Saturday, November 29, 2008

BLOK RESPIRASI

SOAL PRETEST LISAN PRAKTIKUM ANATOMI BLOK RESPIRASI
By: Ahimsa....
1. Jelaskan batas dinding thorax, serta kelainan bentuknya (minimal 4)!
2. Jelaskan secara singkat tentang mekanisme respirasi, serta otot-otot yang berperan dalam respirasi reguler dan auxiliar!
3. Jelaskan vaskularisasi dinding thorax dan skemanya!
4. Jelaskan sistema venosa dinding thorax (sistema vena azygos)!
5. Terangkan vaskularisasi glandula mammae dan kulit glandula mammae!
6. Jelaskan bangunan penting yang mealui phren (minimal 5) plus apa saja yang melaluinya!
7. Jelaskan tentang mediastinum dan isinya (superior, media, posterior, dan anterior)!
8. Jelaskan perbedaan antara bronchus dexter dan sinister!
9. Jelaskan bangunan-bangunan penting pada pulmo dexter dan sinister!
10. Jelaskan tentang tempat refleksi pleura parietalis ke pleura visceralis dan ruangan yang terbentuk karenanya!
n.b.: sebagian soal-soal di atas juga menjadi soal untuk laporan anatomi (tapi nggak ngerti yang mana yaaaa...., then untuk gambarnya laporan anatomi ada 2, yi: gambar Sobotta 21 gambar 916 dan 830 tapi nggak ngerti lagi yang jilid berapa...,,hahaha.....)
sumber: Nurul Futuchah/Ucha (G00071xx)
Soal ekstra dari ahimsa:
1. Saat pemakaman Mas Bram, siapa yang dilihat oleh Maya?
2. Berapa usia kehamilan palsu Mischa?
3. Berapa usia kehamilan fitri dan Moza?
4. Berapa juta kah harga obat yang harus ditebus Farel untuk kekuatan kandungan Fitri?
5. Apa yang direncanakan Oma selanjutnya kepada Fitri mengenai Maya?
6. Siapa nama lengkap Farel dalam sinetron Cinta Fitri Season 3?
Hahaha...
Pertanyaan itu ntar buat post test praktikum luohhhh....
Trimzzz for persons who have been opening my blog....

Monday, November 24, 2008

MIASTENIA GRAVIS

For any1 who needs this information, u can read it intentionally, or even u make my composition as ur reference!!For anyfault, i aint responsible!D most important qualification if u want to read and make as reference for ur mind, u have to tell me by sending sms or contacting me to +6281328452132 OR +6285643359787 OR +6281804470620 OR +62818254833 !It's forbidden for u to make my composition for ur goal without telling me 1st!!!!!


1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kontraksi sel-sel otot rangka merupakan akibat penghantaran impuls dari motor neuron. Tempat di mana bagian akhir dari sebuah motor neuron (akson terminal) bertemu dengan membran sebuah sel otot (sarkolema) disebut sebagai neuromuscular junction. Neuromuscular junction dipisahkan oleh suatu celah sinaptik (synaptic cleft). Bagian otot yang bersinaps dengan akson terminal pada celah sinaptik tersebut disebut sebagai motor end plate. Dalam serat otot, terdapat 2 macam tubulus, yaitu tubulus transversus (tubulus T) dan tubulus longitudinal. Pelebaran pada ujung tubulus longitudinal disebut sebagai terminal cisternae yang merupakan gudang kalsium. Ujung-ujung terminal dari akson mengandung mitokondria dan enzim asetilkolintransferase yang diperlukan untuk sintesis neurotransmiter asetilkolin (Ach). Ach dibungkus oleh vesikel-vesikel sinaptik. Ketika suatu potensial aksi sampai pada akson terminal, terjadi perubahan potensial listrik pada membran yang akan membuka kanal-kanal kalsium sehingga ion-ion kalsium ini menyebabkan vesikel sinaptik berfusi dengan membran akson terminal dan mengeluarkan Ach yang dikandungnya secara eksositosis ke dalam celah sinaptik. Selanjutnya ion-ion kalsium segera dipompa keluar dari akson terminal.
Ach terikat pada reseptor di motor end plate an menyebabkan kanal Na-K terbuka. Terbukanya kanal ini menyebabkan masuknya dua ion Na setiap keluarnya satu ion K sehingga cairan intrasel (CIS) yang normalnya lebih negatif daripada cairan ekstrasel (CES), kini lebih positif. Pertukaran ion-tion ini menyebabkan terjadinya depolarisasi lokal pada motor end plate yang disebut sebagai potensial end plate. Selanjutnya Ach segera terlepas dari reseptornya sehingga kanal Na-K menutup kembali. Ach kemudian dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase. Depolarisasi pada motor end plate memulai suatu potensial aksi yang menyebar ke seluruh sarkolema dan tubulus T. Potensial aksi ini menyebabkan pelepasan kalsium dari terminal cisternae ke dalam sitosol yang akan memicu terjadinya kontraksi otot.
Dari skenario 3 Blok Muskuloskeletal, ada beberapa masalah penting, yaitu :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Seorang wanita umur 25 tahun mengeluhkan adanya kelemahan otot, cepat capai apabila melakukan kegiatan pada anggota geraknya, kelopak mata sulit dibuka, bila melihat cepat capai, kadang-kadang kalau melihat dobel.
- Semua keluhan tersebut semakin memberat pada sore hari.
- Pada pagi hari dan saat bangun tidur keluhan tersebut berkurang bahkan hilang.
- Beberapa minggu ini keluhan semakin bertambah berat, misalnya anggota gerak cepat capai dan cepat membaik bila istirahat, bila berbicara suara semakin melemah.
- Belum mengeluh perasaan tidak enak di dada (sesak napas), tidak ada gangguan sensibilitas, dan tidak ada gangguan abnormal.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
(tidak ada keterangan di skenario)
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Tidak ditemukan keluhan seperti itu dalam keluarganya
- Pada pemeriksaan fisik, didapatkan hasil: waktu melihat (terutama ke atas) cepat capai ditandai dengan cepat menutupnya kelopak mata, bila disuruh menghitung angka dari satu sampai lima puluh secara berurutan terusmenerus suara semakin melemah, dan bila disuruh mengangkat tangan selama 2-3 menit tangannya semakin menurun.
- Pada pemeriksaan penunjang ditemukan: hasil pemeriksaan elektrolit darah dalam batas normal, hasil pemeriksaan EMG dengan merangsang salah satu saraf secara terus menerus ditemukan penurunan reaksi abnormal, tes endophronium/tes tensilon positif.
- Dokter menjelaskan adanya kelainan pada motor end plate.
- Setelah pasien diberikan prostigmin, keluhannya berkurang.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas, antara lain :
a. Anatomi, fisiologi, dan histologi otot rangka
b.Sliding Filament Theory
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Mengetahui gejala-gejalanya lebih lanjut dan penatalaksanaannya.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem kerja neuromuscular junction dan penyelesaiaannya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dan melingkupi sistem muskuloskeletal meliputi anatomi, histologi dan fisiologi.
b. Menjelaskan mekanisme sel dan biolistrik.
c. Menjelaskan mekanisme penghantaran neuromuskuler.
d. Menjelaskan patogenesis, patologi, dan patofisiologi penyakit muskuloskeletal non-trauma.
e. Menjelaskan penanganann yang komprehensif kelainan dan penyakit pada muskuloskeletal.
f. Menjelaskan efektivitas penanganan dan prognosis pada kelainan muskuloskeletal.
g. Menjelaskan penanganan komplikasi dan kecacatan pada muskuloskeletal.
h. Melakukan keterampilan untuk menunjang diagnosis pada kasus muskuloskeletal meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
i. Menerapkan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif pada kelainan muskuloskeletal di mana pada tahap ini mahasiswa mampu memberikan penjelasan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif pada kelainan muskuloskeletal.
j. Menjelaskan perubahan-perubahan post mortem pada muskuloskeletal.
k. Menggunakan teknologi informasi untuk mencari informasi terkini mengenai penyakit muskuloskeletal.
l. Merancang manajemen penyakit dan kelainan muskuloskeletal.

2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi, Fisiologi, dan Histologi Otot Rangka
Kira-kira 40% dari seluruh tubuh terdiri dari otot rangka dan hanya sekitar 10% lainnya adalah otot polos dan otot jantung. Otot rangka dibentuk oleh sejumlah serat otot (sel otot) dengan diameter 10-80 mikrometer. Selama perkembangan embrio, serat-serat otot rangka dibentuk melalui fusi banyak sel kecil sehingga terdapat banyak nukleus pada sebuah sel otot. Sebuah serat otot mengandung beberapa ratus sampai beberapa ribu miofobril. Setiap miofibril terdiri dari susunan teratur unsur-unsur sitoskeleton, yaitu filamen tebal (miosin) dan filamen tipis (aktin). Urutan usunan dari yang kompleks ke yang sederhana adalah sebagai berikut otot utuh (organ) → otot serat (sel) → miofibril (struktur intrasel) → filamen tebal dan tipis (unsur sitoskeleton khusus) → miosin dan aktin (protein). Filamen aktin dan miosin terletak sejajar satu sama lain dan sebagian saling bertautan sehingga menyebabkan miofibril memiliki pita gelap dan terang yang berselang-seling (gambaran seran lintang). Pita-pita gelap (pita A) terdiri dari tumpukan filamen miosin bersama dengan bagian dari filamen aktin yang tumpang tindih di kedua ujung filamen miosin. Daerah yang lebih terang dari pita A, yaitu tempat filamen-filamen aktin tidak bertemu, dikenal sebagai zona H. Pita-pita terang (pita I) hanya terdiri dari bagian filamen aktin yang tidak bertumpuk dengan filamen miosin. Di bagian tengah setiap pita I, terdapat sebuah garis Z vertikal. Daerah antara dua garis Z disebut sarkomer yang merupakan unit fungsional rangka. Sarkomer adalah komponen terkecil suatu serat otot yang mampu berkontraksi. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Filamen miosin terdiri dari 300 atau lebih molekul miosin tunggal. Molekul miosin tunggal terdiri dari ujung-ujung ekor protein (myosin tail) yang jalin menjalin satu sama lain dengan dua kepala globuler (myosin head) menonjol di salah satu ujung. Kepala-kepala globuler ini membentuk jembatan silang (cross bridge) antara filamen aktin dan miosin. Setiap jembatan silang mempunyai dua tempat penting untuk proses kontraktil, yaitu tempat pengikatan aktin (actin binding site) dan tempat ATPase miosin (myosin ATPase site). Filamen aktin terdiri dari 3 protein, yaitu aktin, tropomiosin, dan troponin. Tiap filamen aktin dibentuk oleh molekul-molekul aktin yang menyatu menjadi dua untaian yang saling membelit. Tiap molekul aktin mempunyai tempat pengikatan khusus untuk melekat dengan jembatan silang miosin. Pengikatan molekul aktin dan miosin di jembatan silang menghasilkan kontraksi serat otot sehingga aktin dan miosin sering disebut sebagai protein kontraktil. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Dalam keadaan relaksasi, aktin tidak mampu berikatan dengan jembatan silang karena adanya protein tropomiosin dan troponin. Tropomiosin berbentuk seperti benang yang terletak di sepanjang sisi alur spiral aktin sehingga menutupi bagian-bagian aktin yang akan berikatan dengan jembatan silang. Tropomiosin distabilisasi dalam posisi ini oleh molekul troponin. Troponin berfungsi sebagai pengunci tropomiosin supaya tetap dapat terikat pada bagian aktin yang seharusnya berikatan dengan jembatan silang miosin. Troponin mempunyai 3 jenis unit polipeptida, yaitu satu yang mengikat tropomiosin, satu yang mengikat aktin, dan satu yang dapat berikatan dengan kalsium. Ketika kalsium terikat pada troponin, bentuk protein ini berubah sehingga tropomiosin terlepas dari posisi penghambatannya. Akibatnya, aktin dan miosin dapat berikatan dan berinteraksi di jembatan silang dan menghasilkan kontraksi otot. Tropomiosin dan troponin sering disebut protein regulator. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
B. Sliding Filament Theory
Kontraksi sel otot terjadi ketika filamen aktin meluncur melalui filamen miosin. Sliding filament theory tentang mekanisme kontraksi ototmelibatkan aktivitas molekul miosin, aktin, tropomiosin, troponin, ATP, dan ion kalsium. Selama kontraksi, filamen-filamen aktin di kedua sisi sarkomer bergeser masuk ke arah pusat pita A. Filamen-filamen aktin ini menarik garis-garis Z ke tempat filamen-filamen tersebut mendekat satu sama lain sehingga sarkomer memendek. Akibatnya, seluruh serat otot juga memendek secara simultan. Baik filamen aktin maupun miosin tidak mengalami perubahan panjang selama pemendekan sarkomer. Kontraksi dilakukan oleh pergeseran filamen-filamen aktin yang mendekat satu sama lain di antara filamen miosin. Jembatan silang miosin memiliki 2 tempat ikatan yaitu tempat ikatan ATP dan tempat ikatan aktin. Sebaliknya tiap subunit aktin juga mempunyai ikatan spesifik untuk jembatan silang miosin. Terikatnya ATP pada jembatan silang akan menyebabkan hidrolisis ATP menjadi ADP dan fosfat inorganik (Pi) sehingga menghasilkan energi untuk pergerakan jembatan silang miosin (power stroke). Gerakan fleksi dari ekor dan jembatan silang miosin selalu menuju ke arah pusat sarkomer sehingga menyebabkan filamen aktin juga meluncur ke pusat sarkomer. Namun, aktin tidak dapat berikatan dengan jembatan silang miosin jika terdapat tropomiosin yang menutupi tempat ikatan spesifik pada aktin. Supaya tropomiosin ini bergeser dan tidak menutupi tempat ikatan aktin, maka troponin yang merupakan pengunci dari tropomiosin harus diinaktifkan. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Satu siklus kontraksi otot diawali dengan keluarnya ion kalsium dari terminal cisternae dan diakhiri dengan masuknya kembali ion kalsium ke dalam cisternae. Ion kalsium yang keluar dari terminal cisternae akan berikatan dengan troponin. Ikatan ini mengakibatkan perubahan bentuk kompleks tropinin-tropomiosin yang menyebabkan bergesernya rantai tropomiosin dari tempat ikatan pada protein aktin. Akhirnya, miosin dapat berikatan dengan aktin. Pada saat yang sama, terjadi hidrolisis ATP yang menghasilkan energi untuk power stroke dari jembatan silang miosin sehingga filamen aktin meluncur menuju pusat sarkomer. Untuk memutus ikatan antara jembatan silang miosin dengan aktin, sebuah molekul ATP harus terikat pada jembatan silang miosin. Hidrolisis ATP akan menghasilkan energi bagi jembatan silang miosin untuk kembali ke posisi semula. Ion-ion kalsium akan dikeluarkan secara aktif (melalui pompa ion) dari sitosol kembali ke terminal cisternae dan kompleks troponin-tropomiosin kembali menutupi tempat ikatan pada aktin. Selama kontraksi, terbentuk dan terputusnya ikatan pada jembatan silang miosin yang satu dengan yang lainnya berlangsung tidak bersamaan. Dalam hal kontraksi otot, ATP mempunyai 3 fungsi, yaitu: menyediakan energi untuk gerakan jembatan silang miosin (power stroke), memutuskan ikatan antara jembatan silang miosin dengan aktin, dan memasukkan kembali ion-ion kalsium ke dalam terminal cisternae secara aktif melalui pompa ion. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)

