Tuesday, March 24, 2009

APENDISITIS DAN PENYAKIT-PENYAKIT NYERI ABDOMEN


1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebelum dibahas lebih jauh mengenai radang usus buntu yang dalam bahasa medisnya disebut Appendicitis, maka lebih dulu harus difahami apa yang dimaksud dengan usus buntu. Usus buntu, sesuai dengan namanya bahwa ini merupakan benar-benar saluran usus yang ujungnya buntu. Usus ini besarnya kira-kira sejari kelingking, terhubung pada usus besar yang letaknya berada di perut bagian kanan bawah.
Usus buntu dalam bahasa latin disebut sebagai Appendix vermiformis, Organ ini ditemukan pada manusia, mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Pada awalnya Organ ini dianggap sebagai organ tambahan yang tidak mempunyai fungsi, tetapi saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh) dimana memiliki/berisi kelenjar limfoid.
Seperti organ-organ tubuh yang lain, appendiks atau usus buntu ini dapat mengalami kerusakan ataupun ganguan serangan penyakit. Hal ini yang sering kali kita kenal dengan nama Penyakit Radang Usus Buntu (Appendicitis).
Untuk pembahasan kali ini, akan dibahas mengenai usus besar dan apendiks dahulu. Pada laporan kali ini akan dibahas bagaimana kerja fisiologis organ tersebut dan bagaimana jika organ-organ tersebut mengalami kelainan berupa radang. Misalnya pada penyakit apendisitis atau bahkan telah menyebar menjadi peritonitis.
Apendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang sering dipakai di masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus buntu sebenarnya adalah sekum. Fungsi organ Apendiks tidak diketahui namun sering menimbulkan masalah kesehatan. Peradangan akut apendiks memerlukan tindak bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya.
Dari skenario 2 Blok Gastrointestinal, ada beberapa masalah penting, yaitu :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Pasien (perempuan usia 17 tahun) datang dengan keluhan nyeri seluruh perut, kembung, dan ada gangguan BAB.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- Satu minggu sebelumnya, seorang pasien perempuan umur 17 tahun datang ke IGD RSUD dr. Moewardi dengan keluhan utama nyeri perut bagian bawah sejak 1 hari yang lalu, disertai mual muntah, tapi masih bisa kentut dan BAB.
- Badan terasa panas, sumer-sumer (subfebril)
- Saat itu, dokter menyarankan untuk operasi tetapi pasien menolaknya.
Ø Riwayat Penyakit Keluarga, berupa:
- (tidak ada data)
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Pada pemeriksaan fisik 1 minggu yang lalu, didapatkan tensi 120/80 mmHg, nadi 86 kali per menit, RR 20 kali/menit, dan suhunya 37,5oC.
- Pemeriksaan abdomen 1 minggu yang lalu diperoleh hasil, inspeksi: sejajar dengan dinding dada; auskultasi: bising usus positif normal; palpasi: nyeri tekan di daerah Mc Burney, defans muskular negatif; Rectal Toucher: tonus spinchter ani normal, mukosa licin, nyeri tekan jam 10-11, sarung tangan lendir/darah negatif, faeces positif.
- Pemeriksaan laboratorium 1 minggu yang lalu adalah Hb 13,5 gr%, leukosit 11.000/dL, Hct 40%, dan neutrofil segmen 85%.
- Pada pemeriksaan fisik saat ini, diperoleh tensi 100/70 mmHg, nadi 120 kali per menit, RR 28 kali/menit, suhu 39oC.
- Pada pemeriksaan abdomen saat ini diperoleh hasil, inspeksi: distensi ringan; auskultasi: bising usus hilang; palpasi: nyeri tekan di seluruh perut, defans muskular positif; Rectal Toucher: tonus spinchter ani menurun, mukosa licin, nyeri tekan di seluruh lapangan, sarung tangan lendir/darah negatif, faeces positif.
- Pemeriksaan laboratorium saat ini diperoleh hasil Hb 13,5 gr%, leukosit 20.000/dL, Hct 42%, neutrofil segmen 85%.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas sebagai dasar teori, antara lain :
a. Anatomi usus besar (intestinum crassum) dan apendiks
b.Histologi usus besar dan apendiks
c. Fisiologi proses pembentukan feses
d. Fisiologi pengaturan defekasi
e. Fisiologi pengaturan dan produksi flatus
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Menegakkan diagnosis melalui berbagai pemeriksaan yang dilakukan.
Ø Mengetahui gejala-gejala penyakit tersebut lebih lanjut.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem pencernaan (sistem gastrointestinal/GIT) dan penyelesaiaannya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu menjelaskan atau merealisasikan:
a. Anatomi, histologi, serta fisiologi saluran pencernaan dan organ asesoris pencernaan.
b. Jenis, fungsi, dan mekanisme kerja enzim dan hormon yang berperanan dalam saluran pencernaan.
c. Penyakit/kelainan yang mengenai saluran cerna dan organ asesoris pencernaan.
d. Konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmu biomedik, klinik, dan perilaku serta ilmu kesehatan masyarakat sesuai dengan pelayanan kesehatan tingkat primer dalam sistem pencernaan.
e. Rangkuman interpretasi anamnesis, pemeriksaan fisik, uji laboratorium, dan prosedur yang sesuai dalam sistem pencernaan.
f. Menentukan efektivitas suatu tindakan dalam sistem pencernaan.
g. Prosedur klinis penunjang diagnosis penyakit GIT.
h. Prosedur keterampilan klinis untuk diagnosis penyakit GIT.
i. Pemeriksaan laboratorium penunjang diagnosis penyakit GIT.
j. Penatalaksanaan/manajemen penyakit GIT.
k. Tindakan preventif penyakit GIT dengan mempertimbangkan faktor pencetus.
l. Pengelolaan penyakit, keadaan sakit, dan masalah pasien dengan gangguan GIT sebagai individu yang utuh, dan bagian dari masyarakat.
m. Pencegahan penyakit dan keadaan sakit dalam bidang pencernaan.
n. Pendidikan kesehatan dalam rangka promosi kesehatan dan pencegahan penyakit pencernaan.
o. Teknologi informasi dan komunikasi untuk membantu pergerakan diagnosis, pemberian terapi, tindakan pencegahan, dan promosi kesehatan, serta penjagaan, dan pemantauan status kesehatan pasien dengan kelainan sistem pencernaan.

2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Umum Usus Besar (Intestinum Crassum) dan Apendiks (Appendix Vermiformis)
Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskuler berongga dengan panjang sekitar 1,5 meter (5 kaki) yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil, yaitu sekitar 6,5 cm (2,5 inci), tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum, melekat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke usus halus. Kolon masih dibagi lagi menjadi kolon asenden, kolon transversum, desenden, dan sigmoid. Tempat kolon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut disebut sebagai fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum, dan hal ini merupakan alasan anatomis mengapa memosisikan penderita ke sisi kiri saat pemberian enema. Pada posisi ini gaya garvitasi membantu mengalirkan air dari rektum ke fleksura sigmoid. Bagian utama usus besar yang terakhir disebut sebagai rektum dan membentang dari kolon sigmoid hingga anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus. (Lindseth, 2007)
Hampir seluruh usus besar memiliki empat lapisan morfologik seperti yang dittemukan pada bagian usus lain. Namun demikian, ada beberapa gambaran yang khas terdapat pada usus besar saja. Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut sebagai taenia koli. Taenia bersatu pada sigmoid distal, sehingga rektum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang taenia lebih pendek daripada usus sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang disebut sebagai haustra. Apendises epiploika adalah kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak dan melekat di sepanjang taenia. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada lapisan mukosa usus halus dan tidak mengandung vili atau rugae. Kripta Liberkuhn (kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai lebih banyak sel goblet dibandingkan dengan usus halus. Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan berdasarkan pada suplai darah yang diterima. Arteria mesenterika superior memvaskularisasi belahan kanan (sekum, kolon asenden, dan dua pertiga proksimal kolon transversum), dan arteria mesemterika inferior memvaskularisasi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon desenden, kolon sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Suplai darah tambahan ke rektum berasal dari arteri hemoroidalis media dna inferior yang dicabangkan dari arteria iliaka interna dan aorta abdominalis. (Lindseth, 2007)
Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior adalah melalui vena mesenterika superior, vena mesenterika inferior, dan vena hemoroidalis superior (bagian sistem portal yang mengalirkan darah ke hati). Vena hemoroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke ke vena iliaka sehingga merupakan bagian sirkulasi sistemik. Terdapat anastomosis antara vena hemoroidalis superior, media, dan inferior sehingga tekanan portal yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya aliran balik ke dalam vena dan mengakibatkan hemoroid. Persarafan usus besar dilakukan oleh sisitem saraf otonom dengan perkecualian sfingter eksterna yang berada dalam pengendalian voluntar. Serabut parasimpatis menuju melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral menyuplai bagian distal. Serabut saraf simpatis meninggalkan medula spinalis melalui saraf splangnikus. Serabut saraf ini bersinaps dalam ganglia seliaka dan aortikorenalis, kemudian serabut pascaganglionik menuju kolon. Rangsangan simpatis menghambat sekresi dan kontraksi, serta merangsang sfingter rektum. Rangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan. (Lindseth, 2007)
B. Histologi Usus Besar dan Apendiks
Pada penampang histologis, lumen apendiks tampak berbentuk bintang atau segitiga yang agak sempit. Tunika mukosa, permukaannya tidak terdapat vili intestinalis, namun dijumpai kriptae Liberkuhn. Tunika dilapisi epitel kolumner selapis dengan sel Goblet. Lamina propria terdiri atas jaringan pengikat longgar dengan banyak sel-sel limfosit tersebar atau berbentuk nodulus solitarius. Lamina muskularis mukosae sukar diikuti. Tunika submukosa disusun jaringan pengikat longgar dengan sel-sel limfosit. Tunika muskularisnya, terdiri atas otot polos dua lapis yang berjalan sirkuler dan longitudinal. Tunika serosa terdiri dari jaringan pengikat longgar dengan mesotel. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Penampang melintang usus besar, pada permukaan mukosanya diperoleh plika semilunaris, tidak terdapat vili intestinalis namun masih dijumpai kriptae Liberkuhn. Pada tunika mukosa dilapisi oleh epitel kolumner selapis dengan sel Goblet. Lamina propria disusun oleh jaringan pengikat longar dengan sel-sel limfosit yang tersebar secara difus. Lamina muskularis mukosae terdiri atas otot polos. Tunika submukosa disusun oleh jaringan pengikat longgar dengan pleksus submukosus Meissner. Tunika muskularis terdapat otot polos dua lapis. Dan tunika serosa diperoleh jaringan pengikat longgar dengan sel mesotel. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Pada rektum dan anus, biasanya dilihat melalui penampang membujurnya. Pada rektum bagian tunika mukosa, terdapat sel-sel epitel kolumner selapis dengan banyak sel Goblet. Sedangkan pada lamina proprianya, terdapat jaringan pengikat longgar dengan banyak limfosit. Pada lamina muskularis mukosae terdapat lapisan otot polos. Tunika submukosa rektum mengandung jaringan pengikat longgar dengan banyak pembuluh darah vena dan tunika muskularis bisa ditemukan otot polos dua lapis. Dan pada tunika serosa bisa ditemukan jaringan pengikat longgar. Penampang membujur pada rektum sangat jauh berbeda dengan penampang membujur pada anus. Tunika mukosa anus mengandung epitel skuamosa kompleks dengan penandukan. Pada lamina proprianya banyak terdapat jaringan pengikat longgar dengan kelenjar sudorifera dan pars ekskretorius kelenjar sirkumnale. Lamina muskularis mukosaenya telah menghilang. Tunika submukosa terdiri dari jaringan pengikat longgar. Dan tunika muskularisnya terdiri dari pars sekretorius kelenjar sirkumnale dan muskulus sfingter ani eksternus (otot seran lintang). Tunika serosa tetap terdapat jaringan pengikat longgar. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
C. Fisiologi Proses Pembentukan Feses
Kira-kira 1500 mililiter kimus secara normal akan melewati katup ileosekal ke dalam usus besar setiap harinya. Sebagian besar air dan elektrolit yang berada di dalam kimus akan diabsorbsi di dalam kolon, dan biasanya akan meninggalkan kurang dari 100 mL cairan untuk diekskresikan ke dalam feses. Pada dasarnya, semua ion diabsorbsi, hanya meninggalkan 1 sampai 5 miliekuivalen dari masing-masing ion natrium dan klorida untuk hilang ke dalam feses. Sebagian besar akan diabsorbsi dalam usus besar pada pertengahan proksimal kolon sehingga pada bagian inilah disebut sebagai kolon pengabsorbsi, sedangkan kolon bagian distal pada prinsipnya berfungsi sebagai tempat penyimpanan feses sampai waktu yang tepat untuk ekekresi feses dan oleh karena itulah disebut sebagai kolon penyimpanan. Mukosa usus besar seperti juga mukosa pada usus halus, mempunyai kemampuan absorbsi natrium yang tinggi, dan gradien potensial listrik yang diciptakan oleh absorbsi natrium juga sekaligus menyebabkan absorbsi klorida pula. Taut erat di antara sel-sel epitel dari epitel usus besar jauh lebih berat daipada taut erat di usus halus. Keadaan tersebut mencegah difusi kembali ion dalam jumlah bermakna melalui taut ini sehingga bisa memungkinkan mukosa usus besar untuk mengabsorbsi ion natrium jauh lebih sempurna, yaitu dengan melawan gradien konsentrasi yang jauh lebih tinggi, daripada yang terjadi pada usus halus. Hal ini terutama terjadi pada suatu ketika, jumlah aldosteron terdapat dalam jumlah besar karena keadaan ini bisa meningkatkan kemampuan transpor natrium. Seperti yang berlangsung di bagian distal usus halus, mukosa usus besar akan menyekresikan ion bikarbonat bersamaan dengan absorbsi ion klorida dalam jumlah yang sebanding dalam proses transpor pertukaran yang telah dijelaskan sebelumnya. Bikarbonat yang disekresikan ini akan bertugas untuk menetralisasi produk akhir asam dari kerja bakteri di dalam usus besar. Absorbsi ion natrium dan klorida menciptakan gradien osmotik di sepanjang mukosa usus besar, dan hal inilah yang akan mmenyebabkan absorbsi air. (Guyton dan Hall, 2007)
Usus besar memiliki kemampuan untuk mengabsorbsi maksimal 5 sampai 8 mililiter cairan dan elektrolit tiap harinya. Bila jumlah total cairan yang masuk usus besar melalui katup ileosekal atau melalui sekresi usus besar melebihi jumlah ini, kelebihan cairan akan muncul dalam feses sebagai diare. Toksin kolera dan toksin bakteri tertentu sering menyebabkan kripta pada ileum terminalis dan usus besar menyekresikan 10 liter cairan setiap harinya, yang bisa menimbulkan diare berat dan bisa sering mematikan. Banyak bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara normal pada kolon pengabsorbsi. Bakteri-bakteri ini mampu mencerna sejumlah kecil selulosa, dengan jalan inilah beberapa kalori nutrisi tambahan bisa tersedia untuk tubuh. Zat-zat lain yang terbentuk sebagai akibat aktivitas bakteri, adalah vitamin K, vitamin B12, tiamin, riboflavin, dan bernacam-macam gas yang menyebabkan flatus di dalam kolon, khususnya karbondioksida, gas hidrogen, dan metana. Vitamin K yang telah dihasilkan oleh bakteri sangat penting karena jumlah vitamin ini dalam makanan yang sehari-hari dicerna, secara normal memang normal untuk mempertahankan koagulasi darah yang adekuat. (Guyton dan Hall, 2007)
D. Fisiologi Pengaturan Defekasi
Sebelum membicarakan tentang defekasi, alangkah baiknya jika mengetahui gerakan kolon terlebih dahulu. Fungsi utama kolon adalah (1) absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk membentuk feses yang padat, dan (2) penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan. Setengah bagian proksimal kolon, terutama berhubungan dengan absorbsi, dan setengah bagian distal, berhubungan dengan penyimpanan. Karena tidak diperlukan pergerakan kuat dari dinding kolon untuk fungsi-fungsi ini, maka pergerakan kolon secara normal sangat lambat. Meskipun lambat, pergerakannya masih mempunyai karakteristik yang serupa dengan pergerakan usus halus dan bisa dibagi menjadi gerakan mencampur dan gerakan mendorong. (Guyton dan Hall, 2007)
Gerakan mencampur (”haustrasi”) hampir sama dengan gerakan-gerakan segmentasi usus halus, terjadi konstriksi-konstriksi sirkular yang besar, terjadi dalam usus besar. Tiap konstriksi, kira-kira 2,5 sentimeter otot sirkular akan berkontraksi yang kadang menyempitkan lumen kolon sampai lumen hampir tersumbat. Pada saat yang sama, otot longitudinal kolon, yang berkumpul menjadi tiga pita longitudinal, yang disebut sebagai taenia coli, akan berkontraksi. Kontraksi gabungan dari pita otot sirkular dan longitudinal menyebabkan bagian usus besar yang tidak terangsang menonjol keluar memberikan bentuk seperti kantong, disebut dengan haustrasi. Setiap haustrasi biasanya akan mencapai intensitas puncak dalam waktu 30 detik dan kemudian akan menghilang selama 60 detik berikutnya. Kadang-kadang kontraksi juga bergerak lambat menuju ke anus selama masa kontraksinya, terutama pada sekum dan kolon asendens, dan karena itu akan menyebabkan sejumlah kecil dorongan isi kolon ke depan. Beberapa menit kemudian, timbul kontraksi haustrae yang baru pada daerah lain yang berdekatan. Oleh karena itu, bahan feses dalam usus besar, secara lambat akan diaduk dan diputar (mungkin mirip dengan teknik menyekop tanah). Dengan cara ini, semua bahan feses secara bertahap bersentuhan dengan permukaan mukosa usus besar, dan cairan serta zat-zat terlarut secara progresif diabsorbsi hingga hanya terdapat 80 sampai 200 mL feses yang dikeluarkan setiap harinya oleh manusia sehat. (Guyton dan Hall, 2007)
Gerakan mendorong (”pergerakan massa”) terjadi dari daerah sekum sampai sigmoid. Bahwasannya bnyak dorongan di daerah sekum dan kolon asenden yang dihasilkan oleh kontraksi haustrae yang lambat tetapi berlangsung persisten, yang membutuhkan waktu 8 sampai 15 jam untuk menggerakkan kimus dari katup ileosekal ke kolon, sementara kimusnya sendiri menjadi feses dengan karakteristik lumpur setengah padat dan bukan lagi setengah cair. Gerakan mendorong atau pergerakan massa, biasanya hanya terjadi satu sampai tiga kali sehari pada kebanyakan orang, terutama untuk kira-kira 15 menit selama jam pertama sesudah makan pagi. Pergerakan massa adalah jenis gerakan peristaltik yang dibentuk dan dimodifikasi yang ditandai oleh rangkaian bentuk, seperti berikut: Pertama, akan timbul sebuah cincin konstriksi sebagai respons dari tempat yang teregang atau teriritasi di kolon, biasanya pada kolon transversum. Kemudian dengan cepat, kolon sepanjang 20 sentimeter atau lebih, pada bagian distal cincin konstriksi tadi akan kehilangan haustrasinya dan justru berkontraksi sebagai satu unit, mendorong maju materi fese pada segmen ini sekaligus untuk lebih menuruni kolon. Kontraksi secara progresif menimbulkan tekanan yang lebih besar selama kira-kira 30 detik, dan akan terjadi relaksasi berikutnya selama 2 sampai 3 menit. Lalu, akan timbul pergerakan massa yang lain, dan untuk kali ini mungkin akan berjalan lebih jauh sepanjang kolon. Satu rangkaian pergerakan massa biasanya menetap selama 10 sampai 30 menit. Lalu akan mereda dan mungkin akan timbul kembali setengah hari kemudian. Bila pergerakan sudah mendorong massa feses ke dalam rektum, akan terasa keinginan untuk defekasi. (Guyton dan Hall, 2007)
Pergerakan massa yang timbul sesudah makan akan dipermudah dengan adanya refleks gastrokolik dan duodenokolik. Refleks ini disebabkan oleh distensi lambung dan duodenum. Refleks tersebut tidak timbul sama sekali atau hampir tidak timbul sama sekali jika saraf-saraf otonom ekstrinsik yang menuju ke kolon telah diangkat. Oleh karena itu, refleks itu hampir secara pasti dijalarkan oleh suatu sistem saraf otonom. Iritasi dalam kolon dapat juga menimbulkan pergerakan massa yang kuat. Sebagai contohnya, seseorang dengan penyakit tukak pada mukosa kolon (kolitis ulserativa) sering mengalami pergerakan massa yang menetap dan hampir setiap saat. (Guyton dan Hall, 2007)
Saat rektum tidak berisi feses akibat dari sfingter fungsional yang lemah sekitar 20 sentimeter dari anus pada perbatasan kolon sigmoideum dan rektum. Di sini terdapat juga sebuah sudut tajam yang menambah resistensi terhadap pengisian rektum. Bila pergerakan massa mendorong feses masuk ke dalam rektum, segera akan timbul keinginan untuk defekasi, termasuk refleks kontraksi rektum dan relaksasi sfingter anus. Pendorongan massa feses yang terus menerus melalui anus dicegah oleh konstriksi tonik dari (1) sfingter ani internus, penebalan otot polos sirkular sepanjang beberapa sentimeter yang terletak tepat di sebelah dalam anus, dan (2) sfingter ani eksternus, yang terdiri dari otot lurik volunter yang mengelilingi dan meluas ke sebelah distal. Sfingter eksternus diatur oleh serabut-serabut saraf dalam nervus pudendus, yang merupakan bagian dari sistem saraf somatik dan karena itu di bawah pengaruh volunter, dalam keadaan sadar atau setidaknya bawah sadar; secara bawah sadar, sfingter eksternal biasanya mengalami konstriksi secara terus menerus kecuali bila ada impuls kesadaran yang menghambat konstriksi. (Guyton dan Hall, 2007)
Biasanya, defekasi timbul oleh karena adanya refleks defekasi. Satu dari berbagai macam refleks defekasi adalah refleks intrinsik yang diperantarai oleh sistem saraf enterik setempat di dalam dinding rektum.Hal ini dapt dijelaskan sebagai berikut: Bila feses memasuki rektum, distensi dinding rektum menimbulkan sinyal-sinyal aferen yang menyebar melalui pleksus mienterikus untuk menimbulkan gelombang peristaltik di dalam kolon desenden, sigmoid, dan rektum, mendorong feses ke arah anus. Sewaktu gelombang peristaltik mendekati anus, sfingter ani internus direlaksasi oleh sinyal-sinyal penghambat dari pleksus mienterikus; jika sfingter ani eksternus juga dalam keadaan sadar, dan berelaksasi secara volunter pada waktu yang bersamaan, terjadilah defekasi. Refleks defekasi mienterik intrinsik yang berfungsi dengan sendirinya secara normal bersifat lemah. Agar menjadi efektif dalam menimbulkan defekasi, refleks biasanya akan diperkuat oleh refelks defekasi jenis lain, suatu refleks defekasi parasimpatis yang melibatkan segmen sakral medula spinalis. Bila ujung-ujung saraf dalam rektum dirangsang, sinyal-sinyal dihantarkan pertama ke dalam medula spinalis dan kemudian secara refleks kembali ke kolon desenden, sigmoid, rektum, dan anus melalui serabut saraf parasimpatis dalam nervus pelvikus. Sinyal-sinyal parasimpatis ini sangat memperkuat gelombang peristaltik dan juga merelakasikan sfingter ani internus, dengan demikian mengubah refleks defekasi mienterik intrinsik dari kekuatannya yang lemah menjadi suatu proses defekasi yang sangat kuat, yang kadang efektif dalam mengosongkan usus besar sepanjng jalan dari fleksura splenikus kolon sampai ke anus. Sinyal-sinyal defekasi yang masuk ke medula spinalis, menimbulkan efek-efek lain, seperti mengambil napas dalam, penutupan glotis, dan kontraksi otot-otot dinding abdomen untuk mendorong isi feses dari kolon turun ke bawah dan pada saaat yang bersamaan menyebabkan dasar pelvis mengalami relaksasi ke bawah dan menarik keluar cincin anus untuk mengeluarkan feses. (Guyron dan Hall, 2007)
Jika memang keadaan untuk melakukan defekasi sangat memungkinkan, refleks defekasi secara sadar dapat diaktifkan dengan mengambil napas dalam untuk menggerakkan diafragma untuk turun ke bawah dan kemudian mengkontraksikan otot-otot abdomen untuk meningkatkan tekanan dalam abdomen, jadi mendorong isi feses ke dalam rektum untuk menimbulkan refleks-refleks yang baru. Refleks-refleks yang ditimbulkan dengan cara ini hampir tidak seefektif seperti refleks yang timbul secara alamiah, maka dari itu orang yang sering menghambat refleks alamiahnya cenderung mengalami konstipasi berat. Pada bayi yang baru lahir (neonatus) dan beberapa orang dengan medula spinalis yang terpotong, refleks defekasi secara otomatis menyebabkan pengosongan usus bagian bawah pada saat yang tidak tepat sepanjang hari karena hilangnya latihan kontrol kesadaran melalui kontraksi atau relaksasi volunter sfingter ani eksternus. (Guyton dan Hall, 2007)
Sudah sedikit dijelaskan beberapa refleks dalam defekasi. Selain refleks duodenokolik, gastrokolik, gastroileal, enterogastrik, dan defekasi yang telah dijelaskan, ada beberapa refleks saraf penting lainnya yang dapat mempengaruhi seluruh tingkat aktivitas usus. Refleks-refleks tersebut adalah refleks peritoneointestinal, refleks renointestinal, dan refleks vesikointestinal. Refleks peritoneointestinal dihasilkan dari iritasi peritoneum; refleks ini sangat kuat menghambat saraf-saraf perangsang enterik dan dengan demikian dapat menimbulkan paralisis usus, terutama menderita peritonitis. Refleks renointestinal dan vesikointestinal menghambat aktivitas usus sebagai akibat dari iritasi ginjal atau kandung kemih. (Guyton dan Hall, 2007)
Secara normal, feses yang dikeluarkan melalui proses defekasi, tersdiri atas tiga perempat air dan seperempat bahan-bahan padat yang tersusun atas 30 persen bakteri mati, 10 samapi 20 persen adalah lemak, 10 sampai 20 persen juga terdiri atas bahan inorganik, 2 sampai 3 persen protein, dan 30 persen serat-serat makanan yang tidak dicerna dan unsur-unsur kering dari getah pencernaan, seperti misalnya pigmen empedu dan sel-sel epitel yang terlepas. Warna coklat dari feses disebabkan oleh sterkobilin dan urobilin, yang berasal dari bilirubin. Bau feses terutama disebabkan oleh produk kerja bakteri, yang mana produk ini bervariasi antara satu orang dengan orang lainnya, dan bergantung dari flora bakteri kolon masing-masing orang serta jenis makanan yang dimakan. Produk yang benar-benar mengeluarkan bau meliputi indol, skatol, merkaptan, dan hidrogen sulfida. (Guyton dan Hall, 2007)
E. Fisiologi Pengaturan dan Produksi Flatus
Gas, yang dalam hal ini disebut dengan flatus, bisa memasuki traktus gastrointestinal, melalui berbagai sumber: (1) udara yang ditelan, (2) gas yang terbentuk di dalam perut sebagai hasil kerja bakteri, atau (3) gas yang berdifusi dari darah ke dalam traktus gastrointestinal. Sebagian besar gas yang berada di dalam lambung merupakan suatu campuran nitrogen dan oksigen dari udara yang ditelan. Pada orang secara umum, kebanyakan gas ini dikeluarkan lewat sendawa. Hanya sejumlah kecil gas yang umumnya muncul dalam usus halus, dan banyak dari gas ini merupakan udara yang berjalan dari lambung masuk ke dalam traktus intestinalis. Dalam usus besar, kebanyakan merupakan gas yang berasal dari hasil kerja bakteri atau flora normal yang ada di dalamnya, khususnya berupa karbondioksida, hidrogen, dan metana. Ketika metana dan hidrogen bercampur secara tepat dengan oksigen, kadang-kadang bisa menyebabkan suatu campuran gas yang bisa meledak. (Guyton dan Hall, 2007)
Makanan tertentu bisa menyebabkan pengeluaran flatus yang lebih besar melalui anus jika dibandingkan dengan makanan lain. Makanan yang bisa menyebabkan flatus yang lebih besar yang dikeluarkan melalui anus, antara lain kacang-kacangan, kubis, bawang, kembang kol, jagung, dan makanan tertentu yang bersifat iritan, misalnya adalah cuka. Beberapa dari makanan tersebut mampu menyediakan suatu media yang baik untuk berkembang biak bagi bakteri pembentuk gas, terutama makanan yang mengandung karbohidrat tak terabsorbsi yang bisa mengalami fermentasi. Contoh dari makanan seperti ini, adalah kacang-kacangan yang menagndung karbohidrat yang tak tercerna yang kemudian masuk ke dalam kolon dan merupakan makanan utama bagi bakteri kolon. Namun, pada keadaan lain, pengeluaran gas yang berlebihan berasal dari iritasi usus besar, yang mencetuskan pengeluaran peristaltik cepat gas melalui anus sebelum gas tersebut dapat diabsorbsi. Jumlah gas yang masuk atau terbentuk pada usus besar setiap hari rata-rata 7 sampai 10 liter, sedangkan jumlah rata-rata yang dikeluarkan melalui anus biasanya hanya sekitar 0,6 liter. Sisanya, normalnya akan diabsorbsi ke dalam darah melalui mukosa usus dan akan dikeluarkan melalu paru. (Guyton dan Hall, 2007)

