering mengalami kejang pada saat badannya panas.
- Dan diriwayatkan juga bahwa jika penderita mengikuti upacara atau olahraga sering mengalami pingsan dan akan membaik setelah mendapat pertolongan dari petugas UKS, kejadian ini mulai sejak penderita menduduki bangku Sekolah Dasar.
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Penderita akan melakukan pemeriksaan EEG dan pemeriksaan laboratorium di Poliklinik Penyakit Saraf.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas, antara lain :
a. Kejang
b.Epilepsi
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Mengetahui gejala-gejalanya lebih lanjut dan penatalaksanaannya.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem kerja saraf dan penyelesaiaannya dalam masyarakat.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan anatomi, fisiologi, dan histologi dari sistem saraf pusat dan tepi serta sistem saraf kranial.
b. Menjelaskan klasifikasi, kausa, patoenesis, patofisiologi dari kelainan pada sistem saraf pusat dan tepi.
c. Menjelaskan dasar-dasar diagnosis kelainan sistem saraf pusat dan tepi.
d. Menjeaskan macam-macam cara disgnosis kelainan sistem saraf pusat dan tepi.
e. Menjelaskan penatalaksanaan, prognosis, dan rehabilitasi pada penderita kelainan sistem saraf pusat dan tepi.
f. Melakukan pemeriksaan sistem saraf pusat dan tepi.
g. Menyususn data dari symptom, pemeriksaan fisik, prosedur klinis, dan pemeriksaan laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis penyakit susunan saraf.
h. Merancang tindakan preventif penyakit susunan saraf dengan mempertimbangkan factor pencetus.
i. Menjelaskan cara pencegahan komplikasi penyakit susunan saraf.
j. Melakukan penyuluhan kesehatan tentang penyakit susunan saraf dalam rangka upaya preventif dan promotif.
k. Menggunakan teknologi informasi untuk mencari informasi terkini mengenai penyaki susunan saraf.
l. Merancang manajemen penyakit susunan saraf.

2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kejang
Kejang adalah suatu bentuk manifestasi klinik akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang tergangu akibat suatu keadaan patologik. Jenis-jenis kejang (klasifikasi kejang) didasarkan oleh pemeriksaan EEG (elektroensefalografik), MRI, penilaian klinis, dan juga anamnesis. Dari hal tersebut, kejang diklasifikasikan menjadi 2 macam, yaitu kejang parsial dan kejang generalisata berdasarkan apakah kesadaran utuh atau lenyap. (Lombardo, 2007)
Kejang parsial adalah kejang dengan kesadaran utuh walaupun mungkin berubah; fokus di satu bagian tetapi dapat menyebar ke bagian lain. Kejang parsial masih dibagi menjadi 2 macam, yaitu kejang parsial sederhana (kesadaran utuh) dan kejang parsial kompleks (kesadaran berubah tetapi tidak hilang). Kejang parsial, diklasifikasikan menjadi berikut: (Lombardo, 2007)
- Kejang parsial sederhana; karakteristik kejang ini adalah dapat bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral), sensorik (merasakan, membaui, mendengar sesuatu yang abnormal), autonomik (takikardia, bradikardia, takipneu, kemerahan, rasa tidak enak di epigastrium), psikik (disfagia, gangguan daya ingat). Kejang ini biasanya berlangsung kurang dari 1 menit.
- Kejang parsial kompleks; merupakan jenis kejang yang dimulai sebagai kejang parsial sederhana dan berkembang menjadi perubahan kesadaran yang disertai oleh gejala motorik , gejala sensorik otomatisme (mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, menarik-narik baju). Beberapa kejang parsial kompleks mungkin berkembang menjadi kejang generalisata. Kejan ini biasanya berlangsung 1-3 menit.
Kejang generalisata adalah kejang yang melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon serta ditandai dengan awitan aktivitas kejang yang bilateral dan simetrik yang terjadi di kedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang berawal sebagai kejang fokal. Kejang ini memiliki karakteristik tertentu, seperti hilangnya kesadaran, tidak ada awitan fokal, bilateral dan simetrik, serta tidak ada aura. Kejang generalisata, diklasifikasikan menjadi berikut: (Lombardo, 2007)
- Kejang tonik-klonik, kejang ini memiliki karakteristik spasme tonik-klonik otot, inkontinensia urin dan alvi, menggigit lidah, dan fase pascaiktus.
- Kejang absence, kejang ini sering salah didiagnosis sebagai melamun. Kejang ini memiliki karakteristik khusus, seperti menatap kosong, kepala sedikit lunglai, kelopak mata bergetar, atau berkedip secara cepat, tonus postural juga tidak hilang. Kejang absence berlangsung dalam beberapa detik.
- Kejang mioklonik, kejang ini memiliki karakteristik seperti kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas di beberapa otot atau tungkai dan durasinya cenderung singkat.
- Kejang atonik, adalah bentuk kejang generalisata yang hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh (drop attacks).
- Kejang klonik, merupakan suatu bentuk kejang generalisata dengan gerakan menyentak, repetitive, tajam, lambat, dan tunggal atau multiple di lengan, tungkai, atau torso.
- Kejang tonik, merupakan peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas; fleksi lengan dan ekstensi tungkai. Karakteristik lain, misalnya mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi, serta kejang ini mungkin dapat menyebabkan henti napas.
Kejang memiliki efek-efek berdasarkan atas lamanya mengalami kejang. Berikut jenis-jenis efek kejang: (Lombardo, 2007)
- Awal (kurang dari 15 menit), efek-efeknya: meningkatnya kecepatan denyut jantung, meningkatnya tekanan darah, meningkatnya kadar glukosa, meningkatnya suhu pusat tubuh, dan meningkatnya sel darah putih.
- Lanjut (antara 15-30 menit), efek-efeknya: menurunnya tekanan darah, menurunnya gula darah, disritmia, dan edema paru nonjantung.
- Berkepanjangan (lebih dari 1 jam), efek-efeknya: hipotensi disertai berkurangnya aliran darah serebrum sehingga terjadi hipotensi serebrum, gangguan sawar darah otak yang menyebabkan edema serebrum.
B. Epilepsi
Menurut Hughlings Jackson, seorang pakar penyakit saraf London (1835-1911), memberikan suatu penjelasan yang rasional mengenai pathogenesis dari bangkitan tersebut. Menurutnya, bangkitan epilepsi dapat dikatakan sebagai suatu lepas muatan (discharge) dari suatu bagian substansia grisea tertentu dari korteks serebri yang berlangsung secara tiba-tiba, berlebihan, cepat, tidak teratur, dan untuk waktu yang sementara. Epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi sautu sindrom, suatu reaksi dari otak yang timbul secara paroksismal, karena adanya suatu rangsang patologikyang menghinggapi korteks serebri secara lokal atau difus. Dalam keadaan normal, suatu lepas muatan tidaklah akan mudah dapt terjadi, berhubung adanya mekanisme penghambat di dalam susunan saraf pusat itu sendiri. Ada beberapa mekanisme inhibisi yang didapat dalam susunan saraf pusat (SSP), yaitu: (Ngoerah, 1990)
- Sel Renshaw
Setiap sel ganglion motorik memiliki suatu akson yang sebelum meninggalkan SSP telah melepaskan suatu kolateral rekurrens, yang dapat merangsang suatu sel Renshaw. Sel Renshaw ini adalah suatu sel penghambat. Dengan mempergunakan GABA sebagai neurotransmitter, maka sel Renshaw itu akan dapat melakukan inhibisi terhadap sel ganglion motorik itu sendiri.
- Area 4S dari korteks serebri
Sel-sel ganglia dari daerah ini memiliki akson-akson yang dapat menghambat bagian-bagian lain dari susunan saraf pusat/SSP. Pada daerah ini terdapa sabut-sabut menuju ke nucleus funikulus grasilis dank e nucleus funiklus kuneati. Sabut-sabut ini berfungsi sebagai penghambat, sehingg tidaklah semua impuls yang sampai pada nuclei tersebut lalu begitu saja dan dilanjutkan ke korteks serebri. Mekanisme tersebut dapat menghalangi timbulnya lepas muatan yang berlebihan. Selain itu pompa Natrium (Na-K-ATP-ase) yang oleh karena tidak dapat berfungsi dengan baik, akan dapat mempermudah timbulnya suatu lepas muatan.
Bangkitan epilepsi dapat dibagi menjadi beberapa jenis menurut International Leagua (1981), yaitu: (Ngoerah, 1991)
Bangkitan parsial (fokal, lokal), dibagi menjadi:
a. Bangkitan parsial sederhana (kesadaran tidak terganggu), karakteristiknya adalah gejala motorik (fokal motorik tidak menjalar, fokal mototrik menjalar/epilepsi Jackson, versify, postural, dan disertai gangguan fonasi), gejala somatosensoris/sensoris spesial/halusinasi sederhana (halusinasi bisa dalam bentuk somatosensoris, visual, auditoris, olfaktoris, gustatoris, dan juga terdpat vertigo), gejala gangguan saraf autonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dan dilatasi pupil), gejala psikik/gejala fungsi luhur (disfasia, dismnesia, kognitif, afektif, ilusi, halusinasi kompleks/berstruktur).
b. Bangkitan parsial kompleks (disertai gangguan kesadaran), karakteristiknya adalah awal saat bangkitan parsial sederhana diikuti penurunan kesadaran dengan gejala parsial sederhana dan dengan automatisme.
c. Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik), pembagiannya adalah bangkitan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan parsial umum, bangkitan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum, dan bangkitan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.