3. DISKUSI DAN BAHASAN
Dalam diskusi kelompok, kami mendiskusikan tentang Miastenia Gravis sebagai kasus utama yang berhubungan dengan skenario dan diagnosis bandingnya berupa botulisme. Maka dari itu, dalam bagian ini akan sedikit dibahas mengenai penyakit-penyakit tersebut.
Istilah miastenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Miastenia gravis merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Miastenia gravis ialah gangguan autoimun yang menyebabkan otot skelet menjadi lemah dan cepat lelah. Bisa diartikan juga bahwa miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan otot rangka akibat defisiensi reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga Ach akan dilepaskan ke dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor Ach pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap Na dan K secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir, dikenal sebagai potensial end plate/potensial lempeng akhir. Jika potensial lempeng akhir ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi ini melewati hubungan neuromuskular, maka Ach dengan segera dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada motor end plate dan bukan pada membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat proses imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps semakin besar sehingga lebih banyak Ach dalam perjalanannya ke arah motor end plate dapat dirusak oleh asetilkolinesterase. Selain itu jumlah Ach yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama. Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis kelainan belun jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien mengalami kelainan. Wanita muda cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus. EMG menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik bila otot dipergunakan terus menerus. Pembuktian etiologi autoimunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa kelenjar timus mempunyai hubungan yang sangat erat dalam hal ini. Pada 80% penderita miastenia gravis didapati kelenjar timu yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan limfosit lainnya.
Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat jelas. Gejala awal berupa gangguan otot-otot okuler yang menimbulkan ptosis dan diplopia. Mula-mula timbul ptosis unilateral ataupun bilateral. Setelah beberapa minggu atau beberapa bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis occular). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul tiap sore atau malam hari. Namun, lama kelamaan kelumpuhan bulbar bisa timbul pada saat pagi hari juga. Dalam hal ini, miastenia gravis dapat didiagnosis dengan tepat melalui pemeriksaan fisik dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian. Miastenia gravis juga bisa menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada pemeriksaan dapat ditemukan paresis nervus VII bilateral atau unilateral yang bersifat LMN, kelemahan otot pengunyah, kelemahan dalam berbicara, paresis palatm mole/arkus faringeus/uvula/otot-otot faring dan lidah. Hal-hal ini mengakibatkan pasien dengan miastenia gravis mengalami regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung. Kelemahan otot nonbulbar adalah tahap yang sangat lanjut. Pertama yang terkena adalah otot-otot leher sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan. Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah dan bisa juga serangan dispnea dan pasien tidak mampu membersihkan lendir. Gejala-gejala tersebut biasanya dapat dihilangkan dengan istirahat dan pemberian obat antikolinesterase.
Untuk penegakan diagnosis diperlukan beberapa tes. Tes tersebut dilakukan sebagai prosedur pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang. Tes-tes yang dapat dilakukan antara lain antibodi antireseptor Ach, antibodi antiotot skelet, tes tensilon (endophronium klorida), foto dada, tes Wartenberg, dan tes prostigmin. Di skenario dilakukan tes tensilon; tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi antireseptor Ach tidak dapat dikerjakan. Reaksi ini dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit. Kemudian tes prostigmin, dalam tes ini prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas kemudian disuntikkan intramuskular atau subkutan. Tes ini dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik.
Penatalaksanaan miastenia gravis adalah pemberian antikolinesterase, steroid, azatioprin. Bisa juga dengan dilakukan timektomi dan plasmaferesis. Antikolinesterase ini diberikan untuk menghambat kerja enzim asetilkolinesterase dalam merusak Ach yang sedang berada dalam celah sinaptik. Antikolinesterase yang dapat diberikan misalnya piridostigmin yang bekerja secara lambat, neostigmin metilsulfat yang sebelumnya harus diberikan atropin. Neostigmin dapat menginaktifkan atau bahkan menghancurkan asetilkolinesterase sehingga Ach tidak dirusak. Steroid yang paling cocok sebagai imunosupresif adalah prednisolon. Azatioprin juga merupakan imunosupresif. Pemberian prednisolon dengan azatioprin bersamaan juga sangat dianjurkan sebagai imunosupresif. Plasmaferesis pada kasus miastenia gravis akut sangat bermanfaat untuk membuang antibodi pada reseptor Ach tetapi terapi ini tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.
Dalam penyakit miastenia gravis ada istilah yang disebut dengan krisis pada miastenia gravis. Krisis ini terjadi jika pada pasien miastenia gravis sudah mengalami kesulitan atau bahkan ketidakmampuan menelan, ktidakmampuan membersihkan sekret dan bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis krisis, yaitu krisis miastenik dan krisis kolinergik. Krisis miastenikn adalah suatu keadaan krisis di mana dibutuhkan lebih banyak antikolinesterase. Tindakan yang harus dilakukan dalam krisis miastenik adalah mengontrol jalan napas, pemberian antikolinesterase, bila diperlukan diberikan obat imunosupresan dan plasmafersesis. Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan, maka obat-obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Sedangkan krisis kolinergik adalah keadaan krisis yang diakibatkan oleh obat-obat antikolinesterase. Tindakan yang dapat diberikan pada krisis ini adalah mengontrol jalan napas, diperlukan diberikan obat imunosupresan dan plasmafersesis, dan penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu dan dapat diberikan atropine 1 mg secara intravena serta dapat diulang bila perlu.
Sebagai diagnosis banding yang sudah ditetapkan dalam diskusi adalah botulisme. Botulisme merupakan akibat dari bakteri anaerob, Clostridium botulinum, yang menghalangi pengeluaran Ach dari ujung saraf motorik. Akibatnya adalah paralisis berat otot-otot skelet dalam waktu yang lama. Dari 8 jenis toksin botulinum, tipe A dan B yang paling sering menimbulkan kasus botulisme. Tipe E terdapat pada ikan laut. Intoksikasi biasanya terjadi setelah makan makanan kaleng yang tidak disterilisasi secara sempurna. Mula-mula timbul mual muntah, 12-36 jam sesudah terkena toksin. Kemudian muncul pandangan kabur, disfagia, dan disartria. Pupil dapat dilatasi maksimal. Kelemahan terjadi secara desendens selama 4-5 hari, kemudian mencapai tahap stabil (plateu). Paralisis otot pernapasan dapat terjadi begitu cepat dan bersifat fatal. Pada kasus yang berat biasanya terjadi kelemahan otot okular dan lidah. Sebagian besar penderita mengalami disfungsi otonom (misalnya muka kering, konstipasi, dan retensi urin).

4. KESIMPULAN
¨ Hal yang aneh yang terjadi pada seorang wanita umur 25 tahun mengeluhkan adanya kelemahan otot, cepat capai apabila melakukan kegiatan pada anggota geraknya, kelopak mata sulit dibuka, bila melihat cepat capai, kadang-kadang kalau melihat dobel, anggota gerak cepat capai dan cepat membaik bila istirahat, bila berbicara suara semakin melemah.
¨ Hasil pemeriksaan fisik: didapatkan hasil: waktu melihat (terutama ke atas) cepat capai ditandai dengan cepat menutupnya kelopak mata, bila disuruh menghitung angka dari satu sampai lima puluh secara berurutan terusmenerus suara semakin melemah, dan bila disuruh mengangkat tangan selama 2-3 menit tangannya semakin menurun.
¨ Hasil pemeriksaan penunjang: hasil pemeriksaan elektrolit darah dalam batas normal, hasil pemeriksaan EMG dengan merangsang salah satu saraf secara terus menerus ditemukan penurunan reaksi abnormal, tes endophronium/tes tensilon positif.
¨ Tanda dan gejala umum miastenia gravis, antara lain: gangguan otot-otot okuler yang menimbulkan ptosis dan diplopia, kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul tiap sore atau malam hari tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar bisa timbul pada saat pagi hari juga, paresis nervus VII bilateral atau unilateral yang bersifat LMN, kelemahan otot pengunyah, kelemahan dalam berbicara, paresis palatm mole/arkus faringeus/uvula/otot-otot faring dan lidah, akibatnya pasien dengan miastenia gravis mengalami regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung.
¨ Terapi miastenia gravis, bisa dilakukan dengan pemberian antikolinesterase, steroid, azatioprin, bisa juga dengan dilakukan timektomi dan plasmaferesis.
¨ Prognosis penyakit pada pasien di skenario adalah baik karena miastenia gravis pada pasien tersebut belum mencapai tahap krisis. Dan advis yang dapat diberikan adalah konsumsi obat secara teratur dan benar-benar harus mengurangi aktivitas serta banyak beristirahat agar gejala-gejala yang timbul dapat diredakan.

