Monday, November 24, 2008

MIASTENIA GRAVIS

For any1 who needs this information, u can read it intentionally, or even u make my composition as ur reference!!For anyfault, i aint responsible!D most important qualification if u want to read and make as reference for ur mind, u have to tell me by sending sms or contacting me to +6281328452132 OR +6285643359787 OR +6281804470620 OR +62818254833 !It's forbidden for u to make my composition for ur goal without telling me 1st!!!!!


1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kontraksi sel-sel otot rangka merupakan akibat penghantaran impuls dari motor neuron. Tempat di mana bagian akhir dari sebuah motor neuron (akson terminal) bertemu dengan membran sebuah sel otot (sarkolema) disebut sebagai neuromuscular junction. Neuromuscular junction dipisahkan oleh suatu celah sinaptik (synaptic cleft). Bagian otot yang bersinaps dengan akson terminal pada celah sinaptik tersebut disebut sebagai motor end plate. Dalam serat otot, terdapat 2 macam tubulus, yaitu tubulus transversus (tubulus T) dan tubulus longitudinal. Pelebaran pada ujung tubulus longitudinal disebut sebagai terminal cisternae yang merupakan gudang kalsium. Ujung-ujung terminal dari akson mengandung mitokondria dan enzim asetilkolintransferase yang diperlukan untuk sintesis neurotransmiter asetilkolin (Ach). Ach dibungkus oleh vesikel-vesikel sinaptik. Ketika suatu potensial aksi sampai pada akson terminal, terjadi perubahan potensial listrik pada membran yang akan membuka kanal-kanal kalsium sehingga ion-ion kalsium ini menyebabkan vesikel sinaptik berfusi dengan membran akson terminal dan mengeluarkan Ach yang dikandungnya secara eksositosis ke dalam celah sinaptik. Selanjutnya ion-ion kalsium segera dipompa keluar dari akson terminal.
Ach terikat pada reseptor di motor end plate an menyebabkan kanal Na-K terbuka. Terbukanya kanal ini menyebabkan masuknya dua ion Na setiap keluarnya satu ion K sehingga cairan intrasel (CIS) yang normalnya lebih negatif daripada cairan ekstrasel (CES), kini lebih positif. Pertukaran ion-tion ini menyebabkan terjadinya depolarisasi lokal pada motor end plate yang disebut sebagai potensial end plate. Selanjutnya Ach segera terlepas dari reseptornya sehingga kanal Na-K menutup kembali. Ach kemudian dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase. Depolarisasi pada motor end plate memulai suatu potensial aksi yang menyebar ke seluruh sarkolema dan tubulus T. Potensial aksi ini menyebabkan pelepasan kalsium dari terminal cisternae ke dalam sitosol yang akan memicu terjadinya kontraksi otot.
Dari skenario 3 Blok Muskuloskeletal, ada beberapa masalah penting, yaitu :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Seorang wanita umur 25 tahun mengeluhkan adanya kelemahan otot, cepat capai apabila melakukan kegiatan pada anggota geraknya, kelopak mata sulit dibuka, bila melihat cepat capai, kadang-kadang kalau melihat dobel.
- Semua keluhan tersebut semakin memberat pada sore hari.
- Pada pagi hari dan saat bangun tidur keluhan tersebut berkurang bahkan hilang.
- Beberapa minggu ini keluhan semakin bertambah berat, misalnya anggota gerak cepat capai dan cepat membaik bila istirahat, bila berbicara suara semakin melemah.
- Belum mengeluh perasaan tidak enak di dada (sesak napas), tidak ada gangguan sensibilitas, dan tidak ada gangguan abnormal.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
(tidak ada keterangan di skenario)
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Tidak ditemukan keluhan seperti itu dalam keluarganya
- Pada pemeriksaan fisik, didapatkan hasil: waktu melihat (terutama ke atas) cepat capai ditandai dengan cepat menutupnya kelopak mata, bila disuruh menghitung angka dari satu sampai lima puluh secara berurutan terusmenerus suara semakin melemah, dan bila disuruh mengangkat tangan selama 2-3 menit tangannya semakin menurun.
- Pada pemeriksaan penunjang ditemukan: hasil pemeriksaan elektrolit darah dalam batas normal, hasil pemeriksaan EMG dengan merangsang salah satu saraf secara terus menerus ditemukan penurunan reaksi abnormal, tes endophronium/tes tensilon positif.
- Dokter menjelaskan adanya kelainan pada motor end plate.