Bangkitan umum (konvulsif atau nonkonvulsif), dibagi menjadi:
a. Bangkitan lena (absence), pembagiannya antara lain hanya penurunan kesadaran, dengan komponen klonik ringan, dengan komponen atonik, dengan komponen tonik, dengan automatisme, dan dengan komponen autonom. Komponen klonik ringan hingga komponen autonom dapat tersendiri atau dalam kombinasi. Ada juga bentukan lena tak khas (atypical absence), dapat disertai gangguan tonus yang lebih jelas, awitan dan handekan yang tidak mendadak.
b. Bangkitan mioklonik, bisa terjadi sekali atau berulang-ulang.
c. Bangkitan klonik
d. Bangkitan tonik
e. Bangkitan tonik-klonik
f. Bangkitan atonik
Bangkitan taktergolongkan, dalam bangkitan ini epilepsi bisa timbul karena:
a. Tak terduga (tak tentu waktunya)
b. Siklus, timbul pada waktu-waktu tertentu (berhubung dengan siklus haid, bangun tidur)
c. Setelah mendapat rangsangan: nonsensoris (lelah, alcohol, emosi) dan sensoris (misalnya cahaya yang berkedip)
Kelompok penderita epilepsi dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: (Ngoerah, 1990)
a. Kelompok I: Epilepsi Primer
Mereka yang tidak dapat kita ketahui penyebab dari bangkitan epilepsinya. Kelompok I dinamai epilepsi primer atau genuine (epilepsy idiopatik, epilepsy esensiil, epilepsy genetik).
b. Kelompok II: Epilepsi Sekunder
Mereka yang dapat diketahui penyebab dari bangkitan epilepsinya. Kelompok II dinamai epilepsi sekunder atau simtomatik. Lepas muatan sudah barang tentu mulai di sautu tempat di korteks serebri. Tetapi yang menyebabkan timbulnya lepasan muatan itu tidak selalu berada dalam ruang tengkorak itu sendiri. Penyebab bangitan epilepsi dapat berasal intrakaranial, tetapi dapat pula berada di ekstrakranial.
- Penyebab yang terletak intrakranial. Misalnya: kerusakan pada SSP bayi (sewaktu persalinan, seperti misalnya karena anoksi, perdarahan, imaturitas, dan lain-lain), anomali kongenital, sisa ccat bekas meningitis atau ensefalitis, atrofia korteks serebri bekas ensefalomalasi, sisa cacat bekas trauma kapitis, tumor serebri, arterio-venous malformasi.
- Penyebab yang terletak ekstrakranial. Misalnya: anoksia, uremia, eklampsi, gangguan endokrin seperti misalnya hipoglikemi dan hipokalsemi, keracunan seperti misalnya karena alcohol, dieldrin, dan anti-depressan.
Epilepsi dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: (Guyton, 2007)
- Epilepsi Grand Mal
Merupakan suatu bentuk epilepsi yang ditandai dengan pelepasan muatan listrik yang berlebihan dari neuron di seluruh area otak-dalam korteks serebri, di bagian dalam serebrum, dan bahkan di batang otak. Juga, muatan listrik yang dijalarkan melalui semua jaras ke medulla spinalis kadang-kadang menimbulkan kejang tonik umum di seluruh tubuh, serta menjelang akhir serangan yang diikuti oleh kontraksi otot-otot tonik dan kemudian spasmodik secara bergantian, yang disebut kejang tonik klonik. Seringkali pasien menggiggit atau “mengunyah” lidahnya dan dapat mengalami kesulitan dalam bernapas, yang terkadang menimbulkan sianosis. Sinyal yang dijalarkan dari otak ke visera juga seringkali menimbulkan proses miksi dan defekasi.
Kejang grand mal biasanya berlangsung selama beberapa detik sampai 3-4 menit. Kejang ini juga ditandai dengan keadaan depresi pascakejang di seluruh sistem saraf; pasien tetap dalam keadaan stupor selama 1 sampai beberapa menit sesudah serangan kejang berakhir dan kemudian seringkali tetap lelah dan tertidur selama berjam-jam sesudahnya.
Tampak rekaman EEG yang khas pada hampir semua regio korteks selama fase tonik serangan grandmal. Adanya gambar EEG dapat menjelaskan adanya pelepasan impuls bervoltase dan berfrekuensi tinggi yang terjadi di seluruh korteks. Selanjutnya, pada saat yang bersamaan juga timbul pelepasan impuls yang sama di kedua sisi otak, yang menggambarkan adanya sirkuit neuron abnormal yang bertanggung jawab atas timbulnya serangan hebat yang melibatkan region basal otak yang mengendalikan kedua sisi serebrum secara bersamaan.
Pada percobaan/eksperimen, serangan grand mal dapat ditimbulkan oleh pemberian zat perangasang neuron, seperti obat pentilentetrazol, atau dengan menimbulkan keadaan hipoglikemia akibat insulin, atau dengan cara mengalirkan listrik langsung melalui otak. Perekaman listrik pada thalamus serta pada formasio retikularis batang otak selama serangan grand mal, menunjukkan gambaran aktivitas bervoltase tinggi yang khas di kedua area tersebut, yang serupa dengan gambaran korteks serebri. Oleh karena itu, mungkin, serangan grand mal ini tidak hanya disebabkan oleh aktivasi yang abnormal pada thalamus dan korteks serebri tetapi juga disebabkan oleh aktivasi yang abnormal di bagian batang otak pada sistem aktivasi otak itu sendiri yang terletak di bawah thalamus.
- Epilepsi Petit Mal
Epilepsi petit mal hampir selalu melibatkan sistem aktivasi talamokortikal otak. Epilepsi ini biasanya ditandai dengan timbulnya keadaan tidak sadar (atau penurunan kesadaran) selama 3 sampai 30 detik, dan selama waktu serangan, pasien merasakan kontraksi otot seperti kedutan (twitch-like), yang biasanyanya terjadi di daerah kepala, terutama pengedipan mata; keadaan ini selanjutnya diikuti dengan kembalinya kesadaran dan timbulnya kembali aktivitas sebelumnya. Rangkaian kejadian keseluruhan ini disebut dengan absence syndrome atau absence epilepsy. Pasien mengalami serangan ini satu kali dalam beberapa bulan atau pada kasus yang jarang, dapat mengalami serangkaian serangan yang cepat, yaitu satu serangan diikuti oleh serangan lainnya. Serangan petit mal biasanya terjadi pertama kali pada anak-anak masa akil balik dan menghilang pada umur 30 tahun. Kadangkala, serangan epilepsy petit mal dapat memicu timbulnya serangan grand mal.
Pola gelombang otak pada epilepsi petit mal yang ditunjukkan pada EEG ditandai dengan adanya pola kubah dan paku (spike and dome pattern). Gambaran kubah dan paku ini dapat direkam di sebagian besar atau seluruh bagian korteks serebri, dan menunjukkan bahwa kejang yng timbul melibatkan sebagian besar sistem aktivasi talamokortikal otak. Dan eksperimen pada hewan, menunjukkan bahwa hal ini dihasilkan dari gerakan osilasi dari neuron retikular thalamus inhibitor (yang merupakan neuron penghasil gamma-aminobutirat acid/GABA inhibitor) dan neuron talamokortikal dan kortikotalamik eksitator.
- Epilepsi Fokal
Epilepsi fokal dapat melibatkan hampir setiap bagian otak, baik region setempat pada korteks serebri atau struktur-struktur yang lebih dalam pada serebrum dan batang otak. Epilepsi fokal sering disebabkan oleh lesi organik setempat atau karena adanya kelainan fungsional, seperti adanya jaringan parut di otak yang mendorong jaringan neuron di dekatnya, adanya tumor yang menekan daerah otak, rusaknya suatu area pada jaringan otak, atau kelainan sirkuit setempat yang diperoleh secara kongenital.
Lesi semacam ini dapat menyebabkan pelepasan impuls yang sangat cepat pada neuron setempat; bila kecepatan pelepasan impuls ini mlebihi beberapa ratus per detik, gelombang sinkron akan mulai menyebar di seluruh region kortikal di dekatnya. Gelombang ini mungkin berasal dari sirkuit setempat yang secara bertahap membuat area korteks di dekatnya menjadi zona lepas-muatan epileptik. Proses ini menyebar ke daerah di dekatnya dengan kecepatan paling lambat beberapa millimeter per menit dan paling cepat beberapa sentimeter per detik. Bila gelombang eksitasi semacam ini menyebar ke seluruh korteks motorik, gelombang ini menyebabkan “deretan” kontraksi otot yang progresif di seluruh sisi tubuh yang berlawanan. Keadaan ini disebut epilepsy Jackson. Serangan epilepsi fokal dapat terbatas hanya di suatu area otak, namun pada sebagian besar kasus, sinyal yang kuat dari daerah korteks yang mengalami kejang dapat merangsang bagian mesensefalik sistem aktivasi otak sedemikian kuatnya sehingga serangan epilepsi grand mal juga terjadi.