5. DAFTAR PUSTAKA
Burns, D. K., V. Kumar. 2007. Sistem Muskuloskeletal. Dalam: Kumar, V., R. S. Cortran, dan S. L. Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 870-1.
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Drachman, D. B. 2007. Miastenia Gravis. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 5. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 2638-41.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.

Saturday, November 15, 2008

LAPORAN OSTEOARTRITIS

For any1 who needs this information, u can read it intentionally, or even u make my composition as ur reference!!For anyfault, i aint responsible!D most important qualification if u want to read and make as reference for ur mind, u have to tell me by sending sms or contacting me to +6281328452132 OR +6285643359787 OR +6281804470620 OR +62818254833 !It's forbidden for u to make my composition for ur goal without telling me 1st!!!!!
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sendi atau joint adalah titik hubungan antara tulang dengan tulang, kartilago dengan tulang, dan gigi dengan tulang. Pada persendian jika suatu titik lebih dekat dengan hubungan pada titik kontak, maka titik itu lebih kuat daripada titik yang letaknya lebih jauh dari persendian. Keluasan gerak sendi dibagi menjadi tiga, yaitu:
- Fitted joints yang erat, jika dalam hubungan antartulang tersebut tidak ada gerakan.
- Fitted joints yang lebih longgar, jika dalam hubungan antartulang tersebut ada pergerakan yang bebas.
- Fitted joints yang sangat longgar, jika dalam hubungan antartulang tersebut sangat memungkinkan terjadinya dislokasi.
Pergerakan dalam sendi juga ditentukan oleh 3 faktor, yaitu:
- Struktur/bentuk tulang-tulang yang saling berhubungan (tulang-tulang persendian)
- Fleksibilitas (tegangan dan keeratan) dari ligamentum jaringan ikat dan kapsul sendi yang mengikat tulang-tulang secara bersamaan
- Posisi ligamentum, otot-otot, dan tendon
Sedangkan klasifikasi sendi, dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
- Functionally classified (berdasar atas derajat pergerakan yang dibentuk), ada 3 macam: sinartrosis (immovable joints/tidak memungkinkan gerakan), amfiartrosis (slightly movable joints/memungkinkan sedikit gerakan), dan diartrosis (freely movable/memungkinkan gerakan bebas)
- Structurally classified (berdasar atas ada tidaknya synovial cavity/ruang antara tulang-tulang yang berhubungan dan jenis jaringan ikat yang mengikat tulang-tulang tersebut), ada 3 macam: fibrous joint (tidak ada synovial cavity, tulang-tulang diikatkan bersama-sama oleh jaringan pengikat fibrous), cartilaginous joint (tidak ada synovial cavity, tulang-tulang diikatkan bersama-sama oleh kartilago), dan synovial joint (ada synovial cavity, tulang-tulang pembentuk sendi dipersatukan oleh kapsul artikuler di sekelilingnya dan kadang-kadang terdapat accessory ligament)
Dari skenario 2 Blok Muskuloskeletal, ada beberapa masalah penting, yaitu :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Seorang perempuan berusia 60 tahun mengeluh nyeri pada sendi lutu kirinya, terutama pada saat berjalan dan naik tangga.
- Biasanya diobati sendiri tetapi tidak kunjung sembuh sehingga sekarang berobat ke dokter.
- Penderita diberi obat untuk OA dan osteoporosis, serta dokter menyarankan untuk mengkonsultasikan ke bagian Rehabilitasi Medik.
- Diagnosis doker: penderita mengalami osteoartritis
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- Keluhan tersebut timbul sejak 2 tahun yang lalu dan kambuh-kambuhan sehingga menggangu pekerjaannya sebagai kuli gendong di pasar Legi, dan biasanya diberi obat sendiri yang dijual bebas dan dibeli tanpa resep.
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Hasil pemeriksaan fisik: pada lutut kiri didapatkan tanda-tanda radang dan keterbatasan gerak sendi (ROM/Range of Motion)
- Hasil pemeriksaan X foto rontgen: tampak adanya osteofit yang mendukung ke arah osteoartritis
- Hasil pemeriksaan Bone Marrow Density (BMD): osteoporosis
- Hasil pemeriksaan laboratorium darah: CRP meningkat, Rheumatoid Factor negatif
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas, antara lain :
a. Anatomi, fisiologi, dan histologi sendi
b.Osteoartritis
c. Osteoporosis
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Mengetahui gejala-gejalanya lebih lanjut dan penatalaksanaannya.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem kerja sendi dan penyelesaiaannya dalam masyarakat.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dan melingkupi sistem muskuloskeletal meliputi anatomi, histologi dan fisiologi.
b. Menjelaskan mekanisme sel dan biolistrik.
c. Menjelaskan mekanisme penghantaran neuromuskuler.
d. Menjelaskan patogenesis, patologi, dan patofisiologi penyakit muskuloskeletal non-trauma.
e. Menjelaskan penanganann yang komprehensif kelainan dan penyakit pada muskuloskeletal.
f. Menjelaskan efektivitas penanganan dan prognosis pada kelainan muskuloskeletal.
g. Menjelaskan penanganan komplikasi dan kecacatan pada muskuloskeletal.
h. Melakukan keterampilan untuk menunjang diagnosis pada kasus muskuloskeletal meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
i. Menerapkan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif pada kelainan muskuloskeletal di mana pada tahap ini mahasiswa mampu memberikan penjelasan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif pada kelainan muskuloskeletal.
j. Menjelaskan perubahan-perubahan post mortem pada muskuloskeletal.
k. Menggunakan teknologi informasi untuk mencari informasi terkini mengenai penyakit muskuloskeletal.
l. Merancang manajemen penyakit dan kelainan muskuloskeletal.

2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi, Fisiologi, dan Histologi Sendi
Dalam bagian ini, hanya akan dibahas sedikit mengenai persendian yang diklasifikasikan berdasarkan strukturnya. Berdasar atas strukturbya, dibagi menjadi 3 macam: (Tortora dan Anagnostakos, 2007)
a. Fibrous Joints (kekurangan synovial cavity, tulang-tulang sendi dibentuk sangat erat oleh jaringan pengikat fibrous, sedikit gerakan atau bahkan tidak ada gerakan), ada 3 macam:
- Suture, terdapat pada tulang-tulang tengkorak. Tulang-tulang dipersatukan oleh lapisan tipis jaringan pengikat fibrous padat. Struktur iregulernya menambah kekuatan dan mengurangi risiko fraktur. Jenis ini termasuk dalam sinartrosis, beberapa sutura selama masa pertumbuhan digantikan oleh tulang sehingga disebut sinostosis (termasuk dalam sinartrosis).
- Syndesmosis, pada jenis pesendian ini jaringan pengikat fibrous adalah penghubungnya tetapi jumlahnya lebih banyak daripada di dalam suture, hubungan antartulangnya pun tidak cukup erat. Termasuk dalam jenis amfiartrosis karena tulang-tulang dipisahkan lebih longgar daripada suture dan ada beberapa fleksibilitas oleh adanya membrana interosseus atau ligamentum. Contohnya pada distal articulation antara tibia dan fibula.
- Gomphosis, hubungan antartulang ini diibaratkan seperti pasak kerucut dengan lubang. Termasuk dalam jenis sinartrosis. Contohnya pada hubungan antara akar gigi (sebagai pasak) dan processus alveolaris maxillae et mandibullae (sebagai lubang).
b. Cartilaginous Joints (tidak punya synovial cavity, tulang-tulang sendi secara erat dihubungkan oleh kartilago, gerakannya sedikit atau bahkan tidak ada), ada 2 macam:
- Synchondrosis, material penghubungnya berupa kartilago hialin. Contohya terdapat pada persendian antara epifisis dan diafisis pada tulang pertumbuhan yang termasuk dalam jenis sinartrosis, saat pertumbuhan berhenti kartilago hialin digantikan oleh tulang sehingga sudah menjadi jenis sinostosis.
- Symphisis, material penghubungnya lebar, berupa fibrokartilago yang berbentuk cakram datar/flat disc, termasuk dalam jenis amfiartrosis. Contohnya terdapat pada hubungan antara corpus vertebrae, hubungan pada simfisis pubis antara permukaan-permukaan anterior os coxae.
c. Synovial Joints (terdapat ruangan antara tulang-tulang sendi yang memungkinkan adanya gerakan bebas/diartrosis).
Pada synovial joint, terdapat struktur yang sangat mendukung adanya gerakan dan penahanan beban pada sendi. Adanya articular cartilage/kartilago sendi/rawan sendi berupa kartilago hialin yang menyelubungi permukaan tulang-tulang sendi tetapi tidak mengikat tulang-tulang secara bersama-sama (Tortora dan Anagnostakos, 2007) befungsi sebagai pembentuk permukaan yang sangat halus sehingga pada pergerakan sendi, satu tulang dapat menggelincir tanpa hambatan terhadap tulang yang lainnya dan sebagai pencegah konsentrasi tekanan sehingga tulang tidak pecah sewaktu sendi mendapat beban(Brant, 2007). Makromolekul utama dalam rawan sendi adalah proteoglikan (PG) dan kolagen. PG berperan dalam menimbulkan kekakuan jaringan dan menyebabkan jaringan mampu menahan beban sedangkan kolagen berperan dalam menentukan kekuatan jaringan dan daya tahan terhadap robekan (Brandt, 2007).
Selain terdapat articular cartilage tersebut, terdapat juga articular capsule/kapsul sendi yang mengelilingi synovial joint yang akan mempersempit synovial cavity dan menyatukan tulang-tulang sendi. Tersusun menjadi 2 lapis, yaitu lapisan dalam dan lapisan luar. Lapisan luarnya berupa fibrous capsule, terdiri atas jaringan pengikat longgar padat, tersisip pada periosteum tulang-tulang sendi pada jarak yan bervariasi dari tepi articular cartilage. Fleksibilitas dari fibrous capsule menyebabkan adanya gerakan pada sendi, bisa diregangkan dan kekuatan yang yang tahan terhadap dislokasi. Serabut-serabut kapsul sendi ini tersusun atas berkas-berkas paralel/sejajar sehingga bisa beradaptasi dengan baik pada tegangan berulang. Dan tiap-tiap serabut disebut dengan ligamentum. Sedangkan di lapisan dalamnya berupa synovial membrane/membran sinovial, yang terdiri atas jaringan pengikat longgar dengan serabut elastis dan sejumlah adipose, mensekresikan synovial fluid/cairan sinovial yan melubrikasi sendi dan menyediakan nutrisi untuk rawan sendi. Cairan sinovial berisi fagosit yang dapat membuang mikroba dan debris yang dihasilkan oleh sinoviosit A yang berasal dari pemakaian dan bahkan robekan pada bagian sendi. Terdiri atas asam hialuronat yang dihasilkan oleh sinoviosit B saat sendi melakukan gerakan saja, hal ini menjadi alasan mengapa saat sendi bergerak kekentalan cairan sinovial menjadi berkurang tetapi saat tidak ada aktivitas kekentalannya menjadi tinggi, selain itu juga terdapat cairan interstitial yang dibentuk dari plasma darah. (Tortora dan Anagnostakos, 2007)
Di dalam synovial joint terdapat bantalan fibrokartilago yang terletak pada permukaan sendi pada tulang dan tersisipkan fibrous capsule pada tepinya. Bantalan ini disebut articular disc (menisci), cakram ini biasanya membagi synovial cavity menjadi 2 ruangan yang terpisah. Adanya articular disc ini dapat membuat 2 tulang dengan bentuk yang berlainan berhubungn dengan erat; articular disc ini memodifikasi permukaan sendi pada tulang-tulang persendian. Articular disc juga akan membantu memelihara stabilitas sendi dan memberikan jalan pada aliran cairan sinovial pada area-area dengan pergeseran yang terbesar. Adanya bursae, berupa organ yang berbentuk seperti karung dan terdapat dalam jaringan tubuh untuk mengurangi terjadinya pergeseran. Struktur ini mirip dengan kapsul sendi yang dindingnya terdiri atas jaringan pengikat yang dibatasi oleh synovial membrane. Bursae juga berisi cairan seperti cairan sinovial. Bursae terletak antara kulit dan tulang pada tempat di mana kulit berlekatan langsung dengan tulang, selain itu ditemukan antara tulang dan tendon, otot dan tulang, ligamentum dan tulang. Bursae juga berfungsi sebagai bantalan saat ada gerakan dari salah satu bagian tubuh terhadap bagian tubuh lainnya. Permukaan sendi bisa berhubungan antara sau dengan yang lain karena adanya beberapa faktor, yaitu kecocokan/ikatan tulang-tulang persendian, kekuatan dan keeratan joint ligament, susunan dan ketegangan otot-otot di sekitar sendi. (Tortora dan Anagnostakos, 2007)
Kekhasan synovial joint adalah adanya cracking sound saat dipisahka. Saat synovial joint pertama ditarik, ada pemisahan antara permukaan sendi yang berlawanan sehingga saat tarikan dilanjutkan ada tekanan negatif yang berkembang di dalam cairan sinovial, mengeluarkan CO2. Sehingga hasilnya terdapat gelembung-gelembung udara yang terbentuk pada cairan sinovial lalu permukaan sendi yang berlawanan tiba-tiba terpisah sampai dibatasi oleh kapsul sendi. Sekali permukaan terpisah, tekanan dalam sendi melebihi tekanan dalam gelembung dan gelembung pecah yang akan memproduksi cracking noise. Sampai gelembung-gelembung yang kecil hilang dan seluruh udara larut maka sendi tidak bisa menghasilkan bunyi lagi. Pada synovial joint yang lebih kongruen, misalnya pada sendi antara phalanges dan metacarpal akan lebih mudah menghasilkan cracking sound. (Tortora dan Anagnostakos, 2007)
Synovial joint terbagi menjadi 6 macam berdasarkan gerakan bebas yang dihasilkannya. Jenis-jenisnya antara lain: gliding joint/arthrodia (biasanya datar, pergerakan hanya dari sisi ke sisi dan ke belakang, termasuk nonaxial) pada carpal bones/tulang-tulang pergelangan tangan, hinge joint/ginglymus (permukaan konveks pada suatu tulang bersendi dengan permukaan konkaf tulang lainnya, termasuk uniaxial, pergerakannya fleksi dan ekstensi) pada elbow/siku, pivot joint/trochoid (pergerakannya rotasi, pronasi, supinasi, termasuk dalam uniaxial) pada atlantoaxial joint untuk rotasi dan radioulnar joint untuk pronasi-supinasi, ellipsoidal joint/condyloid (pergerakannya fleksi-ekstnsi, abduksi-adduksi, dan sirkumduksi, termasuk dalam biaxial) pada wrist joint/pergelangan tangan dan radiocarpal joint, saddle joint/sellaris (termasuk biaxial dengan gerakan sisi ke sisi, ke belakang dan gerakan-gerakan pada ellipsoidal joint) pada carpometacarpal joint of thumb/ibu jari, ball and socket joint (spheroid, jika ball masuk ke socket lebih dari setengahnya dan globoid, jika ball masuk ke socket kurang dari setengahnya, keduanya termasuk triaxial) pada hip joint/panggul (spheroid) dan shoulder joint/bahu (globoidea). (Tortora dan Anagnostakos, 2007)
B. Osteoartritis
Merupakan degenerative joint disease, mencerminkan adanya kegagalan sendi diartrodial. Faktor risiko dari penyakit ini adalah usia tua, trauma besar dan penggunaan sendi berulang, hubungan herediter, beban yang berkaitan dengan pekerjaan sebelumya, dan nyeri serta kecacatan pada pasien. Perubahan patologi yang khas dalam penyakit ini adalah penebalan tulang rawan pada sendi yang menapatkan beban yang lama kelamaan menipis, hiposelular kartilago, pertumbuhan tulang aposisional, eburnation, dan adanya osteofit. Manifestasi klinis dari penyakit ini antara lain nyeri dalam dan terlokalisasi di sendi yang terkena, nyeri pada malam hari yang bisa mengganggu tidur dan akan melemahkan pasien, kekakuan pada sendi yang terkena setelah inaktivitas (misalnya saat bangun pagi hari). Dalam hal ini perlu diingat bahwa kartilago sendi tidak memiliki persarafan, jadi nyeri yang dihasilkan bisa dari bermacam-macam sumber. Misalnya sumber sinovium dengan mekanisme peradangan, sumber tulang subkondral dengan mekanisme hipertensi medularis dan mikrofraktur, sumber osteofit dengan mekanisme peregangan ujung saraf periosteum, sumber ligamentum dengan mekanisme peregangan, sumber kapsul sendi dengan mekanisme peradangan dan atau distensi, sumber otot dengan mekanisme kejang. Pada beberapa pasien juga mungkin disebabkan oleh peregangan ujung saraf di periosteum yang menutupi osteofit, sedangkan pada pasien lain mungkin disebabkan oleh fraktur mikro di tulang subkondral atau hipertensi medularis yang disebabkan oleh gangguan aliran darah akibat penebalan trabekula subkondral. Kejang otot dan instabilitas sendi menyebabkan peregangan kapsul sendi juga bisa merupakan sumber nyeri. (Brandt, 2007)
Pemeriksaan untuk penegakan diagnosis bisa melalui pemeriksaan laboratorium dan radiografik. Pada pemeriksaan radiografik akan diperoleh penyempitan ruang sendi akibat berkurangnya kartilago sendi, sklerosis tulang subkondral, kista subkondral, osteofit marginalis, perubahan kontur sendi akibat remodeling tulang dan mungkin juga terdapat subluksasi. Sebenarnya tidak ada pemeriksaan laboratorium diagnostik untuk osteoartritis tetapi pemeriksaan ini juga sering dilakukan. Misalnya pemeriksaan laju endap darah, penentuan kimia serum, hitung darah, urinalisis memberikan hasil normal. Analisis cairan sinovium memperlihatkan leukositosis ringan (sel darah putih kurang dari 2000 per mikroliter), dengan predominansi sel mononukleus. (Brandt, 2007)
Terapi yang disarankan bagi para penderita osteoartritis sangan beragam, mulai dari terapi farmakologis sampai terapi pembedahan. Terapi obat pada osteoartritis bersifat simtomatik. Nyeri sendi sering dapat dikontrol dengan menggunakan analgesik sederhana, misalnya asetaminofen. Untuk nyeri yang parah, dapat digunakan dekstrapropoksifen hidroklorida. NArkotik jarang diindikasikan untuk kasus ini. NSAID sering menurunkan nyeri dan dapat memperbaiki mobilitas pada OA. Namun, belum jelas, apakah hal ini disebabkan oleh efek antiradangnya atau efek analgesiknya yang independen terhadap efek antiradangnya. Dalam sebuah penelitian, pernah diungkapkan bahwa ibuprofen dengan dosis antiinflamasi (2400 mg/h) tidak lebih efektif daripada ibuprofen dengan dosis analgesik (1200 mg/h) atau daripada asetaminofen pada dosis osteoartritis lutut simtomatik. Selain itu adanya tanda klinis peradangan (misalnya saja pembengkakan sinovium dan nyeri tekan) tidak secara akurat memperkirakan bahwa respons terhadap terapi antiinflamasi akan lebih baik daripada respons terhadap asetaminofen. Bagaimanapun juga, bila analgesik sederhana tidak adekuat, pasien dapat diberi NSAID. Beberapa obat seperti glikosaminoglikan berpolisulfat diklaim dapat menghentikan perkembangan osteoartritis pada manusia; diperkirakan bahwa beberapa NSAID juga memiliki efek kondroprotektif. Glukokortikoid sistemik tidak digunakan dalam terapi osteoartritis. Krim kapsaisin yang menghabiskan substansi P (mediator neuropeptida untuk nyeri) pada ujung saraf lokal, dapat mengurangi nyeri sendi bila diberikan secara topikal untuk pasien osteoartritis tangan dan lutut. Selain dengan terapi obat, ada terapi lain yaitu dengan pengurangan beban sendi, terapi fisis (pada bagian Rehabilitasi Medik), dan bahkan bedah ortopedik. Dilakukan tindakan bedah apabila memang terapi-terapi lain tidak berhasil mengatasi osteoartritis yang sudah sangat parah. Terapi fisis yang dilakukan di bagian Rehabilitasi Medik adalah terapi panas /aplikasi panas pada sendi yang mengalami osteoartritis dapat mengurangi nyeri sendi dan kekakuan. Untuk analgesia, bisa dilakukan terapi dingin (es), dan bisa juga TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation) bermanfaat dalam mengurangi rasa nyeri juga. (Brandt, 2007)
C. Osteoporosis
Osteoporosis adalah penyakit tulang paling umum pada orang dewasa, terutama pada usia tua. Osteoporosis berbeda dengan osteomalasia dan rakhitis karena penyakit ini lebih disebabkan oleh berkurangnya matriks organik daripada kelainan kalsifikasi tulang. Biasanya, pada osteoporosis aktivitas osteoblastik tulang kurang dari normal, dan akibatnya kecepatan penimbunan tulang menurun. Tetapi kadangkala, penyebab berkurangnya tulang ini karena aktivitas osteoklastik yang berlebihan. Sebagian besar penyebab osteoporosis adalah kurangnya stress fisik terhadap tulang karena keadaan tidak aktif, malnutrisi yang berlebihan sehingga tidak dapat dibentuk matriks protein yang cukup, kurangnya vitamin C yang diperlukan untuk sekresi bahan-bahan intrasel oleh seluruh sel termasuk osteoblas, kurangnya sekresi estrogen pada masa pasca menepouse karena estrogen menurunkan jumlah dan aktivitas osteoklas, usia tua ketika hormon-hormon pertumbuhan dan faktor-faktor pertumbuhan lainnya sangat berkurang ditambah dengan kenyataan bahwa banyak fungsi anabolik protein juga memburuk sejalan dengan penambahan usia sehingga matriks tulang tidak dapat itimbun dengan baik, dan Sindroma Cushing karena glukokortikoid yang disekresikan pada penyakit ini jumlahnya banyak sekali sehingga menyebabkan berkurangnya penimbunan protein di seluruh tubuh dan meningkatnya katabolisme protein dan juga mempunyai efek khusus menekan aktivitas osteoblastik. Selain itu, banyak penyakit akibat defisiensi metabolisme protein dapat menyebabkan osteoporosis. (Guyton dan Hall, 2007)
Gejala yang paling lazim adalah nyeri pada tulang yang mengalami osteoporosis, istrirahat di tempat tidur sementara bisa meringankan rasa nyeri, nyeri juga bisa meningkat saat setelah istirahat dan melakukan manuver Valsava, hilangnya selera makan, lemah otot. Pemeriksaan untuk kepentingan diagnosis bisa dilakukan dengan pemeriksaan radiologik, pemeriksaan laboratorium, dan BMD. Pada pemeriksaan radiologik akan didapatkan berkurangnya kepadatan mineral, peningkatan striasi vertikal yang mencolok akibat kehilangan trabekulae yang berorientasi horizontal yang relatif lebih besar dan tonjolan lempeng akhir (end plates). Korpus itu dapat menjadi semakin bikonkaf karena melemahnya lempeng subkondral, mikrofraktura, dan meluasnya cakram intervertebra, menyebabkan gambaran vertebra ikan hiu. Bila kolaps terjadi, ini biasanya mengakibatkan penurunan tinggi anterior korpus vertebra dan tidak teraturnya korteks anterior. Temuan laboratorium, konsentrasi kalsium dan fosfor anorganik dalam darah biasanya normal. Hiperfosfatemia ringan terjadi pada perempuan yang sudah melewati masa menepouse. Alkalin fosfatase pada kasus yang tanpa komplikasi adalah normal tetapi dapat meningkat setelah fraktura. Ekskresi urin untuk peptida yang mengandung hidroksiprolin, suatu indeks resorpsi tulang, biasanya normal atau sedikit pada mereka yang menderita osteoporosis dengan laju pergantian tinggi. Kadar serum osteokalsin (protein GLA tulang), ekskresi senyawa cross link hidroksipiridinium urin, dan ambilan 99mTc-metilena difosfonat juga berkorelasi dengan laju pergantian tulang. Terapi yang bisa diberikan antara lain estrogen dan androgen, suplemen kalsium, metabolit vitamin D, dan diuretika tiazid, kalsitonin, bisfosfonat, dan fluorida. (Krane dan Holick, 2007)