3. DISKUSI DAN BAHASAN
Dalam bagian ini akan dibahas lebih lanjut mengenai apendisitis dan berbagai diagnosis bandingnya.
Insidensi maksimum apendisitis akut terjadi pada dekade kedua dan ketiga dari kehidupan. Walau penyakit tersebut dapat terjadi pada setiap saat dari kehidupan, namun relatif jarang ditemukan pada usia yang ekstrim. Laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama, kecuali antara pubertas dan usia 25 tahun, yaitu pada laki-laki frekuensinya lebih tinggi dengan rasio 3:2. Perforasi relatif lebih sering terjadi pada bayi dan pada usia lanjut, selama periode itu angka mortalitasnya paling tinggi. Angka kematian telah menurun secara menetap di Eropa dan Amerika Serikat dari 8,1 per 100.000 populasi pada tahun 1941 sampai kurang dari 100.000 pada tahun 1970 dan seterusnya. Insidensi absolut dari penyakit itu juga turun sebesar kira-kira 40% antara tahun 1940 dan 1960, tetapi sejak itu, insidensinya tetap tidak berubah. Meski berbagai macam faktor seperti perubahan kebiasaan makan, perubahan flora usus dan asupan vitamin telah dianggap menjelaskan penurunan insidensi penyakit tersebut, namun alasan yang tepat belum dapat dikemukakan. Secara keseluruhan, insidensi apendisitis jauh lebih rendah di negara-negara yang belum berkembang, terutama di daerah Afrika dan pada kelompok dengan social ekonomi rendah.
Tanda patogenesis utama selalu dianggap karena adanya obstruksi luminal. Saat obstruksi dapat ditemukan pada 30 sampai 40 persen kasus, studi baru-baru ini telah memperlihatkan bahwa ulserasi mukosa apendiks merupakan peristiwa awal pada kebanyakan kasus. Penyebab terjadinya ulserasi belum diketahui, meskipun virus telah dipostulasikan sebagai penyebab. Baru-baru ini telah dikemukakan bahwa infeksi kuman Yersinia, dapat menyebabkan penyakit itu, karena titer fiksasi komplemen yang tinggi telah ditemukan pada 30% kasus yang terbukti menderita apendisitis 1 minggu setelah operasi. Sampai sekrang belum diketahui apakah reaksi radang yang menyertai ulserasi cukup dapat menimbulkan obstruksi pada lumen apendiks yang sempit itu. Obstruksi, bila ada sering disebabkan oleh fekolith, yang disebabkan oleh pengumpulan dan pengeringan bahan feses di sekitar serat sayuran. Pembesaran folikel limfoid berkaitan dengan infeksi virus (misalnya campak), pengeringan barium, cacing (misalnya cacing gelang, Ascaris, dan Taenia), dan tumor (misalnya karsinoid atau karsinoma) juga dapat menyumbat lumen apendiks. Sekresi mukus akan mengembangkan organ tersebut, yang berkapasitas hanya 0,1 sampai 0,2 mL, dan tekanan luminal meningkat 60 cmH2O. Bakteri dalam lumen apendiks berkembang dan menginvasi dinding apendiks sejalan dengan terjadinya pembesaran vena dan kemudian terganggunya arteri akibat tekanan intraluminal yang tinggi. Akhirnya, terjadi gangren dan perforasi. Bila proses itu berjalan lambat, organ yang berdekatan seperti ileum terminal, sekum, dan omentum dapat menyelimuti daerah apendiks sehingga timbul abses lokal, sedangkan gangguan vaskular yang berkembang cepat dapat menyebabkan perforasi yang berhubungan langsung dengan rongga peritoneum. Selanjutnya ruptur abses apendiks primer dapat menimbulkan fistula antara apendiks dengan kandung kemih, usus halus sigmoid atau sekum. Kadangkala apendisitis akut merupakan manifestasi pertama dari penyakit Crohn. Sementara infeksi kronik pada apendiks dengan tuberkulosis, amebiasis, dan aktinomikosis dapat terjadi, aforisme klinis yang bermanfaat menunjukkan bahwa peradangan apendiks yang kronik biasanya bukan merupakan penyebab memanjangnya nyeri abdomen yang lamanya berminggu-minggu atau berbulan-bulan (Silen, 2007). Sebaliknya, jelas bahwa apendisitis akut rekuren terjadi, sering dengan resolusi peradangan dan gejala secara lengkap di antara serangan. Apendisitis akut rekuren dapat menjadi lebih sering karena antibiotik diperjualbelikan secara lebih bebas.
Riwayat dan urutan gejala yang timbul merupakan gambaran diagnostik apendisitis yang paling penting. Gejala awal hampir selalu berupa nyeri abdomen jenis visceral yang disebabkan oleh kontraksi apendiks atau distensi lumen apendiks. Biasanya lokasi nyeri di daerah periumbilikus atau epigastrium. Sering terdapat keinginan defekasi atau flatus, salah satunya membebaskan distres. Nyeri viseral ini ringan, sering seperti kram dan jarang sekali berakibat buruk, biasanya berlangsung selama 4 sampai 6 jam tetapi tidak diketahui pada individu yang tahan sakit atau pada beberapa pasien yang sedang tidur. Sejalan dengan menyebarnya proses inflamasi ke permukaan peritoneum parietal, nyeri menjadi somatic, menetap, dan lebih berat, bertambah sakit bila bergerak atau batuk, dan biasanya berlokasi di kuadran kanan bawah. Anoreksia begitu sering timbul sehingga adanya rasa lapar hendaknya menimbulkan kecurigaan besar pada diagnosis apendisitis akut. Mual dan muntah terjadi pada 50 sampai 60 persen kasus, tetapi muntahnya jarang profusb dan berkepanjangan. Timbulnya rasa mual dan muntah sebelum awitan nyeri sangat jarang terjadi. Berubahnya kebiasaaan buang air besar, memiliki sedikit nilai diagnostik, karena ada atau tidak adanya perubahan dapat diamati, meskipun terjadinya diare yang disebabkan oleh apendiks yang meradang dekat sigmoid dapat menyulitkan diagnosis. Frekuensi berkemih dan disuria terjadi jika apendiks terletak dekat dengan kandung kemih. Urutan gejala yang khas (lokasi nyeri periumbilikus disertai dengan mual dan muntah dengan pengalihan nyeri secara berangsur ke kuadran kanan bawah) terjadi pada hanya 50 sampai 60 persen pasien, dan beberapa variasi dijelaskan sebagai berikut.
Apendisitis tanpa komplikasi maksudnya jika roses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mucosa saja. Appendix kadang tampak normal, atau hanya hiperemia saja. Bila appendix tersebut dibuka, maka akan tampak mukosa yang menebal, oedema dan kemerahan. Kondisi ini disebabkan invasi bakteri dari jaringan limpoid ke dalam dinding appendix. Karena lumen appendix tak tersumbat. Maka hal ini hanya menyebabkan peradangan biasa. Bila jaringan limpoid di dinding appendix mengalami oedema, maka akam mengakibatkan obstruksi lumen appendix, yang akan mempengaruhi feeding sehingga appendix menjadi gangrena, seterusnya timbul infark. Atau hanya mengalami perforasi (mikroskopis), dalam hal ini serosa menjadi kasar dan dilapisi eksudat fibrin Post appendicitis acute, kadang-kadnag terbentuk adesi yang mengakibatkan kinking, dan kejadian ini bisa membentuk sumbatan pula. Sedangkan jika telah berkomplikasi merupakan appendicitis yang berbahaya, karena appendix menjadi lingkaran tertutup yang berisi “fecal material”, yang telah mengalami dekomposisi. Perbahan setelah terjadinya sumbatan lumen appendix tergantung daripada isi sumbatan. Bila lumen appendix kosong, appendix hanya mengalami distensi yang berisi cairan mucus dan terbentuklah mucocele. Sedangkan bakteria penyebab, biasanya merupakan flora normal lumen usus berupa aerob (gram + dan atau gram - ) dan anaerob. Pada saat appendix mengalami obstruksi, terjadi penumpukan sekresi mucus, yang akan mengakibatkan proliferasi bakteri, sehingga terjadi penekanan pada moukosa appendix, dikuti dengan masuknya bakteri ke dalam jaringan yang lebih dalam lagi. Sehingga timbulah proses inflamasi dinding appendix, yang diikuti dengan proses trombosis pembuluh darah setempat. Karena arteri appendix merupakan end arteri sehingga menyebabkan daerah distal kekurangan darah, terbentuklah gangrene yang segera diikuti dengan proses nekrosis dinding appendix. Pada kesempatan lain bakteri mengadakan multiplikasi dan invesi melalui erosi mukosa, karena tekanan isi lumen, yang berakibat perforasi dinding, sehingga timbul peritonitis. Proses obstruksi appendix ini merupakan kasus terbanyak untuk appendicitis. Dua per tiga kasus gangrene appendix, fecalith selalu didapatkan. Bila kondisi penderita baik, maka perforasi tersebut akan dikompensir dengan proses pembentukan dinding oleh karingan sekitar, misal omentum dan jaringan viscera lain, terjadilah infiltrat atau (mass), atau proses pultulasi yang mengakibatkan abses periappendix
Temuan fisis berubah sesaat setelah temuan penyakit dan disarkan pada lokasi apendiks, yang mungkin letaknya ada di dalam culde-sac pelvis, di kuadaran kanan bawah pada setiap hubungan peritoneum, sekum, dan usus halus, di kuadran kanan atas (terutama selama kehamilan) atau bahkan di kuadran kiri bawah. Diagnosis apendisitis tidak dapat ditegakkan kecuali didapatkan nyeri tekan. Meskipun nyeri tekan kadang tidak ditemukan pada stadium visceral awal dari penyakit tersebut, pada akhirnya nyeri itu akan timbul dan ditemukan di mana saja berhubungan dengan posisi apendiks. Nyeri tekan abdominal mungkin sama sekali tidak ditemukan bila letak apendiks retrosekal atau pelvinal, pada kasus tersebut satu-satunya temuan fisis mungkin nyeri pada panggul atau pada pemeriksaan rectal atau pelvis. Perkusi, nyeri tekan pantul (rebound tenderness) , dan nyeri tekan pantul beralih, sering didapatkan namun tidak selalu ada; tanda-tanda itu hampir selalu tidak ditemukan pada permulaan penyakit. Fleksi pinggul kanan dan gerakan penjagaan oleh pasien adalah akibat dari keterlibatan peritoneum parietal. Hiperestesia pada kulit perut kuadran kanan bawah atau tanda psoas dan obturator yang positif sering ditemukan terakhir dan jarang memiliki nilai diagnostik. Bila apendiks yang meradang dekat sekali dengan peritoneum parietal bagian anterior, terdapat ketegangan otot yang pada awalnya masih kurang jelas. Suhu badan biasanya normal, atau ringan (37,2oC sampai 38oC), dan suhu badan di atas 38,3oC, hendaknya akan memberi kesan timbulnya perforasi. Takikardia sepadan dengan peningkatan suhu tubuh. Ketegangan otot dan nyeri tekan menjadi lebih nyata sejalan dengan perkembangan penyakit menuju perforasi dan peritonitis local atau umum. Distensi jarang ditemukan kecuali terjadi peritonitis difus yang berat. Pernyataan bahwa nyeri atau nyeri tekan telah hilang tepat sebelum timbulnya perforasi, sangat luar biasa. Sebuah masa akan terbentuk bila terjadi perforasi lokal tetapi biasanya tidak dapat terdeteksi sebelum 3 hari setelah awitan penyakit. Perforasi jaringan terjadi sebelum 24 jam awitan gejala, tetapi kecepatan timbulnya dapat sebesar 80% setelah 48 jam.
Pemeriksaan laboratorium tidak menegakkan diagnosis karena yang terakhir didasarkan pada alasan klinis. Meskipun leukositosis sedang dengan jumlah sel 10.000 sampai 18.000 per mikroliter sering didapat (seirring dengan pergeseran kea rah sel imatur), tidak terdapatnya leukositosis tidak meniadakan kemungkinan apendisitis akut. Leukositosis yang lebih besar daripada 20.000 sel per mikroliter hendaknya merupakan suatu pertanda kepada kemungkinan terjadinya perforasi. Anemia dan darah dalam feses memberikan kesan bahwa diagnosis primer karsinoma sekum, terutama pada orang tua. Urin pasien dapat sedikit mengandung sedikit sel darah putih atau merah tanpa bakteri bila apendiks itu letaknya dekat dengan ureter kanan atau kandung kemih.
Akan tetapi urinalisis paling bermanfaat dalam meniadakan gangguan urogenital yang dapat menyerupai sebagai apendisitis akut. Pemeriksaan sinar-X sedikit sekali nilainya kecuali bila ditemukan suatu fekolit yang opak (5 persen pasien) pada kuadran kanan bawah (terutama pada anak) bersama dengan gambaran klinis apendisitis lainnya. Oleh karena itu, tidak ada kebutuhan rutin untuk mendapatkan film abdomen kecuali ada kemungkinan kelainan lain seperti obstruksi usus atau batu ureter. Pada beberapa pasien yang gejalanya berulang atau berkepanjangan, pemeriksaan enema barium dapat mengetahui adanya kerusakan ekstrinsik pada dinding medial sekum atau fekolit yang berkapur. Diagnosis juga dapat ditegakkan melalui pemeriksaan ultrasonografi yang memperlihatkan apendiks yang membesar dengan dindingnya yang tipis, namun bila apendiks tidak dapat ditemukan, diagnosis pun tidak dapat ditiadakan. Pemeriksaan ultrasonografi paling berguna untuk meniadakan krista ovarium, kehamilan ektopik terganggu (KET), atau abses tuboovarium.
Meskipun urutan riwayat penyakit dan temuan fisis yang khas terdapat pada 50 sampai 60 persen kasus, ternyata masih terdapat variasi yang luas dari pola yang tidak khas, terutama pada usia yang ekstrim dan selama kehamilan. Insidensi perforasi dan peritonitis umum pada bayi dibawah 2 tahun yang besarnya 70 hingga 80 persen merupakan suatu bukti nyata akan pentingnya riwayat penyakit dalam emndeteksi penyakit sedini mungkin. Pada orang tua, nyeri dan nyeri tekan sering tidak jelas sehingga diagnosis sering terlambat. Insidensi perforasi pada pasien dengan usia di atas 70 tahun hampir mencapai angka 30%, dan inilah bukti adanya keterlambatan diagnosis. Keluhan awal yang biasanya dikemukakan oleh para pasien usia lanjut adalah terdapatnya massa dengan sedikit rasa nyeri (abses apendiks primer) atau kadang datang dengan obstruksi usus adhesif 5 atau 6 hari setelah perforasi apendiks yang tidak terdeteksi sebelumnya. Apendisitis terjadi pada satu dari setiap 1.000 kehamilan dan merupakan penyebab paling lazim dari kelainan ekstrauterin yang memerlukan operasi abdomen. Diagnosisnya mungkin terlambat karena keluhan rasa kurang enak di perut serta rasa mual dan muntah lazim selama hamil. Selama trimester terakhir, angka kematian akibat apendisitis merupakan yang tertinggi, uterus mengubah posisi apendiks ke kuadran kanan atas dan lateral sehingga menimbulkan kebingungan dalam diagnosis karena lokasi nyeri dan nyeri tekan berubah tempat.
Daftar diagnosis banding apendisitis akut merupakan segala penyakit yang memiliki tanda dan gejala yang hampir sama, yang intinya merupakan segala kelainan yang menyebabkan nyeri abdomen, karena apendisitis dapat menyerupai semua penyakit tersebut. Bagi para dokter yang telah berpengalaman, ketepatan diagnosis dapat mecapai 75 sampai 80 persen dan harus didasarkan pada kriteria klinis yang telah dijelaskan sebelumnya. Mungkin saja bisa overdiagnosis karena diagnosis yang terlambat bisa mengakibatkan perforasi serta bisa meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Pada apendisitis tanpa perforasi, angka mortalitasnya adalah 0,1 persen; sedangkan untuk apendisitis dengan perforasi, angka mortalitas bisa mencapai 3 persen dan pada orang tua bisa meningkat hingga 15 persen. Untuk kasus-kasus yang masih meragukan, perlu dilakukan observasi secara detail, obserasi selama 4 hingga 6 jam bisa membuat penentuan diagnosis menjadi lebih tepat (Silen, 2007), hal ini banyak mendatangkan keuntungan bagi pasien daripada kerugiannya. Kelaina yang paling sering ditemukan selama operasi, bila diagnosis apendisitis ternyata salah, dalam urutan frekuensi secara kasar, adalah limfadenitis mesenterik, penyakit nonorganic, penyakit inflamasi pelvis akut, ruptur folikel graf atau ruptur kista korpus luteum, dan gastroenteritis akut. Selain itu, kolesistitis akut, ulkus yang mengalami perforasi, pankreatitis akut, divertikulitis akut, obstruksi usus strangulasi, batu ureter, dan pielonefritis seing menimbulkan kesulitan diagnosis.
Sangatlah berguna untuk mempertimbangkan secara terpisah beberapa kemungkinan diagnosis yang lazim dan sulit, terutama pada perempuan. Diferensiasi penyakit radang panggul dari apendisitis akut mungkin sangat mustahil. Diplokokus intraseluler gram negative pada pulasan serviks tidak patognomonik kecuali Neisseria gonorhoeae dapat dibiakkan. Nyeri pada pergerakan serviks dapat tidak spesifik dan dapat terjadi pada apendisitis yang telah mengalami perforasi atau jika posisi apendiksnya dekat uterus atau adneksa. Ruptur folikel fraff (mittleschemrz) terjadi pada pertengahan siklus haid dengan keluarnya darah dan cairan sehingga menimbulkan rasa nyeri dan nyeri tekan yang lebih luas namun nyerinya tidak sesakit pada apendisitis. Demam dan leukositosis biasanya tidak ditemukan. Ruptur kista korpus luteum secara klinis serupa dengan ruptur folikel graff tetapi munculnya hampir bersamaan dengan saat menstruasi. Terdapatnya suatu massa pada adneksa, tanda kehilangan darah, dan tes kehamilan yang positif, membantu membedakan KET, tetapi terdapat tes kehamilan yang negative bila telah terjadi aborsi tuba. Kista ovarium yang terpelintir dan endometriosis kadang-kadang sulit dibedakan dengan apendisitis. Pemeriksaan ultrasonografi pelvis dan laparoskopi sangat bermanfaat pada semua kelaina pada perempuan tersebut.
Dari penyakit-penyakit perempuan tersebut, yang paling sering membingungkan dengan apendisitis adalah KET. Kehamilan ektopik adalah implantasi ovum yang telah dibuahi di mana saja selain lokasi normal dalam uterus. Keadaan ini ditemukan pada hampir 1% kehamilan. Pada lebih dari 90% kasus, implantasi terjadi di oviduktus (kehamilan tuba); tempat lain mencakup ovarium, rongga abdomen, dan bagian intrauterus dari oviduktus (kehamilan interstitium). Setiap hambatan yang mengganggu lewatnya ovum di sepanjang perjalanannya melewati oviduktus ke utrus mempermudah terjadinya kehamilan ektopik. Pada sekitar separuh kasus, obstruksi ini disebabkan oleh peradangan di oviduktus walaupun tumor intrauterus dan endometriosis juga dapat mengganggu perjalanan ovum. Pada sekitar 50% kehamilan tuba, tidak ada penyebab anatomik yang ditemukan. Kehamilan ovarium mungkin terjadi jika ovum dibuahi dalam folikel tepat saat folikel ruptur. Gestasi di dalam rongga abdomen terjadi bila telur yang dibuahi jatuh ke luar ujung oviduktus yang berfimbria dan tertanam di dalam peritoneum. Sampai terjadinya ruptur, kehamilan ektpoik mungkin tidak dapat dibedakan dengan yang normal, dengan berhentinya haid dan meningkatnyakadar hormon plasenta di serum dan urine. Di bawah pengaruh hormon ini, endometrium (pada sekitar 50% kasus) mengalami perubahan hipersekretorik dan desidua khas. Namun, tidak adanya peningkatan kadar gonadotropin tidak menyingkirkan diagnosis ini, karena sering terjadi gangguan perlekatan dan nekrosis plasenta. Ruptur kehamilan ektopik dapat sangat berbahaya, berupa onset mendadak nyeri abdomen hebat dan tanda-tanda abdomen akut, sering diikuti oleh syok. Perlu dilakukan intervensi bedah dengan segera. Morfologi dari kehamilan ektopik terganggu bisa dijelaskan sebagai berikut. Di semua tempat, kehamilan ektopik ditandai dengan perkembangan awal mudigah yang cukup normal, disertai terbentuknya jaringan plasenta, kantong amnion, dan perubahan desidua. Kehamilan abdomen kadang-kadang berlangsung hingga aterm. Namun, pada kehamilan tuba plasenta merambah menembus dinding oviduktus, menyebabkan hematoma intratuba (hematosalping), perdarahan intraperitoneum, atau keduanya. Tuba biasanya mengalami peregangan lokal hingga berukuran 3 sampai 4 cm oleh massa di dalamnya yang terdiri atas darah beku segar yang mungkin berisi potongan jaringan plasenta abu-abu dan bagian janin. Diagnosis histologik bergantung pada visualisasi vilus plasenta atau, yang jarang, mudigah. Yang jarang terjadi, plasenta mungkin kurang melekat ke dinding tuba sehingga mudah mati, disertai proteolisis spontan dan penyerapan produk konsepsi.
Limfadenitis mesenterium akut adalah sebutan yang biasanya diberikan jika ada kelenjar limfe yang membesar, sedikit kemerahan pada pangkal mesenterium dan waktu dioperasi apendiks tampak normal pada pasien yang biasanya menderita nyeri tekan pada kuadran kanan bawah dengan suhu tubuh yang terkadang lebih tinggi daripada hampir semua pasien dengan apendisitis akut. Apakah keadaan ini merupakan suatu kesatuan yang tunggal dan terbatas belum jelas sampai saat ini karena memang faktor penyebabnya tidak diketahui. Akhir-akhir ini telah diketahui bahwa beberapa pasien ini menderita infeksi Yersinia pseudotuberculosis dan Y. enterocolytica, yang pada kasus tersebut diagnosisnya dapat ditegakkan dengan kultur kelenjar limfe mesenterium atau berdasarkan titer serologik. Secara klinis, diagnosis sangat mustahil meskipun secara retrospektif penyakit ini sering menyebabkan rasa nyeri dan nyeri tekan yang lebih luas. Anak tampaknya lebih mudah terserang daripada orang dewasa. Operasi sebaiknya dilakukan, kecuali jika semua tanda dan gejala cepat menghilang. Gastroenteritis akut biasanya menimbulkan diare cair yang profus, sering disertai dengan mual dan muntah tetapi tanpa kelainan lokal. Di antara serangan kram, abdomen mengalami relaksasi sempurna. Pada gastroenteritis Salmonella temuan abdominal sama, meskipun nyeri lebih berat dan lebih terlokalisasi, dan akan sering terjadi demam bahkan meninggal. Terdapatnya gejala yang serupa pada anggota keluarga dapat membantu dalam hal diagnosis. Bila diagnosis apendisitis panggul akut dengan perforasi telah gagal ditegakkan, gastroenteritis merupakan diagnosis kerja yang paling sering dikemukakan. Nyeri tekan abdomen dan rectal yang persisten hendaknya dapat menyingkirkan diagnosis gastroenteritis. Enteritis regional (penyakit Crohn) sering berhubungan dengan riwayat penyakit yang lebih lama, dengan eksaserbasi sebelumnya. Divertikulitis Meckel biasanya sulit dibedakan dengan apendisitis akut tetapi keadaan ini sangat jarang ditemukan.
Bila dicurigai apendisitis, hindari pemakaian katertik dan enema, dan antibiotik sebaiknya jangan diberikan bila diagnosisnya masih diragukan karena obat antibiotic hanya akan menutupi ada atau berkembangnya perforasi. Pengobatannya adalah operasi sedini mungkin dan apendektomi segera setelah pasien dipersiapkan. Apendektomi telah dilakukan dengan sukses melalui laparoskopi namun aturan pengobatan yang tepat, terutama dalam kasus ruptur, belum jelas. Persiapan operasi jarang sekali jarang sekali mengambil waktu lebih dari 1 sampai 2 jam dalam kasus apendisitis dini tetapi dapat memakan waktu 6 hingga 8 jam pada kasus sepsis dan dehidrasi berat yang berhubungan dengan perforasi lambat. Satu-satunya keadaan ketika operasi tidak terindikasi adalah bila teraba massa dalam 3 hingga 5 hari setelah timbulnya gejala apendisitis. Sekiranya operasi dilaksanakan pada saat itu, flegmon lebih banyak ditemukan daripada abses definitive, dan sering terjadi komplikasi akibat diseksi flegmon tersebut. Pasien seperti itu diobati dengan memberikan antibiotik spektrum luas, cairan parenteral, dan istirahat sehingga dalam waktu 1 minggu biasanya terjadi resolusi massa dan gejalanya menghilang. Jarak waktu apendektomi dapat dan sebaiknya dilakukan 3 bulan kemudian. Bila massa tersebut membesar atau pasien menjadi lebih toksik, perlu dilakukan drainage abses. Komplikasi seperti abses subfrenik, panggul, atau abses intraabdominal lain biasanya menyertai perforasi dengan peritonitis umum dan dapat dihindari melalui diagnosis penyakit sedini mungkin.
Pembahasan selanjutnya yang merupakan kemungkinan terbesar dalam diagnosis penyakit pasien dalam skenario adalah peritonitis akut. Peritonitis adalah suatu proses inflamasi lokal atau menyeluruh pada peritoneum dapat berupa kelainan akut atau kronik. Pada bentuk akut, aktivitas motorik usus menurun dan lumen usus mengembang akibat terisi udara dan cairan. Cairan terkumpul akibat kegagalan reabsorbsi dari 7 hingga 8 liter sekret yang secara normal diproduksi tiap harinya ke dalam lumen usus dan diserap dari usus halus bagian distal dan kolon. Karena adanya pengumpulan cairan di rongga peritoneum, demikian pula dengan adanya penurunan asupan oral yang berakibat terjadinya penurunan cepat volume plasma sehingga fungsi ginjal dan jantung terganggu. Keadaan ini sering mengakibatkan dehidrasi akibat hilangnya cairan pada rongga ketiga.
Peritonitis bakterial mungkin disebabkan oleh masuknya bakteri ke dalam rongga peritoneum pada saluran makanan yang mengalami perforasi atau dari luka peneterasi eksternal. Peritonitis kimiawi disebabkan oleh keluarnya enzim pancreas, asam lambung, atau empedu sebagai akibat cedera atau perforasi usus atau saluran empedu. Peritonitis steril ditemukan pada pasien dengan sistemik lupus eritematosus, porfiria, dan demam Mediterania familial selama timbulnya serangan penyakit.
Penyebab tersering dari peritonitis bakterial adalah apendisitis, perforasi pada diverticulitis, ulkus peptikum, kandung empedu gangrenosa, obstruksi gangrenosa usus halus akibat pita adhesi, hernia inkarserata, atau volvulus. Setiap kelainan yang mengakibatkan keluarnya bakteri usus mungkin merupakan sumber peritonitis, mungkin termasuk karsinoma perforasi, benda asing, dan colitis ulseratif. Rongga peritoneum sangat resisten terhadap kontaminasi, dan peritonitis tetap terlokalisasi kecuali kontaminasi tersebut saling berkesinambungan. Pasien dengan sirosis alkoholik dan asites sangat rentan terhadap peritonitis bakterial spontan, biasannya dari patogen usus. Komplikasi ini terjadi tanpa adanya perorasi viskus yang nyata dan mungkin disebabkan oleh keluarnya bakteri dari dinding usus.
Manifestasi utama dari peritonitis ini adalah nyeri abdomen akut dan nyeri tekan. Lokasi nyeri dan nyeri tekan bargantung pada sebab yang mendasari dan apakah proses radangnya bersifat lokal atau umum. Pada peritonitis lokal seperti yang dijumpai pada apendisitis tanpa komplikasi atau divertikulitis, kelainan fisisnya hanya ditemukan pada daerah yang mengalami peradangan. Pada radang peritoneum yang menyebar, terdapat peritonitis umum dengan nyeri tekan pada seluruh dinding abdomen dan nyeri pantul (rebound). Ketegangan dinding perut merupakan kelainan yang sering ditemukan pada peritonitis dan dapat lokal atau umum.
Pada awalnya mungkin masih ada peristaltik usus tetapi biasanya akan hilang sejalan dengan berkembangnya penyakit dan suara usus menghilang. Hipotensi, takikardia, oliguria, dan leukositosis, dengan jumlah sel yang lebih dari 20.000 sel per mikroliter, adalah kelainan-kelainan yang sering ditemukan terutama pada peritonitis umum. Foto polos abdomen menunjukkan dilatasi usus halus dan usus besar dengan dinding usus halus yang membengkak seperti yang dibuktikan oleh jarak antara ikal usus halus yang berdekatan yang terisi udara. Parasentesis diagnostik kadang bermanfaat dalam menentukan jenis eksudat dan mencari bakteri penyebab secara langsung atau melalui biakan.
Peritonitis gonokokus merupakan suatu keadaan yang biasanya merupakan perluasan infeksi gonokokus dari fokus primernya di saluran reproduksi perempuan. Tanda radang biasanya terbatas di panggul tetapi dapat juga ditemukan peritonitis umum ringan. Kadang pasien mengeluh nyeri di kuadran kanan atas dan nyeri tekan yang disebabkan oleh perihepatitis gonokokus yang mengenai kapsul hepar dan peritoneum yang berdekatan (sindroma Fitz-Hugh-Curtis).
Peritonitis tepung atau peritonitis granulomatosa akut dapat berkembang pada beberapa pasien sebagai reaksi benda asing terhadap kanji dari tepung jagung yang dipakai sebagai bubuk sarung tangan bedah. Gambaran klinisnya berupa nyeri perut akut dan demam selama 10 sampai 30 hari setelah menjalani operasi perut. Diagnosis dapat ditegakkan dengan parasentesis dan ditemukannya granula tepung dalam monosit. Akan tetapi, hampir semua pasien menjalani eksplorasi ulang karena takut akan abses atau peritonitis bakterial, dengan ditemukannya granuloma benda asing yang menatah peritoneum.