- Setelah pasien diberikan prostigmin, keluhannya berkurang.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas, antara lain :
a. Anatomi, fisiologi, dan histologi otot rangka
b.Sliding Filament Theory
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Mengetahui gejala-gejalanya lebih lanjut dan penatalaksanaannya.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem kerja neuromuscular junction dan penyelesaiaannya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dan melingkupi sistem muskuloskeletal meliputi anatomi, histologi dan fisiologi.
b. Menjelaskan mekanisme sel dan biolistrik.
c. Menjelaskan mekanisme penghantaran neuromuskuler.
d. Menjelaskan patogenesis, patologi, dan patofisiologi penyakit muskuloskeletal non-trauma.
e. Menjelaskan penanganann yang komprehensif kelainan dan penyakit pada muskuloskeletal.
f. Menjelaskan efektivitas penanganan dan prognosis pada kelainan muskuloskeletal.
g. Menjelaskan penanganan komplikasi dan kecacatan pada muskuloskeletal.
h. Melakukan keterampilan untuk menunjang diagnosis pada kasus muskuloskeletal meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
i. Menerapkan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif pada kelainan muskuloskeletal di mana pada tahap ini mahasiswa mampu memberikan penjelasan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif pada kelainan muskuloskeletal.
j. Menjelaskan perubahan-perubahan post mortem pada muskuloskeletal.
k. Menggunakan teknologi informasi untuk mencari informasi terkini mengenai penyakit muskuloskeletal.
l. Merancang manajemen penyakit dan kelainan muskuloskeletal.

2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi, Fisiologi, dan Histologi Otot Rangka
Kira-kira 40% dari seluruh tubuh terdiri dari otot rangka dan hanya sekitar 10% lainnya adalah otot polos dan otot jantung. Otot rangka dibentuk oleh sejumlah serat otot (sel otot) dengan diameter 10-80 mikrometer. Selama perkembangan embrio, serat-serat otot rangka dibentuk melalui fusi banyak sel kecil sehingga terdapat banyak nukleus pada sebuah sel otot. Sebuah serat otot mengandung beberapa ratus sampai beberapa ribu miofobril. Setiap miofibril terdiri dari susunan teratur unsur-unsur sitoskeleton, yaitu filamen tebal (miosin) dan filamen tipis (aktin). Urutan usunan dari yang kompleks ke yang sederhana adalah sebagai berikut otot utuh (organ) → otot serat (sel) → miofibril (struktur intrasel) → filamen tebal dan tipis (unsur sitoskeleton khusus) → miosin dan aktin (protein). Filamen aktin dan miosin terletak sejajar satu sama lain dan sebagian saling bertautan sehingga menyebabkan miofibril memiliki pita gelap dan terang yang berselang-seling (gambaran seran lintang). Pita-pita gelap (pita A) terdiri dari tumpukan filamen miosin bersama dengan bagian dari filamen aktin yang tumpang tindih di kedua ujung filamen miosin. Daerah yang lebih terang dari pita A, yaitu tempat filamen-filamen aktin tidak bertemu, dikenal sebagai zona H. Pita-pita terang (pita I) hanya terdiri dari bagian filamen aktin yang tidak bertumpuk dengan filamen miosin. Di bagian tengah setiap pita I, terdapat sebuah garis Z vertikal. Daerah antara dua garis Z disebut sarkomer yang merupakan unit fungsional rangka. Sarkomer adalah komponen terkecil suatu serat otot yang mampu berkontraksi. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Filamen miosin terdiri dari 300 atau lebih molekul miosin tunggal. Molekul miosin tunggal terdiri dari ujung-ujung ekor protein (myosin tail) yang jalin menjalin satu sama lain dengan dua kepala globuler (myosin head) menonjol di salah satu ujung. Kepala-kepala globuler ini membentuk jembatan silang (cross bridge) antara filamen aktin dan miosin. Setiap jembatan silang mempunyai dua tempat penting untuk proses kontraktil, yaitu tempat pengikatan aktin (actin binding site) dan tempat ATPase miosin (myosin ATPase site). Filamen aktin terdiri dari 3 protein, yaitu aktin, tropomiosin, dan troponin. Tiap filamen aktin dibentuk oleh molekul-molekul aktin yang menyatu menjadi dua untaian yang saling membelit. Tiap molekul aktin mempunyai tempat pengikatan khusus untuk melekat dengan jembatan silang miosin. Pengikatan molekul aktin dan miosin di jembatan silang menghasilkan kontraksi serat otot sehingga aktin dan miosin sering disebut sebagai protein kontraktil. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Dalam keadaan relaksasi, aktin tidak mampu berikatan dengan jembatan silang karena adanya protein tropomiosin dan troponin. Tropomiosin berbentuk seperti benang yang terletak di sepanjang sisi alur spiral aktin sehingga menutupi bagian-bagian aktin yang akan berikatan dengan jembatan silang. Tropomiosin distabilisasi dalam posisi ini oleh molekul troponin. Troponin berfungsi sebagai pengunci tropomiosin supaya tetap dapat terikat pada bagian aktin yang seharusnya berikatan dengan jembatan silang miosin. Troponin mempunyai 3 jenis unit polipeptida, yaitu satu yang mengikat tropomiosin, satu yang mengikat aktin, dan satu yang dapat berikatan dengan kalsium. Ketika kalsium terikat pada troponin, bentuk protein ini berubah sehingga tropomiosin terlepas dari posisi penghambatannya. Akibatnya, aktin dan miosin dapat berikatan dan berinteraksi di jembatan silang dan menghasilkan kontraksi otot. Tropomiosin dan troponin sering disebut protein regulator. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
B. Sliding Filament Theory
Kontraksi sel otot terjadi ketika filamen aktin meluncur melalui filamen miosin. Sliding filament theory tentang mekanisme kontraksi ototmelibatkan aktivitas molekul miosin, aktin, tropomiosin, troponin, ATP, dan ion kalsium. Selama kontraksi, filamen-filamen aktin di kedua sisi sarkomer bergeser masuk ke arah pusat pita A. Filamen-filamen aktin ini menarik garis-garis Z ke tempat filamen-filamen tersebut mendekat satu sama lain sehingga sarkomer memendek. Akibatnya, seluruh serat otot juga memendek secara simultan. Baik filamen aktin maupun miosin tidak mengalami perubahan panjang selama pemendekan sarkomer. Kontraksi dilakukan oleh pergeseran filamen-filamen aktin yang mendekat satu sama lain di antara filamen miosin. Jembatan silang miosin memiliki 2 tempat ikatan yaitu tempat ikatan ATP dan tempat ikatan aktin. Sebaliknya tiap subunit aktin juga mempunyai ikatan spesifik untuk jembatan silang miosin. Terikatnya ATP pada jembatan silang akan menyebabkan hidrolisis ATP menjadi ADP dan fosfat inorganik (Pi) sehingga menghasilkan energi untuk pergerakan jembatan silang miosin (power stroke). Gerakan fleksi dari ekor dan jembatan silang miosin selalu menuju ke arah pusat sarkomer sehingga menyebabkan filamen aktin juga meluncur ke pusat sarkomer. Namun, aktin tidak dapat berikatan dengan jembatan silang miosin jika terdapat tropomiosin yang menutupi tempat ikatan spesifik pada aktin. Supaya tropomiosin ini bergeser dan tidak menutupi tempat ikatan aktin, maka troponin yang merupakan pengunci dari tropomiosin harus diinaktifkan. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Satu siklus kontraksi otot diawali dengan keluarnya ion kalsium dari terminal cisternae dan diakhiri dengan masuknya kembali ion kalsium ke dalam cisternae. Ion kalsium yang keluar dari terminal cisternae akan berikatan dengan troponin. Ikatan ini mengakibatkan perubahan bentuk kompleks tropinin-tropomiosin yang menyebabkan bergesernya rantai tropomiosin dari tempat ikatan pada protein aktin. Akhirnya, miosin dapat berikatan dengan aktin. Pada saat yang sama, terjadi hidrolisis ATP yang menghasilkan energi untuk power stroke dari jembatan silang miosin sehingga filamen aktin meluncur menuju pusat sarkomer. Untuk memutus ikatan antara jembatan silang miosin dengan aktin, sebuah molekul ATP harus terikat pada jembatan silang miosin. Hidrolisis ATP akan menghasilkan energi bagi jembatan silang miosin untuk kembali ke posisi semula. Ion-ion kalsium akan dikeluarkan secara aktif (melalui pompa ion) dari sitosol kembali ke terminal cisternae dan kompleks troponin-tropomiosin kembali menutupi tempat ikatan pada aktin. Selama kontraksi, terbentuk dan terputusnya ikatan pada jembatan silang miosin yang satu dengan yang lainnya berlangsung tidak bersamaan. Dalam hal kontraksi otot, ATP mempunyai 3 fungsi, yaitu: menyediakan energi untuk gerakan jembatan silang miosin (power stroke), memutuskan ikatan antara jembatan silang miosin dengan aktin, dan memasukkan kembali ion-ion kalsium ke dalam terminal cisternae secara aktif melalui pompa ion. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)

3. DISKUSI DAN BAHASAN
Dalam diskusi kelompok, kami mendiskusikan tentang Miastenia Gravis sebagai kasus utama yang berhubungan dengan skenario dan diagnosis bandingnya berupa botulisme. Maka dari itu, dalam bagian ini akan sedikit dibahas mengenai penyakit-penyakit tersebut.