Ada tipe lain epilepsi fokal yang disebut kejang psikomotor, yang dapat menyebabkan timbulnya periode amnesia singkat, serangan kemarahan yang abnormal, adanya ansietas, rasa tak nyaman, atau rasa takut yang timbul mendadak, dan bicara inkoheren yang singkat atau bergumam dari ungkapan yang bertele-tele (trite-phrase). Kadangkala pasien tidak dapat mengingat aktivitas yang telah dilakukannya selama serangan, namun pada saat lain, ia menyadari segala sesuatu yang telah dilakukan tetapi tidak mampu mengendalikannya. Serangan kejang tipe ini seringkali melibatkan bagian limbik otak, seperti hipokampus, amigdala, septum, dan bagian korteks temporalis.

3. DISKUSI DAN BAHASAN
Neuron memiliki suatu aktivitas khusus yang melibatkan 3 macam ion, yaitu ion natrium, ion klorida, dan ion kalium. Hal ini terjadi dalam proses eksitasi dan inhibisi. Berikut penjelasan 2 macam proses tersebut.
Eksitasi terdapat beberapa proses, yaitu:
- Kanal natrium yang terbuka yang memungkinkan pelepasan listrik bermuatan positif dalam jumlah besar untuk mengalir ke bagian anterior dari sel postsinaps. Hal ini akan meningkatkan potensial membran dalam arah positif menuju nilai ambang rangsang untuk menyebabkan eksitasi.
- Penekanan hantaran melalui kanal klorida atau kalium, atau keduanya. Hal ini akan menurunkan difusi ion klorida bermuatan negatif ke bagian dalam neuron postsinaps atau menurunkan difusi ion kalium bermuatan positif ke bagian luar. Pada contoh lain, pengaruhnya adalah dengan membuat potensial membran internal menjadi lebih positif dari normal, yang bersifat eksitatorik.
- Berbagai perubahan metabolisme internal neuron postsinaps untuk merangsang aktivitas sel atau, pada beberapa keadaan, untuk meningkatkan jumlah reseptor membran eksitasi atau menurunkan jumlah reseptor membran inhibisi.
Inhibisi terdapat beberapa proses, yaitu:
- Pembukaan kanal ion klorida melalui membran neuron postsinaps. Hal ini memungkinkan ion klorida bernuatan negatif untuk berdifusi secara cepat dari bagian luar neuron postsinaps ke bagian dalam, dan meningkatkan negativitas di bagian dalam, yang bersifat inhibisi.
- Meningkatkan hantaran ion kalium yang keluar dari neuron. Hal ini memungkinkan ion kalium yang bermuatan positif untuk berdifusi ke bagian eksterior, yang menyebabkan peningkatan kenegatifan di dalam neuron, yang bersifat inhibisi.
- Aktivasi enzim reseptor yang menghambat fungsi metabolik selular atau yang meningkatkan jumlah reseptor sinap inhibisi atau menurunkan jumlah reseptor eksitasi.
Jadi secara fisiologis, saat neuron beristirahat, kadar kalium adalah lebih tinggi di dalam daripada di luar sel neuron. Sebaliknya kadar natrium adalah lebih tinggi di luar daripada di dalam sel. Dengan demikian maka bagian dalam dari sel itu adalah 50 sampai 70 mV negatif bila dibandingkan dengan bagian luar. Keadan yang demikian hanyalah dapat dipertahankan selama pompa natrium itu bekerja dengan baik. Bila suatu rangsangan eksitatorik sampai pada sel itu, maka terjadilah depolarisasi. Ini berarti bahwa bagian dalam yang dahulu adalah 50 mV negatif kini misalnya menjadi 30 mV positif. Bila ada rangsang inhibisi maka terjadilah hiperpolarisasi, yang berarti bahwa bagian dalam akan menjadi bertambah negatif terhadap bagian luar. Misalnya dari 50 mV negatif lalu menjadi 90 mV negatif.
Kita ketahui bahwa vaskularisasi dari bagian korteks serebri di mana terdapat suatu sikatriks meningoserebral, tidaklah sebaik bagian korteks yang sehat. Sel-sel neuron yang terletak di dekat sikatriks itu tidaklah dapat menerima oksigen (O2) dan glukosa yang cukup sehingga metabolisme dalam sel-sel tersebut menjadi terganggu. Akibatnya adalah, bahwa sediaan ATP dalam sel itu akan menurun. Padahal ATP sangat diperlukan oleh pompa natrium.
Kekurangan ATP akan berakibat pompa natrium itu tidak dapat berfungsi dengan baik. Dan sewaktu terjadi depolarisasi, pompa natrium itu tidaklah sanggup lagi untuk mengeluarkan natrium dari dalam sel sehingga kadar natrium di dalam sel itu akan menjadi lebih tinggi dari semula. Dengan demikian maka misalnya keadaan di dalam sel itu tidaklah pulih menjadi 50 atau 70 mV negatif terhadap bagian luarnya , tetapi bagian dalam misalnya menjadi hanya 20 mV negatif terhadap bagian luar. Keadaan yang demikian akan mengakibatkan bahwa suatu rangsang ringan yang dahulu, sewaktu pompa natrium itu masih baik, tidak akan dapat menimbulkan depolarisasi, kini akan dapat menimbulkan lepas muatan.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengaj, thalamus, dan korteks serebrum kemungkinan bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut:
- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
- Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpacu akan melepaskan muatan secara berlebihan.
- Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
- Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energy akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (Liquor Cerebro Spinalis/LCS) selama dan setelah kejang. Asam glutamate mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetilkolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik; fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
Hampir setiap bagian otak, baik secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan setiap bagian lainnya, dan keadaan ini akan menimbulkan masalah yang serius. Bila bagian pertama merangsang bagian yang kedua, yang kedua merangsang bagian yang ketiga, dan yang ketiga merangsang yang keempat, begitu seterusnya sampai akhirnya sinyal itu merangsang bagian yang pertama lagi, maka jelaslah bahwa sinyal eksitasi yang masuk ke dalam setiap bagian otak akan menimbulkan siklus perangsangan bolak-balik/reeksitasi yang berlangsung secara terus menerus di seluruh bagian otak. Bila timbul keadaan ini, otak akan dibanjiri oleh massa yang terdiri atas sinyal-sinyal yang tidak mengangkut informasi, namun akan memakai sirkuit-sirkuit neuron dalam otak sehingga tidak ada penjalaran informasi. Keadaan ini dapat terjadi pada daerah yang luas dalam otak selama kejang epileptik. Dan sistem saraf pusat kita memiliki cara khusus untuk mencegah agar hal tersebut tidak terjadi sepanjang waktu. Cara khusus tersebut dilakukan melalui dua mekanisme dasar kelangsungan fungsi sistem saraf pusat, yaitu adanya sirkuit inhibisi, dan adanya kelelahan sinaps.
Sistem penghambat sirkuit inhibisi adalah sebagai mekanisme untuk menstabilkan fungsi sistem saraf. Ada dua macam sirkuit penghambat pada daerah yang luas dalam otak yang membantu mencegah penyebaran sinyal-sinyal:
- Sirkuit umpan balik penghambat yang kembali dari ujung jaras menuju neuron-neuron eksitasi awal pada jaras yang sama. Hal ini dapat terjadi dalam semua jaras saraf sensorik dan menghambat neuron masuk atau neuron perantara pada jaras sensorik sewaktu ujung neuron itu dalam keadaan sangat tereksitasi.
- Beberapa kumpulan neuron yang menggunakan pengaturan inhibisi sepanjang daerah yang luas dalam otak. Contohnya, banyak ganglia basalis menggunakan pengaruh hambatan ini terhadap sistem pengatur otot.
Dan kelelahan sinaps adalah sebagai alat untuk menstabilkan sistem saraf. Kelelahan pada sinaps berarti bahwa penjalaran sinaptik menjadi lebih lemah, lebih lama, dan dengan periode eksitasi lebih kuat. Sebagai contoh, terdapat rentetan refleks fleksor yang menggambarkan kelelahan pada penjalaran sinyal sewaktu melewati jaras refleks. Setiap bagian akan tampak kekuatan kontraksi yang “berkurang” secara progresif, jadi kekuatannya akan menghilang, dan efek ini kebanyakan disebabkan adanya kelelahan sinaps pada sirkuit refleks fleksor. Selanjutnya, bila interval antara rentetan refleks fleksor itu semakin berkurang, maka intensitas respons refleks selanjutnya makin berkurang pula.
Pembahasan dilanjutkan pada epilepsi sebagai diagnosis pada skenario. Epilepsi adalah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan. Tiap neuron aktif melepaskan muatan listriknya. Fenomena elektrik ini wajar terjadi. Manifestasi biologiknya berupa gerak otot atau suatu modalitas sensorik, tergantung dari neuron kortikal mana yang melepaskan muatan listriknya. Saat neuron di daerah somatosensorik yang melepaskan muatannya, timbullah perasaan protopatik atau proprioseptif. Demikian pula akan timbul perasaan pancaindera apabila neuron daerah korteks pancaindera melepaskan muatan listriknya.
Pada bagian sebelumnya, sudah banyak dibahas mengenai neurotransmiter asetilkolin. Dan pada keadaan jejas otak terdapat lebih banyak asetilkolin daripada otak normal. Pada tumor serebri atau adanya sikatriks setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa dari meningitis, ensefalitis, kontusio serebri atau trauma lahir, dapat terjadi penimbunan setempat dari asetilkolin. Oleh karena itu, pada tempat tersebut akan terjadi lepas muatan listrik neuron-neuron. Penimbunan asetilkolin setempat harus mencapai suatu konsentrasi tertentu untuk dapat merendahkan potensial membran sehingga lepas muatan listrik dapat terjadi. Mungkin karena harus menunggu waktu sehingga tercapai konsentrasi yang dapat mengungguli ambang lepas muatan listrik neuron. Hal inilah yang menyebabkan fenomena lepas muatan listrik epileptik terjadi secara berkala. Inilah ciri manifestasi klinik epilepsi, yaitu timbulnya serangan secara berkala. Dan hal tersebut terjadi pada epilepsi fokal yang biasanya simtomatik. Terjadi secara fokal karena yang digalakkan adalah neuron-neuron di sekitar lesi saja. Dan simtomatik karena dapat dikenali identitas lesi yang mendasarinya.
Ada juga jenis epilepsi idiopatik, epilepsi jenis ini tidak diketahui penyebabnya. Mekanisme terjadi epilepsi jenis ini hampir sama dengan mekanisme kejang grand mal pada penjelasan sebelumnya. Namun dalam hal ini, yang secara primer melepaskan muatan listriknya adalah nuklei intralaminares talami, yang dikenal sebagai inti “centrecephalic”. Inti tersebut merupakan terminal dari lintasan asendens aspesifik atau lintasan asendens ekstralemniskal. Input korteks serebri melalui lintasan aferen aspesifik itu menentukan derajat kesadaran. Bila sama sekali tidak ada input, maka timbullah koma. Pada kejang grand mal, oleh karena sebab yang belum bisa dipastikan, terjadilah lepas muatan listrik darin inti-inti intralaminar talamik secara berlebihan. Perangsangan talamokortikal yang berlebihan ini menghasilkan kejang otot seluruh tubuh (konvulsi umum) dan sekaligus menghalangi neuron-neuron pembina kesadaran untuk menerima impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran hilang.
Kemudian hasil dari suatu eksperimen juga menjelaskan mekanisme kejang petit mal. Adanya bagian dari substansia retikularisdi bagian rostral dari mesensefalon yang dapat melakukan blokade sejenak terhadap inti-inti intralaminar talamik sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai kejang-kejang pada otot skeletal.
Setiap manusia memiliki zat antikonvulsi alamiah, misalnya GABA. Namun, zat ini jumlahnya berbeda-beda pada tiap orang. Pada orang-orang tertentu, zat itu kurang cukup sehingga neuron-neuron kortikalnya mudah sekali terganggu dan bereaksi dengan muatan listriknya secara menyeluruh. Adanya perbedaan ini tercermin dalam hal kejang demam/febris konvulsi, yaitu kejang yang umum timbul pada waktu bayi atau anak kecil jika demamnya meningkat pada suhu 40°C, tetapi pada yang lain kejang umum sudah muncul pada demam 37,8°C. Demam merupakan keadaan di mana nuklei intralaminares talami menjadi lebih peka untuk diaktifkan atau merupakan keadaan di mana ambang lepas muatan listrik neuron-neuron kortikal direndahkan sehingga kejang umum mudah terjadi.
Epilepsi juga tidak akan terjadi pada setiap orang karena epilepsi dipengaruhi oleh adanya ambang kejang/ambang mioklonik. Jika ambang kejang ini dilampaui oleh sesuatu rangsang, maka akan timbul kejang. Seorang yang sehat yang belum pernah mendapat serangan epilepsi berarti ambang kejangnya cukup tinggi. Oleh karena itu, maka suatu rangsang biasa, yang menghinggapinya setiap hari, tidaklah akan dapat menimbulkan bangkitan epilepsi. Ini tidaklah berarti bahwa orang itu tidak akan mengalami epilepsi. Asal rangsangannya cukup tinggi dan kuat sehingga dapat melampaui ambang miokloniknya, maka bangkitan epilepsi akan timbul juga. Di samping orang-orang yang memiliki ambang mioklonik yang cukup tinggi, ada juga orang yang memiliki ambang mioklonik cukup rendah. Pada orang-orang yang demikian, suatu rangsang yang amat lemah, seperti panas, emosi, kelelahan, rangsang cahaya (misalnya komputer, televisi), hiperventilasi, dan sebagainya akan dapat pula melampaui ambang miokloniknya sehingga dapat timbul kejang.
Selain hal-hal di atas, kejang juga bisa disebabkan oleh intoksikasi obat. Pada beberapa obat, kejang merupakan manifestasi efek toksik. Obat yang berpotensi menimbulkan kejang adalah aminofilin, obat antidiabetes, lidokain, fenotiazin, fisostigmin, dan trisiklik.Penyalahgunaan zat seperti alkohol dan kokain juga dapat menyebabkan kejang. Kejang juga bisa karena kelainan metabolik (misalnya hiponatremia, hipernatremia, hipoglikemia, keadaan hiperosmolar, hipokalsemia, hipomagnesemia, hipoksia, dan uremia), tumor otak, dan insufisiensi serebrovaskular arteriosklerotik dan juga infark serebrum.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah EEG dengan indikasi kasus kejang yang tidak khas (kejang pada orang usia kurang dari 6 tahun), pemeriksaan laboratorium (misalnya kejang karena kadar glukosa darah yang rendah, hipokalsemia, ataupun hiponatremia, dan lain-lain), dan pemeriksaan pencitraan (misalnya foto polos kepala dengan indikasi kemungkinan ada fraktur kepala, pemeriksaan CT Scan dengan indikasi adanya hidrosefalus dan infark otak).
Terapi yang sering diberikan adalah pemberian obat-obatan antikonvulsan. Obat-obatan antikejang yang diberikan harus berdasarkan atas jenis kejangnya. Misalnya fenitoin untuk kejang tonik-klonik, fosfenitoin untuk status epileptikus, karbamazepin untuk kejang parsial kompleks dan kejang tonik-klonik, fenobarbital untuk kejang tonik-klonik, diazepam untuk status epileptikus, lorazepam untuk status epileptikus, midazolam untuk status epileptikus (masih dalam penelitian), klonazepam untuk kejang mioklonik, etosuksimid untuk kejang absence, asam valproat untuk kejang tonik-klonik dan kejang mioklonik serta kejang absence dan parsial, felbamat untuk kejang parsial, gabapentin untuk kejang parsial, lamotrigin untuk kejang parsial, okskarbazepin untuk kejang parsial, tiagabin untuk kejang parsial, topiramat untuk kejang parsial, zonisamid kejang parsial.

4. KESIMPULAN
¨ Hal yang aneh yang terjadi pada adalah seorang wanita berusia 16 tahun yang datang di Poliklinik Penyakit Saraf adalah pernah mengalami kejang saat bermain game di komputer, saat menduduki Sekolah Dasar sering pingsan dan kejang saat mengikuti upacara, dan satt masih kecil juga sering kejang saat badannya panas.
¨ Dan saat kejang yang terakhir pasien menyangkal badannya panas serta saat kejang tidak mendapatkan terapi berupa obat antikejang.
¨ Kejang secara garis besar ada 2 macam, yaitu kejang generalisata (kejang dengan berubahnya status kesadaran tetapi tidak hilang kesadaran) dan kejang parsial (kejang dengan kesadaran yang masih utuh).
¨ Tanda dan gejala umum kejang berbeda-beda. Untuk kejang generalisata antara lain: hilangnya kesadaran, tidak ada awitan fokal, bilateral dan simetrik, serta tidak ada aura. Untuk kejang parsial yang jenis sederhana antara lain: motorik (gerakan abnormal unilateral), sensorik (merasakan, membaui, mendengar sesuatu yang abnormal), autonomik (takikardia, bradikardia, takipneu, kemerahan, rasa tidak enak di epigastrium), psikik (disfagia, gangguan daya ingat). Kejang parsial kompleks memiliki tanda dan gejala, seperti gejala sensorik otomatisme (mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, menarik-narik baju).
¨ Terapi kejang dan epilepsi antara lain: fenitoin untuk kejang tonik-klonik, fosfenitoin untuk status epileptikus, karbamazepin untuk kejang parsial kompleks dan kejang tonik-klonik, fenobarbital untuk kejang tonik-klonik, diazepam untuk status epileptikus, lorazepam untuk status epileptikus, midazolam untuk status epileptikus (masih dalam penelitian), klonazepam untuk kejang mioklonik, etosuksimid untuk kejang absence, asam valproat untuk kejang tonik-klonik dan kejang mioklonik serta kejang absence dan parsial, felbamat untuk kejang parsial, gabapentin untuk kejang parsial, lamotrigin untuk kejang parsial, okskarbazepin untuk kejang parsial, tiagabin untuk kejang parsial, topiramat untuk kejang parsial, zonisamid kejang parsial.
¨ Masalah kejang dan epilepsi sangat penting untuk diungkapkan karena masalah ini sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita.

5. DAFTAR PUSTAKA
Burns, D. K., V. Kumar. 2007. Sistem Saraf. Dalam: Kumar, V., R. S. Cortran, dan S. L. Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 903-948.
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Aktivitas Otak-Tidur, Gelombang Otak, Epilepsi, Psikosis. Dalam: Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 777-786.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Reseptor-Reseptor Sensorik; Rangkaian Saraf untuk Mengolah Informasi. Dalam: Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 597-610.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Susunan Sisitem Saraf; Fungsi Dasar Sinaps, “Substansi Transmiter”. Dalam: Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 580-596.
Lombardo, M. C. 2007. Nyeri. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1157-1166.
Mardjono, M., P. Sidharta. 2008. Dasar-Dasar Pemeriksaan Neurologik Khusus. Dalam: Mardjono, M., P. Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Edisi 5. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat. pp: 415-490.