4. KESIMPULAN
¨ Hal yang aneh yang terjadi pada perempuan usia 17 tahun datang dengan keluhan nyeri seluruh perut, kembung, dan ada gangguan BAB. Satu minggu sebelumnya, seorang pasien perempuan umur 17 tahun datang ke IGD RSUD dr. Moewardi dengan keluhan utama nyeri perut bagian bawah sejak 1 hari yang lalu, disertai mual muntah, tapi masih bisa kentut dan BAB. Badan terasa panas, sumer-sumer (subfebril).
¨ Pada pemeriksaan fisik 1 minggu yang lalu, didapatkan tensi 120/80 mmHg, nadi 86 kali per menit, RR 20 kali/menit, dan suhunya 37,5oC. Pemeriksaan abdomen 1 minggu yang lalu diperoleh hasil, inspeksi: sejajar dengan dinding dada; auskultasi: bising usus positif normal; palpasi: nyeri tekan di daerah Mc Burney, defans muskular negatif; Rectal Toucher: tonus spinchter ani normal, mukosa licin, nyeri tekan jam 10-11, sarung tangan lendir/darah negatif, faeces positif. Pemeriksaan laboratorium 1 minggu yang lalu adalah Hb 13,5 gr%, leukosit 11.000/dL, Hct 40%, dan neutrofil segmen 85%.
¨ Pada pemeriksaan fisik saat ini, diperoleh tensi 100/70 mmHg, nadi 120 kali per menit, RR 28 kali/menit, suhu 39oC. Pada pemeriksaan abdomen saat ini diperoleh hasil, inspeksi: distensi ringan; auskultasi: bising usus hilang; palpasi: nyeri tekan di seluruh perut, defans muskular positif; Rectal Toucher: tonus spinchter ani menurun, mukosa licin, nyeri tekan di seluruh lapangan, sarung tangan lendir/darah negatif, faeces positif. Pemeriksaan laboratorium saat ini diperoleh hasil Hb 13,5 gr%, leukosit 20.000/dL, Hct 42%, neutrofil segmen 85%.
¨ Tanda dan gejala dari apendisitis akut antara lain sebagai berikut. Tanda vital tidak berubah banyak. Peninggian temperature jarang lebih dari 1°C, frekuensi nadi normal atau sedikit meninggi. Adanya perubahan atau peninggian yang besar berarti telah terjadi komplikasi atau diagnosis lain perlu diperhatikan. Pasien biasanya lebih menyukai posisi supine dengan paha kanan ditarik ke atas, karena suatu gerakan akan meningkatkan nyeri. Nyeri kuadran kanan bawah secara klasik ada bila apendiks yang meradang terletak di anterior. Nyeri tekan sering maksimal pada atau dekat titik yang oleh McBurney dinyatakan sebagai terletak secara pasti antara 1,5 – 2 inchi dari spina iliaca anterior pada garis lurus yang ditarik dari spina ini ke umbilicus. Adanya iritasi peritoneal ditunjukkan oleh adanya nyeri lepas tekan dan Rovsing’s sign. Adanya hiperestesi pada daerah yang diinervasi oleh n. spinalis T10, T11, T12 , meskipun bukan penyerta yang konstan adalah sering pada apendisitis akut. Tahan muskuler terhadap palpasi abdomen sejajar dengan derajat proses peradangan, yang pada awalnya terjadi secara volunteer seiring dengan peningkatan iritasi peritoneal terjadi peningkatan spamus otot, sehingga kemudian terjadi secara involunter. Iritasi muskuler ditunjukkan oleh adanya psoas sign dan obturator sign. Gejala utama apendisitis akut adalah nyeri abdominal. Secara klinis nyeri dimulai difus terpusat di daerah epigatrium bawah atau umbilical , dengan tingkatan sedang dan menetap, kadang-kadang disertai dengan kram intermiten. Nyeri akan beralih setelah periode yang bervariasi dari 1 hingga 12 jam, biasanya 4 - 6 jam , nyeri terletak di kuadran kanan bawah. Anoreksia hampir selalu menyertai apendisitis. Hal ini begitu konstan sehingga pada pemeriksaan perlu ditanyakan pada pasien. Vomitus terjadi pada 75% kasus, umumnya hanya satu dua kali. Umumnya ada riwayat obstipasi sebelum onset nyeri abdominal. Diare terjadi pada beberapa pasien. Urutan kejadian symptoms mempunyai kemaknaan diagnosis banding yang besar, lebih dari 95% apendisitis akut, anoreksia merupakan gejala pertama, diikuti oleh nyeri abdominal dan baru diikuti oleh vomitus, bila terjadi.
¨ Penatalaksanaan dari apendisitis akut antara lain:
1. Operasi Sito : untuk appendisitis akut, abses dan perforasi
2. Operasi Elektif : untuk appendisitis kronik.
3. Konservatif:
- Bed rest total posisi Fowler
- Diet rendah serat
- Antibiotik spektrum luas
¨ Biasanya apendisitis akut akan berkomplikasi menjadi peritonitis akut. Manifestasi utama dari peritonitis ini adalah nyeri abdomen akut dan nyeri tekan. Lokasi nyeri dan nyeri tekan bargantung pada sebab yang mendasari dan apakah proses radangnya bersifat lokal atau umum. Pada peritonitis lokal seperti yang dijumpai pada apendisitis tanpa komplikasi atau divertikulitis, kelainan fisisnya hanya ditemukan pada daerah yang mengalami peradangan. Pada radang peritoneum yang menyebar, terdapat peritonitis umum dengan nyeri tekan pada seluruh dinding abdomen dan nyeri pantul (rebound). Ketegangan dinding perut merupakan kelainan yang sering ditemukan pada peritonitis dan dapat lokal atau umum.

5. DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Isselbacher, K. J. dan J. T. LaMont. 2007. Penyakit Peritoneum dan Mesenterium. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 4. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1612-3

Lindseth, G. N. 2007. Gangguan Usus Besar. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 1. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 456-71

Silen, W. 2007. Apendisitis Akut. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 1. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1610-2

Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.

Tuesday, March 17, 2009

ULKUS PEPTIKUM DAN GASTRITIS


1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem pencernaan menyerupai sebuah saluran dengan panjang sekitar 9 meter, yang sambung menyambung di dalam tubuh. Proses ini melibatkan bagian tubuh yang menggigit makanan, mengunyahnya, menelannya, mengaduknya, dan menghancurkannya bersama getah dan asam lambung, menyerap sari-sarinya, dan akhirnya membuang sisa-sisanya. Dimulai dari bagian paling keras dari tubuh kita dan yang membuat makanan kita menjadi lebih lembut serta lebih mudah dicerna karena memperluas permukaan makanan tersebut, bagian tersebut adalah gigi. Bagian ini mempunyai lapisan email yang keputih-putihan atau kekuning-kuningan. Gigi adalah pengolah makanan yang kita makan, gigi akan menggigit, memotong, menyobek, mengunyah, dan menghaluskan makanan. Setelah dikunyah, makanna akan ditelan ke dalam esofagus untk bisa masuk ke lambung.
Lambung (ventriculus, gaster) sendiri dikatakan juga sebagai kantung dengan dinding otot yang kuat. Lambung akan meregang ketika terisi oleh makanan dan minuman, dan lapisannya membuat asam dan getah pencerna yang kuat (enzim), untuk menghancurkan makanan. Otot-otot di dinding lambung akan menggeliat dan menekan untuk mencampur makanan dan getah lambung. Lambung akan mencerna makanan selama beberapa jam untuk dijadikan bubur kental (kimus), yang akan meneruskan perjalanannya ke usus halus (intestinum tenue). Lebar usus halus ini hanyalah sekitar 4 cm, tetapi panjangnya lebih dari 5 meter. Usus halus akan menyerap nutrisi dan zat-zat berguna lainnya ke dalam tubuh melalui dindingnya. Dilanjutkan ke usus besar (intestinum crassum) yang mengikuti usus halus dan tentu saja usus ini lebih lebar, yaitu kira-kira 6 cm, tetapi jauh lebih pendek, kira-kira hanya 1,5 meter. Usus ini akan menyerap air dan sejumlah kecil nutrisi yang masih tersisa dari makanan, dan akhirnya melumatkan sisanya menjadi feses. Hepar dan pankreas juga merupakan bagian dari sistem pencernaan. Hepar akan menyortir dan mengubah banyak nutrisi dari pencernaan, dan menyimpan sebagaian dari nutrisi tersebut. Pankreas akan menghasilkan getah pencernaan yang kuat (getah pankreas) yang kana melewati usus untuk ikut membantu mengolah makanan di usus tersebut.
Untuk pembahasan kali ini, akan dibahas mengenai lambung dan usus halus terlebih dahulu. Pada laporan kali ini akan dibahas bagaimana kerja fisiologis kedua organ tersebut dan bagaimana jika organ-organ tersebut mengalami kelainan dalam sekresi getah pencernaan atau malabsorbsi sari-sari makanan. Misalnya pada penyakit gastritis yang dikarenakan oleh berlebihnya sekresi getah lambung dan penyakit diare karena ketidakmampuan mengabsorbsi sari-sari air, ion, dan elektrolit.
Dari skenario 1 Blok Gastrointestinal, ada beberapa masalah penting, yaitu :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Seorang wanita unur 30 tahun datang ke UGD rumah sakit Dr. Moewardi dengan keluhan sakit perut dan diare.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- Satu bulan sebelum masuk rumah sakit, penderita merasakan keluhan perut yang tidak enak, nyeri di daerah epigastrium, nausea dan kadang-kadang vomitus, terlambat makan kemudian akan sakit, nocturnal pain positif sehingga saat malam hari penderita akan terbangun.
- Saat merasakan keluhan seperti hal-hal tersebut, maka penderita akan minum obat maag (lambung) dan anti muntah bila merasakan keluhan-keluhan tersebut.
- Penderita juga pernah berobat ke dokter dan dokter mengatakan bahwa penderita mengalami gastritis atau ulkus peptikum.
- Sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, penderita mengalami diare sehari rata-rata 10 kali, konsistensi encer, tanpa disertai lendir dan darah, warna kuning bebrbau amis, juga disertai nausea dan vomitus.
- Vomitus terjadi setiap penderita makan atau minum.
- Badan lemah, kalau makan terasa pahit sehingga semakin tidak mau makan dan minum, dan kencing pun sedikit.
Ø Riwayat Penyakit Keluarga, berupa:
- (tidak ada data)
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Pada pemeriksaan fisik didapatkan data: keadaan umum lemah, gizi cukup, kesadaran apatis, tekanan darah 80/50 mmHg, nadi 110 kali/menit (regular), kecepatan respirasi 28 kali/menit (pernapasan kusmaul), suhu badan 37,0oC, mata cekung, bibir kering, kedua tangan keriput.
- Pemeriksaan abdomen diperoleh hasil epigastric tenderness positif, turgor perut menurun.
- Dokter memberi terapi cairan pada pasien.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas sebagai dasar teori, antara lain :
a. Anatomi lambung (ventriculus) dan usus duodenum
b.Histologi lambung dan usus halus
c. Fisiologi pengaturan kontraksi otot pada organ gastrointestinal secara umum
d. Fisiologi pengaturan sekresi getah lambung (faktor agresif)
e. Fisiologi pertahanan mukosa lambung dan duodenum
f. Fisiologi pengaturan absorbsi air dan elektrolit
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Menegakkan diagnosis melalui berbagai pemeriksaan yang dilakukan.
Ø Mengetahui gejala-gejala penyakit tersebut lebih lanjut.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem pencernaan (sistem gastrointestinal/GIT) dan penyelesaiaannya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu menjelaskan atau merealisasikan:
a. Anatomi, histologi, serta fisiologi saluran pencernaan dan organ asesoris pencernaan.
b. Jenis, fungsi, dan mekanisme kerja enzim dan hormon yang berperanan dalam saluran pencernaan.
c. Penyakit/kelainan yang mengenai saluran cerna dan organ asesoris pencernaan.
d. Konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmu biomedik, klinik, dan perilaku serta ilmu kesehatan masyarakat sesuai dengan pelayanan kesehatan tingkat primer dalam sistem pencernaan.
e. Rangkuman interpretasi anamnesis, pemeriksaan fisik, uji laboratorium, dan prosedur yang sesuai dalam sistem pencernaan.
f. Menentukan efektivitas suatu tindakan dalam sistem pencernaan.
g. Prosedur klinis penunjang diagnosis penyakit GIT.
h. Prosedur keterampilan klinis untuk diagnosis penyakit GIT.
i. Pemeriksaan laboratorium penunjang diagnosis penyakit GIT.
j. Penatalaksanaan/manajemen penyakit GIT.
k. Tindakan preventif penyakit GIT dengan mempertimbangkan faktor pencetus.
l. Pengelolaan penyakit, keadaan sakit, dan masalah pasien dengan gangguan GIT sebagai individu yang utuh, dan bagian dari masyarakat.
m. Pencegahan penyakit dan keadaan sakit dalam bidang pencernaan.
n. Pendidikan kesehatan dalam rangka promosi kesehatan dan pencegahan penyakit pencernaan.
o. Teknologi informasi dan komunikasi untuk membantu pergerakan diagnosis, pemberian terapi, tindakan pencegahan, dan promosi kesehatan, serta penjagaan, dan pemantauan status kesehatan pasien dengan kelainan sistem pencernaan.

2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Umum Lambung (Ventriculus) dan Duodenum
Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di bawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung menyerupai tabung bentuk J, dan bila penuh berbentuk seperti buah pir raksasa. Kapasitas normal lambung adalah 1 sampai 2 liter. Secara anatomis lambung terbagi menjadi fundus, korpus, dan antrum pilorikum atau pilorus. Sebelah kanan atas lambung terdapat cekungan kurvatura minor, dan bagian kiri bawah lambung terdapat kurvatura mayor. Sfingter pada kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan yang terjadi. Sfingter kardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan masuk ke dalam lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus kembali. Daerah lambung tempat pembukaan sfingter kardia dikenal dengan nama daerah kardia. Di saat sfingter pilorikum terminal berelaksasi, makanan masuk ke dalam duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya aliran balik isi usus ke dalam lambung. Sfingter pilorus memiliki arti klinis yang penting karena dapat mengalami stenosis (penyempitan pilorus yang menyumbat) sebagai penyulit penyakit ulkus peptikum. Abnormalitas sfingter pilorus dapat pula terjadi pada bayi. Stenosis pilorus atau pilorospasme terjadi bila serabut otot di sekelilingnya mengalami hipertrofi atau spasme sehingga sfingter gagal berelaksasi untuk mengalirkan makanan dari lambung ke dalam duodenum. Bayi akan memuntahkan makanan tersebut dan tidak mencerna serta menyerapnya. Keadaan ini mungkin dapat diperbaiki melalui operasi atau pemberian obat adrenergik yang menyebabkan relaksasi serabut otot. (Lindseth, 2007)
Persarafan lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom. Suplai saraf parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf vagus. Trunkus vagus mempercabangkan ramus gastrika, pilorika, dan hepatika, dan seliaka. Persarafan simpatis melalui saraf splanchnikus mayor dan ganglia seliaka. Serabut-serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan, kontraksi otot, serta peradangan, dan dirasakan di daerah epigastrium abdomen. Serabut-serabut eferen simpatis menghambat motilitas dan sekresi lambung. Pleksus saraf mienterikus (Auerbah) dan submukosa (Meissner) membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan mengkoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa lambung. Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serta hati, empedu, dan limpa) terutama berasal dari arteria seliaka atau trunkus seliakus, yang mempercabangkan cabang-cabang yang menyerupai kurvatura mayor dan minor. Dua cabang arteria yang paling penting adalah arteria gastroduodenalis dan arteria pankreatikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan sepanjang bulbus posterior duodenum. (Lindseth, 2007)
B. Histologi Lambung dan Usus Halus
Fundus ventrikuli pada permukaan mukosanya melekuk ke dalam yang disebut dengan foveolae gastricae. Pada tunika mukosa dilapisi oleh epitel kolumner simpleks yang tampak pucat, inti ovoid mendekati basal. Lamina propria disusun oleh jaringan pengikat longgar dengan glandula fundika yang bermuara pada dasr foveolae gastricae. Lamina muskularis mukosa terdiri dari otot polos. Pada glandula fundika, bagian isthmus dibatasi sel mukous leher berbentuk kolumner, jernih, inti bulat, terletak di basal. Di antaranya terdapat dua macam sel, yaitu sel prinsipal/zimogen/chief cell berbentuk piramid atau kubus, sitoplasma granuler basofil, inti terletak basal dikelilingi granula zimogen di atasnya. Sel parietal. Letaknya seolah-olah terdesak ke arah lamina propria, berbentuk piramid atau sfreis besar dengan puncak menghadap ke lumen, inti bulat tercat kuat, sitoplasma granuler halus eosinofilik. Sel ini menghasilkan asam lambung. Bagian basal terdapat sel-sel yang mirip daerah leher kelenjar, di antaranya terdapat sel argentafin. Tunika submukosa disusun oleh ajringan pengikat longgar. Dan tunika muskularis terdiri dari tiga lapis otot polos yang berjalan sirkuler, oblik dan longitudinal. (Lindseth, 2007)
Pada pilorus ventrikuli, permukaan mukosa dijumpai foveolae gastricae yang lebih dalam dibanding fundus ventrikuli. Tunika mukosa dilapisi sel epitel kolumner selapis, lamina propria disusun oleh jaringan pengikat longgar dengan kelenjar pilorika berbentuk tubuler bercabang dan berkelok-kelok sehingga banyak terpotong melintang, kelenjar ini bermuara pada dasar foveolae gastricae. Lamina muskularis mukosa terdiri atas otot polos. Kelnjar pilorika disusun oleh sel-sel yang uniform yang berbentuk kolumner bersifat mukous, di antaranya terdapat sel gastrin yang mengeluarkan hormon gastrin. Tunika submukosa disusun oleh jaringan pengikat longgar. Tunika muskularis terdiri dari 3 lapis otot polos, stratum oblik, stratum sirkuler dan stratum longitudinale. Tunika serosa disusun oleh jaringan pengikat longgar dengan mesotelium. (Lindseth, 2007)
Struktur histologis dari duodenum secara singkat sebagai berikut. Pada tunika mukosa terdapat epitel kolumner selapis dengan sel Goblet, jaringan pengikat longar dan kelenjar Bruneri, sedangkan pada lamina muskularis mukosanya terdapat otot polos yan terputus-putus oleh kelenjar. Tunika submukosa terdiri atas jaringan pengikat longgar dan lanjutan kelenjar Bruneri. Tunika muskularis terdiri atas otot polos tiga lapis yang di antaranya terdapat pleksus mesentrikus Auerbach. Dan pada tunika serosa terdapat jaringan pengikat longgar dan mesotel. (Lindseth, 2007)
Penampang melintang yeyenum pada bagin tunika mukosa akan tampak pada permukaannya terdapat plika sirkularis serta vili intestinalis dan Kripte Lieberkuhn yang merupakan kelenjar intestinalis. Tunika mukosa dilapisi epitel kolumner selapis dengan sel Goblet. Lamina propria disusun oleh jaringan pengikat longgar dengan serabut otot polos Brucke yang merupakan lanjutan dari muskularis mukosa. Pada vili intestinalis otot ini masuk ke dalam lamina propria vili. Tunika submukosa disusun oleh jaringan pengikat longgar dengan akhiran saraf pleksus submukosus Meisnerri. Tunika muskularis disusun oleh otot polos dua lapis yang berjalan sirkuler dan longitudinal, di antaranya terdapat pleksus mesentrikus Auerbach. Tunika serosa terdiri atas jaringan poengikat longgar dengan mesotelium. (Lindseth, 2007)
Penamapang melintang ileum secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut. Tunika mukosa terdapat plika sirkularis Kerkringi, vili intestinalis, dan kriptae Liberkhun. Pada beberapa tempat tidak mempunyai vili. Tunika mukosa dilapisi epitel kolumner selapis dengan sel Goblet. Lamina propria tersusun dari atas jaringan pengikat longar. Terdapat agregasi jaringan limfatika noduler (Plaques Peyeri) yang tersebar pada bagian yang tidak bervili sampai pada lamina propria dan submukosa. Lamina muskularis mukosa terdiri atas otot polos yang pada tempat di mana terdapat Plaques Peyeri tampak terputus. Tunika submukosa disusun oleh jaringan pengikat longgar dan lanjutan dari Plaques Peyeri. Tunika muskularis disusun oleh otot polos dua lapis yang berjalan sirkuler di sebelah dalam dan longitudinal di sebelah luar. Terdapat pleksus mesentrikus Auerbach di antarnya. Dan tunika serosa disusun oleh jaringan pengikat longgar yang dilapisi mesotelium. (Lindseth, 2007)
C. Fisiologi Pengaturan Kontraksi Otot pada Organ Gastrointestinal Secara Umum
Sistem pencernaan adalah suatu sistem yang memiliki persediaan makanan, air, dan elektrolit. Pergerakan makanan melalui saluran pencernaan, sekresi getah pencernaan dan pencernaan makanan, absorbsi air, berbagai elektrolit dan hasil pencernaan, sirkulasi darah melalui GIT untuk membawa zat-zat yang diabsorbsi, pengaturan semua fungsi tersebut akan memacu sistem lokal, saraf dan hormon. Otot polos dalam GIT bersifat sinsitium, baik secara longitudinal yang berjalan menuruni GIT, dan lapisan sirkuler yang bergerak mengelilingi usus. Tiap berkas serabut otot dihubungkan oleh gap junction sebagai penghubung sebagai penghubung aktivitas listriknya, menimbulkan gerakan ion yang bertahan rendah dari satu sel otot ke sel otot yang lain. Dalam hal ini bersifat sinsitium maksudnya jika ada kontraksi yang terbentuk oleh sebuah potensial aksi di sembarang tempat dalam massa otot, maka potensial aksi akan disebarkan ke semua arah dalam massa otot. (Guyton dan Hall, 2007)
Pada GIT, otot-otot polosnya akan terus mengalami eksitasi oleh aktivitas listrik intrinsik yang lambat melalui membran serabut otot. Ada dua tipe dasar gelombang pada aktivitas listrik otot GIT, yaitu gelombang lambat dan paku. Pada GIT, potensial membran intirahatnya bisa diubah-ubah menjadi tingkat yang berbeda-beda dan akan sangat berpengaruh terhadap aktivitas listrik dari GIT. Geombang lambat merupakan gelombang saat kontraksi GIT yang berirama, gelombang ini bukan merupakan potensial aksi tetapi berupa perubahan potongan membran istirahat yang lambat dan bergelombang. Intensitasnya antara 5 dan 15 mV, dengan frekuensi antara 3-12 mV per menit. Penyebab pasti dari gelombang lambat belum dimengerti sepenuhnya dan tampaknya disebabkan oleh sel interstitial Cajal yaitu sel yang bertugas sebagai pace maker sel otot polos. Sel-sel ini membentuk suatu bangunan mirip sinaps ke sel otot polos. Gelombang lambat biasanya tidak menyebabkan kontraksi otot secara tersendiri pada sebagian besar GIT, kecuali mungkin di lambung. Gelombang ini memicu munculnya potensial paku yang intermiten, kemudian potensial paku ini akan menimbulkan suatu potensial listrik. (Guyton dan Hall, 2007)
Potensial paku yang ditimbulkan merupakan potensial paku yang sebenarnya. Potensial ini timbul secara otomatis bila potensial membran istirahat otot polos GIT enjadi -40 mV (dengan potensial istirahatnya adalah -50 sampai dengan -60 mV). Pada GIT, potensial paku berlangsung 10 sampai 40 kali lebih lama seperti halnya potensial aksi di serabut saraf yang besar, dan setiap gelombang paku berlangsung selama 10 sampai 20 milidetik. Pada serabut saraf, potensial aksi karena masuknya ion-ion Na secara cepat dari kanal Na. Pada GIT, terdapat kanal secara khusus yang mengizinkan sejumlah ion Ca dan sedikit ion Na, yang disebut kanal ion kalsium natrium, kanal ini membuka lebih lambat daripada kanal Na pada umumnya. (Guyton dan Hall, 2007)
Keadaan normal potensial istrahat adalah sekitar 56 mV. Jika terjadi depolarisasi maka menjadi kurang negatif, akan mudah dirangsang. Jika repolarisasi maka akan lebih negatif dan kyrang mudah dirangsang. Depolarisasi pada GIT, dipengaruhi oleh pergangan otot, perangsangan oleh asetilkolin, perangsangan oleh saraf-saraf parasimpatis sehingga bisa menyekresikan asetilkolin pada ujung-ujungnya, dan perangsangan oleh beberapa hormon GIT yang spesifik. Sedangkan hiperpolarisasi GIT, dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain oleh pengaturan norepinefrin dan epinefrin pada membran serabut dan perangsangan saraf-saraf simpatis sehingga terjadi sekresi norepinefrin pada ujung-ujungnya. Saat ion Ca masuk akan terjadi kontraksi otot. Ion Ca bekerja melalui mekanisme kontrol kolmodulin sehingga terjadi aktivasi filamen-filamen miosin dalam serabut otot sehingga menyebabkan terciptanya gaya tarik menarik antara filamen-filamen aktin dan miosin sehingga terjadi kontraksi otot. (Guyton dan Hall, 2007)
Pada otot polos GIT, bisa terjadi kontraksi tonik dan atau menggantikan kontraksi ritmis. Kontraksi tonik bersifat kontinu, tidak berhubungan dengan irama listrik dasar dari gelombang lambat melainkan sering berlangsung beberapa menit atau bahkan berjam-jam. Intensitasnya bisa berkurang atau meningkat tetapi berlangsung kontinu. Kontraksi tonik ini terjadi diakibatkan oleh potensial paku yang berulang-ulang yang kontinu. Ada saat lain yang disebabkan oleh karena hormon-hormon atau faktor lain yang menimbulkan depolarisasi sebagian yang kontinupada membran otot polos tanpa menimbulkan potensial aksi. Dan mungkin penyebab lainnya adalah masuknya ion Ca yang terus menerus ke bagian dalam sel yang tidak berhubungan dengan perubahan potensial membran. (Guyton dan Hall, 2007)
D. Fisiologi Pengaturan Sekresi Getah Lambung (Faktor Agresif)
Sel parietal (oxyntic cells), berselang seling sepanjang perjalanan korpus dan fundus lambung, mensekresi asam HCl oleh suatu proses ynag melibatkan suatu fosforilasi oksidatif. Sel parietal mensekresi ion H dalam konsentrasi kira-kira 3 juta kali lipat yang ditemukan di dalam darah. Konsentrasi HCl yang disekresi secra langsung oleh sel parietal adalah kira-kira 160 mM. Tiap ion H yang disekresi disertai oleh ion Cl. Dengan tiap peningkatan dalam sekresi ion H terdapat pengurangan yang timbul balik dalam sekresi ion Na. Untuk setiap ion H yang disekresikan ke dalam lumen lambung, satu ion bikarbonat dilepaskan ke dalam sirkulasi vena lambung, yang menerangkan gelombang alkaline, sautu pencerminan langsung dari besarnya konsentrasi ion H di lambung. Bikarbonat dilepaskan dari asam karbonik yang dibentuk dari karbondioksida oleh karbonik anhidrase sel parietal. Tindakan terakhir dari sekresi ion H diselesaikan oleh mekanisme pompa proton yang melibatkan hidrogen-potasium adenosin trifosfatase (H+, K+-ATPase) yang berada dalam membrana mikrovilus apikal dan aparatus tubovesikuler sel parietal. Pompa ini akan menukar hidrogen dengan kalium melintasi membrana mikrovilus. (McGuigan, 2007)
Faktor kimiawi, saraf, dan hormonal yang multipel berpartisipasi dalam pengaturan sekresi asam lambung. Sekresi asam dirangsang oleh gastrin dan oleh serabut vagal pascaganglion melalui reseptor kolinergik muskarinik pada sel parietal. Gastrin, stimulan sekresi asam lambung yang dikenal paling kuat, dikandung dalam dan dilepaskan ke dalam sirkulasi dari granula sekretorius sitoplasmik sel gastrin (sel G) yang tersebar satu-satu atau dalam kelompok kecil di antara sel pelapis epitelial bagian tengah dan lebih dalam dari kelenjar pilorik antral. Pelepasan gastrin dihambat oleh somatostatin dan dirangsang oleh neuropeptida peptida pelepas gastrin. Gastrin dalam jaringan dan dalam sirkulasi berada dalam bentuk molekuler. Bentuk utama gastrin dalam mukosa antrum lambung adalah gastrin heptadekapeptida (G-17), yang mengandung 17 residu asam amino, daerah tempat aktif adalah terminal karboksil amida terapeptida (Try-Met-Asp-Phe-NH2). Gastrin II ialah bentuk yang di dalamnya residu tirosil pada posisi 12 mendapat sulfa, dan gastrin I ialah bentuk yang tidak mendapatkan sulfa, G-17 bertanggung jawab lebih dari 90% gastrin dalam mukosa antrum. Kira-kira dua pertiga dari gastrin serum ialah suatu spesies molekuler yang berasal dari gastrin yang mengandung 34 asam amino (G-34). Meskipun G-17 mempunyai suatu waktu paruh yang lebih singkat daripada G-34 tetapi G-17 hampir seampuh G-34 dalam merangsang sekresi asam lambung.
Gastrin juga terdapat dalam mukosa duodenum dengan konsentrasi tertingginya pada duodenum paling proksimal (kira-kira 10% dari konsentrasi pada antrum), Konsentrasi mukosal pada gastrin dan proporsi G-17 berkurang dengan berlanjut ke bawah duodenum. Efek gastrin dan perangsangan vagal pada sekresi asam lambung saling berhubungan dengan erat. Perangsangan vagal meningkatkan sekresi asam lambung melalui perangsangan kolinergik sekresi sel parietal, dengan dirangsangnya pelepasan gastrin ke dalam sirkulasi, dan dengan menurunkan ambang sel parietal untuk berespons terhadap konsentrasi gastrin yang beredar. Cabang atau serabut vagal tertentu juga mencegah pelepasan gastrin. Mukosa lambung mengandung histamin dalam jumlah besar. Histamin terkandung dalam granula sitoplasmik sel mast, yang letaknya bukan epitelial (interstitial) dan sel menyerupai-enterokromafin (LEK), sel endokrin epitelial yang tersebar satu demi satu dalam kelenjar oxyntic, sering pada kontak langsung dengan sel parietal. Selama beberapa tahun, pandangan berbeda mengenai pentingnya histamin dalam dalam sekresi asam lambung; beberapa ilmuwan menganggap bahwa histamin adalah “jalan kecil” untuk perangsangan kolinergik dan gastrin dari sekresi asam oleh sel parietal. Dan yang lainnya berpendapat sebaliknya. Perhatian pada peranan histamin dalam sekresi asam diperbaharui oleh penemuan antagonis reseptor H-2 yang menghalangi secara kompetitif kerja histamin atas reseptor H-2 (yang berlokasi pada sel otot polos parietal lambung, atrium jantung, dan uterus). Obat ini menimbulkan efek yang dapat diabaikan atas reseptor H-1 yang dicegah dengan mudah oleh antihistamin konvensional (antagonis reseptor H-1). Antagonis reseptor H-2 (contohnya simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin) mencegah sekresi asam basal dan juga sekresi dalam respons terhadap pemberian makan, gastin, hipoglikemia atau rangsangan vagal. Kebanyakan data mengatakan bahwa (1) histamin memainkan suatu peranan penting dalam perangsangan sekresi asam lambung dan (2) histamin bekerja bersama dengan aktivitas gastrin dan kolinergik atau sel parietal, tetapi bahwa (3) masih terdapat ketidaktentuan mengenai apakah histamin adalah molekul efektor umum terkahir dalam perangsangan sekresi sel parietal. Membran basolateral sel parietal mengandung reseptor untuk histamin, gastrin, dan asetilkolin, yang merangsang sekresi asam, dan untuk prostaglandin dan somatostatin yang menghambat sekresi asam. Reseptor somatostatin, gastrin, dan histamin sel parietal adalah anggota dari the seven-membrane spanning class of G protein-coupled receptors. Gastrin merangsang sekresi asam lambung dengan perangsangan sel parietal langsung dan perangsangan pelepasan histamin oleh sel LEK. Histamin merangsang sekresi asam lambung dengan meningkatkan adenosin monofosfat siklik (AMP) sel parietal, dengan demikian mengaktifkan protein kinase yang bergantung pada AMP siklik. Gastrin dan asetilkolin, yang tidak merangsang produksi AMP siklik, merangsang sekresi asam dengan meningkatkan kalsium sitosolik sel parietal. (McGuigan, 2007)