3. DISKUSI DAN BAHASAN
Dalam pembahasan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai patologi dan patogenesis dari osteoartritis (OA).
Perubahan yang paling mencolok pada OA biasanya dijumpai pada daerah tulang rawan sendi yang mendapat beban. Pada stadium awal, tulang rawan lebih tebal daripada normal tetapi seiring dengan perkembangan OA, permukaan sendi menipis, tulang rawan melunak, integritas permukaan terputus, dan terbentuk celah vertikal (fibrilasi). Dapat terbentuk ulkus kartilago dalam yang meluas ke tulang. Timbul daerah perbaikan fibrokartilaginosa tetapi mutu jaringan perbaikan ini lebih rendah daripada kartilago sendi hialin asli, dalam kemampuannya menahan stres mekanis. Semua kartilago secara metabolis aktif, dan kondrosit melakukan replikasi, membentuk kelompok (klon). Namun, kemudian kartilago menjadi hiposeluler. Remodeling dan hipertrofi tulang juga merupakan gambaran utama. Pertumbuhan tulang aposisional terjadi di daerah subkondral, menimbulkan gambaran sklerosis pada radiografi. Tulang yang mengalami abrasi di bawah ulkus tulang rawan mungkin tampak seperti gading (eburnation). Pertumbuhan kartilago dan tulang di tepi sendi menyebabkan terbentuknya osteofit (spur), yang mengubah kontur sendi dan mungkin membatasi gerakan. Perubahan jaringan lunak terdiri dari sinovitis kronik bebercak dan penebalan kapsul sendi, yang mungkin membatasi grakan lebih lanjut. Sering terjaadi pengecilan otot periartikularis. Perubahan ini berperan besar menimbulkan gejala dan kecacatan.
OA dapat terjadi melalui 2 kemungkinan, yaitu sifat biomaterial kartilago sendi daan tulang subkondral normal tetapi terjadi beban yang berlebihanterhadap sendi sehingga jaringan rusak dan kemungkinan yang kedua adalah beban yang ada secara fisiologis normal tetapi sifat bahan kartilago atau tulang kurang baik. Timbulnya OA juga berkaitan dengan keadaan klinis yang menurunkan kemampuan kartilago atau tulang subkondral mengubah bentuknya, misalnya pada onkronosis dan osteoporosis. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kartilago sendi tersusun oleh PG dan kolagen. Namun, selain itu juga terdapat metaloproteinase, termasuk stromelisin, kolagenase, dan gelatinase yang dapat menguraikan semua komponen matriks entrasel (PG dan kolagen) pada pH netral. Masing-masing diekskresikan oleh kondrosit sebagai proenzim yang harus diaktifkan oleh penguraian proteolitik di sekuens terminal-N-nya. Ekspresi aktivitas metaloproteinase netral mencerminkan keseimbangan antara pengaktifan bentuk laten dan penghambatan aktivitas oleh inhibitor jaringan.
Turnover (pertukaran) normal kartilago berlangsung melalui jenjang degradatif, dan banyak peneliti beranggapan bahwa pendorong utamanya adalah IL-1, sitokin yang dihasilkan oleh sel mononukleus (termasuk sel yang membatasi sinovium) dan disintesis oleh kondrosit. IL-1 merangsang sintesis dan sekresi kolagenase laten, stromelisin laten, gelatinase laten, dan aktivator plasminogen jaringan. Selain efek kataboliknya, pada konsentrasi yang lebih rendah daripada yang diperlukan untuk merangsang degradasi tulang rawan, IL-1 menekan sintesis PG oleh kondrosit, menghambat perbaikan matriks. Bahan tersebut sangat destruktif bagi tulang rawan. Keseimbangan sistem bergantung pada paling sedikit 2 inhibitor: inhibitor jaringan untuk metaloproteinase (tissue inhibitor of metalloproteinase, TIMP) dan inhibitor aktivator plasminogen 1 (plasminogen activator inhibitor 1, PAI-1), keduanya disintesis oleh kondrosit dan masing-masing membatasi aktivitas degradatif metaloproteinase netral aktif dan aktivator plasminogen. Bila TIMP atau PAI-1 rusak atau terdapat dalam konsetrasi yang kurang relatif terhadap terhadap enzim aktif, stromelisin dan plasmin bebas bekerja pada substrat matriks. Stromelisin dapat menguraikan inti protein PG dan dapat mengaktifkan kolagenase laten. Perubahan stromelisin laten menjadi protease aktif yang sangat destruktif oleh plasmin merupakan mekanisme kedua degradasi matriks.
Mediator peptida, misalnya insulin-like growth factor 1 (IGF-1) dan transforming growth factor β (TGF-β), merangsang biosintesis PG. Mediator tersebut mengatur metabolisme matriks dalam tulang rawan normal dan mungkin berperan dalam perbaikan matriks pada OA. Faktor pertumbuhan ini memodulasi jalur katabolik sekaligus anabolik metabolisme kondrosit; mereka tidak saja meningkatkan sintesis PG tetapi juga menurunkan reseptor kondrosit untuk IL-1, menurunkan degradasi PG. Tidak diketahui apakah perubahan akibat usia terjadi pada konsentrasi IGF-1 atau TGF-β dalam matriks atau dalam responsivitas kondrosit OA terhadap mediator ini. Metabolisme kondrosit pada kartilago normal secara langsung dimodulasi oleh beban mekanis. Beban statik dan beban siklik berkepanjangan menghambat sintesis PG dan protein, sedangkan beban yang relatif singkat dapat merangsang biosintesis matriks.
Pada OA tidak terdapat perubahan kandungan kolagen, tampak terdapat perubahan susunan dan ukuran serat kolagen. Data biokimia konsisten dengan adanya defek pada jaringan kolagen tulang rawan, mungkin akibat terputusnya lem yang mengikat serat kolagen yang berdekatan di matriks. Walaupun aus mungkin merupakan faktor dalam hilangnya kartilago, metaloproteinase lisosom dan netral merupakan penyebab utama hilangnya matriks kartilago pada OA. Apakah sintesis atau sekresi enzim itu dirangsang oleh IL-1 atau faktor lain (misalnya rangsang mekanis), metaloprotease netral, plasmin, dan katepsin, tampaknya sama berperan dalam rusaknya kartilago pada OA. TIMP dan PAI-1 mungkin bekerja untuk menstabilkan sistem, paling tidak secara temporer, dan faktor pertumbuhan, seperti IGF-1, TGF-β, serta faktor pertumbuhan fibroblas basa (FGF), diperkirakan berperan dalam proses perbaikan lesi atau paling tidak, menstabilkan proses. Tampaknya terdapat ketidakseimbangan stoikiometrik antara kadar enzim aktif, yang mungkin beberapa kali lipat lebih tinggi daripada kadar pada kartilago normal, dan kadar TIMP, yang mungkin hanya sedikit meningkat.
Kondrosit pada kartilago OA mengalami pembelahan sel aktif dan secara metabolis sangat aktif, mnghasilkan banyak kolagen dan PG. Sebelum hilangnya kartilago dan berkurangnya PG, aktivitas biosintetik yang mencolok ini mungkin menyebabkan peningkatan konsentrasi PG, yang mungkin berkaitan dengan penebalan kartilagodan OA stabil terkompensasi. Mekanisme homeostatik ini mungkin mempertahankan keadaan fungsional sendi selama bertahun-tahun. Namun, jaringan perbaikan sering tidak sekuat kartilago hialin dalam menahan stres mekanis. Akhirnya, paling sedikit pada beberapa kasus, kecepatan sintesis PG berkurang dan timbullah OA stadium akhir sehingga seluruh ketebalan kartilago lenyap.
Di skenario terdapat pemeriksaan CRP dan faktor reumatoid. CRP atau Protein C reaktif adalah suatu alfa-globulin yang timbul dalam serum bila terjadi inflamasi. Protein ini disebut demikian karena ia bereaksi dengan C-polisakarida yang terdapat pada pneumokokus. Semula disangka bahwa timbulnya protein ini merupakan respons spesifik terhadap infeksi pneumokokus tetapi ternyata sekarang bahwa protein ini adalah suatu reaktan fase akut, yaitu indikator nonspsesifik untuk inflamasi. Penetapan kadar CRP secara serial merupakan indeks aktivitas penyakit dan dapat dipakai untuk mengikuti pengobatan penyakit seperti artritis reumatoid dan demam reumatik. Sedangkan faktor reumatoid sendiri adalah imunoglobulin yang bereaksi dengan molekul IgG. Karena penderita juga mengandung IgG di dalam serum, maka faktor reumatoid ini termasuk autoantibodi. Penyebab timbulnya faktor reumatoid ini belum diketahui, walaupun aktivasi komplemen akibat adanya interaksi reumatoid dengan IgG memegang peranan yang penting pada artritis reumatoid dan penyakit-penyakit lain dengan faktor reumatoid positif. Faktor reumatoid juga sering ditemukan pada penyakit autoimun lainnya.

4. KESIMPULAN
¨ Hal yang aneh yang terjadi pada seorang perempuan berusia 60 tahun mengeluh nyeri pada sendi lutu kirinya, terutama pada saat berjalan dan naik tangga. Keluhan tersebut timbul sejak 2 tahun yang lalu dan kambuh-kambuhan sehingga menggangu pekerjaannya sebagai kuli gendong di pasar Legi, dan biasanya diberi obat sendiri yang dijual bebas dan dibeli tanpa resep.
¨ Hasil pemeriksaan fisik: pada lutut kiri didapatkan tanda-tanda radang dan keterbatasan gerak sendi (ROM/Range of Motion)
¨ Hasil pemeriksaan X foto rontgen: tampak adanya osteofit yang mendukung ke arah osteoartritis
¨ Tanda dan gejala umum osteoartritis, antara lain: nyeri dalam dan terlokalisasi di sendi yang terkena, nyeri pada malam hari yang bisa mengganggu tidur dan akan melemahkan pasien, kekakuan pada sendi yang terkena setelah inaktivitas (misalnya saat bangun pagi hari).
¨ Tanda dan gejala umum osteoporosis, antara lain: nyeri pada tulang yang mengalami osteoporosis, istrirahat di tempat tidur sementara bisa meringankan rasa nyeri, nyeri juga bisa meningkat saat setelah istirahat dan melakukan manuver Valsava, hilangnya selera makan, lemah otot.
¨ Terapi osteoartritis, bisa dilakukan dengan terapi obat, pengurangan beban sendi, terapi fisis, dan bedah ortopedik.
¨ Terapi osteoporosis, bisa dilakukan dengan estrogen dan androgen, suplemen kalsium, metabolit vitamin D, dan diuretika tiazid, kalsitonin, bisfosfonat, dan fluorida.
¨ Masalah osteoartritis dan osteoporosis sebagai penyakit yang sangat penting untuk diungkapkan karena masalah ini sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita akibat beban pekerjaan dan kesalahan dalam mengkonsumsi.

5. DAFTAR PUSTAKA
Brandt, K. D. 2007. Osteoartritis. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 4. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1886-1892.
Burns, D. K., V. Kumar. 2007. Sistem Muskuloskeletal. Dalam: Kumar, V., R. S. Cortran, dan S. L. Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 843-880.
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Krane, S. M. dan M. F. Holick. 2007. Penyakit Tulang Metabolik. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 5. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 2398-2404.
Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.