Ngoerah, I. G. N. D. 1990. Neurologi Klinis. Dalam: Ngoerah, I. G. N. D. 1990. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Universitas Airlangga Press. pp: 179-203.





Sunday, October 12, 2008

LAPORAN TIA DAN STROKE

1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tubuh bukan semata-mata “kantung saraf”, melainkan benar-benar berisi ribuan kilometer benang berwarna pucat dan licin berkilat. Saraf membawa denyut elektris kecil yang dikenal sebagai sinyal-sinyal saraf atau pesan neuron. Sinyal tersebut membentuk jaringan yang mengirim informasi yang luas yang mencapai setiap bagian, hampir seperti internet yang ada di dalam tubuh. Setiap saraf merupakan berkas yang terdiri atas bagian-bagian saraf yang jauh lebih tipis yang disebut serat-serat saraf. Seperti kawat-kawat pada kabel telepon, serat ini membawa sendiri sinyal saraf bermuatan listrik yang sangat kecil. Sebuah sinyal saraf umumnya mempunyai kekuatan 0,1 Volt (seperlima belas kekuatan sebuah baterai senter). Sinyal saraf yang paling lambat berjalan kira-kira setengah meter per detik, sedangkan yang paling cepat berjalan di atas 100 meter per detik. Semua sinyal saraf serupa, tetapi ada dua jenis utama, tergantung pada tujuan sinyal tersebut. Sinyal saraf sensorik berjalan dari reseptor yang ada di permukaan tubuh (misalnya mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit) ke system saraf pusat. Dan sinyal saraf motorik berjalan dari otak ataupun sususnan saraf pusat lainnya menuju ke otot-otot dan kelenjar sebagai efektornya.
Otak mempunyai ukuran sebesar dua kepalan tangan yang letaknya berdampingan. Otak merupakan tempat berpikir, belajar, memecahkan masalah, mengingat, merasa senang dan sedih, merasa heran, merasa khawatir, munculnya gagasan-gagasan, tidur, dan bahkan bermimpi. Otak terlihat seperti gumpalan jeli yang berkerut-kerut berwarna abu-abu sampai dengan merah muda. Berat rata-rata otak adalah sekitar 1,4 kilogram. Otak tidak bergerak, tetapi aktivitas sarafnya yang menakjubkan menghabiskan seperlima dari semua energi yang dibutuhkan tubuh. Bagian utama otak adalah bagian atasnya yang menonjol dan berkerut, yaitu serebrum (otak besar). Berbagai daerah pada permukannya (cortex cerebri) berkaitan dengan sinyal saraf ked an dari berbagai bagian tubuh. Misalnya, pesan-pesan dari mata disampaikan ke lobus occipitalis (bagian belakang/posterior otak agak inferior), yang merupakan pusat visual. Pesan-pesan tersebut dipisahkan di bagian ini ketika sel-sel otak menetukan apa yang sedang dilihat oleh mata. Ada juga bagian-bagian untuk menyentuh, mendengar, mengecap, dan proses-proses tubuh lainnya.
Serebelum (otak kecil) adalah bagian yang berkerut dan bundar di bagian belakang otak. Bagian ini mengolah pesan-pesan dari pusat motor, memisah-misahkan dan mengaturnya dengan sangat rinci, untuk dikirimkan ke ratusan otot tubuh. Dengan inilah kita belajar gerakan yang terlatih dan seksama seperti menulis, bermain papan luncur, atau bermain musik, dan hamper tanpa berpikir.
Batak otak (truncus cerebri) merupakan bagian otak sebelah bawah, tempat bertemu dengan saraf utama tubuh/saraf pusat tubuh yang lain, yaitu sumsum tulang belakang (medulla spinalis). Batang otak mengontrol proses-proses dasar yang penting bagi kehidupan, seperti bernapas, denyut jantung, mencerna makanan, dan membuang kotoran.
Otak benar-benar mempunyai “gelombang otak”. Setiap detik otak menerima, memisah-misahkan, dan mengirim jutaan sinyal saraf. Bantalan khusus yang ditempelkan pada kepala bisa mendeteksi denyut elektris yang sangat kecil ini. Denyut ini ditampilkan pada sebuah layar atau carikan kertas dengan bentuk garis-garis bergelombang, yang disebut electro-encephalogram.
Dari skenario 1 Blok Neurologi, ada beberapa masalah penting, yaitu :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Pasien laki-laki, usia 48 tahun diantar ke Rumah Sakit untuk memeriksakan keadaanya.
- Diceritakan oleh istrinya bahwa tadi pagi pasien tiba-tiba jatuh setelah bangun tidur (kurang lebih 8 jam sebelum masuk rumah sakit), kemudian anggota gerak sebelah kanan terasa kesemutan, tidak bisa digerakkan, dan berbicara pelo.
- Tidak ada riwayat nyeri kepala, penurunan kesadaran, maupun muntah.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- Sebelum masuk Rumah Sakit ini tadi, 2 hari yang lalu, pasien tiba-tiba sulit bicara dan kemudian bisa sembuh sendiri tanpa pertolongan dokter.
- Sebelumnya, memang pasien sudah pernah mengalami hal serupa yang diderita sekitar 1 tahun yang lalu, dan mondok di Rumah Sakit selama 1 minggu. Setelah mondok, pasien sering lupa terhadap nama anaknya dan sering berulang-ulang menanyakan hal yang sama (padahal pertanyaan tersebut sudah dijawab).
- Dan sudah sekitar 4 tahun ini penderita teratur kontrol di Puskesmas dan diberi obat untuk tekanan darah tinggi.
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Penderita memiliki kebiasaan buruk, berupa merokok, suka makan makanan berlemak, dan kurang berolahraga.
- Penderita telah disarankan untuk berhenti merokok, tetapi saran tersebut tidak pernah diindahkannya.
- Dan sekarang penderita disarankan rawat inap serta pasien mempertanyakan keadaannya apakah dirinya bisa sembuh kembali.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas, antara lain :
a. TIA (Transcient Ischemic Attack)
b.Stroke
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Mengetahui gejala-gejalanya lebih lanjut dan penatalaksanaannya.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem kerja saraf dan penyelesaiaannya dalam masyarakat.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan anatomi, fisiologi, dan histologi dari sistem saraf pusat dan tepi serta sistem saraf kranial.
b. Menjelaskan klasifikasi, kausa, patoenesis, patofisiologi dari kelainan pada sistem saraf pusat dan tepi.
c. Menjelaskan dasar-dasar diagnosis kelainan sistem saraf pusat dan tepi.
d. Menjeaskan macam-macam cara disgnosis kelainan sistem saraf pusat dan tepi.
e. Menjelaskan penatalaksanaan, prognosis, dan rehabilitasi pada penderita kelainan sistem saraf pusat dan tepi.
f. Melakukan pemeriksaan sistem saraf pusat dan tepi.
g. Menyususn data dari symptom, pemeriksaan fisik, prosedur klinis, dan pemeriksaan laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis penyakit susunan saraf.
h. Merancang tindakan preventif penyakit susunan saraf dengan mempertimbangkan factor pencetus.
i. Menjelaskan cara pencegahan komplikasi penyakit susunan saraf.
j. Melakukan penyuluhan kesehatan tentang penyakit susunan saraf dalam rangka upaya preventif dan promotif.
k. Menggunakan teknologi informasi untuk mencari informasi terkini mengenai penyaki susunan saraf.
l. Merancang manajemen penyakit susunan saraf.