Rangsang fisiologik utama untuk sekresi asam lambung ialah menyantap makanan. Secara umum, pengaturan sekresi asam lambung telah diklasifikasikan ke dalam 3 tahap, yaitu sefalik, gastrik, dan intestinal. Klasifikasi ini agak berarti dalam menganalisis faktor yang mengambil bagian dalam pengaturan sekresi asam lambung. Tahap sefalik yang mencakup respons sekresi asam lambung pada pandangan, bau, rasa dan menantikan makanan. Tahap lambung disebabkan oleh makanan dalam lambung. Tahap usus disebabkan karena masuk atau terdapatnya makanan di dalam lumen usus halus. Walaupun ketiga tahap ini baik sekali untuk mengingat akan bermacam sumbangan kepada sekresi asam lambung. Tahap usus disebabkan karena masuk atau terdapatnya makanan di dalam lumen usus halus. Walaupun ketiga tahap ini baik sekali untuk mengingat akan bermacam sumbangan kepada sekresi lambung, tiap tahap adalah kompleks dan tidak perlu disebabkan karena suatu mekanisme pengendalian perangsangan yang tunggal. Tahap sefalik, yang mencakup komponen kortikal dan komponen hipotalamik, diperantarai terutama oleh aktivasi vagal, yang meningkatkan sekresi asam lambung terutama oleh rangsangan langsung sel parietal dan untuk sebagian kecil dengan meningkatkan pelepasan gastrin. Tahap lambung diakibatkan oleh perangsangan reseptor kimiawi dan reseptor mekanis pada dinding lambung oleh isi dalam lumen. Distensi lambung mekanis merangsang sekresi asam lambung namun menyebabkan dalam jumlah kecil, bila ada, pelepasan gastrin; efek mekanis ini dihambat oleh atropin dan tampaknya diperantarai oleh refleks vagal. Makanan dalam lambung menaikkan sekresi asam dengan meningkatkan pelepasan gastrin. Terutama protein dan khususnya produk pencernaan protein yang terkandung dalam makanan yang mempunyai efek ini; glukosa oral dan lemak menyebabkan sedikit peningkatan gastrin serum tetapi tidak merangsang sekresi lambung. Makanan dalam usus halus yang proksimal merangsang tahap intestinal sekresi asam lambung. (McGuigan, 2007)
Suatu santapan yang mengandung pepton (protein daging yang dihidrolisis sebagian) dalam usus halus merangsang sekresi asam lambung tetapi tidak pelepasan gastrin. Makanan dalam usus halus mungkin menginduksi pelepasan hormon intestinal (berbeda dari gastrin) yang merangsang sekresi asam lambung. Peningkatan asam amino yang beredar, yang diserap dari usus halus, juga mungkin meningkatkan tahap intestinal sekresi asam lambung. Sekresi asam lambung interdigestif atau absal dapat dipertimbangkan untuk menjadi tahap keempat sekresi asam. Tahap ini tidak berhubungan dengan makan, mencapai puncaknya sekitar tengah malam dan titik terendahnya pukul 7 pagi, dan jalur neural mungkin merupakan yang paling penting dalam regulasinya. Minum kopi baik yang mengandung kafein maupun yang bebeas kafein, merangsang sekresi asam lambung, dan keduanya akan merangsang pelepasan gastrin. Pencernaan etanol dan minuman yang mengandung etanol merangsang sekresi asam lambung, hal ini menimbulkan kesan bahwa mekanisme lokal dan sistemik keduanya terlibat. Kalsium intravena melibatkan rangsangan dalam sekresi asam lambung dan menghasilkan peningkatan minimal dalam kadar gastrin serum. Kalsium oral juga akan dapat menignkatkan sekresi asam lambung secara langsung. (McGuigan, 2007)
Hambatan sekresi asam lambung dapat dihasilkan oleh beberapa mekanisme. Sekresi asam mungkin dihambat oleh asam dalam lambung atau duodenum, oleh hiperglikemia, atau oleh cairan hipertonik atau lemak dalam duodenum. Pengurangan pH intragastrik hingga 3,0 menghasilkan hambatan sebagian pelepasan gastrin; pengurangan lebih lanjut hingga pH 1,5 atau di bawahnya menghambat secara lengkap pelepasan gastrin terhadap hampir semua rangsangan. Somatostatin tampaknya memainkan suatu peranan penting dalam hambatan mekanisme unpan balik yang disebabkan oleh asam dari pelepasan gastrin. Somatostatin menghambat pelepasan gastrin melalui efek lokalnya (parakrin) pada sel gastrin. Sel endokrin mukosa antrum yang mengandung somatostatin (sel D) mempunyai proses sitoplasmik yang meluas ke sel gastrin yang berdekatan. Selain itu, proses sitoplasmik sel somatostatin dalam kelenjar oksintik meluas hingga kontak erat langsung dengan sel parietal lainnya. Somatostatin mengurangi sekresi asam lambung melalui penghambatan pelepasan gastrin dan melalui penghambatan langsung sekresi sel parietal. Asam dalam duodenum menurunkan sekresi asam lambung oleh lambung, kemungkinan besar melalui perangsangan pelepasan ke dalam sirkulasi peptida intestinal yang menghambat sekresi asam lambung. Sekretin, adalah suatu polipeptida linear (27 asam amino) yang secara struktural berkaitan dengan glukagon, mampu menghambat sekresi asam lambung. Sekretin dilepaskan oleh sel-sel endokrin (sel-sel S) dalam mukosa usus halus yang proksimal dalam respons terhadap pengasaman mukosa. Lemak dalam duodenum juga mengahambat sekresi asam lambung, peptida inhibitori lambung (PIL) telah diusulkan sebagai suatu calon untuk kerja enterogastron ini; namun efek PIL ini masih perlu diuji lagi. Mekanisme dengan hiperglikemia dan hiperosmolalitas intraduodenal menghambat sekresi asam lambung tidak diketahui. Peptida tambahan mukosa usus halus yang memiliki kemampuan untuk menghambat sekresi asam lambung termasuk peptida intestinal vasoaktif (PIV), enteroglukagon, neurotensin, peptida YY, dan urogastron. Peptida intestinal vasoaktif, suatu neuropeptida dan neurotransmiter yang diduga, mungkin tidak menghambat sekresi asam lambung seperti suatu hormon yang bersirkulasi karena meskipun dilepaskan pada respons terhadap makan, peptida tidak diaktifkan selama lintasan portalnya melalui hati. Enteroglukagon, tersusun dari oksintomodulin (glukagon dengan suatu perjalanan 8 asam amino terminal karboksil) dan glisentin (oksintomodulin dengan suatu perpanjangan 32 asam amino terminal amino). Neurotensin, oksintomodulin dan peptida dilepaskan dari usus halus pada perfusi lipid terminal. Urogastron secara secara struktural dan fungsional idnetik dengan faktor pertumbuhan epidermal. Sejauh mana peptida ini meningkatkan pengaturan fisiologis sekresi asam lambung belum pernah ditetapkan. (McGuigan, 2007)
Efek proteolitik pepsin sesuai dengan sifat korosif asam lambungyang disekresikan merupakan komponen integral yang menyebabkan cedera jaringan yang menimbulkan ulkus peptikum. Asam lambung akan mengkatalisis pembelahan molekul pepsinogen yang tidak aktif, mengubahnya menjadi pepsin yang aktif secara proteolitik, dan juga akan memberikan pH yang rendah untuk aktivitas pepsin. Aktivitas pepsin adalah maksimal pada pH kira-kira 2,0 dan akan sangat berkurang pada pH di atas 4,0. Pepsin mengalami denaturasi dan inaktivasi secara ireversibel pada pH netral atau alkalis. Suatu varietas pepsinogen dan pepsinnya masing-masing terdapat dalam getah lambung. Pepsinogen (dan pepsin aktif yang sesuai dengannya telah diklasifikasikan dengan teknik imunokimiawi PG I (pepsinogen 1 hingga 5) dan PG II (pepsinogen 6 dan 7). Pepsinogen 1 ditemukan ditemukan pada sel utama dan sel mukosa (chief cell dan mucous cell) pada korpus dan fundus lambung. Pepsinogen II terletak pada sel kelenjar pilorus, kelenjar Brunner duodenum, sel lendir kekenjar kardium lambung, dan beberapa sel sama tempat PG I ditemukan. Baik PG I dan II ditemukan dalam plasma, sedangkan hanya PG I yang ditemukan dalam urin. Pada umunya, terdapat suatu korelasi langsung antara konsentrasi PG I serum dan sekresi asam lambung yang maksimal. Kebanyakan agen yang merangsang sekresi asam lambung juga merangsang sekresi pepsinogen. Kerja kolinergik terutama meningkatkan sekresi pepsinogen. Walaupun mengjambat sekresi asam lambung, sekretin merangsang sekresi pepsinogen. Selain sekresi asam HCl, sel parietal juga mensekresi faktor intrinsik. Agen yang merangsang sekresi asam lambung juga menyebabkan sekresi faktor intrinsik. Faktor intrinsik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah segala sesuatu yang kana membantu absorbsi vitamin B12 karena vitamin B12 saat masuk dalam proses pencernaan banyak sekali mengalami kerusakan sehingga perlu dilindungi oleh adanya faktor intrinsik tersebut. (McGuigan, 2007)
E. Fisiologi Pertahanan Mukosa Lambung dan Duodenum
Mekanisme lambung dan duodenum normal dalam menahan efek korosif dari pepsin-asam (yaitu, resistensi mukosa terhadap jejas atau pertahanan mukosa) belum sepenuhnya dimengerti. Meskipun demikian, berbagai faktor yang berperan dalam dan yang dianggap berfungsi dalam pertahanan mukosa, telah dapat dikenali. Mukus lambung penting dalam pertahanan mukosa dan mencegah ulserasi peptik. Mukus lambung disekresi oleh sel mukosa pada sel epitel mukosa lambung dan kelenjar lambung. Sekresi mukus dirangsang oleh iritasi mekanis atau kimiawi dan oleh rangsang kolinergik. Mukus lambung terdapat dalam 2 fase: dalam cairan lambung pada fase terlarut dan sebagai lapisan jeli mukus yang tidak larut dengan tebal kira-kira 0,2 mm, yang melapisi permukaan mukosa lambung. Normalnya, gel mukus disekresi secara terus menerus oleh sel epitel mukosa lambung dan secara kontinu dilarutkan oleh pepsin yang disekresi ke dalam lumen lambung. Mukus lambung merupakan suatu glikoprotein primer yang besar (2x106 berat molekul), mengandung empat subunit yang dihubungkan oleh jembatan disulfida. Depolimerisasi subunit glikoprotein pada mukus, melalui pencernaan peptik atau pemutusan ikatan disulfida, menyebabkan glikoprotein tidak mampu membentuk atau mempertahankan jeli. Jika intak, jeli mukus ini bertindak sebagai lapisan air yang tidak teraduk yang memeperlambat difusi ion tetapi jauh lebih tidak permeabel terhadap peneterasi makromolekul seperti pepsin (34.000 berat molekul). Molekul pepsin yang disekresi ke dalam lumen lambung tidak dapat masuk kembali dengan adanya jeli mukus yang intak, sehingga berpotensi melindungi sel mukosa dari jejas proteolitik. (McGuigan, 2007)
Ketebalan jeli meningkat dengan adanya prostaglandin E dan berkurangnya dengan adanya obat-obatan NSAID, termasuk aspirin. Glikoprotein mukus lambung juga mengandung determinan antigenik yang digunakan untuk mengklasifikasikan substansi golongan darah AB(H). Kurang lebih tiga perempat populasi mensekresikan cairan lambung yang mengandung substansi AB(H) ini, dan individu yang seperti itu, disebut sebagai sekretor. (McGuigan, 2007)
Ion bikarbonat, yang disekresikan oleh sel nonparietal epitel lambung, memasuki jeli mukosa, berperan pada pembangunan lingkungan mikro di dalam jeli dengan gradien ion hidrogen yang besar di anatara zona jeli yang meghadap ke lumen (pH 1 sampai 2) dan zona yang berhubungan dengan mukosa lambung (pH 6 sampai 7). Sebagai lapisan air yang tidak teraduk, jeli mukus memperlambat ion hidrogen untuk berdifusi kembali ke permukaan mukosa lambung, hal ini memungkinkan pendaparan oleh bikarbonat di dalam jeli. Sekresi bikarbonat lambung dirangsang oleh kalsium, seri tertentu dari prostaglandin E dan F, agen kolinergik, dan dibutiril siklik guanosin monofosfat. Sekresi bikarbonat lambung dihambat oleh OAINS, termasuk aspirin, dan oleh asetazolamid, agen alfa adrenergik, dan etanol. (McGuigan, 2007)
Normalnya permukaan lumen dan sambungan interseluler yang ketat dari sel epitel lambung memeberikan barier mukosa lambung yang hampir total impermeabel difusi balik ion-ion hidrogen dari lumen; barier ini merupakan komponen penting dari resistensi mukosa terhadap jejas asam-peptik. Barier ini dapat terputus oleh asam empedu, salisilat, etanol, dan asam lemah organik sehingga memungkinkan terjadinya difusi balik ion-ion hidrogen dari lumen ke dalam jaringan lambung. Hal ini dapat menyebabkan jejas sel, pelepasan histamin dan sel mast, rangsangan sekresi asam yang lebih lanjut, kerusakan pembuluh-pembuluh darah kecil, perdarahn mukosa, dan erosi atau ulserasi. Interupsi barier mukosa lambung ini sangat memungkinkan menjadi penyebab dari gastritis erosif hemoragikayaang berhubungan dengan penelanan salisilat atau etanol dan dengan bentuk jejas mukosa lambung lainnya. Karen atingginya kecepatan aktivitas metabolik dam perlunya oksigen dalam jumlah besar, upaya untuk mempertahankan aliran darah normal ke mukosalambung merupakan suatu komponen penting pada resistensi mukosa terhadap jejas. Penurunan aliran darah mukosa yang disertai difusi balik ion H dari lumen merupakan penyebab dari segala kerusakan mukosa lambung. (McGuigan, 2007)
Prostaglandin, terdapat dalam jumlah besar di dalam mukosa lambung. Bermacam-macam prostglandin terutama dari seri E, terlihat menghambat jejas mukosa lambung yang disebabkan oleh berbagai macam agen. Prostaglandin endogen merupakan elemen penting yang membangun pertahanan mukosa. Prostaglandin ini merangsang sekresi mukus lambung dan bikarbonat mukosa lambung dan duodenum, yang akan mendaparkan sebagian besar asam lambung yang telah disekresi. Prostaglandin ini berperan dalam mempertahankan aliran darah mukosa lambung dan dalam integritas barier mukosa lambung. Prostaglandin mempermudah pembaruan sel epitel dalam responsnya terhadap jejas mukosa. (McGuigan, 2007)
F. Fisiologi Pengaturan Absorbsi Air dan Elektrolit
Transpor air seluruhnya dilakukan melalui proses difusi. Selanjutnya difusi ini akan mengikuti hukum osmosis. Bila kimus cukup encer, air akan diabsorbsi melalui mukosa usus ke dalam darah vili secara osmosis. Namun jika kimus hiperosmotik, air akan ditranspor dari plasma ke dalam kimus. Hal ini akan membuat kimus isoosmotik dengan plasma. Untuk mencegah hilangnya netto Na ke dalam feses, usus halus mengabsorbsi 25 sampai dengan 35 gram ion Na per harinya. Saat sekresi usus dalamm jumlah yang berarti hilang ke luar (misalnya pada diare), persediaan ion Na di tubuh kadag-kadang dapat turun sampai kee tingkat yang sangat berbahaya dalam beberapa jam. Normalnya, ion Na, kurang dari 0,5% ion Na usus hilang dalam feses setiap harinya karena diabsorbsi secara cepat melalui mukosa usus. Ion Na juga akan membantu mengabsorbsi gula dan asam-asam amino. Tenaga penggerak absorbsi Na disediakan oleh transpor aktif ion Na dari dalam sel epitel melalui bagian basal dan sisi (basolateral) dinding sel masuk ke dalam ruang paraseluler. Pada tranpor aktif ini, selalu memerlukan energi , proses energi dikatalisis oleh enzim adenosin trifosfat. Sebagian dari ion Na diabsorbsi bersama ion Cl. Ion Cl bermuatan negatif, maka akan ditarik oleh muatan listrik positif ion Na. Transpor aktif ini akan menurunkan konsentrasi ion Na di dalam sel menjadi kira-kira 50 mEq/L (normal di dalam kimus adalah 142 mEq/L). Ion Na akan bergerak menuruni gradien elektrokimia yang tinggi dari kimus melalui brush border sel epitel masuk ke dalam sitoplasma sel. Hal ini melibatkan lebih banyak ion Na yang bisa ditranspor dari sel epitel ke ruang paraseluler. Tahap setelah absorbsi ion Na maka akan diikuti oleh absorbsi air secara osmosis, maksudnya adalah osmosis air ke ruang paraseluler. Hal ini terjadi karena gradien osmotik yang besar yang dibentuk oleh peningkatan ion dalam ruang paraseluler. Bisa melalui taut erat di antara batas apikal sel-sel epitel, ada juga yang melalui sel itu sendiri. Pergerakan aliran air mengakibatkan aliran air ke dalam dan melewati ruang paraseluler masuk ke dalam sirkulasi darah villus. (Guyton dan Hall, 2007)
Jika tubuh dehidrasi maka sejumlah aldosteron hampir selalu disekresikan oleh korteks adrenal. Aldosteron mengakibatkan peningkatan aktivitas semua enzim dan mekanisme transpor untuk semua aspek absorbsi ion Na oleh sel epitel usus sehingga akan dapat meningkatkan absorbsi ion Na dan secara sekunder akan meningkatkan absorbsi ion Cl, air, dan zat-zat lainnya. Efek aldosteron ini sangat dibutuhkan ke dalam colon agar tidak kehilangan NaCl di dalam feses dan juga hanya sedikit kehilangan air. (Guyton dan Hall, 2007)
Absorbsi ion Cl bisa berlangsung sangat cepat dan melalui proses difusi pada usus halus bagian atas. Absorbsi ion Na melalui epitel akan menciptakan keelektronegatifan dalam kimus dan keelektropositifan pada ruang paraseluler di antara sel-sel epitel. Ion Cl akan bergerak sepanjang gradien listrik tersebut dan akan selalu mengikuti aliran ion Na. Selanjutnya sebagian besar ion bikarbonat (HCO3-) harus direabsorbsi di usus halus bagian atas akibat banyaknya ion bikarbonat yang disekresikan oleh pankreas atau empedu ke duodenum. Saat Na diabsorbsi maka sejumlah ion H dalam jumlah sedang akan disekresikan ke dalam lumen usus untuk ditukar dengan beberapa ion Na, kemuidan ion H tersebut akan dinetralisasikan leh ion bikarbonat sehingga akan terbentuk asam karbonat yang akan segera berdisosiasi menjadi air (akan tetap tinggal sebagian sebagai bagaian dari kimus di dalam usus) dan karbondioksida (yang siap diabsorbsi ke dalam darah kemudian akan dikeluarkan melalui ekspirasi lewat paru-paru). (Guyton dan Hall, 2007)
Tahap selanjutnya adalah tahap yang akan terjadi di ileum dan intestinum crassum atau usus besar adalah sekresi ion bikarbonat dan ion Cl secara bersamaan. Sel epitel pada permukaan vili di dalam ileum dan pada semua permukaan usus besar memiliki kemampuan khusus untuk menyekresikan ion-ion bikarbonat dan ion Cl. Karena pertukaran tersebut menyediakan ion bikarbonat alkalis yang akan menetralkan produk asam yang dihasilkan oleh bekteri di dalam usus besar. Sel epitel immatur yang terdapat di ruang lipatan epitel usus membelah untuk membentuk sel-sel epitel baru. Sel-sel matur kemudian keluar melalui luminal usus. Saat masih di lipatan itu, sel-sel epitel akan menyekresikan NaCl dan air ke dalam lumen usus yang kemudian akan direabsorbsi oleh sel-sel epitel yang lebih tua dari luar lipatan sehingga mengjhasilkan aliran air untuk menyerap hasil pencernaan usus. (Guyton dan Hall, 2007)

3. DISKUSI DAN BAHASAN
Dalam bagian ini akan dibahas lebih lanjut mengenai diare, syok hipovolemik, ulkus peptikum, dan gastritis.
Diare didefinisikan sebagai peningkatan berat tinja 200 gram per harinya, adanya peningkatan yang abormal pada keenceran tinja, dan meningkatnya frekuensi defekasi. Dibagi menjadi 2 macam, yaitu diare akut (berlangsung kurang dari 7 hari hingga 14 hari) dan diare kronik (jika berlangsung lebih dari 2 hingga 3 minggu).
Diare akut disebabkan paling sering ditemukan oleh adanya organisme yang menular. Diare akut bisa juga disebabkan oleh obat-obatan atau toksin yang termakan, penggunaan kemoterapi, pemberian kembali nutrisi enteral setelah puasa yang lama atau terjadi fecal impaction (overflow diarrhea) atau oleh situasi tertentu, misalnya lari maraton. Diare akut juga bisa menunjukkan timbulnya penyakit diare yang kronik. Diare akut biasanya merupakan diare infeksius. Sebagian besar penyakit diare infeksius didapat melalui penularan fekal oral melalui makanan atau air yang tercemar oleh kototran manusia sebagai akibat dari sistem pembuangan limbah yang jelek atau oleh karena kotoran hewan peliharaan. Daging-daging yang dikonsumsi juga bisa menyababkan sumber infeksi diare jika daging tersebut tidak dimasak dengan baik.
Pasien diare infeksius yang akut secara khas ditemukan dengan gejala nausea, vomitus, nyeri abdomen, panas, dan diare yang bisa encer, malabsorbtif atau berdarah menurut penyebabnya. Pasien-pasien oleh karena toksin atau individu dengan infeksi toksigenik secara khas akan mengalami nausea dan vomitus sebagai gejala yang menonjol tetapi jarang menderita panas yang tinggi. Nyeri abdomen yang bersifat ringan, difus serta kram, dan mengakibatkan diare cair. Vomitus yang dimulai dalam waktu beberapa jam setelah mengkonsumsi suatu makanan harus dicurigai kemungkinan keracunan makanan yang disebabkan oleh toksin yang terbentuk sebelumnya. Berbagai macam parasit juga menyebabkan adanya diare.
Diare kronik yang akan dibahas dalam pembahasan ini adalah diare osmotik dan diare sekretorik yang paling mungkin untuk masalah dalam skenario ini. Diare osmotik terjadi kalau larutan yang ditelan tidak diserap seluruhnya dalam usus halus sehingga timbul kekuatan osmotik yang akan menarik cairan ke dalam lumen intestinal. Peningkatan volume cairan di dalam lumen usus melebihi kemampuan kolon untuk penyerapan kembali. Larutan yang tidak terserap ini biasanya dapat berupa nutrien atau obat yang mengalami maldigesti atau malabsorbsi. Gejala klinis biasanya dikenal karena adanya malabsorbsi lemak (steatore) atau karbohidrat. Malabsorbsi protein atau asam amino (azotorea) umumnya tidak dikenal secara klinis kecuali jika cukup parah untuk menyebabkan malnutrisi atau akibat defisiensi spesifik asam amino. Diare sekretorik ditandai oleh volume feses yang besar akibat transportasi cairan dan elektrolit yang abnormal tetapi tidak selalu berhubungan dengan konsumsi makanan. Karena itu, diare biasanya tetap terjadi sekalipun pasien berpuasa. Istilah diare cair (watery diarrhea) sering digunakan sebagai sinonim untuk diare sekretorik. Karena cairan ini pada diare merupakan cairan yang tidak terserap, osmolalitas feses pada diare sekretorik dapat diukur berdasarkan unsur ion normal tanpa kesenjangan osmotik pada feses.
Pembahasan selanjutnya adalah mengenai syok. Syok paling mungkin terjadi dalam skenario tersebut adalah syok hipovolemik atau oligemik. Pada syok ini bisa terjadi perdarahan atau kehilangan cairan yang banyak akibat sekunder dari muntah, diare, luka bakar atau dehidrasi sehingga pengisian ventrikel tidak adekuat, seperti penurunan preload berat, direfleksikan pada penurunan volume dan tekanan end diastolik ventrikel kanan dan kiri. Perubahan ini akan menyebabkan syok dengan menimbulkan isi sekuncup (stroke volume) dan curah jantung yang tidak adekuat. Keadaan ini diduga merupakan penyebab syok yang paling sering.
Beberapa karakteristik patogenesis syok sama tanpa memperhatikan penyebab yang mendasari. Jalur end dari syok adalah kematian sel. Begitu sejumlah besr sel dari organ vital telah mencapai stadium ini, syok menjadi ireversibel, dan kematian terjadi meskipun dilakukan koreksi penyebab yang mendasari. Konsep ireversibilitas ini berguna karena menekankan diperlukannya mencegah berkembangnya syok. Mekanisme patogenetik yang menyebabkan kematian sel tidak seluruhnya dimengerti. Satu dari denominator yang lazim dari berbagai macam syok, utamanya syok hipovolemik tersebut adalah curah jantung yang rendah.
Pada pasien dengan syok oligemik timbul penurunan curah jantung yang berat dan dengan denikian terjadi penurunan perfusi organ vital. Pada awalnya, mekanisme kompensasi seperti vasokonstriksi dapat mempertahankan tekanan arteri pada tingkat yang mendekati normal. Bagaimanapun, jika proses yang menyebabkan syok ini terus berlangsung, mekanisme kompensasi ini akhirnya akan gagal, menyebabkan manifestasi klinis sindroma syok. Jika syok tetap ada, kematian sel akan terjadi dan menyebabkan syok ireversibel. Orang dewasa sehat dapat mengkompensasi kehilangan 10% volume darah total yang mendadak dengan mekanisme tertentu, terutama mekanisme vasokonstriksi yang diperantai oleh sistem simpatis. Jika ada 20 sampai 25 persen volume darah hilang dengan cepat, mekanisme kompensasi biasanya mulai gagal, dan terjadi sindroma klinis syok. Curah jantung menurun, dan terdapat hipotensi meskipun meskipun terjadi vasokonstriksi secara menyeluruh. Pengaturan aliran darah lokal mempertahankan perfusi jantung dan otak sampai akhir perjalanan, bila mekanisme tersebut juga gagal. Vasokonstriksi, yang dimulai sebagai mekanisme kompensasi pada syok mungkin menjadi berlebihan pada beberapa jaringan dan menyebabkan lesi destruktif seperti nekrosis iskemik intestinal atau jari-jari. Akhirnya, jika syok terus berlanjut, kerusakan organ pada akhirnya terjadi juga, yang akan mencetuskan sindroma distres respirasi pada dewasa, gagal ginjal akut, dan lain-lain.
Manifestasi klinis dari berbagai syok yang paling umum adalah hipotensi, yang pada orang dewasa merujuk pada tekanan arteri rata-rata kurang dari 60 mmHg. Namun, dalam melakukan interpretasi semua tingkat tekanan arteri yang diberikan, kondisi kronik tekanan darah juga harus diperhatikan. Sehingga, pasien dengan hipertensi kronik dan berat relatif menjadi hipotensif bila tekana arteri rata-rata menurun sampai 40 mmHg, bahkan walaupun tekana darah tetap melebihi 60 mmHg. Sebaliknya, pasien dengan hipitensi kronik tidak dapat menunjukkan hipotensi realtif sampai tekanan darah rata-rata di bawah 50 mmHg. Manifestasi umum syok yang lainnya adalah takikardia, oliguria, sensorium berkabut dan dingin, ekstremitas terlihat pucat karena perfusi ke ekstremitas sangat berkurang. Asidosis metabolik, yang lebih sering disebabkan oleh adanya kadar asam laktat yang berlebihan dalam darah karena aliran darah ke jaringan tidak adekuat dan berkepanjangan. Pasien dengan syok oligemik sering mempunyai riwayat perdarahan saluran makanan atau perdarahan dari tempat lain atau tanda kehilangan volume besar yang jelas melalui diare dan/atau muntah. Pada asidosis metabolik terjadi penurunan pH dan peningkatan konsentrasi H+ cairan ekstrasel. Akan tetapi, pada keadaan ini, abnormalitas primernya adalah penurunan HCO3- plasma. Kompensasi primernya meliputi peningkatan kecepatan ventilasi, yang mengurangi PCO2, dan kompensasi ginjal, yang dengan menambahkan bikarbonat baru ke cairan ekstrasel, membantu mamperkecil penurunan awal konsentrasi HCO3- ekstrasel. Pada asidosis metabolik, kelebihan H+ melebihi HCO3- yang terjadi di dalam cairan tubulus secara primer disebabkan oleh penurunan filtrasi HCO3-, penurunan filtrasi ini disebabkan oleh karena penurunan konsentrasi HCO3- di cairan ekstrasel.
Pada suatu keadaan diare dan syok hipovolemik, bisa menyebabkan suatu keadaan asidosis metabolik. Pada diare berat adalah penyebab terbesar yang paling mungkin dari asidosis metabolik. Penyabab asidosis dalam hal ini adalah hilangnya sejumlah besar natrium bikarbonat ke dalam feses. Sekresi gastrointestinal normal mengandung sejumlah besar bikarbonat, dan diare mengakibatkan hilangnya berbagai ion bikarbonat ini dari tubuh, yang akan memberi efek yang sama seperti hilangnya sejumlah besar bikarbonat dalam urin. Bentuk asidosis ini akan sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kematian, terutama pada anak-anak.
Muntah juga merupakan akibat terjadinya asidosis metabolik. Sebelum itu, akan dibahas terlebih dahulu mengenai nausea dan vomitus. Nausea dan vomitus dapat terjadi tanpa tergantung satu sama lain tetapi umumnya saling berhubungan dengan erat dan diperkirakan timbul dengan perantaraan neural yang sama. Nausea menunjukkan perasaan mual atau ingin muntah yang iminens dan biasanya beralih ke tenggorok atau epigastrium. Vomitus (atau emesis) mengacu pada gerakan ekspulsi isi lambung yang kuat melalui mulut. Gejala retching (gejala muntah tanpa isi) menunjukkan kontraksi ritmik muskular respiratorik dan abdomen yang kuat, yang sangat sering mendahului terjadinya vomitus. Nausea biasanya menyertai penurunan aktivitas fungsional lambung (seperti hipotonisitas, hipoperistaltis, dan hiposekresi) dan berubahnya motilitas usus halus (seperti hipertonisitas dan peristaltis duodenun terbalik). Kerapkali nausea hebat yang menyertai merupakan gejala yang membuktikan adanya perubahan aktivitas autonom (khususnya parasimpatik), seperti kulit yang pucat, peningkatan perspirasi, hipersalivasi, defekasi, dan kadang hipotensi serta bradikardia (sindroma vasovagal); anoreksia juga biasanya ada pada keadaan ini.
Nausea, retching, dan hipersalivasi sering mendahului vomitus yang merupakan urutan kejadian viseral involunter yang sangat terintegrasi dan motor somatik. Lambung memainkan peranan yang relatif pasif dalam proses vomitus dan kekuatan ejeksi yang utama dihasilkan oleh muskular abdomen. Dengan relaksasi fundus lambung dan sfingter gastroesofagus, peningkatan tajam tekanan intraabdomen ditimbulkan oleh kontraksi kuat diafragma serta otot-otot dinding abdomen. Keadaan ini bersama dengan kontraksi anuler pilorus lambung menghasilkan ekspulsi isi lambung ke dalam esofagus. Peningkatan tekanan intratorakal mengakibatkan gerakan lebih lanjut isi lambung ke dalam mulut. Perbalikan arah normal peristaltik esofagus mempunyai peranan dalam proses ini. Peningkatan refleks palatum durumselama kerja muntah mencegah masuknya bahan yang dimuntahkan ke dalam nasofaring, sedangkan refleks penutupan glotis dan inhibisis respirasi membantu mecegah aspirasi paru.
Gerakan vomitus dikendalikan oleh dua pusat medularis yang fungsional berbeda: pusat vomitus di bagian dorsal retikulum lateralis dan chemoreceptor trigger zone di daerah postrema dasar ventrikulus keempat. Setiap orang memiliki ambang yang sangat berbeda terhadap berbagai stimulus pada pusat vomitusnya. Pusat muntah mengontrol dan mengintegrasi kerja emesis. Pusat muntah ini menerima rangsangan aferen dari traktus gastrointestinal dan bagian lain dari tubuh, dari batang otak yang lebih tinggi dan pusat korteks, terutama aparatus labirintin, dan dari zona pencetus kemoreseptor. Lintasan eferen yang penting dalam vomitus adalah nervus frenikus (pada diafragma), nervus spinalis (pada muskulus interkostalis dan abdominalis), dan serabut-serabut saraf eferen viseral dalam nervus vagus (pada laring, faring, esofagus, dan lambung). Pusat muntah berlokasi dekat pusat medula lain yang mengatur fungsi respirasi, vasomotor, dan autonomik yang dapat terkena pada proses muntah.
Zona pencetus kemoreseptor dengan sendirinya tidak mampu menimbulkan gerakan vomitus, aktivasi zona ini lebih memberikan impuls eferen pada pusat vomitus medularis yang selanjutnya akan memulai emesis. Zona pencetus kemoreseptor merupakan kemoreseptor emetik yang dapat diaktivasi oleh berbagai stimulus atau obat, serta abnormalitas metabolik sebagaimana terjadi pada keadaan uremia atau hipoksia.
Memuntahkan isi lambung akan menyebabkan hilangnya asam dan kecenderungan ke arah alkalosis karena sekresi lambung bersifat sangat asam. Akan tetapi, memuntahkan sejumlah besar isi dari bagian GIT bagian bawah, yang kadang-kadang terjadi, menyebabkan hilangnya bikarbonat dan menimbulkan asidosis metabolik dalam cara yang sama seperti pada diare yang juga bisa menimbulkan asidosis.
Selanjutnya adalah pembahasan mengenai ulkus duodeni. Jelas bahwa sekresi asam lambung diperlukan untuk produksi ulkus duodeni. Akan tetapi semua faktor yang menjadikan subjek pensekresi asam rentan terhadap ulserasi duodenum belum ditentukan secara lengkap. Pada pasien ulkus duoseni akan mensekresi asam lebih banyak daripada normalnya. Respons terhadap perangsangan pasien ulkus duodeni juga mempunyai peningkatan dalam sekresi asam lambung dari pepsin dan dalam kadar PG I serum. Ulkus peptikum berkembnag jika terdapat keseimbangan yang tidak menguntungkan antara sekresi asam pepsin dengan ketahanan mukosa. Pada pasien dengan ulkus duodeni, lebih banyak gastrin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi sebagai respons terhadap suatu makanan yang mengandung protein. Pasien ulkus duodeni juga mempunyai respons terhadap sekretoris asam lambung yang lebih besar terhadap gastrin yang diberikan. Pengasaman bagian proksimal duodenum pada pasien dengan ulkus duodeni menyebabkan kurangnya sekresi bikarbonat ke dalam lumen oleh sel mukosa duodenum.
Faktor genetik bisa menjadi salah satu faktor risiko dari ulkus duodeni, penyakit ini kira-kira tiga kali dari yang terjadi secara umum dalam anggota pertama derajat pertama pasien ulkus duodeni. Merokok sigaret akan meningkatkan risiko terjadinya ulkus duodeni, menurunkan respons terhadap terapi, dan meningkatkan mortalitas akibat ulkus duodeni. Pada merokok sigaret, bukan karena peningkatan sekresi asam lambung tetapi karena penurunan dan hambatan pada sekresi bikarbonat pankreatik (suatu penetral endogen dari sekresei asam lambung) oleh nikotin dan mempercepat pengosongan lambung. Faktor psikologik dalam patogenesis ulkus duodenik masih kontroversial. Aktivitas ulkus duodenik akan diperburuk pada keadaan stres psikologik dan kecemasan yang kronik. Dan belum pernah dikemukakan penelitian kejadian ulkus duodeni pada pekerjaan tertentu dan faktor sosioekonomi tertentu.
Kolonisasi Helicobacter pylori pada lambung pernah dilaporkan pada 90 sampai 95 persen dari para psien dengan ulkus lambung (McGuigan, 2007). Kolonisasi lambung meningkat dengan umur, pada mereka dengan usia lebih dari 60 tahun mempunyai kolonisasi yang kira-kira sama banyak dengan pasien usai 60 tahun. Kebanyakan pasien dengan kolonisasi lambung dengan H. pylori tidak pernah mengembangkan ulserasi dan tetap asimtomatik. H. pylori adalah suatu basil gram negatif, spiral dengan flagela multipel dan lebih menyukai lingkungan mikroaerofilik. H. pylori tidak menyerang jaringan. Organisme menghuni dalam gel lendir yang melapisi epitelial, dengan bagian kecil dari H. pylori melekat langsung pada sel epitelial. Kebanyakan orang yang terinfeksi bakteri ini mempunyi neurofil-neutrofil dalam lamina propria dan kelenjar epitelial dan suatu penignkatan dalam sel radang kronik pada lamina propria. Kolonisasi bakteri ini dalam duodenum terbatas daerah metaplasia lambung dan ditemukan dalam epitelium lambung yang metaplastik dalam bulbus duodeni dari kebanyakan pasien dengan ulkus duodeni. H. pylori terbukti merupakan penyebab dari beberapa bentuk gastritis akut dan kronik.
Gambaran klinis dari ulkus duodeni yang paling umum adalah nyeri epigastrik, rasa menusuk, panas atau perih, terasa tekanan perut atau rasa penuh atau mungkin juga rasa lapar. Nyeri-nyeri tersebut sering membangunkan pasien tengah malam akibat sekresi getah lambung yang paling tinggi. Nyeri biasanya berkurang dalam beberapa menit karena makanan atau antasida. Ulkus duodeni sering kambuh tanpa adanya nyeri. Episode nyeri dapat menetap selama beberapa hari sampai beberapa minggu atau beberapa bulan. Berkurangnya nyeri dengan antasida atau makanan disebabkan netralisasi asam. Memakan makanan menyebabkan netralisasi asam lambung parsial dan sepintas lalu yang diikuti oleh pelepasan gastrin dan perangsangan sekresi asam lambung yang diakibatkannya. Nyeri yang ditimbulkan pada pasien dengan ulkus duodeni bisa disebabkan karena perangsangan asam reseptor kimiawi dan/atau perubahan dalam motilitas lambung.
Nyeri yang berhubungan dengan ulkus duodeni yang bertambah mencolok oleh karena adanya makanan dan/atau disertai muntah-muntah sering menunjukkan obstruksi jalan keluar lambung. Nyeri perut yang tiba-tiba, hebat, atau merata adalah karakteristik perforasi ulkus bebas ke dalam rongga peritoneum. Terdapat perdarahan saluran makanan yang akut dengan muntah darah atau bahan seperti “ampas kopi” atau bisa juga dengan keluarnya feses yang hitam, terlihat jelas adanya darah merah jika memang perdarahan masif. Pada pemeriksaan fisik diperoleh nyeri tekan epigastrik, daerah nyeri tekan biasanya pada garis tengah sring pada pertengahan antara pusar dan prosesus xiphoideus. Perforasi ulkus yang akut bebas ke dalam rongga peritoneum sering menimbulkan suatu abdomen yang kaku seperti papan, dengan biasanya nyeri tekan lepas (rebound tenderness). Permulaannya, auskultasi perut dapat mengungkapkan bunyi usus yang hiperaktif. Terdapat succusion splash yang disebabkan oleh cairan dan udara yang lambung yang menggembung, takikardia, hipotensi. Adanya kepucatan kulit dan selaput lendir dapat mencerminkan anemia karena kehilangan darah akut dan kronik. Nyeri ulkus postbulbar dapat terletak pada kuadran kanan atas dan dapat memancar ke punggung.
Hampir semua ulkus lambung yang tidak ganas ditemukan di dekat distal terhadap pertautan mukosa antrum dengan korpus lambung yang mensekresi asam, khususnya pada kurvatura minor lambung. Ulkus lambung jinak jarang pada fundus lambung. Ulkus lambung jinak hampir selalu disertai gastritis antrum dengan banyaknya atrofi mukosa yang variabel.
Asam pepsin tampaknya penting dalam patogenesis ulkus lambung, akan tetapi, berlawanan dengan ulkus duodeni, para pasien umumnya mempunyai laju sekresi asam yang normal atau berkurang dibandingkan dengan individu tanpa ulkus. Akhloridia sejati (pada respons terhadap stimulasi pentagastrin) hampir tidak pernah terjadi pada pasien dengan ulkus lambung junak. Pasien dengan ulkus duodenik maupun ulkus lambung cenderung mempunyai pola sekresi asam yang serupa dengan pola ulkus duodeni. Pasien dengan ulkus kanal pilorik mempunyai laju sekresi asam dan pola klinis yang serupa dengan yang ditemukan dengan ulkus duoseni yang umum. Tidak sama dengan ulkus duodeni, kadar gastrin dalam serum meningkat dalam proporsi yang sangat bermakna pada pasien dengan ulkus lambung tetapi peningkatannya terbatas pada mereka dengan hiposekresi asam lambung. Regurgitasi isi duodenum, khususnya yang mengandung empedu dapat menyebabkan cedera mukosa lambung dan ulserasi lambung yang diakibatkan oleh gangguan sawar mukosal lambung dengan hasil difusi kembali ion-ion hidrogen yang disekresi. OAINS bertanggung jawab untuk suatu bagian yanga besar pada ulkus lambung. Hal ini dianggap seperti itu karena disebabkan secara primer pertahanan mukosal berkurang oleh terhambatnya sintesis prostaglandin mukosal lambung.
Manifestasi klinis dari ulkus lambung yang paling umum adalah nyeri epigastrik tetapi nyeri ini kurang tipikal dibandingkan nyeri pada pasien dengan ulkus duodeni. Peringanan nyeri dengan memakan makanan, dan berkurangnya gejala dengan pemberian antasida kurang begitu konsisten daripada pada ulkus duodeni. Pada pasien ulkus duodeni, mual dan muntah hampir selalu menandakan obstruksi jalan keluar lambung, sedangkan pada pasien dengan ulkus lambung mungkin terdapat gejala ini tanpa adanya obstruksi mekanis. Kehilangan berat badan dapat terjadi akibat anoreksia atau keengganan terhadap makanan akibat rasa tidak enak yang ditimbulkan karena memakan makanan. Perdarahan ialah suatu komplikasi umum, yang terjadi kira-kira sebanyak 25%. Perforasi lambung jarang terjadi dibanding perdarahan. Obstruksi jalan keluar lambung dapat berkembang jika ulkus berada pada kanal pilorik atau pada antrum paling distal tetapi jarang dengan ulkus pada bagian lain dari lambung.
Gastritis ialah inflamasi mukosa lambung. Gastritis bukan penyakit tunggal. Lebih tepat, suatu kelompok penyakit yang mempunyai perubahan peradangan pada mukosa lambung yang sama tetapi ciri-ciri klinis, karakteristik histologik dan patogenesis yang berlainan. Gastritis dibagi menjadi 2 macam, yaitu gastritis akut dan kronik. Gastritis akut adalah bentuk gastritis yang paling dramatik ialah gastritis hemoragik akut, yang juga disebut sebagai gastritis erosif akut. Istilah ini mencerminkan perdarahan dari mukosa lambung hampir selalu ditemukan pada gastritis bentuk ini dan kehilangan integritas yang karakteristik dari mukosa lambung (erosi) yang menyertai lesi peradangan. Pemeriksaan makroskopik akan menunjukkan edema, kerapuhan mukosa, erosi dan tempat perdarahan dengan ekstravasasi darah ke dalam mukosa dan lumen lambung. Erosi lambung dan tempat perdarahan dapat tersebar secara difus pada seluruh mukosa lambung atau setempat pada korpus atau antrum lambung. Pemeriksaan histologik mukosa lambung akan terdapat infiltrasi lamina propria dengan sel mononuklear dan leukosit polimorfonuklear dengan ekstravasasi darah ke dalam mukosa, mengacaukan struktur glanduler. Eksudat proteinaseosa yang mengandung leukosit polimorfonuklear mungkin terdapat dalam kelenjar lambung. Erosi lambung, menurut definisinya, adalah terbatas pada mukosa dan tidak meluas sampai daerah muskularis mukosa. Gastritis erosif akut dapat menyertai lesi yang lebih dalam, lebih fokal, yang mewakili ulkus akut dan dapat meluas dan menembus ke semua lapisan lambung.
Gastritis ini sering juga disebut sebagai gastritis akibat stres. Faktor penting tampaknya mencakup iskemia mukosa lambung, difusi asam dari lumen ke dalam jaringan mukosa lambung, difusi asam dari lumen ke dalam jaringan mukosa lambung dan mungkin dalam bentuk sekresi, asam empedu, dan/atau sekresi duodeni-prankeatik lain mengalir balik ke dalam lumen lambung. Derajat keasamaan (pH) intramural mukosa lambung jatuh secara curam jika lumen lambung terus dialiri oleh adanya HCl, hal ini bisa menyebabkan lesi hemoragik yang hebat. Penurunan pH intramural disebabkan oleh difusi ion hidrogen luminal, yang merusak mukosa lambung. Berbagai macam obat dikenal bisa mencederai mukosa lambung. Obat ini mencakup aspirin dan obat-obatan OAINS lainnya, asam empedu, enzim pankreatik, dan etanol. Obat ini mengacaukan rintangan mukosal lambung, yang dalam keadaan normal menghalangi difusi kembalinya ion hidrogen dan lumen lambung ke mukosa (walaupun melawan derajat naiknya konsentrasi ion H). Penelanan aspirin atau OAINS akan menghambat aktivitas siklooksigenase mukosal lambung, dengan demikian mengurangi sintesis dan kadar jaringan prostaglandin mukosal jaringan, yang memainkan peranan penting pada pertahanan mukosal. Aspirin juga dapat mencederai pembuluh kecil dalam mukosa lambung melalui penghambatan prostasiklin dalam dinding pembuluh atau melalui penghambatan sintesis tromboksan oleh trombosit. Efek sodium salisilat, hasil metabolisme aspirin yang ditemukan dalam sirkulasi, yang toksik terhadap respirasi mitokondria dan fosforilasi oksidatif dari sel. Hal ini berakibat pada cedera sel endotelial dan epitelial dengan perdarahan ke dalam jaringan atau trombosis vaskuler melalui kekacauan sel endotelial. Etanol yang bisa merusak mukosa lambung, berhubungan dengan perdarahan subepitelial dengan edema yang mengelilinginya dan peningkatan sel-sel peradangan mukosal hanya ringan sampai sedang. Bisa juga menyebabkan cedera sel akibat sifat lipolitik dan lipofilik yang ada padanya dan/atau gangguan sawar mukosa lambung atau kerusakan langsung pembuluh darah mukosa yang kecil.
Manifestasi klinik yang terjadi berkisar dari perdarahan saluran makana yang tiba-tiba sampai kehilangan darah yang sukar diketahui, dan bisa deteksi dengan darah samar atau berkembangnya anemia ringan. Gastritis erosif biasanya asimtomatik. Gejala yang kurang umum adalah nyeri epigastrik atau abdomen bagian atas, mual dan muntah, nyeri tekan abdomen bagian atas. Tanda-tanda kehilangan darah yang sering terjadi adalah pucat, takikardia, dan hipotensi. Untuk mendiagnosis biasanya dengan dteksi darah dalam feses atau dalam bahan aspirasi lambung. Diagnosis paling baik adalah melalui endoskopi saluran makanan bagian atas yang akan memperlihatkan perdarahan mukosal, kerapuhan dan sumbatan, erosi, ulserasi superfisial atau profunda (jika ada terjadi di fundus atau korpus lambung).
Selanjutnya akan dibahas mengenai gastritis kronik. Infiltrat sel radang pada gastritis terutama terdiri dari limfosit dan sel plasma. Leukosit polimorfonuklear dan eosinofil mungkin terdapat dalam jumlah kecil tetapi tidak mencolok. Penyebaran gastritis kronik sering setempat dan tidak teratur. Berdasarkan klasifikasi histologik, melibatkan daerah superfisial dan glandular mukosa lambung yang berlanjut dengan destruksi glandular, yang diikuti oleh berkurangnya jumlah kelenjar (atrofi) yang hebat dan/atau metaplasia kelenjar. Pada gastritis superfisialis, merupakan bentuk gastritis dengan perubahan peradangan di dalam lamina propria mukosa superfisial, dengan infiltrasi seluler dan edema yang memisahkan kelenjar lambung.Jenis gastritis ini merupakan stadium permulaan dari gastritis kronik. Terdapat infiltrat sel peradangan terbatas pada lamina propria setengah bagian atas (epitelial) mukosa lambung, dan kelenjar tetap ada. Kemungkinan terdapat pengurangan mukus di dalam sel mukosa kelenjar dan gambaran mitotik dalam sel kelenjar. Gastritis atrofik, adalah stadium berikutnya dalam kronologi perkembangan gastritis kronik. Terdapat infiltrat peradangan meluas sampai ke bagian dalam mukosa. Ada distorsi dan destruksi kelenjar yang bersifat progresif, yang menjadi terpisah oleh proses peradangan. Bermula di antrum dan meluas ke proksimal ke dalam korpus dan fundus lambung. Akan diikuti dengan perkembangan stadium akhir dari gastritis kronik, yaitu atrofi lambung. Pada atrofi lambung, struktur kelenjar yang hilang sangat luas, yang sekarang akan terpisah jauh oleh jaringan ikat disertai dengan sangat berkurangnya atau tanpa infiltrat peradangan. Mukosa lambungnya tipis, sering terdapat [enonjolan dari pembuluh darah yang ada di bawahnya jika dilihat melalui pemeriksaan endoskopik. Tahap akhir adalah gastritis kronik, bisa terdapat perubahan morfologi elemen kelenjar lambung. Disebut sebagai metaplasia intestinal yang merupakan istilah yang dipakai untuk melukiskan perubahan kelenjar lambung yang kelihatan sebagai kelenjar mukosa intestinal yang kecil dan mengandung sel goblet. Gastritis kornik diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu tipe A dan tipe B, berdasarkan distribusinya dalam mukosa lambung bersama dengan pengertian berdasarkan patogenesis. Gastritis kronik tipe A merupakan bentuk yang kurang umum, menyerang korpus dan fundus lambung, dengan relatif menyerang sedikit antrum. Bentuk gastritis ini memungkinkan terjadinya anemia pernisiosa. Adanya antibodi terhadap sel parietal dan terhadap faktor intrinsik dalam serum pasien dengan gastritis tipe A dan anemia pernisiosa mendukung patogenesis imun dan autoimun untuk bentuk gastritis ini. Antibodi terhadap sel parietal telah ditunjukkan bersifat sitotoksik untuk sel mukosa lambung. Mekanisme imun yang diperantarai sel juga telah dikemukakan berpartisipasi dalam cedera sel mukosa lambung pada anemia pernisiosa dan bentuk gastritis tipe A yang berhubungan. Gatritis kronik tipe B, lebih umum dari gastritis kronik. Pasien yang lebih muda, terutama menyerang antrum sedangkan pasien yang lebih tua seluruh lambung terkena. H. pylori adalah agen yang bertanggung jawab untuk gastritis tipe B. Gastritis kronik dengan infeksi dan/atau bertahannya H.pylori berhubungan dengan sekresi asam lambung yang berkurang. Pembasmian H. pylori menyebabkan perbaikan pada temuan histologik; jika pengobatan dihentikan, perubahan inflamasi timbul kembali, dan organisme muncul kembali. Kolonisasi lambung dengan H. pylori ditemukan pada hampir semua pasien dengan gastritis superfisial yang kronik, dengan lebih sedikit bakteri yang dapat ditunjukkan dengan berkembangnya menjadi gastritis atrofik. H. pylori jumlahnya sedikit atau jarang diperlihatkan dengan dengan atrofi lambung yang berat. Refluks sekresi pankreas-empedu kronik, khususnya asam empedu dan lisolesitin, juga telah diusulkan sebagai faktor pembantu yang potensial pada timbulnya gastritis kronik tipe B.
Sekresi asam lambung berkurang pada gastritis kronik tipe A dan tipe B. Pada umumnya, pengurungan sekresi asam lambung, yang lengkap pada pasien dengan anemia pernisiosa adalah seimbang dengan kehebatan kerusakan sel parietal dan atrofi mukosa pada korpus dan fundus lambung. Kadar gastrin serum biasanya meningkat banyak sekali pada pasien dengan anemia pernisiosa. Karena mukosa antrum relatif terlewatkan, sel antral yang mengandung gastrin, kehilangan kontrol umpan balik yang secara normal dilaksanakan oleh asam dalam lambung, melepas gastrin secara terus menerus. Kadar gastrin serun juga sama-sama meningkat pada pasien dengan gastritis kronik tipe A dengan aklorhidia atau hipoklorhidia yang mendalam tanpa anemia pernisiosa. Pasien dengan gastritis tipe B, mempunyai kadar gastrin serum puasa yang sangat variabel, yang tidak secara konsisten meningkat, dan masih dalam batasan normal. Sebagian kecil pasien dengan gastritis tipe B mempunyai antibodi serum terhadap gastrin yang menyebabkan pengusulan mekanisme autoimun untuk bentuk gastritis tersebut. Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa cedera mukosa lambung yang berhubungan dengan stres, dengan etanol, atau dengan aspirin dan OAINS lainnya berkembang menjadi gastritis tipe kronik. Gastritis akut akibat H. pylori adalah bentuk gastritis akut yang memiliki kemungkinan terbesar dalam perkembangan menjadi gastritis kronik, khususnya tipe B.
Penatalaksanaan untuk berbagai penyakit GIT yang patogenesisnya didominasi oleh berlebihnya asam-pepsin akan dijelaskan sebagai berikut. Golongan antasida merupakan pilihan yang paling umum, sediaan yang paling banyak digunakan adalah campuran aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida. Antasida bekerja menetralisasi asam. Aluminium hidroksida digunakan untuk menetralisasi asam hidroklorida (HCl) dengan hasil aluminium klorida dan air. Magnesium hidroksida adalah antasida yang sangat kuat untuk mentralkan asam, yang bisa menyebabkan mencret. Selain itu, antasida yang bisa diberikan adalah jenis kalsium karbonat dan natrium bikarbonat. Kalsium karbonat akan menyebabkan perangsangan sekresi asam gastrin. Sedangkan natrium bikarbonat, tidak digunakan dalam pengobatan ulkus peptikum, karena sifatnya cenderung menginduksi alkalosis sistemik dan kandungan natriumnya yang tinggi.
Kemudian, ada obat dari golongan antireseptor H-2 (Histamin 2). Sel parietal lambung dalam bertugas mensekresi asam lambung memiliki reseptor berupa histamin 2 (H-2). Antireseptor H-2 memiliki efek kuat dalam menginhibisi sekresi asam lambung, baik dirangsang maupun tidak dirangsang. Antireseptor H-2 sangat efektof dalam pengobatan ulkus duodeni dan dalam pencegahan kekambuhannya. Janis obat-obatan daro golongan ini terdapat simetidin, ranitidin, dan yang paling baru adalah famotidin dan nizatidin. Obat golongan antikolinergik, seperti misalnya atropin, juga bisa digunakan dalam menghambat reseptor asetilkolin muskarinik sel parietal lambung. Obat golongan ini akan dapat mengurangi sekresi asam lambung tetapi tidak seefektif antireseptor H-2. Obat golongan ini tidak dapat menunjukkan percepatan penyembuhan ulkus duodeni dan memiliki beberapa efek samping, seperti misalnya mulut kering, kaburnya penglihatan, aritmia jantung, dan retensi urin. Sedangkan pranzepin merupakan pilihan utama dalam golongan antikolinergik karena lebih efektif dalam menghambat sekresi asam lambung dan lebih sedikit efek sampingnya jika dibandingkan dengan atropin.
Obat golongan pelapis digunakan bukan untuk mengurangi sekresi dari asam lambung maupun menetralkan asam lambung. Obat dalam golongan ini, misalnya sukralfat. Obat ini mengandung sukralfat yang dipercaya dengan melekatnya sukralfat pada jaringan granulasi menghalangi ion H ke dasar ulkus, kemudian akan mengikat empedu dan pepsin sehingga bisa mengurangi efek yangmerugikan serta sukralfat bisa memicu sekresi prostaglandin sebagai pelindung mukosa. Obat golongan prostaglandin bisa berikan berupa prostaglandin seri E (PGE 1 atau PGE 2). Prostaglandin seri ini secara alami mampu bekerja dalam (1) mengurangi sekresi asam lambung basal dan yang dirangsang, (2) meningkatkan resistensi terhadap cedera jaringan. Sedangkan prostaglandin eksogen memiliki kemampuan dalam (1) merangsang sekresi lendir lambung, (2) merangsang sekresi bikarbonat duodenal lambung, (3) meningkatkan atau mempertahankan aliran darah mukosa lambung, (4) mempertahankan sawar mukosa lambung dari difusi balik ion H, dan (5) mrangsang resitusi sel mukosa. Obat yang bisa digunakan sebagai alternatif lainnya adalah golongan yang bekerja dalam inhibisi pompa proton. Tahap akhir ion H oleh sel parietal dicapai dengan enzim (H+, K+-ATPase) yang membantu sebagai pompa proton, yang menukarkan hidrogen dengan kalium. H+, K+-ATPase terletak pada membrana apikal dan aparatus tubulovesikular sel parietal. Permukaan luminal enzim transmembrana tidak terlindung dari pH asam luminal lambung. Omeprazol, suatu inhibitor khas dari H+, K+-ATPase sel parietal, telah sangat terbukti dalam mengurangi sekresi asam lambung. Omeprazol merupakan suatu benzimidazol yang disubstitusikan mengikat pada H+, K+-ATPase, secara tidak langsung akan menginaktifkan enzim ini. Selengkapnya, omeprazol akan memblokir sekresi asam basal dan asam yang dirangsang.
Tidak lupa dalam mengatasi suatu penyakit adalah masalah diet pada pasien. Dengan sedikit atau tanpa perbaikan, banyak program diet yang berlainan yang telah digunakan untuk terapi pasien dengan ulkus peptikum, terutama ulkus lambung. Tidak terdapat bukti bahwa makan makanan lunak mengurangi sekresi asam lambung, membantu melancarkan penyembuhan, atau meringankan gejala ulkus (McGuigan, 2007). Demikian pula, diet lunak atau diet bebas rempah-rempah atau sari buah tidak terbukti bermanfaat. Walaupun dahulu, susu dan krim dianjurkan oleh para ahli gizi sebagai anjuran diet bagi pasien ulkus, tidak ada bukti bahwa makanan tersebut menguntungkan penyembuhan ulkus. Untuk pasien ulkus duodeni, sebaiknya menghindari mengonsumsi kopi, dengan atau tanpa kafein, dan minuman lainnya yang mengandung kafein karena efeknya atas sekresi asam lambung. Alkohol pun juga harus dihindari bagi pasien ulkus peptikum. Dan yang paling penting lagi adalah selalu memperhatikan makanan apa yang apabila setelah dikonsumsi mengakibatkan timbulnya tanda dan gejala spesifik pada pasien dengan ulkus peptikum. Jika karena mengonsumsi makanan tersebut timbul tanda dan gejala spesifik maka makanan tersebut harus dihindari.

4. KESIMPULAN
¨ Hal yang aneh yang terjadi pada wanita unur 30 tahun datang ke UGD rumah sakit Dr. Moewardi dengan keluhan sakit perut dan diare. Satu bulan sebelum masuk rumah sakit, penderita merasakan keluhan perut yang tidak enak, nyeri di daerah epigastrium, nausea dan kadang-kadang vomitus, terlambat makan kemudian akan sakit, nocturnal pain positif sehingga saat malam hari penderita akan terbangun. Saat merasakan keluhan seperti hal-hal tersebut, maka penderita akan minum obat maag (lambung) dan anti muntah bila merasakan keluhan-keluhan tersebut. Penderita juga pernah berobat ke dokter dan dokter mengatakan bahwa penderita mengalami gastritis atau ulkus peptikum. Sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, penderita mengalami diare sehari rata-rata 10 kali, konsistensi encer, tanpa disertai lendir dan darah, warna kuning bebrbau amis, juga disertai nausea dan vomitus. Vomitus terjadi setiap penderita makan atau minum. Badan lemah, kalau makan terasa pahit sehingga semakin tidak mau makan dan minum, dan kencing pun sedikit.
¨ Pada pemeriksaan fisik didapatkan data: keadaan umum lemah, gizi cukup, kesadaran apatis, tekanan darah 80/50 mmHg, nadi 110 kali/menit (regular), kecepatan respirasi 28 kali/menit (pernapasan kusmaul), suhu badan 37,0oC, mata cekung, bibir kering, kedua tangan keriput. Pemeriksaan abdomen diperoleh hasil epigastric tenderness positif, turgor perut menurun.
¨ Gastritis ialah inflamasi mukosa lambung. Gastritis akut adalah bentuk gastritis yang paling dramatik ialah gastritis hemoragik akut, yang juga disebut sebagai gastritis erosif akut. Gejala yang kurang umum adalah nyeri epigastrik atau abdomen bagian atas, mual dan muntah, nyeri tekan abdomen bagian atas. Tanda-tanda kehilangan darah yang sering terjadi adalah pucat, takikardia, dan hipotensi. Untuk mendiagnosis biasanya dengan dteksi darah dalam feses atau dalam bahan aspirasi lambung. Diagnosis paling baik adalah melalui endoskopi saluran makanan bagian atas yang akan memperlihatkan perdarahan mukosal, kerapuhan dan sumbatan, erosi, ulserasi superfisial atau profunda (jika ada terjadi di fundus atau korpus lambung).
¨ Gastritis kronik merupakan lanjutan gastritis akut oleh karena H. pylori (etiologi gastritik kronik yang paling sering). Gastritis kornik diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu tipe A dan tipe B, berdasarkan distribusinya dalam mukosa lambung bersama dengan pengertian berdasarkan patogenesis. Gastritis kronik tipe A merupakan bentuk yang kurang umum, menyerang korpus dan fundus lambung, dengan relatif menyerang sedikit antrum. Bentuk gastritis ini memungkinkan terjadinya anemia pernisiosa. Gatritis kronik tipe B, lebih umum dari gastritis kronik. Pasien yang lebih muda, terutama menyerang antrum sedangkan pasien yang lebih tua seluruh lambung terkena. H. pylori adalah agen yang bertanggung jawab untuk gastritis tipe B.
¨ Ulkus duodeni merupakan suatu kelompok penyakit kerusakan (ulserasi) pada duodenum akibat berlebihnya faktor agresif daripada faktor pertahanan mukosa pada duodenum. Gambaran klinis dari ulkus duodeni yang paling umum adalah nyeri epigastrik, rasa menusuk, panas atau perih, terasa tekanan perut atau rasa penuh atau mungkin juga rasa lapar. Nyeri-nyeri tersebut sering membangunkan pasien tengah malam akibat sekresi getah lambung yang paling tinggi. Nyeri biasanya berkurang dalam beberapa menit karena makanan atau antasida. Ulkus duodeni sering kambuh tanpa adanya nyeri. Episode nyeri dapat menetap selama beberapa hari sampai beberapa minggu atau beberapa bulan.
¨ Ulkus lambung hampir sama dengan ulkus duodeni, hanya saja lokasinya di lambung. Manifestasi klinis dari ulkus lambung yang paling umum adalah nyeri epigastrik tetapi nyeri ini kurang tipikal dibandingkan nyeri pada pasien dengan ulkus duodeni. Peringanan nyeri dengan memakan makanan, dan berkurangnya gejala dengan pemberian antasida kurang begitu konsisten daripada pada ulkus duodeni. Kehilangan berat badan dapat terjadi akibat anoreksia atau keengganan terhadap makanan akibat rasa tidak enak yang ditimbulkan karena memakan makanan.
¨ Terapi farmakologi yang penting dalam mengatasi kelainan di lambung dan duodenum akibat berlebihnya faktor agresif, antara lain adalah obat-obatan golongan antasida, golongan antikolinergik, obat pelapis, prostaglandin, dan obat-obatan inhibitor pompa proton (H+, K+-ATPase).
¨ Memperhatikan diet juga ikut mempercepat kesembuhan dan meningkatkan angka keberhasilan terapi.
¨ Syok hipovolemik merupakan bentuk syok yang terjadi karena perdarahan atau kehilangan cairan yang banyak akibat sekunder dari muntah, diare, luka bakar atau dehidrasi sehingga pengisian ventrikel tidak adekuat, seperti penurunan preload berat, direfleksikan pada penurunan volume dan tekanan end diastolik ventrikel kanan dan kiri. Perubahan ini akan menyebabkan syok dengan menimbulkan isi sekuncup (stroke volume) dan curah jantung yang tidak adekuat.
¨ Terapi cairan adalah pertolongan pertama yang diberikan pada pasien syok hipovolemik.
¨ Penyakit mengenai faktor asam-pepsin di GIT perlu mendapatkan perhatian khusus karena penyakit ini merupakan penyakit yang masih sering terjadi pada masyarakat.

5. DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Friedman, L. S. dan K. J. Isselbacher. 2007. Anoreksia, Nusea, Vomitus, dan Dispepsia. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 1. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 241-46

Friedman, L. S. dan K. J. Isselbacher. 2007. Diare dan Konstipasi. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 1. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 247-56

Greenberger, N. J. dan K. J. Isselbacher. 2007. Kelainan Absorbsi. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 4. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1558-76

Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Lindseth, G. N. 2007. Gangguan Lambung dan Duodenum. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 1. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 417-35

McGuigan, J. E. 2007. Ulkus Peptikum dan Gastritis. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 4. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1532-53

Parillo, J. E. 2007. Syok. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 1. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 218-22

Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.