Saturday, November 8, 2008

LAPORAN OSTEOMIELITIS

For any1 who needs this information, u can read it intentionally, or even u make my composition as ur reference!!For anyfault, i aint responsible!D most important qualification if u want to read and make as reference for ur mind, u have to tell me by sending sms or contacting me to +6281328452132 OR +6285643359787 OR +6281804470620 OR +62818254833 !It's forbidden for u to make my composition for ur goal without telling me 1st!!!!!
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tubuh manusia diperkuat, disangga, dan ditegakkan oleh bagian-bagian yang tidak bisa kita lihat, yaitu tulang. Tanpa tulang, tubuh akan terkulai seperti ubur-ubur. Tulang melakukan banyak tugas. Tulang panjang di lengan bekerja seperti pengungkit untuk mengulurkan tangan. Tulang jari membuat kita bisa menggenggam dan memegang. Tulang kaki juga bekerja seperti pengungkit ketika kita berjalan dan berlari. Tulang melindungi bagian-bagian tubuh yang lebih lunak. Tengkorak yang berbentuk seperti kubah melindungi otak. Tulang rusuk di dada seperti jeruji kurungan untuk melindungi jantung dan paru-paru di dalamnya. Tulang juga menghasilkan sel-sel darah.
Tulang berisi benang yang terbuat dari zat yang kuat dan sedikit bercabang yang disebut kolagen. Tulang juga mempunyai mineral keras seperti kalsium dan fosfat. Kolagen dan mineral membuat tulang kuat dan kaku, namun mampu sedikit tertekuk akibat tekanan. Tulang mempunyai pembuluh darah sebagai fungsi nutrisinya dan saraf untuk merasakan tekanan dan sakit. Sebagian tulang bukanlah benda padat. Tulang-tulang tersebut berisi zat yang menyerupai jeli yang disebut sumsum. Sumsum inilah yang menghasilkan bagian-bagian yang sangat kecil untuk darah, yang disebut sel darah merah dan sel darah putih.
Tulang membutuhkan zat-zat seperti vitamin, mineral, dan hormon dalam pembentukan dan pertumbuhannya. Di samping tulang yang kuat untuk melakukan gerak pasif dan melindungi organ-organ viseral di dalam tubuh. Namun, tulang pun juga bisa mengalami pengeroposan dan penyakit lainnya, misalnya infeksi, akibat salah dalam perawatan tulang. Kesalahan perawatan ini bisa saja kesalahan perawatan saat tulang kita sehat sehingga suatu saat tulang kita keropos atau mungkin perawatan yang salah saat tulang kita terluka, misalnya open fracture, sehingga tulang kita mengalami infeksi mikroba. Bagaimana keadaan tulang kita saat terinfeksi? Di dalam skenario 1 blok muskuloskeletal, kita akan mengetahui hal tersebut.
Dari skenario 1 Blok Muskuloskeletal, ada beberapa masalah penting, yaitu :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Seorang laki-laki berusia 20 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri tungkai bawah kanan, pireksia, kemerahan, sinus di kulit yang hilang timbul.
- Diagnosis doker: penderita mengalami osteomielitis.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- Saat dua tahun yang lalu, penderita mengalami kecelakaan sehingga terjadi patah tulang di tungkai bawah yang mana tulang tampak dari luar.
- Saat itu, penderita dibawa ke dukun tulang untuk disembuhkan dari keadaan patah tulangnya.
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Hasil pemeriksaan fisik: didapatkan deformitas, scarr tissue dengan diameter 10 cm pada region anterior tibia kanan, sinus dengan discharge seropurulen melekat pada tulang di bawahnya, dan ekskoriasi kulit di sekitar sinus.
- Hasil plain foto yang dilakukan akibat kecurigaan akan infeksi: didapatkan penebalan periosteum, bone resorpsion, sklerosis di sekitar tulang, involukrum, sekuester, angulasi tibia dan fibula (varus).
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas, antara lain :
a. Proses penulangan (pembentukan tulang)
b.Anatomi, histologi, dan fisiologi tulang
c. Osteomielitis
d. Osteoporosis
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Mengetahui gejala-gejalanya lebih lanjut dan penatalaksanaannya.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem kerja tulang dan otot dan penyelesaiaannya dalam masyarakat.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dan melingkupi sistem muskuloskeletal meliputi anatomi, histologi dan fisiologi.
b. Menjelaskan mekanisme sel dan biolistrik.
c. Menjelaskan mekanisme penghantaran neuromuskuler.
d. Menjelaskan patogenesis, patologi, dan patofisiologi penyakit muskuloskeletal non-trauma.
e. Menjelaskan penanganann yang komprehensif kelainan dan penyakit pada muskuloskeletal.
f. Menjelaskan efektivitas penanganan dan prognosis pada kelainan muskuloskeletal.
g. Menjelaskan penanganan komplikasi dan kecacatan pada muskuloskeletal.
h. Melakukan keterampilan untuk menunjang diagnosis pada kasus muskuloskeletal meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
i. Menerapkan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif pada kelainan muskuloskeletal di mana pada tahap ini mahasiswa mampu memberikan penjelasan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif pada kelainan muskuloskeletal.
j. Menjelaskan perubahan-perubahan post mortem pada muskuloskeletal.
k. Menggunakan teknologi informasi untuk mencari informasi terkini mengenai penyakit muskuloskeletal.
l. Merancang manajemen pnyakit dan kelainan muskuloskeletal.

2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Proses Penulangan (Pembentukan Tulang)
Proses terbentuknya tulang disebut juga dengan osifikasi atau osteogenesis. Osifikasi terbagi menjadi 2 macam, yaitu osifikasi intramembranosa/osifikasi langsung/osifikasi desmal, terjadi dalam suatu membran mesenkim, dan osifikasi endokondral/osifikasi enkondral/osifikasi tidak langsung, terjadi dalam suatu model tulang rawan hialin. (Guyton dan Hall, 2007)
a. Osifikasi intramembranosa: mula-mula sel mesenkim dalam suatu membran mesenkim berdiferensiasi menjadi fibroblas untuk membentuk sabut-sabut kolagen sehingga terbentuklah jaringan pengikat longgar berupa membran. Osifikasi intramembranosa dimulai pada saat ada sekelompok sel mesenkim yang berdiferensiasi menjadi osteoblas di dalam membran jaringan pengikat yang telah terbentuk. Selanjutnya tempat ini disebut dengan pusat osifikasi dan osteoblas mulai membentuk matriks dan ia terbenam dalam matriks yang dibentuknya sendiri dan berubah menjadi osteosit. Tidak semua osteoblas berubah menjadi osteosit, sebagian yang lain akan berproliferasi menjadi osteoblas baru dan akan menjauhi pusat-pusat osifikasi. Akhirnya akan terjadi pengendapan bahan-bahan mineral dan terbentuklah jaringan tulang muda disebut trabekula tulang sebagai hasil penggabungan dari perluasan pusat-pusat osifikasi. (Tortora dan Anagnostakos, 2007)
b. Osifikasi endokondral: dimulai dari masuknya kapiler darah sel-sel bagian dalam perikondrium yang berdiferensiasi menjadi osteoblas yang selanjutnya akan membentuk jaringan tulang di bagian tepi dari model tulang rawan hialin. Perikondrium selanjutnya menjadi periosteum. Jaringan tulang yang terbentuk disebut periostal bone collar atau periostal band. Setelah terbentuk periostal bone collar, matriks tulang rawan di bagian dalam akan mengalami pengapuran, sel-selnya hipertropi dan akhirnya mati dengan meninggalkan ruang-ruang kosong. Periostal bud yang terdiri atas osteoblas dan sel-sel osteogenik disertai kapiler darah periosteum, memasuki ruang-ruang kosong akibat kematian kondrosit. Osteoblas segera mensintesis matriks dasar yang dilanjutkan dengan proses mineralisasi sehingga terbentuk jaringan tulang muda sebagai pusat osifikasi primer. Osifikasi endokondral model ini terjadi pada bagian diafisis. Untuk bagian epifisis, proses osifikasi endokondral agak berbeda. Pada bagian epifisis, pusat osifikasi di sini (sekunder) mirip dengan pusat osifikasi pada diafisis (primer) tetapi pertumbuhan lebih lanjut tidak secara memanjang tetapi radier. Lagipula karena kartilago artikularis tidak mempunyai perikondrium maka periostal bone collar tidak terbentuk. Setelah terbentuk jaringan tulang, masih ada tempat di mana tulang rawan masih dipertahankan yaitu pada kartilago artikularis yang menetap seumur hidup dan kartilago epifisealis yang akan menghilang pada usia dewasa. (Tortora dan Anagnostakos, 2007)
B. Anatomi, Fisiologi, dan Histologi Tulang
Secara anatomi, tulang memiliki matriks yang kasar dan solid karena banyaknya deposit garam kalsium, sel-sel tulang dan sel-sel darah, serta pembuluh darah. Dua pertiga matriks tulang berupa kalsium fosfat yang tahan terhadap berbagai macam tekanan dan yang sepertiga matriks tulang terdiri atas fibra kolagen yang sangat rentan terhadap tekanan. Tulang memiliki berbagai macam bentuk, hal ini pula yang mendasari klasifikasi tulang dalam anatomi. Ada tulang panjang/os longum (misalnya os femur, os humerus), tulang pendek/os breve (misalnya ossa carpalia, ossa tarsalia), tulang pipih/os planum (misalnya os sternum, os scapula), tulang bentuk lembaran/os pneumaticum (misalnya os ethmoidale, os maxillare), dan tulang yang tidak teratur/os irreguler (misalnya os vertebrae). Tulang memiliki 2 macam jaringan, yaitu pars compactum dan pars spongiosum. Pars compactum merupakan bagian dari tulang yang berupa jaringan yang padat dan kompak. Sedangkan pars spongiosum merupakan bagian tulang yang berupa jaringan yang berlubang-lubang seperti spons dan terletak di bagian dalam mengitari cavum medullare yang berisi medulla osseum. Jika medulla osseum ini didominasi oleh jaringan lemak, disebut dengan medulla osseum flavum yang berfumgsi dalam penyimpanan cadangan energi. Namun, jika medulla osseum terisi sel darah putih, sel darah merah, dan sel tulang muda yang berwarna merah, disebut dengan medulla osseum rubrum yang berfungsi dalam pembentukan sel-sel darah. Komposisi antara pars compactum dan pars spongiosum dalam tulang adalah sama, yang berbeda hanyalah dalam hal pengaturan canalis centralis, osteosit, dan lamela. (Tortora dan Anagnostakos, 2007)
Secara histologis, tulang termasuk jaringan pengikat khusus yang teridiri atas bahan antarsel yang mengalami kalsifikasi/mineralisasi dan beberapa macam sel-sel tulang; osteoblas, osteosit dan osteoklas. Bahan antar sel tulang terutama adalah kalsium dan fosfor dalam bentuk kristal hidroksi apatit, bahan organis yang berupa sabut-sabut kolagen, dan bahan dasar amorf yang mengandung glikosaminoglikan. Osteoblas berfungsi mensintesis matriks organis tulang, dalam keadaan aktif bentuknya kuboid dan sitoplasmanya basofilik. Bila aktifitasnya menurun, bentuknya lebih pipih dan basofilik sitoplasmanya berkurang. Osteoblas memiliki prosessus protoplasma yang memungkinkan berhubungan dengan osteoblas di sekitarnya. Osteosit adalah bentukan osteoblas jika osteoblas telah berada dalam matriks tulang yang disintesisnya. Setelah matriks tulang mengalami kalsifikasi, osteosit akan berada pada ruangan-ruangan yang disebut lakuna, dan tonjolan sitoplasmanya berada dalam kanalikuli, berhubungan dengan tonjolan sitoplasma osteosit yang berdekatan. Bila dibandingkan dengan osteoblas, osteosit lebih pipih dan kromatinnya lebih padat. Sedangkan osteoklas adalah sel berukuran besar, dapat bergerak dan sitoplasmanya bercabang-cabang kepucatan dan banyak mengandung inti (5-50 buah). Ia mempunyai aktivitas untuk menghancurkan tulang dan matriksnya dan sering terdapat dalam suatu cekungan di permukaan jaringan tulang muda, yang disebut lakuna Howship. Ada 2 macam jaringan tulang secara histologis, yaitu jaringan tulang muda (nonlameler) dan jaringan tulang dewasa (lameler). Jaringan tulang muda bersifat temporer, yaitu terdapat pada proses pembentukan tulang dan pada proses penyembuhan fraktur. Pada saat dewasa sebagian besar akan digantikan oleh jaringan tulang dewasa. Permukaan luar dan dalam jaringan tulang dilapisi oleh jaringan pengikat yang disebut periosteum dan endosteum. Periosteum merupakan jaringan pengikat padat, di bagian luar lebih banyak mengandung sabut-sabut jaringan pengikat, pembuluh darah, saraf dengan sedikit sel. Bagian ini disebut stratum fibrosum. Bagian dalam periosteum disebut stratum germinativum, lebih banyak mengandung sel-sel pipih yang mampu berdiferensiasi menjadi osteoblas, sabut-sabut elastis dan kolagen yang tersusun lebih longgar. Sabut-sabut kolagen periosteum yang menembus matriks tulang dan mengikatkan periosteum ke tulang disebut sabut Sharpey. Endosteum mempunyai struktur dan komponen yang sama dengan periosteum tetapi lebih tipis dan tidak memperlihatkan 2 lapisan seperti pada periosteum. Ke arah luar bersifat osteogenik dan ke arah dalam bersifat hemopoetik. (Tortora dan Anagnostakos, 2007)
Pada jaringan tulang muda akan didapati banyak sel dan sabut-sabut kolagen dengan sedikit bahan mineral (anorganis). Osteoblas tersusun secara epitelial pada permukaan jaringan tulang muda (trabekula tulang) dan terdapat dalam lakuna yang lebih bulat. Sabut-sabut kolagen arahnya tidak teratur, kasar, dan meembentuk berkas. Sering ditemukan sel osteoklas di permukaan jaringan tulang muda. Sedangkan pada jaringan tulang dewasa, secara khusus memperlihatkan sabut-sabut kolagen tersusun dalam lamel-lamel konsentris yang mengelilingi saluran Havers. Saluran Havers merupakan saluran yang arahnya sejajar sumbu panjang tulang, dilapisi oleh endosteum, mengandung pembuluh darah, saraf dan jaringan pengikat longgar. Kanal Havers dan lamel-lamel (4-20 lamel konsentris) yang mengelilinginya disebut Sistem Havers. Di antara lamel-lamel terdapat deretan osteosit di dalam lakuna dengan tonjolan sitoplasmanya terdapat di dalam kanalikuli yang menghubungkan satu lakuna dengan lakuna yang lain dan akhirnya berhubungan dengan kanal Havers. Kanal Havers berhubungan dengan rongga sumsum dan akan berhubungan dengan kanal Havers yang lain melalui kanal Volkman yang berjalan secara melintang atau oblik. Kanal Volkman tidak dikelilingi oleh lamel-lamel konsentris bahkan tampak menembus lamel-lamel tersebut. Selain lamel Havers ada sistem lamel lainnya, yaitu lamel generalia eksterna yang terdapat di bawah periosteum sejajar permukaan dan lamel generalia interna yang terdapat di bagian dalam berbatasan dengan endosteum. Sedangkan lamel interstisiil atau lamel intermediate, terdapat di antara sistem-sistem Havers berbentuk segitiga atau tidak teratur. (Tortora dan Anagnostakos, 2007)
Dalam hal fisiologi ini, akan dibicarakan mengenai tulang dan hubungannya dengan kalsium ekstrasel dan fosfat. Sudah dijelaskan sebelumnya, tulang terdiri atas matriks organik keras yang sangat diperkuat dengan timbunan garam-garam kalsium. Rata-rata tulang padat mengandung berat yang terbentuk dari sekitar 30% matriks dan 70% garam. Tulang yang baru dibentuk dapat memiliki persentase matriks yang lebih besar dibandingkan dengan garam. Matriks organik tulang terdiri atas serat kolagen sebesar 90-95 persen dan sisanya dibentuk oleh medium gelatinosa homogen yang disebut substansia dasar. Serat kolagen terbentang terutama di sepanjang garis tekanan dan memberikan kekuatan tulang terhadap tarikan. Substansia dasar terdiri atas cairan ekstrasel dan proteoglikans, terutama kondroitin sulfat dan asam hialuronat. Fungsi yang pasti dari kedua substansi tersebut masih belum diketahui, meskipun keduanya membantu mengatur timbunan garam kalsium. Timbunan garam kristalin dalam matriks organik tulang terutama terdiri atas kalsium dan fosfat. Rumus kimia garam kristalin utama, yang dikenal sebagai hidroksiapatit adalah Ca10(PO4)5(OH)2. Setiap kristal dengan panjang sekitar 400 angstrom, tebal 10-30 angstrom, dan lebar 100 angstrom, berbentuk seperti suatu lempeng pipih yang panjang. Rasio relatif kalsium terhadap fosfat dapat sangat bervariasi pada berbgai status nutrisi, yaitu rasio Ca/P pada dasar berat yang bervariasi antara 1,3 dan 2,0. Ion magnesium, natrium, dan kalium, dan karbonat juga dijumpai di antara garam-garam tulang, meskipun studi difraksi sinar-X gagal menunjukkan kristal yang dibentuk oleh ion-ion tersebut. Oleh karena itu, ion-ion tersebut diyakini berada dalam bentuk terkonjugasi dengan kristal hidroksiapatit dan bukan tersusun sebagai kristal terpisah yang tersusun dari masing-masing ion ini. Selain mineral-mineral tersebut, juga diperlukan hormon-hormon seperti Growth Hormone dan tiroksin untuk memicu aktivitas osteoblas. (Guyton dan Hall, 2007)
Pada keadaan normal, kecuali di jaringan tulang yang sedang tumbuh, kecepatan pembentukan dan absorbsi tulang sama satu dengan yang lainnya sehingga total masa tulang dipertahankan konstan. Osteoklas biasanya terdapat dalam jumlah kecil namun terkonsentrasi, dan begitu sebuah massa osteoklas terbentuk, osteoklas biasanya akan memakan tulang selama kira-kira 3 minggu, yang akan menciptakan terowongan dengan kisaran diameter 0,2 sampai 1 milimeter dan panjang bebeapa milimeter. Pada akhir tahap ini, osteoklas menghilang dan terowongan ditempati osteoblas; kemudian tulang yang baru mulai terbentuk. Pembentukan tulang kemudian berlanjut selama beberapa bulan. Tulang yang baru berada dalam lingkaran konsentris yang berlapis (lamela) pada permukaan dalam rongga sampai terowongan dipenuhi. Pembentukan tulang berhenti apabila tulang mulai mencapai pembuluh darah yang memasok daerah tersebut. Kanal tempat berjalannya pembuluh-pembuluh darah inilah yang disebut dengan kanal Havers, adalah semua sisa peninggalan rongga tulang yang asli. Setiap daerah baru dari tulang yang dibentuk dengan cara demikian disebut dengan osteon. (Guyton dan Hall, 2007)
C. Osteomielitis
Osteomielitis merupakan suatu penyakit infeksi pada tulang, yang paling umum disebabkan oleh bakteri piogenik dan mikobakteria. Secara umum, osteomielitis dibagi menjadi 2 macam, yaitu osteomielitis hematogen dan osteomielitis sekunder karena fokus infeksi yang berdekatan. Osteomielitis hematogen merupakan 20% kasus osteomielitis, dan terutama menyerang anak-anak, dengan tulang panjang yang terinfeksi, selain itu juga bisa menyerang dewasa serta pengguna obat-obat intravena, dengan spina merupakan tempat yang biasa terinfeksi. Osteomielitis hematogen ada 3 macam, yaitu osteomielitis hematogen akut, kronik, dan vertebra. Pada osteomielitis hematogen akut, biasanya infeksi mengenai satu tulang, paling sering menyerang tibia, femur, atau humerus. Bakteri diam di dalam metafise yang mendapat perfusi baik, saat fagosit yng berfungsi jarang dan jaringan sinusoid vena memperlambat aliran darah. Sedangkan pada dewasa, infeksi biasanya terdapat pada bagian diafise. Keadaan klinis menunjukkan penderita biasanya tampak sakit akut dengan demam tinggi, menggigil, sakit dan nyeri tekan setempat, serta leukositosis. Eritema dan pembengkakan pada kulit menunjukkan adanya perluasan nanah ke dalam korteks. Pada osteomielitis hematogen kronik, merupakan suatu bentuk lanjutan osteolielitis hematogen akut yang tidak mendapatkan penanganan dengan baik. Rata-rata diperlukan waktu 10 hari untuk membentuk tulang yang nekrotik tetapi radiografi polos tidak dapat mendeteksi sekuestra atau tulang baru yang sklerotik selama beberapa minggu. Adanya traktus sinus antara tulang dan kulit dapat menyalurkan materi purulen dan kadang serpihan tulang yang nekrotik. Peningkatan drainase, rasa sakit, atau laju endap darah (LED) menandai terjadinya eksaserbasi. Biasanya tidak timbul demam kecuali terjadi obstruksi traktus sinus yang menyebabkan infeksi jaringan lunak. Sedangkan pada osteomielitis vertebra, mikroorganisme mencapai korpus vertebra yang mendapat perfusi baik pada orang dewasa melalui arteri spina dan cepat menyebar dari end plate ke sela diskus vertebra dan kemudian ke korpus vertebra yang berdekatan.Lebih dari 95% osteomielitis hematogen disebabkan oleh organisme tunggal. Staphylococcus aureus menyebabkan 50% penyakit ini, sedangkan osteomielitis vertebra sebanyak 25% kasus disebabkan oleh Escherichia coli. Pada penggguna obat-obat intravena, banyak disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa dan Serratia. Sedangkan osteomielitis pada epifisis tulang panjang banyak disebabkan oleh Salmonella spp. dan S. aureus. Dan yang paling jarang menyebabkan adalah mikobakteria, misalnya histoplasmosis diseminata, koksidiodomikosis, dan blastomikosis. (Maguire, 2007)
Jenis osteomielitis yang kedua adalah osteomielitis sekunder karena fokus infeksi yang berdekatan. Osteomielitis ini disebabkan oleh jejas tembus dan tindakan pembedahan serta perluasan langsung infeksi dari jaringan lunak yang berdekatan. Penyakit ini merupakan penyebab terbesar kasus osteomielitis dan paling sering terjadi pada orang dewasa. Rasa sakit, demam, dan tanda-tanda peradangan karena osteomielitis akut bisa karena trauma asli atau karena memang infeksi jaringan lunak. Infeksi yang samar menjadi jelas hanya beberapa minggu atau beberapa bulan kemudian ketika traktus sinus berkembang, luka operasi terbuka, atau fraktur gagal menyembuh. Penyebab yang tersering adalah bakteri gram negatif dan anaerob. Lebih dari 50% kasus disebabkan oleh S. aureus dan sering bersifat polimikrobial pada osteomielitis jenis ini. Selain itu, osteomielitis jenis ini juga bisa disebabkan oleh P. aeruginosa dan Mycoplasma. (Maguire, 2007)
Diagnosis dibuat berdasarkan atas pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda-tanda peradangan, rasa nyeri tekan pada tulang yang terkena infeksi, demam, dan tanda-tanda lain yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan adalah hitung leukosit (biasanya ditemukan leukositosis), pemeriksaan LED (hasilnya LED meningkat), foto radiografi polos, pemeriksaan mikrobiologi (meliputi identifikasi bakteri dan kultur bakteri), pemeriksaan histopatologik, dan yang lebih modern bisa dilakukan pemeriksaan pemindaian radionuklida dengan menggunakan teknetium atau galium atau indium yang dapat menentukan apakah infeksi aktif dan dapat membedakan infeksi dengan perubahan tulang bukan peradangan. (Maguire, 2007)
Penatalaksanaan yang paling awal adalah pemberian obat antimikroba (OAM). Jika memang keadaan klinis tampak bahwa penderita membutuhkan segera obat antimikroba tetapi belum dilakukan pemeriksaan mikrobiologik, sebaiknya diberikan OAM yang berspektrum luas. Nantinya, OAM yang dipilih harus bersifat bakterisidal untuk organisme yang diisolasi dari tulang atau darah pada pemeriksaan mikrobiologik dan biasanya diberikan secara intravena. Terapi empiris pada sebagian besar kasus meliputi obat yang aktif terhadap S. aureus seperti oksasilin, nafsilin, sefalosporin, atau vankomisin, dan jika organisme gram negatif mungkin terlibat, digunakan sefalosporin generasi ketiga, aminoglikosida, atau florokuinolon. Pada osteomielitis kronik, keberhasilan pengobatan adalah terutama tergantung pada pengambilan tulang yang nekrotik dan jaringan lunak yang tidak normal melalui pembedahan. Setalah dilakukan pemebedahan, akan diberikan OAM juga. Lama pengobatan OAM tergantung pada tindakan pembedahan yang dilakukan. Misalnya jika tulang yang terinfeksi diangkat seluruhnya tetapi masih ada infeksi yang tersisa dalam jaringa lunak, harus diberikan antibiotika selama 2 minggu. (Maguire, 2007)
D. Osteoporosis
Osteoporosis adalah penyakit tulang paling umum pada orang dewasa, terutama pada usia tua. Osteoporosis berbeda dengan osteomalasia dan rakhitis karena penyakit ini lebih disebabkan oleh berkurangnya matriks organik daripada kelainan kalsifikasi tulang. Biasanya, pada osteoporosis aktivitas osteoblastik tulang kurang dari normal, dan akibatnya kecepatan penimbunan tulang menurun. Tetapi kadangkala, penyebab berkurangnya tulang ini karena aktivitas osteoklastik yang berlebihan. Sebagian besar penyebab osteoporosis adalah kurangnya stress fisik terhadap tulang karena keadaan tidak aktif, malnutrisi yang berlebihan sehingga tidak dapat dibentuk matriks protein yang cukup, kurangnya vitamin C yang diperlukan untuk sekresi bahan-bahan intrasel oleh seluruh sel termasuk osteoblas, kurangnya sekresi estrogen pada masa pasca menepouse karena estrogen menurunkan jumlah dan aktivitas osteoklas, usia tua ketika hormon-hormon pertumbuhan dan faktor-faktor pertumbuhan lainnya sangat berkurang ditambah dengan kenyataan bahwa banyak fungsi anabolik protein juga memburuk sejalan dengan penambahan usia sehingga matriks tulang tidak dapat itimbun dengan baik, dan Sindroma Cushing karena glukokortikoid yang disekresikan pada penyakit ini jumlahnya banyak sekali sehingga menyebabkan berkurangnya penimbunan protein di seluruh tubuh dan meningkatnya katabolisme protein dan juga mempunyai efek khusus menekan aktivitas osteoblastik. Selain itu, banyak penyakit akibat defisiensi metabolisme protein dapat menyebabkan osteoporosis. (Guyton dan Hall, 2007)

3. DISKUSI DAN BAHASAN
Dalam pembahasan ini akan sedikit dibahas mengenai osteomielitis yang sering terjadi di klinik, yaotu osteomielitis piogenik dan osteomielitis tuberkulosa (oleh karena infeksi Mycobacterium tuberculosis).
Sebagian besar kasus osteomielitis purulenta akut disebabkan oleh bakteri. Organisme penyebab mencapai tulang melalui satu dari tiga rute, yaitu penyebaran hematogen, perluasan langsung dari suatu fokus infeksi di sendi atau jaringan lunak di sekitar, dan implantasi traumatik setelah fraktur compound atau tindakan bedah ortopedi. Pada sebagian besar pasien, osteomielitis disebabkan oleh penyebaran hematogen. Pada banyak kasus, infeksi terjadi pada orang yang sehat tanpa diketahui mengidap infeksi sebelumnya, sementara pada kasus yang lain diketahui sumber infeksi yang jelas. S. aureus adalah organisme penyebab tersering. Kecenderungannya menginfeksi tulang mungkin berkaitan dengan kenyataan bahwa kuman ini mengekspresikan beberapa reseptor untuk komponen matriks tulang yang mempermudah prlekatannya ke jaringan tulang. Patogen umum lainnya adalah pneumokokus dan batang gram-negatif. E. coli dan streptokokus grup-B adalah penyebab penting pada osteomielitis akut pada neonatus, sedangkan Salmonella sering ditemukan pada osteomielitis yang terjadi pada pasien dengan anemia sel sabit. Infeksi bakteri campuran, termasuk anaerob, berperan dalam banyak kasus osteomielitis yang terjadi akibat trauma tulang. Pada hampir 50% kasus osteomielitis piogenik, organisme penyabab tidak dapat ditemukan karena riwayat terapi OAM, pengambilan sampel yang kurang memadai, atau metode pembiakan yang kurang optimal.
Osteomielitis akut ditandai dengan infiltrasi peradangan neutrofilik yang hebat di tempat innasi bakteri. Letak infeksi bervariasi sesuai usia. Pada anak, yang biasanya terkena adalah metafisis tulang panjang., mungkin karena aliran darah di regio ini lamban sehingga bakteri dapat mengendap. Pada orang dewasa, osteomielitis hematogen biasanya mengenai korpus vertebra yang cukup vaskuler. Tulang yang terkena mengalami nekrosis dalam beberapa hari akibat penekanan di rongga sumsum tulang dan tingginya konsentrasi enzim mediator kain yang dikeluarkan sewaktu reaksi peradangan akut. Di tulang panjang, infeksi menyebar melalui tulang korteks dan dapat mencapai periosteum, kadang-kadang menyebabkan terbentuknya abses periosteum. Abses semcam ini sering ditemukan pada anak yang periosteumnya tidak terlalu melekat ke tulang korteks dibandingkan dewasa. Dari daerah subperiosteum, infeksi dapat menyebar ke dalam jaringan lunak di dekatnya dan menyebabkan pembentukan sinus drainase, atau membuat alur cukup panjang di permukaan tulang. Terlepasnya periosteum pada kasus seperti ini dapat menyebabkan gangguan aliran darah ke tulang, yang semakin memperparah nekrosis iskemik di tulang. Pada bayi, perlekatan periosteum yang longgar dan adanya hubungan antara pembuluh di metafisis dan epifisis memungkinkan infeksi menyebar ke epifisis dan kapsul sendi. Perluasan infeksi ke sendi lebih jarang terjadi pada orang dewasa karena periosteum melekat cukup erat ke tepi sendi.
Osteomielitis kronis terjadi sebagai sekule infeksi akut. Seiring dengan waktu, terjadi influks sel radang kronis ke dalam fokus osteomielitis yang mengawali reaksi pemulihan berupa pengaktifan osteoklas, proliferasi fibroblas, dan pembentukan tulang baru. Tulang nekrotik yang tersisa, yang disebut sekustrum, dapat direabsorbsi oleh aktivitas osteoklas. Sekustrum yang lebih besar akhirnya akan dikelilingi oleh suatu cincin tulang reaktif yang disebut involukrum. Jika suatu cincin tulang sklerotik mengelilingi sisa abses, lesi yang terbentuk ini kadang-kadang disebut abses Brodie. Organisme dapat bertahan hidup di daerah yang mengalami sekuestrasi selama bertahun-tahun setelah infeksi awal. Osteomielitis kronis dapat dipersulit oleh timbulnya sinus drainase yang membuka ke kulit di atasnya dan oleh fraktur patologik. Penyulit yang lebih jarang pada osteomielitis kronis adalah timbulnya karsinoma sel skuamosa di saluran sinus kronis dan, pada kasus yang jarang, sarkoma dan amiloidosis sekunder.
Pada tahap awalnya, osteomielitis piogenik menyebabkan manifestasi sistemik yang serupa dengan yang ditemukan pada infeksi akut lainnya, seperti demam, malaise, dan leukositosis. Gejala dan tana lokal peradangan tulang mungkin samar dan mudah terlewatkan, terutama pada bayi dan anak. Sebaliknya, pada orang dewasa dapat timbul nyeri lokal, pembengkakan, dan kemerahan tanpa keluhan sistemik. Meskipun pemeriksaan radiologis akut, kelainan tulamng mungkin tidak terlihat pada radiografi rutin selama lebih dari seminggu setelah onset manifestasi sistemik. Selama periode ini dapat terjadi destruksi tulang yang signifikan. Pemindaian radionuklida (misal, pemindaian gallium) bermanfaat untuk menetukan lokasi infeksi pada awal perjalanan penyakit osteomielitis. Pada infeksi tulang diperlukan terapi OAM yang kuat dan berkepanjangan dan pada banyak kasus pembersihan secara bedah. Pada sebagian kasus, tetap timbul osteomielitis kronis meskipun pasien mendapat terapi agresif tetapi hal ini lebih sering terjadi jika diagnosis osteomielitis terlambat atau jika pemberian OAM terlalu singkat. Penyulit osteomielitis adalah fraktur patologik, bakteremia, dan endokarditis. Komplikasi yang jauh lebih jarang adalah amiloidosis sistemik reaktif dan karsinoma sel skuamosa di dalam traktus sinus kronis.
Infeksi nikobakteri pada tulang telah lama manjadi masalah di negara berkembang dan dengan adanya tuberkulosis, hal ini juga menjadi penyakit penting di negara industri. Infeksi tulang menjadi penyulit pada sekitar 1% hingga 3% kasus tuberkulosis paru. Organisme biasanya mencapai tulang melalui aliran darah meskipun penyebaran langsung dari suatu fokus infeksi di dekatnya (misal dari kelenjar limfe mediastinum ke vertebra) juga dapat terjadi. Pada penyebaran hematogen, tempat yang sering terkena adalah tulang panjang dan vertebra. Lesi sering tunggal, tetapi mungkin juga multisentrik, terutama apda pasien dengan imunodefisiensi. Karena basil tuberkel memerlukan konsentrasi oksigen yang cukup tinggi, sinovium, yang tekanan oksigennya lebih tinggi, sering menjadi tempat awal infeksi. Infeksi menyebar ke epifisis di dekatnya, dan menyebabkan reaksi peradangan granulomatosa khas disertai nekrosis perkijuan dan destruksi tulang yang luas. Tuberkulosis di korpus vertebra, atau penyakit Pott, merupakan bentuk osteomielitis tuberkulosa yang paling penting. Infeksi di tempat ini menyebabkan deformitas dan kolapsnya vertebra, disertai defisit neurologik sekunder. Perluasan infeksi ke jaringan lunak di sekitarnya cukup sering pada tuberkulosis tulang belakang dan sering bermanifestasi sebagai “abses dingin” di otot psoas.

4. KESIMPULAN
¨ Hal yang aneh yang terjadi pada seorang laki-laki berusia 20 tahun yang datang ke rumah sakit adalah keluhan nyeri tungkai bawah kanan, pireksia, kemerahan, sinus di kulit yang hilang timbul.
¨ Hasil pemeriksaan fisik: didapatkan deformitas, scarr tissue dengan diameter 10 cm pada region anterior tibia kanan, sinus dengan discharge seropurulen melekat pada tulang di bawahnya, dan ekskoriasi kulit di sekitar sinus.
¨ Hasil plain foto: didapatkan penebalan periosteum, bone resorpsion, sklerosis di sekitar tulang, involukrum, sekuester, angulasi tibia dan fibula (varus).
¨ Tanda dan gejala umum osteomielitis, antara lain: penderita biasanya tampak sakit akut dengan demam tinggi, menggigil, sakit dan nyeri tekan setempat, serta leukositosis, eritema dan pembengkakan pada kulit.
¨ Terapi STK antara lain pemberian OAM (obat antimikroba) yang tepat dan bahkan pembedahan.
¨ Masalah osteomielitis sebagai penyakit yang sangat penting untuk diungkapkan karena masalah ini sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita akibat kesalahan penatalaksanaan saat mengalami kelainan pada tulang (misalnya pada open fracture), trauma, atau karena hal lainnya.

5. DAFTAR PUSTAKA
Burns, D. K., V. Kumar. 2007. Sistem Muskuloskeletal. Dalam: Kumar, V., R. S. Cortran, dan S. L. Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 850-852.
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Maguire, J. H. 2007. Osteomielitis dan Infeksi Sendi Prostetik. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 2. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 627-629.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.