2. TINJAUAN PUSTAKA
A. TIA (Transcient Ischemic Attact)
Adalah bentuk dari serangan-serangan defisit neurologik yang mendadak dan singkat akibat iskemia otak fokal yang cenderung membaik dengan kecepatan dan tingkat penyembuhan bervariasi tetapi biasanya dalam 24 jam. Serangan-serangan ini dapat menimbulkan beragam gejala, bergantung pada lokasi jaringan otak yang terkena, dan disebabkan oleh gangguan vaskular yang sama dengan yang menyebabkan stroke. TIA adalah hal yang penting karena merupakan peringatan dini akan kemungkinan infark serebrum di masa mendatang. Terdapat juga RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit) adalah TIA dengan tanda-tanda yang berlangsung lebih dari 24 jam. Biasanya disebabkan oleh stenosis aterosklerotik sebuah arteria karotis. (Burns, 2007)
Ada tanda dan gejala yang timbul yang khas menunjukkan adanya TIA. Meredup atau hilangnya penglihatan secara transien di satu mata (amaurosis fugaks) disebabkan oleh terhentinya aliran darah melalui A. ophtalmica (cabang dari A. carotis interna) yang memvaskularisasi arteri-arteri retina. Adanya stenosis karotis yang disebabkan oleh plak aterosklerotik, mikroembolus dari plak aterosklerotik, atau menurunnya curah jantung dapat menyebabkan kurang adekuatnya perfusi ke otak sehingga menimbulkan gejala tersebut. Ada juga tanda yang paling utama, yaitu apabila TIA sudah mengenai sistem vertebrobasilar, maka nantinya akan terjadi kelemahan bilateral, gangguan penglihatan, pusing bergoyang, dan sering jatuh mendadak. Serangan-serangan mungkin memberikan gambaran yang sama, atau secara terinci cukup bervariasi, walaupun pola dasarnya tetap sama. Semakin sering frekuensi TIA, semakin besar probabilitas terjadinya stroke di kemudian hari. (Hartwig, 2007)
Ada juga suatu bentuk TIA yang merupakan bentuk klasik dari obstruksi di arteri ekstrakranium yang mengganggu aliran darah melalui sistem A. vertebrobasilaris. Apabila arteria subklavia tersumbat dekat pangkalnya, aliran darah ke A. vertebralis dapat terbalik sehingga darah mengalir menjauhi A. basilaris dan Circulus Arteriosus Willisi untuk memvaskularisasi daerah lengan dengan mengorbankan vaskularisasi otak. Tempat tersering obstruksi (biasanya disebabkan oleh aterosklerosis) adalah di A. subclavia sinistra, dekat pangkal A. vertebralis sinistra. Saat lengan kiri beraktivitas, darah dialihkan dari A. vertebralis dextra ke A. vertebralis sinistra tempat arah aliran retrograd sehingga terjadi iskemia seebrum. (Hartwig, 2007)
B. Stroke
Stroke atau penyakit serebrovaskular adalah setiap gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak. Stroke digunakan sebagai istilah spesifik untuk menjelaskan infark serebrum. (Hartwig, 2007)
Gangguan pasokan aliran darah ke otak bias terjadi di mana saja di dalam arteri-arteri yang membentuk Circulus Arteriosus Willisi (A. carotis interna dan A. vertebrobasilar beserta cabang-cabangnya). Secara umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15-20 menit, akan mengakibatkan terjadinya infark atau kematian jaringan. Proses patologik yang mendasari mungkin bisa merupakan salah satu dari berbagai proses yang terjadi di dalam pembuluh darah yang memvasklarisasi otak. Patologinya, bisa berupa keadaan penyakit pada pembuluh itu sendiri (misalnya pada aterosklerosis dan thrombosis, robeknya diniding pembuluh darah, atau peradangan), berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah (misalnya pada syok, hiperviskositas darah), gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung atau pembuluh ekstrakranium, dan yang terakhir adanya rupture vaskular di dalam jaringan otak atau pada spatium subarachnoidea. (Hartwig, 2007)
Stroke iskemik (sekitar 80%-85% terjadi dalam kasus stroke), disebabkan oleh adanya obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi bisa disebabkan oleh bekuan (trombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal. Pada trombus vaskular distal, bekuan dapat terlepas, atau mungkin terbentuk di dalam suatu organ seperti jantung dan kemudian dibawa melalui sistem arteri ke otak sebagai suatu embolus. Terdapat beragam penyebab stroke trombotik dan embolik primer, termasuk aterosklerosis, arteritis, keadaan hiperkoagulasi, dan penyakit jantung struktural. Sumbatan aliran darah di A. carotis interna sering merupakan penyebab stroke pada orang berusia lanjut, yang sering mengalami pembentukan plak aterosklerotik di pembuluh darah sehingga terjadi penyempitan atau stenosis. Ada banyak subtipe stroke iskemik, antara lain stroke lakunar, stroke trombotik pembuluh besar, stroke embolik, dan stroke kriptogenik. (Hartwig, 2007)
Stroke lakunar, adanya infark lakunar yang terjadi karena penyakit pembuluh halus hipertensif dan menyebabkan sindrom stroke yang biasanya muncul dalam beberapa jam atau kadang-kadang lebih lama. Infark lakunar merupakan infark yang terjadi setelah oklusi aterotrombotik atau hialin-lipid salah satu dari cabang-cabang arteri penetrans Circulus Arteriosus Willisi, A. cerebri media, atau A. vertebralis dan A. basilaris. (Hartwig, 2007)
Stroke trombotik pembuluh besar, merupakan thrombosis pembuluh besar dengan aliran lambat. Sebagian besar dari stroke ini terjadi saat tidur, saat pasien relative mengalami dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun. Stroke ini sering berkaitan dengan lesi aterosklerotik yang menyebabkan penyempitan atau stenosis di A. carotis interna atau, yang lebih jarang, di pangkal A. cerebri media atau di taut A. vertebralis dan A. basilaris. Penderita dengan stroke ini tampak gagap, dengan gejala hilang timbul berganti-ganti secara cepat. Para pasien ini mungkin sudah mengalami beberapa kali serangan TIA tipe lakunar sebelum akhirnya mengalami stroke. Pelannya aliran arteri yang mengalami trombosis parsial adalah defisit perfusi yang dapat terjadi pada reduksi mendadak curah jantung atau tekanan darah sistemik. (Hartwig, 2007)
Stroke embolik, diklasifikasikan berdasarkan arteri yang terlibat (misalnya, stroke A. vertebralis) atau asal embolus. Sumber tersering terjadinya stroke ini adalah trombus mural jantung (misalnya infark miokardium, fibrilasi atrium, penyakit katup jantung, katup jantung buatan, dan kardiomiopati iskemik). Penyebab tersering yang kedua adalah tromboemboli yang berasal dari arteri, terutama plak ateromatosa di A. carotis. Stroke yang terjadi akibat embolus biasanya menimbulkan defisit neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit. Biasanya serangan terjadi saat pasien beraktivitas. Biasanya stroke akibat embolus ini berupa stroke kardioembolik. (Hartwig, 2007)
Stroke kriptogenik, merupakan stroke yang disebabkan oleh adanya oklusi mendadak pembuluh intrakranium besar tanpa penyebab yang jelas. Disebut kriptogenik karena sumernya tersembunyi, bahkan setelah dilakukan pemeriksaan diagnostic dan evaluasi klinik yang ekstensif. (Hartwig, 2007)
Stroke hemoragik, adalah suatu bentuk stroke yang disebabkan oleh adanya perdarahan intracranial. Hal ini bisa diakibatkan oleh adanya lesi vaskular anatomik, hipertensi, gangguan perdarahan, pemberian antikoagulan yang terlalu agresif (terutama pada pasien usia lanjut, dan pemakaian amfetamin dan kokain intranasal. Subtipe dari stroke hemoragik dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu perdarahan intraserebrum (parenkimatosa) hpertensif dan perdarahan subaraknoid. (Hartwig, 2007)
Perdarahan intraserebrum (parenkimatosa hipertensif), perdarahan ini paling sering disebabkan oleh adanya cedera vaskular yang dipicu oleh hipertensi dan rupture salah satu dari banyak arteri kecil yang menembus jauh ke dalam jaringan otak. Jika perdarahan terjadi pada pasien nonhipertensi, perlu dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan untuk mengetahui kausa lain seperti gangguan perdarahan, malformasi arteriovena, dan tumor yang menyebabkan erosi. Karena lokasinya berdekatan dengan arteri-arteri dalam, basal ganglia dan kapsula interna sering menerima beban terbesar tekanan dan iskemia yang disebabkan oleh stroke tipe ini. Hal ini menyebabkan perdarahan di bagian dalam jaringan otak menyebabkan defisit neurologik fokal yang cepat dan memburuk secara progresif dalam beberapa menit sampai kurang dari 2 jam. Infark serebrum setelah embolus di arteri otak mungkin terjadi sebagai akibat dari perdarahan bukan sumbatan oleh embolus itu sendiri. Alasannya adalah bahwa, apabila embolus lenyap atau dibersihkan dari arteri, dinding pembuluh darah setelah tempat oklusi mengalami perlemahan selama beberapa hari pertama setelah oklusi. Dengan demikian, selama waktu ini bisa terjadi kebocoran atau perdarahan dari dinding pembuluh darah yang melemah ini. Karena itu, hipertensi perlu dikendalikan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada minggu-minggu pertama setelah stroke embolik. (Hartwig, 2007)
Perdarahan subaraknoid, ada 2 kasus utama, yaitu ruptur aneurisma vaskular dan trauma kepala. Angka kematian pada perdarahan ini bisa sangat tinggi karena perdarahan dapat masif dan ekstravasasi darah ke dalam ruang subaraknoid lapisan meningen bisa berlangsung cepat. Penyulit-penyulit utama dari kasus stroke akibat perdarahan subaraknoid ada 4 macam, yaitu vasospasme reaktif disertai infark, ruptur ulang, hiponatremia, dan hidrosefalus. (Hartwig, 2007)
Gejala dan tanda dari stroke bisa muncul beragam. Tanda utamanya adalah munculnya secara mendadak satu atau lebih defisit neurologik fokal. Defisit bisa mengalami perbaikan dengan cepat, mengalami perburukan progresif atau menetap. Gambaran stroke selanjutnya adalah aktivitas kejang. Gejala umum berupa lemas mendadak di wajah, lengan atau tungkai, terutama di salah satu sisi tubuh; gangguan penglihatan seperti penglihatan ganda atau kesulitan melihat pada satu atau kedua mata; bingung mendadak; tersandung selagi berjalan, pusing bergoyang, hilangnya keseimbangan atau koordinasi; dan nyeri kepala mendadak tanpa kausa yang jelas. (Hartwig, 2007)

3. DISKUSI DAN BAHASAN
Dalam skenario terdapat beberapa masalah yang perlu dibahas dalam bagian ini.