Istilah miastenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Miastenia gravis merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Miastenia gravis ialah gangguan autoimun yang menyebabkan otot skelet menjadi lemah dan cepat lelah. Bisa diartikan juga bahwa miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan otot rangka akibat defisiensi reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga Ach akan dilepaskan ke dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor Ach pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap Na dan K secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir, dikenal sebagai potensial end plate/potensial lempeng akhir. Jika potensial lempeng akhir ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi ini melewati hubungan neuromuskular, maka Ach dengan segera dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada motor end plate dan bukan pada membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat proses imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps semakin besar sehingga lebih banyak Ach dalam perjalanannya ke arah motor end plate dapat dirusak oleh asetilkolinesterase. Selain itu jumlah Ach yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama. Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis kelainan belun jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien mengalami kelainan. Wanita muda cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus. EMG menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik bila otot dipergunakan terus menerus. Pembuktian etiologi autoimunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa kelenjar timus mempunyai hubungan yang sangat erat dalam hal ini. Pada 80% penderita miastenia gravis didapati kelenjar timu yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan limfosit lainnya.
Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat jelas. Gejala awal berupa gangguan otot-otot okuler yang menimbulkan ptosis dan diplopia. Mula-mula timbul ptosis unilateral ataupun bilateral. Setelah beberapa minggu atau beberapa bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis occular). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul tiap sore atau malam hari. Namun, lama kelamaan kelumpuhan bulbar bisa timbul pada saat pagi hari juga. Dalam hal ini, miastenia gravis dapat didiagnosis dengan tepat melalui pemeriksaan fisik dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian. Miastenia gravis juga bisa menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada pemeriksaan dapat ditemukan paresis nervus VII bilateral atau unilateral yang bersifat LMN, kelemahan otot pengunyah, kelemahan dalam berbicara, paresis palatm mole/arkus faringeus/uvula/otot-otot faring dan lidah. Hal-hal ini mengakibatkan pasien dengan miastenia gravis mengalami regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung. Kelemahan otot nonbulbar adalah tahap yang sangat lanjut. Pertama yang terkena adalah otot-otot leher sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan. Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah dan bisa juga serangan dispnea dan pasien tidak mampu membersihkan lendir. Gejala-gejala tersebut biasanya dapat dihilangkan dengan istirahat dan pemberian obat antikolinesterase.
Untuk penegakan diagnosis diperlukan beberapa tes. Tes tersebut dilakukan sebagai prosedur pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang. Tes-tes yang dapat dilakukan antara lain antibodi antireseptor Ach, antibodi antiotot skelet, tes tensilon (endophronium klorida), foto dada, tes Wartenberg, dan tes prostigmin. Di skenario dilakukan tes tensilon; tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi antireseptor Ach tidak dapat dikerjakan. Reaksi ini dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit. Kemudian tes prostigmin, dalam tes ini prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas kemudian disuntikkan intramuskular atau subkutan. Tes ini dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik.
Penatalaksanaan miastenia gravis adalah pemberian antikolinesterase, steroid, azatioprin. Bisa juga dengan dilakukan timektomi dan plasmaferesis. Antikolinesterase ini diberikan untuk menghambat kerja enzim asetilkolinesterase dalam merusak Ach yang sedang berada dalam celah sinaptik. Antikolinesterase yang dapat diberikan misalnya piridostigmin yang bekerja secara lambat, neostigmin metilsulfat yang sebelumnya harus diberikan atropin. Neostigmin dapat menginaktifkan atau bahkan menghancurkan asetilkolinesterase sehingga Ach tidak dirusak. Steroid yang paling cocok sebagai imunosupresif adalah prednisolon. Azatioprin juga merupakan imunosupresif. Pemberian prednisolon dengan azatioprin bersamaan juga sangat dianjurkan sebagai imunosupresif. Plasmaferesis pada kasus miastenia gravis akut sangat bermanfaat untuk membuang antibodi pada reseptor Ach tetapi terapi ini tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.