Keadaan sulit bicara dalam skenario tersebut diakibatkan adanya kerusakan atau lesi pada n. hypoglossus. Lesi ini sering terletak di bagian perifer sehingga atrofi otot-otot lidah cepat terjadi. Garis tengahnya menjadi cekung dan belahan lidah yang lumpuh menjadi tipis dan keriput sehingga menjadi pelo. Penyebab dari pelo ini bisa bermacam-macam. Bisa kelumpuhan UMN (upper motor neuron) unilateral, kelumpuhan UMN bilateral, dan adanya hemiparesis serta kelumpuhan unilateral LMN (lower motor neuron). Jika terjadi kelumpuhan UMN unilateral, lidah akan menyimpang ke sisi yang lumpuh saat lidah dikeluakan. Pelo juga bisa terjadi akibat hemiparesis tetapi gangguan artikulasi lidah bisa hilang. Namun jika terjadi kelumpuhan unilateral pada LMN, pelo tidak bisa sembuh sendiri dan penderita akan tetap pelo.
Dalam hal ini, kemampuan fungsi bicara (disartria) juga disebabkan oleh kerusakan serebelum. Kemampuan manusia untuk merencanakan dan mengadakan pola gerakan yang berurutan, terutama dalam hal bicara, diatur oleh fungsi dari bagian serebroserebelum yang merupakan zona lateral kedua hemispherium cerebelli manusia. Jika terdapat kerusakan pada bagian lateral hemispherium cerebelli sepanjang nuklei dalam, nukleus dentatus, bisa terjadi inkoordinasi yang ekstrim dari gerakan-gerakan yang kompleks yang bertujuan untuk mempengaruhi alat bicara. Bagaimana mekanisme hal tersebut, sukar dimengerti karena kurangnya hubungan langsung antara bagian serebelum ini (serebroserebelum) dengan korteks motorik primer pada korteks serebri. Bagian serebelum ini memiliki 2 fungsi penting, yaitu perencanaan gerakan yang beruntun dan fungsi pengaturan waktu untuk berpindah dari suatu gerakan ke gerakan berikutnya. Dalam hal perencanaan gerakan yang beruntun, terdapat hubungan antara zona lateral hemispherium cerebelli dengan bagian premotorik dan bagian sensorik korteks serebri. Terdapatnya hubungan timbal balik atau 2 jalur antara daerah korteks serebri dengan daerah di ganglia basalis juga ikut mempengaruhi kemampuan bicara. Rencana gerakan beruntun dimulai dari rencana yang disalurkan dari area sensorik dan area premotorik korteks serebri ke zona lateral hemispherium cerebelli, selama perjalanan rencana-rencana tersebut akan ada sinyal motorik yang sesuai yang berguna untuk menyediakan transisi yang sesuai dari gerakan pertama ke gerakan berikutnya.
Lokasi dalam berbicara dan berartikulasi dipengaruhi oleh gerakan otot-otot mulut, lidah, laring, pita suara, dan sebagainya yang bertanggung jawab untuk intonasi, waktu dan perubahan intensitas yang cepat dari urutan suara. Regio fasial, regio laringeal korteks motorik akan mengaktifkan otot-otot ini, sedangkan serebelum, ganglia basalis dan korteks sensorik semuanya membantu dalam pengaturan urutan dan intensitas kontraksi otot.
Pada keadaan disartria, terdapat gangguan gerakan maju saat bicara, karena pembentukan kata-kata bergantung pada kecepatan dan urutan rangkaian gerakan otot pada laring, mulut, dan sistem pernafasan. Gangguan koordinasi di antara gerakan otot ini dan ketidak mampuan untuk selanjutnya menyesuaikan intensitas suara atau lamanya setiap rentetan suara, akan berakibat pada vokalisasi yang campur aduk, dengan beberapa pengucapan penggalan kata secara keras, beberapa pengucapannya secara lemah, kemudian seperti tertahan dalam waktu lama, beberapa tertahan dalam waktu singkat, dan bahkan suara-suara yang keluar kadang tidak bisa dipahami.
Pada keadaan TIA, kesulitan berbicara bisa sembuh sendiri. Hal ini karena smbatan berupa emboli dapat terurai dan terus mengalir sepanjang pembuluh darah sehingga gejala-gejala, seperti sulit berbicara, tiba-tiba bisa sembuh sendiri. Namun, apabila fragmen embolus kemudian tersangkut di sebelah hilir dan nantinya akan menimbulkan gejala fokal.
Adanya kesemutan setelah jatuh mendadak merupakan masalah penting untuk dibahas dalam bagian ini. Kesemutan atau yang disebut juga sebagai parestesia berarti perasaan yang timbul secara spontan, tanpa ada perangsangan. Di dalam skenario terdapat ksemutan di ekstremitas kanan, hal ini disebut hemihipestesia atau hipestesia sesisi. Hal ini terjadi karena korteks sensorik primer tidak menerima impuls sensorik dari belahan tubuh kontralateral. Infark yang menduduki seluruh crus posterior capsula interna sesisi, mengakibatkan hemiplegia kontralateral yang disertai hemihipestesia kontralateral juga. Infark tersebut terjadi karena penyumbatan A. lenticulostriata. Bila yang tersumbat cabang kecil dari kelompok A. lenticulostriata saja maka mungkin bagian di ujung belakang crus posterior capsula interna saja yang infark. Dalam hal tersebut hanya terjadi hemihipestesia kontralateral, tanpa hemiplegia.
Adanya kelumpuhan sesisi (hemiparalisis/hemiplegia/hemiparesis) pada sisi kanan mengarah pada adanya kerusakan hemispherium sisi kiri. Hal ini kerena memang salah satu ciri otak dalam pengendalian sensorik dan motorik, yaitu bahwa setiap hemispherium cerebri terutama mengurus sisi tubuh yang letaknya kontralateral.
Bagaimana jatuh mendadak bisa terjadi akan dijelaskan sebagai berikut. Jatuh mendadak bisa disebabkan oleh kemungkinan gangguan penglihatan sehingga pasien tidak jelas dalam penglihatannya saat berjalan. Hal ini termasuk dalam kejadian TIA. Meredup atau hilangnya penglihatan secara transien di satu mata (amaurosis fugaks) disebabkan oleh terhentinya aliran darah melalui A. ophtalmica (cabang dari A. carotis interna) yang memvaskularisasi arteri-arteri retina. Apabila TIA sudah mengenai sistem vertebrobasilar, maka nantinya akan terjadi kelemahan bilateral, gangguan penglihatan, pusing bergoyang, dan sering jatuh mendadak.
Dalam skenario memang tidak ada riwayat nyeri kepala, muntah, maupun penurunan kesadaran. Namun, ada baiknya jika mekanisme terjadinya nyeri kepala, muntah, dan penurunan kesadarn juga dibahas dalam bagian ini. Ketiga tanda tersebut akan muncul bersamaan jika terdapat kenaikan tekanan intrakranial, misalnya pada hidrosefalus, pendesakan ruangan intrakranial oleh tumor, dan adanya genangan LCS, darah, ataupun pus.
Nyeri kepala bisa disebabkan oleh beberapa hal, antara lain oleh karena peregangan atau pergeseran pembuluh darah (intrakranium atau ekstrakranium), traksi pembuluh darah, kontraksi otot kepala dan leher (kerja berlebihan otot), defisiensi enkefalin (peptida otak mirip opiat, merupakan bahan aktif pada endorfin), dan juga jika terdapat degenerasi spinacervicalis atas disertai kompresi pada akar nervus cervicalis (misalnya pada artritis vertebra cervicalis). Sebenarnya otak tidak memiliki reseptor nyeri atau nosiseptor, jadi jika terdapat nyeri kepala, perlu dicurigai keterlibatan pembuluh darah intrakranial atau ekstrakranial karena pembuluh darah sangat banyak mengandung reseptor nyeri.
Terjadinya muntah diawali dengan adanya sinyal sensoris yang berasal dari faring, esofagus, lambung, dan bagian atas usus halus. Impuls saraf kemudian ditransmisikan, baik oleh serabut saraf aferen vagal maupun oleh saraf simpatis ke berbagai nukleus yang tersebar di batang otak (tepatnya di medulla oblongata) yang semuanya secara bersama-sama disebut ”pusat muntah”. Dari sini impuls-impuls motorik yang menyebabkan muntah sesungguhnya ditransmisikan dari pusat muntah melalui jalur n. cranialis (n. V, n. VII, n. IX, n. X, n. XII) ke tractus gastrointestinal bagian atas, melalui saraf vagus dan simpatis ke traktus yang lebih bawah dan melalui nervus spinalis ke diafragma dan otot abdomen.
Penurunan kesadaran adalah derajat kesadaran dalam keadaan tidur secara berlebihan, atau hipersomnia dan berbagai macam keadaan yang menunjukkan daya bereaksi di bawah derajat waspada (bukan bentuk dari gangguan mental). Sadar secara normal dapat berarti adanya substansia retikularis yang mengandung lintasan aspesifik difus. Melalui lintasan ini seluruh korteks serebri kedua sisi menerima impuls aferen aspesifik. Dan koma (penurunan kesadaran pada derajat terendah) akan terjadi jika korteks serebri kedua sisi tidak lagi menerima impuls aferen aspesifik tersebut. Gangguan yang dapat menimbulkan gangguan kesadaran, antara lain adalah gangguan di substansia retikularis bagian batang otak yang paling rostral dan gangguan difus pada kedua hemispherium. Sedangkan kualitas kesadaran ditentukan oleh pengolahan integratif input sensorik difus (melalui sistem ascendens difus) dan input sensorik spesifik (melalui jaras spinothalamicus).
Dalam skenario, diceritakan bahwa penderita sering merokok, makan makanan berlemak dan kurang berolahraga. Hal-hal ini meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis yang merupakan pembentukan deposit-deposit plak kekuningan yang mengandung kolesterol, bahan lipid, dan lipofag yang terbentuk dalam tunika intima dan tunika media interna arteri besar dan sedang. Bentukan-bentukan tersebut pada dasarnya berasal dari timbunan lemak yang berlebih yang tidak dibakar oleh tubuh.
Yang menarik, ternyata dislipidemia belum terbukti berkaitan dengan peningkatan risiko stroke, kecuali apabila yang bersangkutan juga mengidap penyakit jantung koroner (PJK). Bagi pengidap PJK, terdapat hubungan yang jelas antara meningkatnya kadar lemak dan risiko prospektif terjangkit stroke dan serangan iskemik transien (TIA) untuk masing-masing dari yang berikut: kolesterol total, LDL, dan trigliserida. Pada HDL, terdapat hubungan yang terbalik. Walaupun secara keseluruhan tidak terdapat korelasi antara stroke dan kadar lemak yang tinggi, dua penelitian membuktikan bahwa pemberian obat statin penurun lemak kepada orang yang diketahui mengidap PJK dapat mengurangi risiko mereka mengalami stroke.
Penderita sering lupa, mengarah pada keadaan demensia. Demensia sendiri disebabkan oleh kerusakan otak sekitar 50-100 gram dan bisa terjadi di bagian otak mana saja. Kerusakan otak ini bisa terjadi karena adanya infark di bagian otak. Infark ini bisa dikarenakan adanya sumbatan atau aterosklerosis tadi sehingga beberapa bagian otak tidak mendapatkan vaskularisasi yang memadahi.
Penderita mengalami hipertensi. Keadaan hipertensi bisa berakibat fatal karena sebagian besar kasus stroke hemoragik disebabkan oleh hipertensi. Pada stroke hemoragik karena tingginya tekanan pada dinding pembuluh darah, lama kelamaan akan berakibat pada rupturnya pembuluh darah tersebut. Namun, hipertensi juga bisa berakibat pada stroke iskemik karena hipertensi berakibat pada kekakuan dinding arteri sehingga terjadi vasokonstriksi yang ekstrim (vasospasme) yang bisa mempersempit ruang pembuluh darah sehingga lama kelamaan pembuluh darah akan menyempit dan akan terjadi sumbatan pada pembuluh darah tersebut.
Namun penurunan tekanan darah mendadak pada penderita hipertensi bisa berakibat fatal. Penurunan mendadak tekanan tersebut dapat menyebabkan penurunan generalisata CBF (Cerebral Blood Flow), iskemia otak, dan stroke. Dengan demikian, hipertensi nonsimtomatik, terutama pada pasien berusia lanjut, harus diterapi secara hati-hati dan cermat karena penurunan mendadak tekanan darah dapat memicu stroke atau iskemia arteria koronaria atau keduanya. Hal ini merupakan alasan mengapa terapi berobat jalan tekanan darah tingi dengan obat-obat yang bekerja cepat (misalnya nifedipin) di bawah lidah dikontraindikasikan. Jadi untuk obat-obat antihipertensi yang kuat dapat menimbulkan iskemia serebrum apabila menyebabkan penurunan mendadak tekanan darah.
Penatalaksanaan yang tepat untuk kasus stroke ada berbagai macam, misalnya neuroproteksi. Neuroproteksi dilakukan dengan mempertahankan fungsi jaringan melalui keadaan hipotermia. Terapi ini sangat tepat untuk jenis stroke iskemik akut. Hipotermia dalam penanganan neuroproteksi sudah lama digunakan pada kasus trauma otak dan terus diteliti pada kasus stroke. Cara kerja metode ini adalah menurunkan aktivitas metabolisme dan tentu saja kebutuhan oksigen sel-sel neuron. Dengan demikian, neuron terlindung dari kerusakan lebih lanjut akibat hipoksia berkepanjangan atau eksitotoksisitas yang dapat terjadi akibat jenjang glutamat yang biasanya timbul setelah cedera sel neuron.
Penatalaksanaan secara medis lainnya adalah dengan pemberian antikoagulan, trombolisis intravena menggunakan TPA (Tissue Plasminogen Activator) bentuk rekombinan, terapi perfusi, pengendalian edema, dan lain sebagainya. Ada juga terapi berupa trombolisis intraarteri tetapi terapi ini belum boleh digunakan karena masih dalam tahap penelitian. Terapi perfusi merupakan suatu upaya untuk memulihkan sirkulasi otak pada kasus vasospasme saat pemulihan dari perdarahan subaraknoid dan pernah diusahakan induksi hipertensi sebagai usaha untuk meningkatkan tekanan darah arteri rata-rata sehingga perfusi otak dapat meningkat. Pada pengendalian edema, terapi ini digunakan karena edema otak terjadi pada sebagian besar kasus infark serebrum iskemik, terutama pada keterlibatan pembuluh-pembuluh besar di daerah A.cerebri media. Dan terapi konservatifnya dengan membuat pasien sedikit dehidrasi, dengan natrium serum normal atau sedikit meningkat. Terapi-terapi tersebut digunakan untuk jenis stroke akibat sumbatan pembuluh darah (sebagian besar etiologi dari stroke iskemik).
Prognosis stroke iskemik lebih baik daripada stroke hemoragik karena dengan menghilangkan trombus atau sumbatan pembuluh darah pada stroke iskemik, maka penderita akan pulih kembali walaupun tidak sebaik seperti saat keadaan sebelum terkena stroke. Jika stroke hemoragik, karena pembuluh darah sudah ruptur/pecah, maka keadaan ini tidak bisa dipulihkan. Pemulihan keadaan ini tidak hanya diperlukan terapi obat-obatan tetapi juga diperlukan rehabilitasi medik untuk melatih ekstremitas yang lumpuh menjadi bisa digunakan untuk hal-hal lainnya dan yang paling penting adalah melatih penderita untuk mejadi sedikit lebih mandiri.

4. KESIMPULAN
¨ Hal yang aneh yang terjadi pada pasien laki-laki berusia 48 tahun tersebut adalah jatuh setelah bangun tidur tetapi kemudian anggota gerak tubuh kanan kesemutan, tidak bisa digerakkan dan bicaranya pelo. Dan dahulu pernah (2 hari yang lalu), penderita mengalami kesulitan berbicara tetapi tiba-tiba sembuh sendiri tanpa pertolongan dokter. Riwayat penyakit serupa juga pernah diderita 1 tahun yang lalu yang menyebabkan penderita mondok tetapi setelah itu penderita sering lupa.
¨ Penderita mengalami hipertensi dan kontrol ke dokter sudah selama 4 tahun ini. Mungkin hipertensi ini menjadi penyebab dari penyakit yang diderita penderita.
¨ Sebelum penderita mengalami stroke akibat beberapa hal (hipertensi, merokok, makan makanan berlemak, dan kurang olahraga), penderita mengalami TIA yang tiba-tiba bisa sembuh sendiri.
¨ Stroke secara garis besar dibagi menjadi 2 macam, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke iskemik disebabkan oleh adanya sumbatan pembuluh darah ke otak. Stroke hemoragik disebabkan oleh rupturnya pembuluh darah yang memvaskularisasi otak.
¨ Tanda dan gejala umum stroke adalah diawali dari TIA, misalnya tiba-tiba jatuh, gangguan penglihatan, tiba-tiba sulit bicara. Jika sudah stroke tanda yang paling khas adalah terjadinya hemiparestesia dan hemiparesis. Pada skenario, kemungkinan terbesar adalah terjadinya lesi/infark pada bagian hemispherium cerbri sinister karena penderita mengalami hemiparesis kanan.
¨ Terapi stroke antara lain adalah neuroproteksi, pemberian antikoagulan, trombolisis intravena, terapi perfusi, dan rehabilitasi medik.
¨ Prognosis stroke iskemik lebih baik daripada stroke hemoragik. Dan masalah dalam skenario, ada kemungkinan besar pasien bisa sembuh kembali (apabila menderita stroke iskemik) karena pasien belum terlambat mendapat penanganan (8 jam setelah kejadian langsung mendapatkan penanganan medis).
¨ Masalah stroke dan TIA sangat penting untuk diungkapkan karena masalah terjadi di seluruh daerah dengan gaya hidup yang berubah. Gaya hidup ini adalah gaya hidup merokok, makan makanan berlemak, dan kurang berolahraga.

5. DAFTAR PUSTAKA
Burns, D. K., V. Kumar. 2007. Sistem Saraf. Dalam: Kumar, V., R. S. Cortran, dan S. L. Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 903-948.
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Fisiologi Gangguan Gastrointestinal. Dalam: Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 860-867.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Kontribusi Serebelum dan Ganglia Basalis pada Seluruh Pengaturan Motorik. Dalam: Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 733-749.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Korteks Serebri, Fungsi Intelektual Otak, Proses Belajar dan Mengingat. Dalam: Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 750-764.
Hartwig, M. S., L. M. Wilson. 2007. Nyeri. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1063-1104.
Hartwig, M. S. 2007. Penyakit Serebrovaskular. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1105-1132.
Mardjono, M., P. Sidharta. 2008. Kesadaran dan Fungsi Luhur. Dalam: Mardjono, M., P. Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Edisi 5. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat. pp: 183-218.
Mardjono, M., P. Sidharta. 2008. Patofisiologi Somestesia. Dalam: Mardjono, M., P. Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Edisi 5. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat. pp: 81-112.