Dalam penyakit miastenia gravis ada istilah yang disebut dengan krisis pada miastenia gravis. Krisis ini terjadi jika pada pasien miastenia gravis sudah mengalami kesulitan atau bahkan ketidakmampuan menelan, ktidakmampuan membersihkan sekret dan bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis krisis, yaitu krisis miastenik dan krisis kolinergik. Krisis miastenikn adalah suatu keadaan krisis di mana dibutuhkan lebih banyak antikolinesterase. Tindakan yang harus dilakukan dalam krisis miastenik adalah mengontrol jalan napas, pemberian antikolinesterase, bila diperlukan diberikan obat imunosupresan dan plasmafersesis. Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan, maka obat-obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Sedangkan krisis kolinergik adalah keadaan krisis yang diakibatkan oleh obat-obat antikolinesterase. Tindakan yang dapat diberikan pada krisis ini adalah mengontrol jalan napas, diperlukan diberikan obat imunosupresan dan plasmafersesis, dan penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu dan dapat diberikan atropine 1 mg secara intravena serta dapat diulang bila perlu.
Sebagai diagnosis banding yang sudah ditetapkan dalam diskusi adalah botulisme. Botulisme merupakan akibat dari bakteri anaerob, Clostridium botulinum, yang menghalangi pengeluaran Ach dari ujung saraf motorik. Akibatnya adalah paralisis berat otot-otot skelet dalam waktu yang lama. Dari 8 jenis toksin botulinum, tipe A dan B yang paling sering menimbulkan kasus botulisme. Tipe E terdapat pada ikan laut. Intoksikasi biasanya terjadi setelah makan makanan kaleng yang tidak disterilisasi secara sempurna. Mula-mula timbul mual muntah, 12-36 jam sesudah terkena toksin. Kemudian muncul pandangan kabur, disfagia, dan disartria. Pupil dapat dilatasi maksimal. Kelemahan terjadi secara desendens selama 4-5 hari, kemudian mencapai tahap stabil (plateu). Paralisis otot pernapasan dapat terjadi begitu cepat dan bersifat fatal. Pada kasus yang berat biasanya terjadi kelemahan otot okular dan lidah. Sebagian besar penderita mengalami disfungsi otonom (misalnya muka kering, konstipasi, dan retensi urin).

4. KESIMPULAN
¨ Hal yang aneh yang terjadi pada seorang wanita umur 25 tahun mengeluhkan adanya kelemahan otot, cepat capai apabila melakukan kegiatan pada anggota geraknya, kelopak mata sulit dibuka, bila melihat cepat capai, kadang-kadang kalau melihat dobel, anggota gerak cepat capai dan cepat membaik bila istirahat, bila berbicara suara semakin melemah.
¨ Hasil pemeriksaan fisik: didapatkan hasil: waktu melihat (terutama ke atas) cepat capai ditandai dengan cepat menutupnya kelopak mata, bila disuruh menghitung angka dari satu sampai lima puluh secara berurutan terusmenerus suara semakin melemah, dan bila disuruh mengangkat tangan selama 2-3 menit tangannya semakin menurun.
¨ Hasil pemeriksaan penunjang: hasil pemeriksaan elektrolit darah dalam batas normal, hasil pemeriksaan EMG dengan merangsang salah satu saraf secara terus menerus ditemukan penurunan reaksi abnormal, tes endophronium/tes tensilon positif.
¨ Tanda dan gejala umum miastenia gravis, antara lain: gangguan otot-otot okuler yang menimbulkan ptosis dan diplopia, kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul tiap sore atau malam hari tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar bisa timbul pada saat pagi hari juga, paresis nervus VII bilateral atau unilateral yang bersifat LMN, kelemahan otot pengunyah, kelemahan dalam berbicara, paresis palatm mole/arkus faringeus/uvula/otot-otot faring dan lidah, akibatnya pasien dengan miastenia gravis mengalami regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung.
¨ Terapi miastenia gravis, bisa dilakukan dengan pemberian antikolinesterase, steroid, azatioprin, bisa juga dengan dilakukan timektomi dan plasmaferesis.
¨ Prognosis penyakit pada pasien di skenario adalah baik karena miastenia gravis pada pasien tersebut belum mencapai tahap krisis. Dan advis yang dapat diberikan adalah konsumsi obat secara teratur dan benar-benar harus mengurangi aktivitas serta banyak beristirahat agar gejala-gejala yang timbul dapat diredakan.

5. DAFTAR PUSTAKA
Burns, D. K., V. Kumar. 2007. Sistem Muskuloskeletal. Dalam: Kumar, V., R. S. Cortran, dan S. L. Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. Terjemahan B. U. Pendit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 870-1.
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Drachman, D. B. 2007. Miastenia Gravis. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 5. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 2638-41.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.

No comments: