Wednesday, April 29, 2009

GAGAL GINJAL


1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gagal ginjal merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh kegagalan ginjal untuk melakukan fungsinya. Kegagalan ini didasarkan pada berkurangnya massa ginjal (nefron; sebagai unit fungsional ginjal yang terkecil) akibat berbagai hal. Suatu keadaan yang langsung menyebabkan gagalnya ginjal dalam berfungsi biasanya akan mengakibatkan gagal ginjal akut. Gagal ginjal akut ditandai dengan suatu penurunan laju filtrasi glomerulus yang cepat (dalam beberapa jam sampai beberap minggu) dan penimbunan produk buangan nitrogen (Brady dan Brenner, 2007). Gagal ginjal akut pada seorang pasien biasanya asimtomatik dan hanya dapat terdiagnosis dengan suatu tes skrining, yang berupa peningkatan kadar serum nitrogen urea darah dan kreatinin yang baru terjadi karena penderita merasa belum pernah sebelumnya.
Bentuk lain dari gagal ginjal akut adalah gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik memiliki jejas pada ginjal yang lebih bersifat perlahan-lahan sering tidak bersifat reversibel dan mengarah pada penghancuran massa nefron yang sifatnya progresif (Brenner dan Lazarus, 2007). Pada keadaan ini sangatlah kompleks penyebabnya sebab semua penyakit yang dapat merusak nefron sehingga mengurangi laju filtrasi glomerulus dalam kurun waktu yang lama dan perlahan bisa dikatakan sebagai etiologi dari gagal ginjal kronik. Penyebab yang paling sering dari gagal ginjal kronik yang dikemukakan pertama kali oleh para ahli ginjal-hipertensi adalah glomerulonefritis. Seiring dengan kemajuan zaman, penyakit diabetes melitus dan hipertensi lah yang menjadi penyebab nomor satu saat-saat ini.
Dari skenario 2 Blok Urogenitalia, adapun ringkasan dari skenario tersebut, adalah :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Seorang laki-laki usia 60 tahun (Tn. S) lemas yang dirasakan sejak 1 bulan, kadang berkunang-kunang dan sering mual.
- Sejak 1 tahun, BAK sering mengejan, rasa tidak puas setelah BAK, dan BAK sejumlah 4-5 gelas sehari.
- Sejak 2 tahu, pasien mengeluh adanya nyeri pinggang.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- Sejak 4 tahun yang lalu, penderite mempunyai riwayat DM dan berobat tidak teratur.
- Riwayat hipertensi tidak tahu.
Ø Riwayat Penyakit Keluarga, berupa:
- (tidak ada data)
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Hasil pemeriksaan fisik, diperoleh: tekanan darah 170/100 mmHg, nadi 100 kali/menit, laju pernapasan 24 kali/menit, suhu 36.7 derajat Celcius.
- Hasil pemeriksaan laboratorium, diperoleh: Hb 8.2 g/dl, leukosit 5400/ul, trombosit 150.000/ul, ureum 150 mg/dl, kreatinin 8.4 mg/dl, kalium 6.5 mmol/L.
- Analisis gas darah, pasien termasuk asidosis metabolik.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas sebagai dasar teori, antara lain :
a. Anatomi, histologi, dan fisiologi umum ginjal
b.Gagal ginjal akut
c. Gagal ginjal kronik
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Mengetahui penegakkan diagnosis melalui berbagai pemeriksaan yang dilakukan.
Ø Mengetahui gejala-gejala penyakit tersebut lebih lanjut serta penatalaksanaannya.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem urogenitalia dan penyelesaiaannya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu menjelaskan atau merealisasikan:
a. Ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dengan sistem urogenitalia, meliputi: biologi, anatomi, histologi, fisiologi, dan biokimia, dan sebagainya.
b. Berbagai penyebab dan faktor risiko terjadinya gangguan pada sistem urogenitalia beserta mekanismenya.
c. Mekanisme terjadinya kelainan pada sel/organ pada penyakit-penyakit sistem urogenitalia meliputi patogenesis, patologi, dan patofisiologinya.
d. Metode penegakan diagnosis pada penyakit sistem urogenitalia.
e. Tanda dan gejala, pemeriksaan fisik, prosedur klinik, dan pemeriksaan laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis dan diagnosis banding pada penyakit sistem urogenitalia.
f. Pemeriksaan laboratorium penunjang diagnosis penyakit sistem urogenitalia, seperti: metode biokimia (misalnya: kimia urin, kimia darah, GFR, tes kliren kreatinin, kreatinin plasma, BUN: blood urea nitrogen), tes fungsi khusus proksimal dan distal.
g. Manajemen/penatalaksanaan penyakit pada sistem urogenitalia meliputi dasar-dasar terapi meliputi medikamentosa, konservatif, diet, operatif, rehabilitasi.
h. Komplikasi dan prognosis dari penyakit pasien.

2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Umum Ginjal
Ginjal (ren) merupakan suatu organ berjumlah sepasang, terletak di bagian dorsal dari abdomen, di kanan dan kiri columna vertebralis, ditutupi oleh peritoneum dan dikelilingi oleh jaringan pengikat dan jaringan lemak. Ren dexter terdapat sedikit lebih rendah dari ren sinister oleh karena pendesakan dari hepar. Axis longitudinalis ren sejajar dengan columna vertebralis. Panjang ren sekitar 11,25 cm, lebar sekitar 5 sampai 7,5 cm, dan tebalnya lebih dari 2,5 cm. Ren sinister lebih panjang dan lebih kecil daripada ren dexter. Pembungkusnya adalah lamina fascialis anterior (prerenal) dan posterior (retrorenal), capsula fibrosa, dan capsula adiposa. Ren memiliki facies anterior renalis dan facies dorsalis/posterior renalis. Selain itu juga mamiliki 2 margo, yaitu margo lateralis renalis yang berbentuk convex dan margo medialis renalis yang berbentuk concave. Dan memiliki extremitas superior setinggi kira-kira setinggi tepi atas vertebra thoracalis XII dan extremitas inferiornya setinggi vertebra lumbalis III. (Tortora dan Anganostaskos, 2007)
Bagian ren terdapat 2 macam, yaitu substansia medullaris dan substansia corticalis. Substansia medullaris tersusun oleh massa lurik yang berbentuk conus, disebut sebagai pyramis renalis. Setiap ren tersusun atas 8-18 buah pyramis renalis dengan basis ke pinggir dan apex menuju ke sinus renalis yang akan membentuk papilla renalis yang akan menonjol dan ditembus oleh ductus papillaris Bellini membentuk suatu area cribrosa dan akan bermuara ke dalam calyx minor. Calyces minores akan berkumpul dan membentuk calyx major. Daerah tepi ren adalah substansia corticalis yang mengelilingi pyramides renales dan sampai menjorok di antaranya yang disebut sebagai columna renalis (Bertini). Pada penampang mikroskopis, substansia corticalis tersusun atas daerah berbentuk conus cerah, disebut pars radiata dan daerah gelap, yang disebut pars convulata. (Tortora dan Anganostaskos, 2007)
Secara mikroskopis, ren tersusun atas unit-unit fungsional yang disebut dengan nefron. Ren juga sebagian dibentuk oleh tubulus renalis, yang dimulai dari substansia corticalis kemudian berkelok-kelok menuju ke substansia medullaris kemudian berakhir di apex renalis, tepatnya di pyramis renalis sebagai papilla renalis. Tubulus mulai di cortex dan columna renalis sebagai corpusculum Malphigi yang berupa massa lonjong kecil dan berwarna merah. Setiap corpusculum Malphigi tersusun atas vasa darah sebagai glomerulus dan capsula Bowmani yang tersusun atas dua membrana, bagian luar disebut lamina parietalis dan bagian dalam disebut lamina visceralis, sebagai tempat masuk keluarnya arteriole afferent dan efferent. Di antara kedua lamina tersebut akan terdapat sautu ronnga yang akan melanjutkan ke tubulus kontortus proximalis. Kedua lamina tersebut tersusun atas epitel squameous yang melekat pada membrana basalis. Tubulus contortus proximalis akan berlanjut sebagai pars descendens ductus Henle, membelok membentuk ansa ductus Henle, dan naik disebut pars ascendens ductus Henle, kemudian membesar membentuk tubulus contortus distalis dan akan melengkung serta menyempit masuk ke tubulus collectivus. Tubulus collectivus, pada medulla renalis, akan berkumpul membentuk ductus papillaris Bellini. (Tortora dan Anganostaskos, 2007)
Fungsi fisiologis ginjal yang terpenting adalah untuk melakukan pembentukan urin dari proses filtrasi, reabsorbsi, dan sekresi dari darah yang dibawa oleh arteriole afferent. Sedangkan arteriole efferent akan berlanjut sebagai kapiler peritubulus yang kemudian akan membentuk venula, arteriole ini berfungsi sebagai nutrisi ren. Secara fungsional nefron di korteks renalis memiliki aliran darah yang begitu besar untuk kemudian dilakukan proses uropoetik. Nefron di medulla memiliki fungsi pemekatan urin yang dilakukan oleh nefron juxtamedular, biasanya akan bekerja pada suhu yang cukup tinggi untuk menghemat air sehingga proses pemekatan urin bisa dilakukan dengan tetap efektif dalam membuang sisa-sisa metabolisme. Kira-kira 25% dari curah jantung (volume= 5000 cc) mengalir ke ginjal, yang disebut dengan renal blood flow (RBF= 1250 cc). Bagian darah yang akan difiltrasi adalah bagian plasmanya (sekitar 55% dari 1250 cc), yang disebut renal plasm flow (RPF= 700 cc). Kemudian 20% dari RPF akan difiltrasi ke lumen tubulus per menitnya, yang disebut dengan glomerulair filtration rate (GFR= 125-150 cc) atau laju filtrasi glomerulus (LFG). Sedangkan urin yang dihasilkan hanya sekitar 1,5 cc per menitnya karena sekitar 124 cc sisanya akan direabsorbsi. Fungsi filtrasi sangat dipengaruhi oleh tekanan netto. Tekanan kapiler glomeruli adalah sekitar 50% dari tekanan sistolik, misalnya sekitar 60 mmHg. Tekanan netto adalah tekanan kapiler dikurangi tekanan osmotik (32 mmHg) dikurangi tekanan hidrostatik capsula Bowmani (18 mmHg). Jadi besar tekanan netto yang bisa digunakan untuk mendorong plasma keluar untuk kemudian difiltrasi adalah sekitar 10 mmHg. (Guyton dan Hall, 2007)
B. Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut secara ringkas didefinisikan sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba tetapi tidak seluruhnya dan bersifat reversibel. Penyebabnya, dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam, yaitu prerenal, intrarenal, dan pascarenal. Penyebab prarenal biasanya disebabkan dalam hal sirkulasi. Bisa terjadi akibat kurangnya perfusi ginjal dan perbaikan akan terjadi dengan cepat setelah kelainan tersebut diperbaiki, misalnya pada pasien hipovolemia, atau hipotensi, penurunan curah jantung, dan peningkatan viskositas darah. Penyebab intrarenal (intrinsik, parenkimal). Akibat penyakit pada gunjal atau pembuluhnya. Terdapat kelainan histologi dan kesembuhan tidak terjadi dengan segera pada perbaikan faktor prarenal atau obstruksi, misalnya nekrosis tubular akut, nekrosis kortikal akut, penyakit glomerulus akut, obstruksi vaskular akut, dan nefrektomi. Penyebab pascarenal atau obstruksi. Terjadi akibat obstruksi aliran urin, misalnya obstruksi pada kandung kemih, urtera, kedua ureter, dan sebagainya. (Brady dan Brenner, 2007)
Diagnosis kelainan prerenal ditegakkan berdasarkan adanya tanda-tanda gagal ginjal akut (biasanya oliguria dengan kenaikan kreatinin dan ureum plasma), urin yang terkonsentrasi dengan retensi natrium sehingga konsentrasi natrium urin rendah, dan perbaikan bila faktor prerenal dihilangkan. Umumnya penyebab jelas diketahui. Kemungkinan obstruksi harus dipertimbangkan sejak awal. Biasanya diperlukan pemeriksaan berupa memasukkan kateter ureter dan USG ginjal. Pada kelainan intrinsik, penyebab tersering adalah nekrosis tubular akut. Terjadi kerusakan yang parah tetapi reversibel pada sel-sel tubulus, biasanya akibat syok atau nefrotoksin. Gejala biasanya gagal ginjal dengan oliguria akut yang sembuh spontan dalam 1-3 minggu. Dapat pula disebabkan oleh obstruksi tubular akut, reaksi alergi, dan sebagainya. Gambaran klinis biasanya gagal ginjal dengan oliguria akut, oliguria berat, atau anuria. Diagnosis pasti ditegakkan dengan biopi ginjal untuk mengetahui kelainan patologinya. (Brady dan Brenner, 2007)
C. Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten dan ireversibel. Gangguan fungsi ginjal adalah penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan ringan, sedang, berat. Pada keadaan gagal ginjal kronik, sangat sering terjadi azotemia pada pasien atau bahkan uremia. Azotemia adalah peningkatan BUN dan ditegakkan bila konsentrasi ureum plasma meningkat. Uremia adalah sindrom akibat gagal ginjal yang berat. Jika sudah terjadi uremia menandakan adanya gagal ginjal terminal, merupakan suatu keadaan yang mana renal tidak mampu berfungsi dengan adekuat untuk keperluan tubuh, sehingga penatalaksanaan pada gagal ginjal terminal hanyalah dialisis dan transplantasi ginjal. Etiologi dari penyakit ini bermacam-macam, misalnya glomerulonefritis, nefropati diabetik, nefropati analgesik, nefropati refluks, ginjal polikistik, dan penyebab-penyebab lainnya yang umum seperti hipertensi, obstruksi, gout, dan sisanya idiopatik. Manifestasi kliniknya bermcam-macam sesuai tempat manifestasinya. Misalnya hipertensi (sistem kardiovaskuler), anemia (heamtologi), poliuria (sistem uropoetika), kulit pucat (dermatologi), dan lain sebagainya. (Brenner dan Lazarus, 2007)
Pada pemeriksaan penunjang, kreatinin plasma akan meningkat seiring dengan penurunan laju filtrasi glomerulus, dimulai bila lajunya kurang dari 60 mL/menit. Pada gagal ginjal terminal, konsentrasi kreatinin di bawah 1 mmol/L. Konsentrasi ureum plasma kurang dapat dipercaya karena akan menurun pada diet rendah protein dan akan meningkat pada diet tinggi protein, kekurangan garam, dan keadaan katabolik. Biasanya konsentrasi ureum pada gagal ginjal terminala adalah 20-60 mmol/L. Terdapat penurunan bikarbonat plasma (15-25 mmol/L), penurunan pH, dan penignkatan anion gap. Konsentrasi natrium biasanya normal, namun dapat meningkat atau menurun akibat masukan cairan inadekuat atau berlebihan. Hiperkalemia adalah tanda gagal ginjal yang berat, kecuali pada masukan yang berlebihan, asidosis tubular ginjal, atau hiperaldosteronisme. Terdapat peningkatan konsentrasi fosfat plasma dan peningkatan kalsium plasma. Kemudian fosfatase alkali meningkat. Dapat juga ditemukan peningkatan parathormon pada hiperparatiroidisme. Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan anemia normositik normokrom dan terdapat sel Burr pada uremia berat. Leukosit dan trombosit masih dalam batas normal. Klirens kreatinin meningkat melebihi LFG dan turun menjadi kurang dari 5 mL/menit pada gagal ginjal terminal. Proteinuria juga bisa ditemukan dengan kadar 200-1000 mg/hari. (Brenner dan Lazarus, 2007)

3. DISKUSI DAN BAHASAN
Diagnosis utama mengenai penyakit yang dialami pasien dalam skenario tersebut adalah gagal ginjal kronik. Hal ini didasari dengan adanya hasil pemeriksaan laboratorium: hiperkalemia, uremia, dan anemia. Melihat dari riwayat pasien yang memiliki penyakit hipertensi (walaupun tidak diketahui memiliki riwayat atau tidak) dan diabetes melitus yang tidak terkontrol. Keluhan pasien mata berkunag-kunang dan badan terasa lemas menunjukkan suatu keadaan anemia. Adanya keluhan pada proses perkemihan pasien, misalnya sering mengedan (hesitansi) dan rasa tidak puas setelah BAK (residual urin) merupakan tanda-tanda adanya obstruksi saluran kemih, terutama obstruksi infravesika. Dalam bagian ini akan dibahas satu per satu kasus atau keadaan yang ada dalam skenario tersebut.
Nyeri pinggang yang dialami pasien kurang begitu jelas diungkapkan. Dalam pemeriksaan urogenitalia, terdapat berbagai macam nyeri. Yang pertama adalah nyeri ginjal yang merupakan akibat dari peregangan kapsul ginjal. Regangan kapsul ini bisa terjadi pada obstruksi saluran kemih yang berakibat pada hidronefrosis, tumor ginjal, atau pun pada pielonefritis. Jenis nyeri yang kedua adalah nyeri kolik yang terjadi karena spasmus otot polos ureter karena gerakan peristaltiknya terhambat oleh batu, bekuan darah, atau benda asing lain. Nyeri ini bersifat hilang timbul yang drasakan mulai dari sudut kostovertebra, menjalar ke dinding abdomen, kemudian lebih lanjut ke regio inguinal dan genital. Jenis nyeri ketiga adalah nyeri vesika yang dirasakan suprasimfisis. Nyeri ini akibat distensi buli-buli yang penuh atau terdapat terdapat radang pada buli-buli. Pada skenario, dimungkinkan nyeri yang dialami pasien adalah nyeri ginjal karena dihubungkan dengan diagnosis awal pasien pasien yaitu gagal ginjal kronik dan obstruksi saluran kemih.
Diabetes Melitus (DM) yang dialami pasien memang merupakan salah satu etiologi dari gagal ginjal kronik (GGK). Pada keadaan GGK akan terdapat uremia (yang juga telah terjadi pada pasien di skenario). Keadaan uremia meliputi edema generalisata akibat retensi garam dan air, asidosis akibat kegagalan ginjal membersihkan tubuh dari produk asam normal, konsentrasi nitrogen nonprotein yang tinggi (e.g.: ureum, kreatinin, dan asam urat) akibat kegagalan tubuh mengekskresi produk akhir metabolik, dan konsentrasi zat-zat lain dalam jumlah tinggi yang diekskresi oleh ginjal (e.g.: fenol, sulfat, fosfat, kalium, dan basa guanidin). Uremia memiliki efek buruk pada metabolisme karbohidrat. Uremia akan mengakibatkan resistensi insulin pada sel target dan resistensi jaringan perifer untuk menggunakan beban glukosa yang diberikan. Jadi saat pemberian beban glukosa, akan berakibat akumulasi beban tersebut karena jaringan perifer tidak mampu menggunakannya dan insulin pun juga tidak dapat digunakan oleh sel target sehingga pasien juga sering mengalami hiperinsulinemia. DM pun akan mengakibatkan penumpukan asam asetosetat dari hasil pemecahan lemak menjadi energi yang meningkat. Sehingga hal ini akan menyebabakan asidosis metabolik yang berat bagi pasien.
DM juga sering mengakibatkan nefropati diabetik (adanya albuminuria menetap lebih dari 300 mg/24 jam). Dasar patofisiologi terjadinya nefropati diabetik adalah hiperfiltrasi akibat peningkatan LFG. Mekanisme peningkatan LFG masih belum jelas. Kemungkinan masih disebabkan oleh dilatasi arteriole aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai hormon vasoaktif, IGF-1, Nitric Oxide, prostaglandin, dna glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi TGF-β yang diperantarai oleh proteik kinase-C yang termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi pada vaskuler seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel, dan permeabilitas kapiler. Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan protein. Pada awalnya, glukosa akan mengikat residu asama amino secara nonenzimatik menjadi basa Schiff-glikasi, lalu terjadi penyususnan ulang agar lebih stabil dan reversibel, yang disebut produk amadori. Jika proses ini berlanjut terus akan berakibat pada Advanced Glycation End-Products (AGEs) yang ireversibel. AGEs diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan kegiatan seluler, seperti ekspresi adhesion molecules yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya hipertofi sel, sintesis matriks ekstraseluler seperti inhibisi sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstitialis. Hipertensi yang timbul bersama dengan bertambahnya kerusakan ginjal, akan mendorong sklerosis pada ginjal pasien DM. Jadi dari bahasan ini sudah jelas hubungan yang terdapat antara DM dan kegagalan ginjal dalam bekerja.
Hipertensi pada penyakit ginjal diakibatkan oleh seluruh lesi ginjal yang menyebabkan penurunan kemampuan ginjal untuk mengekskresi natrium (Na) dan air. Macam lesi bisa dikelompokkan menjadi lesi yang meningkatkan resistensi pada pembuluh darah ginjal yang berakibat pada penurunan aliran darah ginjal dan LFG (e.g.: stenosis arteria renalis), penurunan koefisien filtrasi kapiler glomerulus yang akan menurunkan LFG (e.g.: glomerulonefritis kronis), dan reabsorbsi Na tubulus yang berlebiham (e.g.: hiperaldosteronisme). Pada pasien di skenario, kemungkinan kegagalan ginjal akibat hipertensi adalah lesi kelompk pertama, yaitu lesi yang meningkatkan resistensi pada pembuluh darah ginjal yang berakibat pada penurunan aliran darah ginjal dan LFG.
Pada keadaan DM juga sering ditemukan pasien dengan hipertensi. Hal ini juga bisa berhubungan. Keadaan DM akan menyebabkan hiperinsulinemia yang akan meningkatkan tekanan arteri dengan 3 mekanisme. Mekanisme pertama, hiperinsulinemia mengakibatkan retensi natrium ginjal dan akan meningkatkan aktivitas simpatik sehingga tekanan arteri pun meningkat. Mekanisme kedua, adalah hipertrofi otot polos vaskuler sekunder terhadap kerja mitogenik insulin. Akhirnya insulin juga akan mengubah transpor ion melalui membrana sel sehingga meningkatkan kadar kalsium sistosolik dari jaringan vaskuler atau ginjal yang sensitif terhadap insulin berakibat pada peningkatan tekanan arteri. Mekanisme ketiga, adalah spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerulus.
Hipertensi yang terjadi pada pasien ini (tekanan darah 170/100 mmHg) adalah hipertensi renal akibat kekacauan ginjal volume dan perubahan sekresi bahan vasoaktif oleh ginjal mengakibatkan perubahan sistemik atau lokal dalam tonus arteriolar. Hipertensi renal, dibagi menjadi 2 macam, yaitu hipertensi renovaskuler dan hipertensi parenkim ginjal. Hipertensi renovaskuler diakibatkan oleh perfusi ginjal yang menurun akibat stenosis arteria renalis kemudian akan mengaktifkan sistem renin-angitoensin-aldosteron (RAA) yang akan meningkatkan tekanan darah selanjutnya. Hipertensi parenkim ginjal diakibatkan oleh penurunan perfusi jaringan ginjal yang berakibat pada perubahan radang dan fibrotik yang mengenai beberapa pembuluh darah intrarenal yang kecil. Perbedaan antara keduanya akan dijelaskan sebagai berikut. Aktivitas renin plasma perifer naik jauh lebih jarang pada hipertensi parenkim ginjal dibandingkan hipertensi renovaskuler. Curah jantung dikatakan normal dalam jenis parenkim ginjal (kecuali pada uremia dan anemia) agak sedikit meningkat pada hipertensi renovaskuler. Respons sirkulasi terhadap gerakan mengangkat atau valsava meningkat pada hipertensi renovaskuler. Dan volume darah cenderung meningkat pada pasien dengan hipertensi renovaskuler berat. Sedangkan pada hipertensi parenkim ginjal secara dominan akan terjadi kerusakan ginjal yang menimbulkan substansi vasopresor selain renin, gagal menimbulkan substansi vasodilator humoral (misalnya prostaglandin, bradikinin), gagal membuat substansi vasopresor dalam sirkulasi menjadi tidak aktif, dan tidak efektif dalam mengatur Na sehingga terus menerus akan terjadi retensi Na yang sangat bertanggung jawab dalam mekanisme hipertensi. Pada pasien di skenario, kemungkinan terbesar adalah mengalami hipertensi renovaskuler.
Pasien dengan GGK biasanya telah mengalami anemia karena kegagalan ginjal dalam produksi eritropoietin (EPO) yang sangat dibutuhkan dalam proses eritropoiesis. Kekurangan EPO juga akan berakibat pada memendekna life span dari eritrosit sehingga hemolisis eritrosit sebelum waktunya akan sering terjadi. Selain karena penurunan EPO, anemia juga diakibatkan oleh adanya efek toksin pada sumsum tulang yang tertahan, adanya inhibitor EPO, intoksikasi aluminium (akibatnya antara lain anemia mikrositik, fibrosis tulang oleh karena hiperparatiroidisme, dan penggantian asam folat yang tidak memadahi). Jika ada anemia seperti ini, maka pasien hendaknya diberikan transfusi EPO. Tranfusi darah tidak boleh dilakukan karena akan menambah beban volume di tubuh. Transfusi darah hanya boleh diberikan pada keadaan-keadaan tertentu, misalnya perdarahan gastrointestinal dan keadaan di mana pasin gagal merespons EPO, misalnya pada intoksikasi aluminium dan defisiensi besi. Di dalam skenario, tidak ada keterangan-keterangan lain mengenai keadaan lain pasien selain anemia (ditunjukkan Hb hanya 8.2 g/dL) jadi pemberian EPO bisa dilakukan.
Hiperkalemia (Kalium 6.5 mmol/L) adalah suatu tanda tahap akhir dari penyakit GGK. Hiperkalemia disebabkan oleh kadar insulin yang rendah (pada penyakit DM tipe I) karenanya dapat menurunkan ambilan kalium ke dalam sel sehingga kadar kalium akan sangat tinggi di dalam serum. Jika pada penyakit DM tipe II, keadaan rendah insulin disebabkan oleh hiperinsulinemia tetapi insulin sudah banyak yang didegradasi dan dikeluarkan dalam tubuh oleh ginjal. Karena pasien memiliki hipertensi, mungkin diobati dengan penghambat beta adrenergik. Obat golongan ini juga mampu meningkatkan kadar kalium di dalam serum. Abnormalitas status asam basa pasien (pasien mengalami asidosis metabolik) akan menyebabkan perubahan distribusi kalium. Pada asidosis metabolik, akan terjadi peningkatan konsentrasi kalium ekstrasel. Karena salah satu efek peningkatan ion hidrogen adalah menurunkan aktivitas pompa Na-K ATP-asesehingga akan menurunkan ambilan K seluler.
Asidosis metabolik disebabkan juga oleh kegagalan ginjal dalam meregenerasi ion bikarbonat sebagai sistem penyangga tubuh. Saat fungsi ginjal turun, terdapat pembentukan anion dari asam lemah dalam cairan tubuh yang tidak diekskrsikan oleh ginjal. Misalnya dengan penurunan LFG, akan mengurangi ekskresi fosfat dan ion amonium, yang berdampak pengurangan jumlah bikarbonat yang diregenerasi ke dalam cairan tubuh. Pada GGK yang telah menderita asidosis metabolik bukan akibat produksi asam endogen yang berlebihan saja tetapi juga akibat berkurangnya massa ginjal sehingga mengurangi terbentuknya ion bikarbonat. Hal ini akan berakibat pada penurunan pH arteri.
Obstruksi saluran kemih yang menyebabkan pasien di skenario mengejan pada waktu BAK adalah mungkin sebagai akibat dari batu saluran kemih. Hanya saja di mana letak batu pada pasien di skenario belum bisa diketahui secara pasti karena memang tidak ada data dan perlu pemeriksaan lanjutan seperti pemeriksaan radiologi dan pielografi intravena. Batu pada saluran kemih memiliki frekuensi kejadian tiga kali lipat daripada perempuan. Ada 3 teori pembentukan batu, yaitu teori nukleasi, artinya batu terbentuk di dalam urin karena adanya inti batu sabuk batu (nukleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan yang kelewat jenuh akan mengendap di dalam nukleus itu sehingga akhirnya membentuk batu. Inti batu dapat berupa kristal atau benda asing di saluran kemih. Teori kedua adalah teori matriks, dalam hal ini matriks organik terdiri atas serum/protein urin (albumin, globulin, dan mukoprotein) merupakan kerangka tempat diendapkannya kristal-kristal batu. Teori ketiga adalah kristalisasi. Pada urin normal ada beberapa zat yang merupakan penghambat kristalisasi, misalnya magnesium, sitrat, pirofosfat, mukoprotein, dan beberapa peptida. Jika kadar salah satunya atau beberapa zat itu berkurang, akan memudahkan terbentuknya batu di dalam saluran kemih. Batu saluran kemih ada banyak jenisnya, yaitu batu kalsium, batu struvit, batu urat, dan batu lainnya. Batu kalsium terbentuk karena keadaan hiperkalsiuri, hiperokasluri, hiperurikosuri, hipositraturi, dan hipomagnesiuri. Batu struvit terbentuk karena adanya infeksi saluran kemih. Batu urat adalah batu yang terbentuk karena kadar asam urat yang tinggi (hiperurikosuri), urin yang terlalu asam, dan dehidrasi. Jika batu pada saluran kemih hanya dibiarkan, akan mengakibatkan obstruksi (berlanjut pada hidronefrosis dan hidroureter), infeksi, abses ginjal, dan lain sebagainya yang akan berakibat pada kerusakan ginjal permanen (keadaan gagal ginjal).
Pasien di dalam skenario telah mencapai GGK stadium akhir sehingga penatalaksanaan yang paling tepat adalah transplantasi ginjal. Mungkin tidak bisa langsung dilakukan operasi untuk melakukan hal tersebut sehingga selama waktu menunggu diperlukan hemodialisis dan pengobatan lain agar tekanan darah turun, hemoglobin kembali normal, serta DM menjadi terkontrol.

4. KESIMPULAN
¨ Pasien, seorang laki-laki usia 60 tahun, datang dengan keluhan utama lemas, mata berkunang-kunang,sering mual, jika BAK seirng mengejan dan merasa tidak puas saat BAK. Pasien juga mengalami nyeri ginjal, memiliki riwayat DM yang tidak terkontrol, dan riwayat hipertensi yang tidak diketahui.
¨ Hasil pemeriksaan fisik, antara lain tekana darah 170/100 mmHg (hipertensi), nadi 110 kali/menit (takikardia), laju pernapasan 24 kali/menit (takipneu), dan suhu 36.7oC (batas normal).
¨ Hasil laboratorium yang penting adalah laju Hb 8.2 g/dL (HR pada laki-laki= 13.0-18.0 g/dL), leukosit 5400/uL (HR= 4500-11000/uL), trombosit 150000/uL (HR= 150000-400000/uL), ureum 150 mg/dL (HR= 24-49 mg/dL), kreatinin 8.4 mg/dL (HR= 0.6-1.2 mg/dL), dan kalium 6.5 mmol/L (HR= 3.5-5.5 mmol/L). Menunjukkan peningkatan ureum, kreatinin, dan kalium. Menunjukkan penurunan hemoglobin.
¨ Pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan asidosis metabolik. Asidosis metabolik dikompensasi dengan adanya takipneu pada pasien di skenario.
¨ Diagnosis utama mengenai penyakit yang dialami pasien dalam skenario tersebut adalah gagal ginjal kronik. Hal ini didasari dengan adanya hasil pemeriksaan laboratorium: hiperkalemia, uremia, dan anemia. Melihat dari riwayat pasien yang memiliki penyakit hipertensi (walaupun tidak diketahui memiliki riwayat atau tidak) dan diabetes melitus yang tidak terkontrol. Keluhan pasien mata berkunag-kunang dan badan terasa lemas menunjukkan suatu keadaan anemia. Adanya keluhan pada proses perkemihan pasien, misalnya sering mengedan (hesitansi) dan rasa tidak puas setelah BAK (residual urin) merupakan tanda-tanda adanya obstruksi saluran kemih, terutama obstruksi infravesika.
¨ Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah pemeriksaan klirens kreatinin (untuk mengetahui fungsi ginjal dalam hal LFG), pemeriksaan protein urin (untuk mengetahui apakah termasuk nefropati diabetik), pemeriksaan radiologi dan pielografi intravena (untuk mengetahui letak anatomis obstruksi saluran kemih dan jenis batunya), dan pemeriksaan glukosa darah (untuk mengontrol DM yang diderita pasien).
¨ Penatalaksanaan yang paling tepat bagi pasien dengan GGK stadium akhir (ditunjukkan adanya hiperkalemia dan uremia) seperti pada kasus di skenario adalah transplantasi ginjal. Selama waktu menunggu diperlukan hemodialisis dan pengobatan lain agar tekanan darah turun, hemoglobin kembali normal, serta DM menjadi terkontrol.
¨ Prognosis pasien tersebut adalah buruk jika tidak dilakukan transplantasi ginjal. Suatu keadaan gagal ginjal akan buruk prognosisnya jika disertai dengan keadaan pasien sebagai berikut: jenis kelamin laki-laki, tekanan diastolik persisten di atas 115 mmHg, adanya diabetes melitus, fungsi ginjal terganggu secara ireversibel (gagal ginjal kronik).

5. DAFTAR PUSTAKA
Brady, H. R., B. M. Brenner. 2007. Gagal Ginjal Akut. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1425-34

Brenner, B. M., J. M. Lazarus. 2007. Gagal Ginjal Kronik. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1435-42

Carpenter, C. B., J. M. Lazarus. 2007. Dialisis dan Transplantasi Dalam Terapi Gagal Ginjal. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1443-54

Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Seifter, J. L, B. M. Brenner. 2007. Obstruksi Saluran Kemih. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1500-2

Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.

Sunday, April 26, 2009

PENYAKIT MENULAR SEKSUAL


1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit kelamin (veneral diseases) sudah lama dikenal dan beberapa di antaranya sangat populer di Indonesia yaitu sifilis dan gonore. Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan, seiring dengan perkembangan peradaban masyarakat, banyak ditemukan penyakit-penyakit baru sehingga istilah tersebut tidak sesuai lagi dan diubah menjadi sexually transmitted diseases (STD) atau Penyakit Menular Seksual (PMS). Perubahan istilah tersebut memberikan dampak terhadap spektrum PMS yang semakin luas karena selain penyakit-penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit kelamin (VD) yaitu sifilis, gonore, ulkus mole, limfogranuloma venerum, dan granuloma juga termasuk uretritis non gonore (UNG), kondiloma akuminata, herpes genitalis, kandidosis, trikomoniasis, bakterial vaginosis, hepatitis, moluskum kontagiosum, skabies, pedikulosis dan lain-lain.
Sejak tahun 1998, istilah STD mulai berubah menjadi STI (Sexually Transmitted Infections) agar dapat menjangkau penderita asimtomatik. Ada pula golongan profesional lain yang memandang STI dari konteks kesehatan reproduksi (sebagai bagian dari infeksi saluran reproduksi yang meliputi pula infeksi endogen dan eksogen mikroorganisme yang ditularkan secara seksual dan nonseksual). Peningkatan insidens IMS dan penyebarannya di seluruh dunia, tidak dapat diperkirakan secara tepat. Di beberapa negara disebutkan bahwa pelaksanaan program penyuluhan yang intensif akan menurunkan insidens IMS atau paling tidak insidensnya relatif tetap. Namun demikian, di sebagian besar negara insidens IMS masih relatif tinggi dan setiap tahun beberapa juta kasus baru beserta komplikasi medisnya antara lain kemandulan, kecacatan, gangguan kehamilan, gangguan pertumbuhan, kanker bahkan juga kematian memerlukan penanggulangan sehingga hal ini akan meningkatkan biaya kesehatan.
Selain itu, pola infeksi juga mengalami perubahan, misalnya infeksi klamidia, herpes genital, dan kondiloma akuminata di beberapa negara cenderung meningkat dibandingkan uretritis gonore dan sifilis. Beberapa penyakit infeksi sudah resistn terhadap antibiotik, misalnya munculnya galur multiresisten Neisseria gonorrhoeae, Hemophilus ducreyi, dan Trichomonas vaginalis yang resisten terhadap metronidazole. Perubahan pola infeksi maupun resistensi tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Peningkatan insidens IMS tidak terlepas dari kaitannya dengan perilaku risiko tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa penderita sifilis melakukan hubungan seks rata-rata sebanyak 5 pasangan seksual yang tidak diketahui asal-usulnya, sedangkan penderita gonore melakukan hubungan seks dengan rata-rata 4 pasangan seksual. Demikian juga halnya antara IMS dengan pecandu narkotik, terlihat bahwa 28% penderita sifilis dan 73% penderita gonore melakukan hubungan promiskuiti karena ketagihan narkotik. Riwayat promiskuiti atau berganti-ganti pasangan seksual juga ditunjukkan dari data penderita seropositif sifilis yang mempunyai pasangan seksual lebih dari 2 orang, sedangkan yang seronegatif hanya 1 orang atau tidak pernah berhubungan seksual.
Dari skenario 1 Blok Urogenitalia, ada beberapa masalah penting, yaitu :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Pasien (pria usia 25 tahun, belum menikah) yang bekerja sebagai sales obat datang ke bagian ilmu kesehatan kulit dan kelamin RSUD dr. Moewardi Solo, dengan keluhan utama 3 hari sebelumnya berhubungan dengan wanita tuna susila (WTS) dan sekarang keluar duh tubuh purulenta dari orificium urthrae externum.
- Disertai inflamasi dan adanya disuria.
- Badan dirasakan panas, nyeri pada kelenjar limfonodi inguinalis dextra et sinistra.
- Penderita belum minum obat apapun.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- Penderita pernah menderita penyakit yang sama, tetapi tidak separah pada saat ini.
- Sudah berobat ke mantri dan mendapat obat yang diminum sekali saja kemudian penyakit dirasakan sembuh.
Ø Riwayat Penyakit Keluarga, berupa:
- (tidak ada data)
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Penderita berhubungan dengan WTS setiap satu bulan sekali dan sudah dilakukan selama 6 bulan, jadi selama ini penderita sudah pernah berhubungan dengan WTS sebanyak 6 kali.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas sebagai dasar teori, antara lain :
a. Anatomi organ genital pria
b.Histologi organ genital pria
c. Fisiologi proses mikturisi
d. Sifilis, kankroid, herpes genitalis, dan kondiloma akuminata
e. Gonore, klamidia, trikomoniasis
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Mengetahui penegakkan diagnosis melalui berbagai pemeriksaan yang dilakukan.
Ø Mengetahui gejala-gejala penyakit tersebut lebih lanjut serta penatalaksanaannya.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem urogenitalia dan penyelesaiaannya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu menjelaskan atau merealisasikan:
a. Ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dengan sistem urogenitalia, meliputi: biologi, anatomi, histologi, fisiologi, dan biokimia, dan sebagainya.
b. Klasifikasi macam-macam penyakit pada sistem urogenitalia, meliputi: penyakit menular seksual, gangguan berkemih kasus penyakit dalam, dan gangguan berkemih kasus bedah.
c. Berbagai penyebab dan faktor risiko terjadinya gangguan pada sistem urogenitalia beserta mekanismenya.
d. Mekanisme terjadinya kelainan pada sel/organ pada penyakit-penyakit sistem urogenitalia meliputi patogenesis, patologi, dan patofisiologinya.
e. Tanda-tanda dan gejala-gejala berbagai penyakit sistem urogenitalia.
f. Metode penegakan diagnosis pada penyakit sistem urogenitalia.
g. Penyususnan data dari tanda dan gejala, pemeriksaan fisik, prosedur klinik, dan pemeriksaan laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis dan diagnosis banding pada penyakit sistem urogenitalia.
h. Penentuan prosedur klinik penunjang diagnosis penyakit sistem urogenitalia seperti Radiologi-IVP, USG, sistouretrografi, angiografi renal, biopsi ren, tes fungsi laki-laki.
i. Penentuan pemeriksaan laboratorium penunjang diagnosis penyakit sistem urogenitalia, seperti: metode biokimia (misalnya: kimia urin, kimia darah, GFR, tes kliren kreatinin, kreatinin plasma, BUN blood urea nitrogen), tes fungsi khusus proksimal dan distal, mikroskopik urin, bakteriologi urin.
j. Penjelasan manajemen/penatalaksanaan penyakit pada sistem urogenitalia meliputi dasar-dasar terapi meliputi medikamentosa, konservatif, diet, operatif, rehabilitasi.
k. Penjelasan berbagai komplikasi yang ditimbulkan pada penyakit-penyakit sistem urogenital.
l. Penjelasan prognosis secara umum tentang penyakit pada sistem urogenital.
m. Prosedur ketrampilan klinik untuk mendiagnosis penyakit pada sistem urogenitalia meliputi bladder catheter, pemasangan kateter urethral pada laki-laki dan wanita, sirkumsisi, dan pungsi suprapubik.
n. Perancangan tindakan promotif dan preventif penyakit pada sistem urogenitalia dengan mempertimbangkan faktor-faktor risiko.

2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Organ Genital Pria
Organ genital pria terdiri dari dua bagian, yaitu interna dan eksterna. Organ genital pria yang interna terdiri atas testis, epididymis, ductus abberans inferior, ductus deferens, ductus ejaculatorius, urethra maskulina. Organ genital pria yang eksterna terdiri atas penis dan scrotum. Selain itu dalam bagian anatomi organ genital pria juga dapat ditemukan glandula accessoria yang terdiri atas glandula prostata, vesicula seminalis, glandula bulbourethralis. Dalam bagian ini hanya akan ditinjau mengenai testis dan penis saja. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Testis merupakan sepasang organ berbentuk bulat lonjong yang terdapat dalam kantong scrotum, digantung oleh tangkai fibrovasculer yaitu funiculus spermaticus, yang meninggalkan canalis inguinalis melalui anulus inguinalis profundus. Testis kiri sering tergantung lebih rendah daripada testis kanan. Pada stadium awal kehidupan fetus, testis terdapat dalam cavitas abdominalis di belakang dari peritoneum. Sebelum mereka lahir, testis mengalami penurunan masuk ke dalam canalis inguinalis dan berjalan di dalam canalis inguinalis tersebut, kemudian keluar melalui anulus inguinalis superficialis untuk kemudian masuk ke dalam scrotum dengan dibungkus oleh beberapa lapis pembungkus yang merupaka derivat dari tunica serosa, tunica muscularis, dan lamina fibrosa dari dinding abdomen juga kulit. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Testis panjangnya rata-rata 4-4 cm, lebar 2,5 cm dan diameter anteroposterior 3 cm. Berat dari 1 testis berkisar antara 0,5-1 gram. Di dalam cavum scroti testis terletak miring. Tiap testis mempunyai bagian-bagian extremitas superior yang menuju ke ventrolateral, extremitas inferior yang menuju ke dorsomedial, margo anterior yang covex (terlihat menuju ke arah ventral dan caudal), dan margo posterior yang lurus sebagai tempat perlekatan funiculus spermaticus (menuju ke dorsal dan cranial). (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Pembungkus testis yang pertama adalah tunica vaginalis. Sering disebut sebagai tunica vaginalis propria testis adalah membrana serosa yang menutupi testis. Tunica ini berwujud sebagai suatu kantong membrana serosa derivat dari saccus vaginalis peritonei yang pada fetus ikut descensus testiculorum, bagian kantong peritoneum yang membentang dari anulus inguinalis profundus ke dekat bagian bawah masih tetap berupa kantong peritoneum tertutup yang membungkus tetstis. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Pembungkus tersebut terdiri dari 2 macam, yaitu lamina visceralis dan lamina parietalis. Lamina visceralis menutupi sebagian besar testis dan epididymis. Plica yang berasal dari lamina visceralis ini akan menghubungkan epididymis dengan testis. Dari margo posterior testis, lamina ini akan mengadakan refleksi ke arah fascia interna yang akan menutupi scrotum. Lamina parietalis memiliki bentuk yang lebih tebal daripada lamina visceralis. Membentang ke arah cranial sampai di ventral dan medial funiculus spermaticus dalam emncapai bagian bawah tetsis. Facies interna dari tunica vaginalis yang halus ini dibentuk di antara lamina visceralis dan lamina parietalis disebut sebagai cavum vaginale testis. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Obliterasi dari bagian saccus vaginalis, berupa jaringan fibrosa yang terdapat pada jaringan longgar di sekitar funiculus spermaticus yang terlihat sebagai suatu pita dari ujung atas canalis inguinalis, yang terlihat berhubungan dengan peritoneum menuju ke bawah sampai pada tunica vaginalis. Tetapi tidak jarang juga ditemui bahwa sisa bangunan tersebut di atas sulit untuk ditemukan. Pada kasus tertentu, kantong peritoneum ini tidak mengalami obliterasi sehingga cavitas peritonealis di abdomen berhubungan langsung dengan cavum vaginale testis. Apabila ini terjadi, dapat memudahkan timbulnya hernia inguinalis. Pada keadaan lain, kantong peritoneum tersebut memendek (berkontraksi) dengan tanpa adanya obliterasi, keadaan ini kemudian akan membentuk kanalis kecil yang berasal dari cavitas peritonealis menuju ke cavum vaginale testis. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Pembungkus testis yang kedua adalah tunica albuginea. Merupakan lamina fibrosa yang menutupi testis, berwarna putih kebiru-biruan yang tersusun atas bundel jaringan pengikat fibrosa. Tunica albugenia akan menutupi seluruh permukaan testis, kecuali pada daerah perlekatan dari epididymis pada testis dan sepanjang margo posterior testis. Di tempat inilah a. testicularis masuk ke dalam testis. Lapisan ini menempel pada tunica vasculosa yang langsung menutupi permukaan dari testis dan juga pada margo posterior testis, akan mengirimkan tonjolan-tonjolan serabut fibrosanya ke dalam substansia testis, akan membentuk septum yang tidak sempurna secara vertikal, yang disebut sebagai mediastinum testis atau corpus Highmori. Mediastinum testis membentang dari ujung atas sampai hampir ke ujung bawah testis, di sebelah atas terlihat lebih luas daripada yang bawah. Dari bagian depan dan sampingnya terdapat banyak septa atau trabecula yang berasal darinya, yang menyebar menuju permukaan testis untuk kemudian akan melekat pada tunica albugenia. Trabecula atau septula testis ini akan membagi-bagi testis dalam beberapa lobuli yang membentuk seperti conus, dengan basisnya agak melebar dekat dengan permukaan testis, dan akan mengecil dekat dengan mediastinum testis. Septa-septa jaringan ikat (septula tetsis) menyebar dari kapsul menuju ke mediastinum testis dan membagi jaringan testis menjadi 200-300 lobulus (lobuli testis). Tiap lobulus mengandung beberapa tubulus seminiferus yang berkelok-kelok (tubuli contorti seminiferi). Tubulus contortus seminiferus dalam testis matur dipisahkan dari jaringan ikat sekitarnya oleh membrana basalis, dan mempunyai dinding berlapis-lapis. Spermatozoa diproduksi dari sel-sel dalam dinding tubulus ini lalu berjalan dalam lumen. Tetapi sel-sel yang memproduksi hormon terletak di jaringan ikat di antara tubuli. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Tiap tubulus pada testis matur (secara seksual) tebalnya sekitar 140-300 mikrometer dan jika dibentangkan panjangnya mencapai 30-60 milimeter. Tubulus masuk ke mediastinum yang kemudian menjadi lurus yaitu sebagai tubulus rectus seminiferus yang akhirnya membentuk anyaman sebagai rete testis. Rete testis terdiri atas saluran-saluran seperti celah saling berhubungan di mana ductuli efferentes menyalurkan sperma (spermatozoa) menuju ductus epididymis. Selanjutnya ductus epididymis melanjutkan diri sebagai ductus deferens. Pada mediastinum tetsis dapat dijumpai adanya vasa darah, ductuli testis yang keluar masuk dari dan ke dalam testis. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Pembungkus ketiga adalah tunica vasculosa yang merupakan lapisan vaskular di testis yang tersusun atas plexus pembuluh darah beserta jaringan pengikat longgar. Lapisan ini akan melapisi tunica albuginea dari dalam dan berbeda dengan septula testis, tunica vasculosa ini akan melapisi seluruh celah-celah yang terdapat di dalam testis. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Vaskularisasi testis oleh a. spermatica interna (a. testicularis) yang merupakan cabang langung dari aorta abdominalis di sebelah caudal a. renalis. Selain itu divaskularisasi oleh a. spermatica externa cabang a. epigastrica inferior, dan a. pudenda externa cabang dari ductus epididymis. Inervasi bersifat autonom simpatis dari segmen vertebra thoracalis IX dengan melalui plexus renalis maupun plexus aorticus. Sifat inervasinya vasomotorik. Cerebrospinal berasal dari cabang n. genitofemoralis sebagai n. spermaticus (n. pudendus). Inervasi menuju ke selubung testis. Di samping itu ductus epididymis juga diinervasi oleh n. scrotalis posterior. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Selanjutnya adalah penis, merupakan organon genitalia externa pada laki-laki yang digunakan sebagai alat kopulasi/koitus. Penis dibagi menajdi 2 macam, yaitu pars fixa dan pars libera. Pada pars fixa penis, tersusun oleh radix penis dan bulbus penis/bulbus urethrae. Radix penis sering disebut dengan crus penis. Merupakan alat penggantung penis yang paling kuat. Radix penis merupakan lanjutan dari corpus cavernosum penis yang berjalan ke dorsolateral, dan masing-masing memisahkan diri menjadi 2 crura dan melekat pada facies medialis ramus inferior ossis ischii. Tiap crus dilapisi oleh m. ischiocavernosus yang dengan gerakan refleks atau volunter dapat mengalirkan darah dari crus masuk ke corpus penis. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Pars libera penis tersusun atas corpora cavernosa penis dan corpus cavernosum urethrae. Pars libera sering diebut juga sebagai batang penis. Corpora cavernosa penis merupakan jaringan pengikat erektil yang jumlahnya sepasang, kanan dan kiri. Dinding corpus cavernosum penis terdiri atas jaringan pengikat yang disebut tunica albuginea, yang berjalan trabeculair ke dalam corpus cavernosum penis sehingga membentuk ruangan-ruangan yang disebut dengan cavernae, di aman bagian tengah besar dan makin ke pinggir makin kecil. Ruangan-ruangan ini berupa celah sempit ketika kosong dan dapat melebar jika teregang oleh bendungan darah. Tunica albuginea corpus cavernosum penis kanan dan kiri saling melekat sehingga membentuk septum yang disebut sebagai septum pectiniforme penis. Suatu cekungan dangkal yang terbentuk karena adanya persatuan antara kedua corpora cavernosa penis pada facies superior akan ditempati oleh v. dorsalis penis profunda. Sedangkan cekungan yang lebih dalam dan lebih luas di antara kedua corpora tersebut di atas, pada facies inferior akan ditempati oleh corpus spongiosum penis. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Kemudian corpus cavernosum urethrae atau disebut juga sebagai corpus spongiosum penis dan jumlahnya tunggal. Corpus cavernosum urethrae ini terletak pada cekungan yang dibentuk persatuan dari corpora cavernosa penis pada facies inferiornya. Bentuknya silindris uniform dan lebih kecil daripada corpus cavernosum penis. Setiap ujung corpus cavernosum urethrae membesar. Ujung distalnya membentuk glans penissedangkan ke arah proksimal membesar sebagai bulbus penis. Corpus cavernosum urethrae ditembus oleh urethrae pars cavernosa untuk keluar pada ujung glans sebagai orificium urethrae externum. Di dalam glans penis, urethra itu melebar sebagai fossa navicularis sebelum ke luar. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Glans penis merupakan ujung anterior dari corpus cavernosum urethrae yang membesar dalam bentuk conus dan menutupi ujung corpus cavernosum penis. Diameter di bagian perifer lebih besar daripada di bagian corpusnya dan menjorok ke dalam akhiran yang membulat yang disebut sebagai corona glandis. Ke arah proksimal dari corona glandis terdapat suatu penyempitan yang disebut sebagai sulcus retroglandularis dan collum penis. Pada puncak dari glans penis terdapat lubang berbentuk celah yang disebut sebagai orificium urethrae externum. Penis ditutupi oleh kulit yang dapat digeser sepanjang corpusnya, akan tetapi melekat erat pada glans. Lipatan kulit corpus yang menutupi seluruh glans disebut preputium penis. Pada permukaan vebtralnya, preputium dihubungkan erat dengan glans oleh frenulum preputii. Terdapat glandula preputialis (Tyson) yang tersebar pada collum penis dan lapisan dalam dari preputium. Kelnjar ini menghasilkan sekret dengan bau yang khas yang disebut sebagai smegma bersama-sama dengan sel-sel epithelium yang lepas. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Penis akan ditutupi suatu selubung mesoderm yang disebut sebagai fascia. Fascia penis ini terdiri dari 2 macam, yaitu fascia subcutanei penis dan fascia profunda penis. Fascia subcutanei penis merupakan lanjutan fascia yang terdapat pada scrotum. Lapisan ini tidak dapat dibagi ke dalam lamina superficialis dan lamina profunda dan tidak mengandung jaringan lemak. Celah antara fascia superficialis dan fascia profunda memberikan kemungkinan kulit dapat bergerak lebih bebas. Fascia profunda penis disebut juga sebagai fascia Buck, ke arah proksimal fascia ini akan membungkus crura dan bulbus penis. Fascia ini akan melekat pada ramus ischiopubicus dan pada lamina superficialis diaphragma urogenitale. Pada bagian anterior atau ujung distal m. bulnocavernosus dan m. ischiocavernosus, fascia ini terpecah ke dalam lamina superficialis dan lamina profunda. Lamina superficialisnya menutupi lamina superficialis otot-otot tersebut sebagai fascia perinei externa dari perineum, sedangkan lamina profunda akan melanjutkan diri sebagai fascia penis profunda. Fascia Buck menutupi penis sebagai suatu capsula yang kuat. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Penis akan difiksasi oleh radix penis, ligamentum suspensorium penis, ligamentum fundiforme penis, m. bulbocavernosus/m. bulbospongiosus, dan m. ischiocavernosus. Penis akan divaskularisasi oleh a. profunda penis (termasuk a. hellicinae), a. dorsalis penis, a. urethralis, a. bulbi urethralis, dan a. pudenda externa. A. pudenda externa cabang a. femoralis akan memberikan suplai darah ke kulit penis dan fascia penis sedangkan a. profunda penis, a. dorsalis penis, a. urethralis, a. bulbi urethralis adalah merupakan cabang a. pudenda interna. Penis diinervasi oleh saraf cerebrospinal dan saraf autonom. Saraf cerebrospinal yaitu oleh n. pudendus, di mana saraf ini akan bercabang sebagai n. dorsalis penis dan bersifat sensibel. Dendritnya akan berakhir sebagai reseptor untuk refleks ereksi. Saraf autonom terdiri dari simpatis dan parasimpatis. Parasimpatis oleh medulla spinalis segmen sacralis II-IV dan simpatis oleh medulla spinalis segmen lumbalis I-III. Saraf autonom penis akan membentuk plexus cavernosus yang juga mendapatkan serabut dari plexus prostaticus. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
B. Histologi Organ Genital Pria
Pengamatan mikroskopis yang akan dibahas dalam bagian ini adalah mengenai tubulus kontortus seminiferus dan uretra pria. Tubulus kontortus seminiferus memiliki dinding yang terdiri atas 3 lapisan: tunika propria, membrana basalis, dan epitel germinativum. Tunika propria tersusun oleh jaringan pengikat fibroelastis, membrana basal tipis dan homogen, epitel germinativum tersusun oleh sel-sel secara epiteloid dan berlapis. Ada dua macam sel di sini, yaitu sel sertoli (sel penyokong, sustentakuler) dan sel spermatogenik. Sel sertoli berbentuk oval atau kolumner tinggi, menempel pada membran basal. Puncak sel mengarah ke lumen, dengan batas sel yang tidak jelas. Intinya jelas, bentuknya oval, terletak eksentis mengandung satu atau lebih anak inti. Sitoplasmanya mengandung tetes lemak dengan granula pigmen lipofukhsin. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Sel spermatogenik tersusun berlapis mulai dari luar disebut spermatogonium, bentuknya bulat dengan kromatin inti yang padat. Dari spermatogonium akan berkembang menjadi spermatosit I selnya besar dengan inti besar, kromatinnya berbentuk benang-benang panjang. Setelah mencapai pertumbuhan maksimum spermatosit I akan membelah menjadi 2 spermatosit II dengan ukuran yang lebih kecil selanjutnya akn membelah lagi menjadi dua spermatid dan terdapat di permukaan sebagai stadium akhir dari pembelahan sel. Selanjutnya bentuk spermatid akan mengalami perubahan menjadi spermatozoa. Spermatozoa akan mengalami pematangan dan akhirnya lepas dari dinding berkumpul menuju duktus epididimis untuk ditimbun di sini. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Untuk uretra pria, akan dibagi menjadi 3 segmen, yaitu pars prostatika, pars membranacea, dan pars cavernosa. Pars prostatika merupakan bagian uretra saat menembus kelenjar prostat, temapat muara duktus ejakulatorius dan kelenjar-kelenjar prostat. Epitelnya merupakan epitel transisional. Uretra pars membranacea dimulai dari puncak prostat berakhir pada bulbus kavernosum penis, diliputi oleh epitel pseudokompleks kolumner. Dan pars kavernosa adalah pada saat melalui korpus kavernosum penis dan bermuara pada ujung glans penis, diliputi oleh epitel kolumner kompleks dan beberapa dengan epitel skuamous kompleks. Lamina propria terdiri atas jaringan pengikat fibroelastis. Membrana mukosa membentuk lekukan-lekukan yang meluas ke dalam membentuk kelenjar tubuler bercabang disebut kelenjar Littre yang kan mensekresi mukous. Tunika muskularis terdiri dari 2 lapis otot polos, bagian dalam longitudinal dan bagian luar sirkuler. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
C. Fisiologi Proses Mikturisi
Sebelumnya akan dibahas anatomi dan fisiologi serta hubungan persarafan dalam kandung kemih (vesica urinaria). Kandung kemih merupakan suatu ruang otot polos yang terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian korpus dan bagian leher/kolum. Bagian korpus merupakan bagian utama kandung kemih dan tempat pengumpulan urin. Bagian leher berbentuk corong yang merupakan perluasan bagian korpus kandung kemih, berjalan ke bawah dan ke depan menuju segitiga urogenital dan berhubungan dengan uretra. Otot polos kandung kemih disebut juga sebagai otot detrusor. Serabut-serabutnya ototnya meluas ke segala arah dan ketika berkontraksi dapat meningkatkan tekanan di dalam kandung kemih hingga 40-60 mmHg. Jadi kontraksi otot detrusor merupakan tahap utama dalam proses pengosongan kandung kemih. Sel-sel otot polos pada otot detrusor bergabung satu sama lain sehingga berbentuk jalur elektrik bertahanan rendah dari sel otot yang satu ke yang lain. Oleh karena itu, potensial aksi dapat menyebar ke seluruh otot detrusor, dari satu sel otot ke sel berikutnya, menyebabkan kontraksi pada kandung kemih pada saat yang bersamaan. (Guyton dan Hall, 2007)
Pada dinding posterior kandung kemih, tepat di atas leher kandung kemih, terdapat daerah segitiga kecil yang disebut trigonum vesicae. Pada bagian dasar dari apeks trigonum, leher kandung kemih membuka ke arah uretra posterior dan kedua ureter memasuki kandung kemih pada sudut puncak trigonum. Trigonum dapat dikenali karena mukosanya lapisan bagian dalam kandung kemih) yang halus, berbeda dengan mukosa di bagian lain kandung kemih yang berlipat-lipat membentuk rugae. Setiap ureter, saat memasuki kandung kemih berjalan miring melintasi otot detrusor dan kemudian berjalan lagi 1 sampai 2 sentimeter di bawah mukosa kandung kemih sebelum mengosongkan urin ke kandung kemih. Panjang leher kandung kemih (uretra posterior) adalah 2 sampai 3 sentimeter, dan dindingnya tersusun atas otot detrusor yang membentuk jalinan dengan sejumlah besar jaringan elastis. Otot di daerah ini disebut dengan sfingter interna. Tonus alamiahnya menahan leher kandung kemih dan uretra posterior untuk mengsongkan urin dan dengan demikian mencegah pengosongan kandung kemih hingga tekanan pada bagian utama kandung kemih meningkat melampaui nilai ambang. Setelah melewati uretra posterior, urtera berjalan melalui diafragma urogenital, yang mengandung suatu lapisan otot yang disebut dengan sfingter eksterna kandung kemih. Otot ini merupakan otot rangka yang volunter, berbeda dengan otot pada bagian korpus dan leher kandung kemih, yang seluruhnya merpakan otot polos. Otot sfingter eksterna berada di bawah kendali volunter oleh sistem saraf dan dapat digunakan untuk mencegah miksi secara sadar ketika kendali involunter berusaha untuk mengosongkan kandung kemih. (Guyton dan Hall, 2007)
Kandung kemih mendapat persarafan utama dari saraf-saraf pelvis, yang berhubungan dengan medula spinalis melalui pleksus sakralis, terutama berhubungan dengan segmen sakral II dan III dari medula spinalis. Perjalanan melalui saraf pelvis terdapat dalam dua bentuk persarafan, yaitu serbut saraf sensorik dan serabut saraf motorik. Serabut sensorik mendeteksi derajat regangan dalam dinding kandung kemih. Sinyal-sinyal regangan khususnya dari uretra posterior merupakan sinyal yang kuat dan terutama berperan dalam memicu refleks pengosongan kandung kemih. Persarafan motorik yang dibawa dalam saraf-saraf pelvis merupakan serabut parasimpatis. Saraf ini berakhir di sel ganglion yang terletak di dalam dinding kandung kemih. Kemudian saraf-saraf postganglionik yang pendek akan mempersarafi otot detrusor. Selains araf pelvis, terdapat dua jenis persarafan lain yang penting untuk mengatur fungsi kandung kemih. Yang paling penting adalah serabut motorik skeletal yang dibawa melalui saraf pudendus ke sfingter eksterna kandung kemih. Saraf ini merupakan serabut saraf somatik yang mempersarafi dan mengatur otot rangka volunter pada sfingter tersebut. Kandung kemih juga mendapatkan persarafan simpatis dai rangkaian simpatis melalui saraf-saraf hipogastrik, yang terutama berhubungan dengan segmen lumbalis II dari medula spinalis. Serabut simpatis ini terutama merangsang pembuluh darah dan memberi sedikit efek terhadap proses kontraksi kandung kemih. Beberapa serabut saraf sensorik juga berjalan melalui persarafan simpatis dan mungkin penting untuk sensasi rasa penuh dan nyeri. (Guyton dan Hall, 2007)
Urin yang dikeluarkan dari kandung kemih pada dasarnya memiliki komposisi yang sama dengan cairan yang mengalir keluar dari duktus koligentes; tidak ada perbedaan komposisi urin yang bermakna selama urin mengalir melalui kalises ginjal (calyces renalis) dan ureter menuju kandung kemih. Urin mengalir dari duktus koligentes menuju kalises ginjal. Urin meregangkan kalises dan meningkatkan aktivitas pacemaker, yang kemudian akan memicu kontraksi peristaltik yang menyebar ke pelvis ginjal dan ke arah bawah di sepanjang ureter, dengan demikian memaksa urin mengalir dari pelvis ginjal ke arah kandung kemih. Dinding ureter terdiri dari otot polos yang dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis serta neuron dan serabut saraf pleksus intramural yang meluas di sepanjang ureter. Seperti otot polos viseral lainnya, kontraksi peristaltik pada ureter diperkuat oleh rangsangan parasimpatis dan dihambat oleh rangsangan simpatis. Ureter memasuki kandung kemih melalui otot detrusor di dalam area trigonum kandung kemih. Biasanya ureter berjalan miring sepanjang beberapa sentimeter ketika melewati dinding kandung kemih. Tonus normal otot detrusor di dalam kandung kemih cenderung akan menekan ureter, dengan demikian mencegah aliran balik urin dari kandung kemih ketika terbentuk tekanan di dalam kandung kemih selama mikturisi atau selama kompresi kandung kemih. Setiap gelombang peristaltik di sepanjang ureter meningkatkan tekanan di dalam ureter sehingga daerah yang menuju kandung kemih membuka dan memungkinkan aliran urin ke dalam kandung kemih. Pada beberapa orang, jarak yang ditempuh ureter di dalam dinding kandung kemih lebih pendek dari normal sehingga kontraksi kandung kemih selama mikturisi tidak selalu menyebabkan oklusi ureter yang lengkap. Sebagai akibatnya, sebagian urin dalam kandung kemih didorong ke belakang ke arah ureter, kondisi ini disebut refluks vesikoureter. (Guyton dan Hall, 2007)
Ureter banyak dipersarafi oleh serabut saraf nyeri. Bila ureter terbendung (misalnya, oleh batu ureter), terjadi konstriksi refleks yang kuat, disertai dengan nyeri hebat. Impuls nyeri juga menyebabkan refleks simpatis balik ke ginjal untuk mengkonstriksi arteriol ginjal sehingga menurunkan keluaran urin dari ginjal. Efek ini disebut refleks uterorenal dan penting untuk mencegah aliran cairan yang berlebihan ke pelvis ginjal pada keadaan ureter terbendung. (Guyton dan Hall, 2007)
Seiring dengan pengisian kandung kemih akan mulai terdapat peningkatan kontraksi mikturisi. Kontraksi ini dihasilkan dari refleks regang yang dipicu oleh reseptor regang sensorik di dalam dinding kandung kemih, terutama oleh reseptor di uretra posterior ketika area ini mulai terisi dengan urin pada tekanan kandung kemih yang lebih tinggi. Sinyal sensorik dari reseptor regang kandung kemih dikirimkan ke segmen sakralis dari medula spinalis melalui saraf pelvis dan kemudian dikembalikan secara refleks ke kandung kemih melalui serabut saraf parasimpatis dengan menggunakan persarafan yang sama. Bila kandung kemih hanya terisi sebagian kontraksi mikturisi ini biasanya akan berelaksasi secara spontan dalam waktu kurang dari 1 menit, otot detrusor berhenti berkontraksi dan tekanan turun kembali ke nilai dasar. Ketika kandung kemih terus terisi, refleks mikturisi semakin sering dan menyebabkan kontraksi otot detrusor yang lebih kuat. (Guyton dan Hall, 2007)
Sekali refleks mikturisi dimulai, refleks ini bersifat “regenerasi sendiri”. Yang artinya, kontraksi awal kandung kemih akan mengaktifkan reseptor regang yang menyebabkan peningkatan impuls sensorik yang lebih banyak ke kandung kemih dan uretra posterior sehingga menyebabkan peningkatan refleks kontraksi kandung kemih selanjutnya; jadi, siklus ini akan berulang terus menerus sampai kandung kemih mencapai derajat kontraksi yang cukup kuat. Kemudian, setelah beberapa detik sampai lebih dari semenit, refleks yang beregenerasi sendiri ini mulai kelelahan dan siklus regeneratif pada refleks mikturisi menjadi terhenti, memungkinkan kandung kemih berelaksasi. Jadi, refleks mikturisi merupakan sebuah siklus yang lengkap yang terdiri dari kenaikan tekanan secara cepat dan progresif, periode tekanan menetap, dan kembalinya tekanan kandung kemih ke nilai tonus basal. Bila refleks mikturisi yang telah terjadi tidak mampu mengosongkan kandung kemih, elemen persarafan pada refleks ini biasanya akan tetap dalam keadaan terinhibisi selama beberapa menit hingga satu jam atau lebih, sebelum terjadi refleks mikturisi sebelumnya. Bila kandung kemih terus menerus diisi, akan terjadi refleks mikturisi yang makin sering dan semakin kuat. Bila refleks mikturisi sudah cukup kuat, akan memicu refleks lain yang berjalan melalui saraf pudendus ke sfingter eksterna untuk menghambatnya. Jika inhibisi ini lebih kuat di dalam otak daripada sinyal konstriktor volunter ke sfingter eksterna, maka akan terjadi pengeluaran urin. Jika tidak, pengeluaran urin tidak akan terjadi hingga kandung kemih terus terisi dan refleks mikturisi menjadi lebih kuat lagi. (Guyton dan Hall, 2007)
D. Sifilis, Kankroid, Herpes Genitalis, dan Kondiloma Akuminata
Sifilis merupakan penyakit kelamin yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum. Merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik, selama perjalanan penyakit dapat menyerang seluruh organ tubuh, ada masa laten tanpa manifestasi lesi di tubuh, dan dapat ditularkan kepada bayi di dalam kandungan. Manifestasi klinik sifilis didasarkan atas tingkatan sifilis yang diderita oleh pasien. Gambaran klinik sifilis primer yang pertama terlihat adalah tukak, dapat terjadi di mana saja di daerah genitalia eksterna, 3 minggu setelah kontak. Lesi dapat khas, akan tetapi dapat juga tidak khas. Jumlah tukak biasanya hanya satu, meskipun dapat juga multipel. Lesi awal biasanya berupa papul yang mengalami erosi, teraba keras karena terdapat indurasi. Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Ukurannya bervariasi dari beberapa milimeter sampai dengan 1-2 sentimeter. Bagian yang mengelilingi lesi meninggi dan keras. Bila tidak disertai infeksi bakteri lain, maka akan berbentuk khas dan hampir tidak ada rasa nyeri. Pada pria selalu disertai pembesaran kelenjar limfe inguinal medial unilateral/bilateral. Bahan aspirasi dari kelenjar limfe dapat digunakan untuk pemeriksaan lapangan gelap, terutama bila bahan pemeriksaan dari lesi tidak cukup atau tidak memenuhi persyaratan. Tukak jarang terlihat pada genitalia eksterna wanita karena lesi sering pada vagina atau serviks. Dengan menggunakan spekulum, akan terlihat lesi di serviks, berupa erosi atau ulserasi yang dalam. Lesi primer tidak selalu ditemukan pada genitalia eksterna akan tetapi juga dapat di luar genitalia seperti pada bibir, lidah, tonsil, puting susu, jari dan anus. Tanpa diberi pengobatan, lesi primer akan sembuh spontan dalam waktu 4 sampai 6 minggu. Makin lama lesi terjadi, makin banyak kemungkinan tes serologis menjadi reaktif. Bila lesi telah terjadi sekitar 4 minggu atau lebih, kemungkinan tes serologis sudah reaktif. Gambaran klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit, selaput lendir, dan organ tubuh. Dapat disertai demam, malaise. Juga adanya kelainan kulit dan selaput lendir dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata pemeriksaan serologis reaktif. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula, papul, folikulitis, papulaskuamosa, dan pustul. Jaarang dijumpai keluhan gatal. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada sifilis kongenital. Pada sifilis sekunder yang mengalami relaps, lesi sering unilateral dan berbentuk asiner. Pada kulit kepala dapat dijumpai beberapa alopesia yang disebut moth-eaten alopecia yang dimulai pada daerah oksipital. Papul basal yang dijumpai di daerah lembab disebut kondilomata lata. Lesi pada selaput lendir mulut, kerongkongan dan serviks berupa plakat. Lesi sifilis sekunder dapat muncul pada waktu lesi sifilis primer masih ada. Pada umumnya dijumpai pembesaran kelenjar limfe multipel superfisial pada tubuh dan sering terjadi splenomegali. Diagnosis sifilis sekunder ditegakkan berdasarkan atas hasil pemeriksaan serologis yang reaktif dan pemeriksaan lapangan gelap positif. T. pallidum banyak ditemukan pada lesi selaput lendir atau lesi basah seperti kondilomata lata. Pada umumnya diagnosis ditegakkan tanpa pemeriksaan lapangan gelap akan tetapi hanya berdasarkan kelainan khas lesi kulit sifilis sekunder ditunjang dengan pemeriksaan serologis. (Hutapea, 2007)
Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis akan tetapi pemeriksaan serologis sangat reaktif. Dalam perjalanan penyakit sifilis selalui melalui tingkat laten selama bertahun-tahun dan seumur hidup. Akan tetapi bukan berarti penyakit akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat berjalan menjadi sifilis lanjut, berbentuk gumma, kelainan susunan saraf pusat dan kardiovaskuler. Diagnosis sifilis laten ditegakkan setelah diperoleh anamnesis yang jelas dan hasil pemeriksaan fisik yang menunjukkan terdapat kelainan yang awal mulanya disebabkan sifilis, dan hasil pemeriksaan cairan sumsum tulang belakang yang normal tetapi hasil pemeriksaan serologis darah reaktif. Infeksi yang telah berjalan lebih dari 4 tahun sangat jarang menular kecuali pada wanita hamil yang tidak diberi pengobatan kemungkinan dapat menularkan sifilis ke bayi yang dikandungnya. Kecuali gumma, lesi sifilis lanjut berupa endarteritis obliterans pada bagian ujung arteriol dan pembuluh darah kecil yang menyebabkan peradangan dan nekrosis. Perbedaannya dengan sifilis dini adalah jika sifilis lanjut tidak bersifat infeksius kecuali pada ibu hamil, tidak ditemukan T. pallidum pada pemeriksaan lapangan gelap, sangat jarang terjadi infeksi ulang setelah pengobatan cukup, bersifat destruktif, pemeriksaan serologis umumnya reaktif selalu dengan titer rendah dan sedikit atau hampir tidak ada perubahan setelah diberi pengobatan (jika titernya tinggi pada sifilis lanjut, biasanya dijumpai pada gumma dan paresis). Sifilis lanjut yang tidak diobati menunjukkan gejala dan tanda mulai dari yang tidak jelas sampai dengan kerusakan hebat pada salah satu organ tubuh. Umumnya yang paling sering terjadi pada sifilis lanjut adalah latensi, sintomatik neurosifilis, sifilis benigna lanjut dan sifilis kardiovaskuler. Perlu diketahui bahwa pembagian sifilis lanjut tersebut tidak mutlak sebab seseorang pasien dapat mempunyai lebih dari satu tipe sifilis lanjut. (Hutapea, 2007)
Kankroid (chancroid) atau sering disebut sebagai ulkus molle adalah penyakit infeksi genitalia akut, setempat, dapat inokulasi sendiri (autoinnoculable), disebabkan oleh Haemophilus ducreyi, dengan gejala klinis khas berupa ulkus pada tempat masuk dan seringkali disertai supurasi kelenjar getah bening regional. Masa inkubasi pada pria berkisar antara 2-35 hari dengan waktu rata-rata 7 hari. Sedangkan pada wanita sukar ditentukan oeh karena sering ditemukan kasus asimtomatik. Penyakit ini sering ditemukan pada pria heteroseksual, dan hanya sedikit laporan tentang penyakit ini pada pria homoseksual. Tempat masuk kuman merupakan daerah yang sering atau mudah mengalami abrasi, erosi, atau ekskoriasi, yang disebabkan oleh trauma, infeksi lain atau iritasi yang berhubungan dengan kurangnya higiene perorangan. Pada pria predileksi umumnya di preputium, metaus uretra eksternum, sedangkan pada wanita paling sering didapatkan di fourchette, sekitar meatus uretra, dan bagian dalam labia minora. Pria yang tidak disunat berisiko tinggi terinfeksi H. ducreyi. Sebagian besar infeksi mengenai preputium atau jaringan yang diliputinya. Selain lembab dan basah, daerah ini paling mudah terluka pada waktu melakukan aktivitas seksual dan kerusakan kecil pada epitelnya akan memudahkan bakteri tersebut masuk. Tidak ada gejala prodormal sebelum timbulnya ulkus dan tidak ada gejala sistemik. Keluhan pada penderita pria, biasanya berhubungan dengan ulkus atau adenopati inguinal yang menyertainya. Lesi awal berupa papul kecil dengan eritema ringan di sekelilingnya. Lesi awal ini seringkali terabaikan. Bagian tengah papul akan berpustulasi, dan cepat menjadi erosi. Lesi akan menjadi ulkus dalam waktu 48 jam setelah timbulnya lesi awal, dan segera diliputi oleh eksudat nekrotik kuning keabu-abuan. Tidak terdapat stadium vesikel. Sifat khas ulkus ini adalah multipel, sangat nyeri, terutama bila terkena pakaian atau urin, tepi tidak rata dan bergaung, berbatas tegas, dikelilingi oleh eritema ringan kecuali bila terdapat infeksi sekunder. Dasar ulkus rapuh, kotor, mudah berdarah, nekrotik. Tidak dijumpai indurasi pada dasar dan sekitar ulkus. Ulkus molle dapat berukuran sampai 2-3 cm. Meskipun ulkus bersifat destruktif dan invasif, belum pernah dilaporkan mengenai infeksi sistemik. Ulkus dapat menyebar ke perineum, anus, skrotum, paha, atau abdomen bawah sebagai akibat inokulasi sendiri. Ulkus mole yang terjadi di dalam uretra dapat menimbulkan keluhan dan gejala seperti uretritis non-gonore. Pada wanita, ulkus mole memberikan gambaran yang bervariasi. Wanita kadang-kadang tidak menyadarinya sehingga baru datang berobat setelah lanjut penyakitnya. Keluhan pada wanita seringkali tidak berhubungan dengan ulkus, misalnya disuria, nyeri waktu defekasi, dispareunia, atau duh vagina. Ulkus tidak senyeri pada pria. Lesi intravagina jarang ditemukan dan biasanya tidak begitu nyeri. Dapat pula terjadi lesi pada serviks, perineum, anorektum, orofaring. Lesi ekstragenital dapat ditemukan, tergantung dari cara penularan atau inokulasinya (misalnya di payudara, jari, di dalam mulut). Pada wanita ulkus lebih banyak dan dalam. (Makes, 2007)
Herpes genitalis adalah infeksi pada genital yang disebabkan oleh Herpes symplex virus (HSV) dengan gejala khas berupa vesikel yang berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat rekurens. Manifestasi klinik dapat dipengaruhi oleh faktor hospes, pajanan HSV sebelumnya, episode terdahulu dan tipe virus. Masa inkubasi umumnya berkisar antara 3-7 hari, tetapi dapat lebih lama. Gejala yang timbul dapat bersifat berat tetapi bisa juga asimtomatik terutama bila lesi ditemukan pada daerah serviks. Pada penelitian retrospektif 50-70% infrksi HSV-2 adalah asimtomatis. Biasanya didahului rasa terbakar dan gatal di daerah lesi yang terjadi beberapa jam sebelumt imbulnya lesi. Setelah lesi timbul dapat disertai gejala konstitusi seperti malaise, demam, dan nyeri otot. Lesi pada kulit berbentuk vesikel yang berkelompok dengan dasar eritem. Vesikel ini mudah pecah dan menimbulkan erosi multipel. Tanpa infeksi sekunder, penyembuhan terjadi dalam waktu 5 sampai 7 hari dan tidak terjadi jaringan parut; tetapi bila ada, penyembuhan memerlukan waktu yang lebih lama dan meninggalkan jaringan parut. Pada infeksi inisial gejalanya lebih berat dan berlangsung lebih lama. Kelenjar limfe regional dapat membesar dan nyeri pada perabaan. Infeksi di daerah serviks, dapat menimbulkan beberapa perubahan termasuk peradangan difus, ulkus multipel sampai terjadinya ulkus yang besar dan nekrotik. Tetapi dapat juga tanpa gejala klinis. Pada saat pertama kali timbul, penyembuhan memerlukan waktu yang cukup lama, dapat dua sampai empat minggu sedangkan pada serangan berikutnya penyembuhan akan lebih cepat. Di samping itu pada infeksi pertama dapat terjadi disuria bila lesi terletak di daerah uretra dan periuretra sehingga dapat menimbulkan retensi urin. Hal lain yang menyebabkan retensi urin adalah lesi pada daerah sakral yang menimbulkan mielitis dan radikulitis. Infeksi rekurens dapat terjadi dengan cepat/lambat, sedangkan gejala yang timbul biasanya lebih ringan karena telah ada antibodi spesifik dan penyembuhan juga akan lebih cepat. Sebagaimana telah disebutkan di atas, infeksi inisial dan rekurensi selain disertai gejala kilinis, bisa juga tanpa gejala. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya antibodi terhadap HSV-2 pada orang yang tidak ada riwayat penyakit herpes genitalis sebelumnya. Adanya antibodi terhadap HSV-1 menyebabkan infeksi HSV lebih ringan. Hal ini memungkinkan infeksi inisial HSV-2 berjalan asimtomatik pada penderita yang pernah mendapat infeksi HSV-1. Tempat predileksi pada pria biasanya di preputium, glans penis, batang penis, dapat juga di uretra dan daerah anal (pada homoseks), sedangkan di daerah skrotum jarang terkena. Lesi pada wanita dapat ditemukan di daerah labia major atau minor, klitoris, introitus vaginae, serviks, sedangkan pada daerah perianal, glutea, dan mons pubis jarang ditemukan. Infeksi pada wanita sering dihubungkan dengan servisitis karena itu perlu pemeriksaan sitologi secara teratur. (Judanarso, 2007)
Kondiloma akuminata (KA) adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh virus papiloma humanus (VPH) atau human papilloma virus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa fibroepitelioma pada kulit dan mukosa. Masa inkubasi KA berlangsung antara 1-8 bulan (rata-rata 2-3 bulan). VPH masuk ke dalam tubuh melalui mikrolesi pada kulit, sehingga KA sering timbul di daerah yang mudah mengalami trauma pada saat hubungan seksual. Pada pria tempat yang sering terkena adalah glans penis, sulkus koronarius, frenulum dan batang penis, sedang pada wanita adalah fourchette posterior, vestibulum. Untuk kepentingan klinis maka KA dibagi dalam 3 bentuk, yaitu bentuk akuminata, bentuk papul, dan bentuk datar (flat). Meskipun demikian tetap tidak ada batasan yang jelas antara ketiga bentuk tadi dan sering pula dijumpai bentuk-bentuk peralihan. Bentuk akuminata terutama dijumpai pada daerah lipatan dan lembab. Terlihat vegetasi bertangkai dengan permukaan yang berjonjot-jonjot seperti jari. Beberapa kutil dapat bersatu membentuk lesi yang lebih besar sehingga tampak seperti kembang kol. Lesi yang besar ini sering dijumpai pada wanita yang mengali fluor albus dan pada wanita hamil, atau pada keadaan imunitas terganggu. Bentuk papul biasanya didapati di daerah dengan keratinisasi sempurna, seperti batang penis, vulva bagian lateral, daerah perianal dan perineum. Kelainan berupa papul dengan permukaan yang halus dan licin, multipel dan tersebar secara diskret. Bentuk datar, lesi ini terlihat sebagai makula atau bahkan sama sekali tidak tampak dengan mata telanjang (infeksi subklinis), dan baru terlihat setelah dilakukan tes asam asetat. Dalam hal ini penggunaan kolposkopi sangat menolong. (Zubier, 2007)
Selain ketiga bentuk kondiloma tersebut, ada juga bentuk klinis lain yang telah diketahui berhubungan dengan bentuk keganasan genitalia. Bentuk giant condyloma Buschke-Lowenstein yang diklasifikasikan sebagai karsinoma sel skuamosa dengan keganasan derajat rendah. Hubungan antara KA dengan giant condyloma ini adalah diketahi dengan ditemukannya VPH tipe 6 dan tipe 11. Lokasi lesi paling sering terdapat di penis dan kadang-kadang pada vulva dan anus. Klinis tampak sebagai kondiloma besar bersifat invasif lokal dan tidak bermetastasis. Secara histologis giant condyloma tidak berbeda dengan kondiloma akuminata. Giant condyloma ini umumnya bersifat refrakter terhadap pengobatan. Papulosis Bowenoid secara klinis berupa papul likenoid berwarna coklat kemerahan dan dapat berkonfluens menjadi plakat. Ada pula lesi yang berbentuk makula eritematosa dan lesi yang mirip leukoplakia atau lesi subklinis. Umumnya lesi multipel dan kadang-kadang berpigmentasi. Berbeda dengan KA, permukaan lesi papulosis Bowenoid biasanya halus atau hanya sedikit papilomatosa. Gambaran histopatologik mirip penyakit Bowen dengan inti yang berkelompok, sel raksasa diskeratotik dan sebagian mitotik atipik. Dalam perjalanan penyakitnya, papulosis Bowenoid jarang menjadi ganas dan cenderung untuk regresi spontan. (Zubier, 2007)
E. Gonore, Klamidia, dan Trikomoniasis
Gonore mencakup semua penyakit yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae. Masa tunas gonore sangat singkat, pada pria umumnya berkisar antara 2-5 hari, kadang-kadang lebih lama. Pada wanita masa tunas sulit untuk ditentukan karena pada umumnya asimtomatik. Tempat masuk kuman pada pria di uretra menimbulkan uretritis. Yang paling sering adalah uretritis anterior akuta dan dapat menjalar ke proksimal, mengakibatkan komplikasi lokal, asendens, serta diseminata. Keluhan subjektif berupa rasa gatal, panas di bagian distal uretra di sekitar orifisium uretra eksternum, kemuidan disusul disuria, polakisuria, keluar duh tubuh dari ujung uretra yang kadang-kadang disertai darah, dapat pula disertai nyeri pada waktu ereksi. Pada pemeriksaan tampak orifisium uretra eksternum kemerahan, edema, dan ektropion. Tampak pula duh tubuh yang mukopurulen. Pada beberapa kasus dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening inguinal unilateral atau bilateral. Gambaran klinis dan perjalanan penyakit pada wanita berbeda dari pria. Hal ini disebabkan oleh perbedaan anatomi dan fisiologi alat kelamin pria dan wanita. Pada wanita, penyakit akut maupun kronik, gejala subjektif jarang ditemukan dan hampir tidak pernah didapati kelainan objektif. Pada umumnya wanita datang berobat jika sudah ada komplikasi. Sebagian besar penderita ditemukan pada waktu pemeriksaan antenatal atau pemeriksaan keluarga berencana. Infeksi pada wanita, pada mulanya hanya mengenai serviks uteri. Dapat asimtomatik, kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri pada panggul bawah. Pada pemeriksaan serviks tampak merah dengan erosi dan sekret mukopurulen. Duh tubuh akan terlihat lebih banyak, bila terjadi servisitis akut atau disertai vaginitis yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis. (Daili, 2007)
Infeksi akibat Chlamydia sp. adalah infeksi genital nonspesifik. Infeksi genital nonspesifik (IGNS) merupakan infeksi traktus genital yang disebabkan oleh penyabab nonspesifik. Istilah ini meliputi berbagai keadaan, yaitu uretritis nonspesifik, proktitis nonspesifik pada pria homoseksual, dan infeksi nonspesifik pada wanita. Uretritis nonspesifik (UNS) adalah peradangan uretra yang penyebabnya dengan pemeriksaan laboratorium sederhana tidak dapat dipastikan atau diketahui. Uretritis non gonore (UNG) ialah peradangan uretra yang bukan disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhoeae. Kedua istilah ini sering dianggap sama, tetapi bila semua UNS adalah nongonore, tidak semua UNG adalah nonspesifik. IGNS pada wanita biasanya menunjukkan infeksi pada serviks, meskipun infeksi menular seksual nonspesifik pada wanita dapat menyerang uretra maupun vagina. Istilah UNS dan UNG lebih sering digunakan untuk pasien pria. Infeksi pada pria berbeda pada wanita. Pada infeksi pria, perlu mengetahui adanya koitus suspektus yang biasanya terjadi 1 sampai 5 minggu sebelum timbulnya gejala. Juga penting untuk mengetahui apakah telah melakukan hubungan seksual dengan istri pada waktu keluhan sedang berlangsung, menngingat hal ini dapat menimbulkan suatu penularan. Keluarnya duh tubuh uretra merupakan keluhan yang tersering dijumpai, berupa lendir yang jernih sampai keruh. Keluha yang paling sering adalah waktu pagi hari atau morning drops tetapi bisa juga berupa bercak di celana dalam. Nyeri pada waktu kencing atau disuria merupakan salah satu keluhan yang banyak dijumpai dan sangat bervariasi dari rasa terbakar sampai rasa tidak enak pada saluran kencing waktu mengeluarkan urin. Tetapi keluhan disuria tidak sehebat pada infeksi gonore. Keluhan gatal di saluran kencing mulai dari gatal yang sangat sampai ringan dan terasa hanya pada ujung kemaluan. Sebagai akibat terjadinya peradangan pada saluran kencing timbul perasaan ingin kencing. Bila peradangan hebat bisa bercampur darah, atau bila infeksi sampai pada pars membranacea uretra, maka pada waktu muskulus sfinkter uretra berkontraksi timbul perdarahn kecil. Selain itu timbul perasaan ingin kencing pada malam hari atau nokturia. Keluhan lain yang jarang ialah adanya perasaan demam, pembesaran dan nyeri kelenjar getah bening inguinal. Pada pemeriksaan klinis muara uretra tampak tanda peradangan berupa edema dan eritema, dapat ringan sampai berat. Sekret uretra bisa banyak atau sedikit sekali, atau kadang-kadang hanya terlihat pada celana dalam penderita. Sekret umumnya serosa, seromukous, mukous dan kadang bercampur nanah. Kalau tidak ditemukan sekret, bisa dilakukan pengurutan saluran uretra yang dimulai dari daerah proksimal sampai distal sehingga nampak keluar sekret. Kelainan yang nampak pada UNS umumnya tidak sehebat uretritis gonore. Pada wanita, gejala sering tidak khas, asimtomatik, atau sangat ringan. Bila ada, keluhan berupa duh tubuh genital yang kekuningan. Sering ditemukan pada pemeriksaan wanita yang menjadi pasangan pria dengan UNS. Pada pemeriksaan klinis genital dapat ditemukan kelainan serviks, misalnya terdapatnya eksudat serviks mukopurulen, erosi serviks, atau folikel-folikel kecil (microfollicles). (Lumintang, 2007)
Trikomoniasis merupakan penyakit infeksi protozoa yang disebabkan oleh Trichomnas vaginalis, biasanya ditularkan melalui hubungan seksual dan sering menyerang traktus genitalis bagian bawah pada wanita maupun pria namun pada pria peranannya sebagai penyebab penyakit masih diragukan. Gambaran klinis trikomoniasis pada wanita tidak merupakan parameter diagnostik yang dapat dipercaya. Masa tunas sulit untuk dipastikan tetapi diperkirakan berkisar antara 3 sampai 28 hari. Pada wanita sering tidak menunjukkan keluhan maupun gejala sama sekali. Bila ada keluhan biasanya berupa duh tubuh vaginal yang banyak dan berbau. Dari berbagai data yang dikumpulkan, sekitar 50-75% penderita yang mengeluh adanya duh tubuh vagina sehingga jika ada pernyataan bahwa trikomoniasis pada wanita harus harus selalu disertai duh tubuh vagina merupakan hal yang tidak benar. Duh tubuh yang klasik berwarna kehijauan dan berbusa, keadaan ini hanya ditemukan pada 10-30% penderita. Duh tubuh yang banyak sering menimbulkan keluhan rasa gatal dan perih pada vulva serta kulit sekitarnya. Keluhan lain yang mungkin terjadi adalah dispareunia, perdarahn pascakoitus dan perdarahan intramenstrual. Pada pemeriksaan penderita dengan gejala vaginitis akut tampak edema dan eritema pada labium yang terasa nyeri sedangkan pada vulva dan paha bagian atas kadang-kadang ditemukan abses-abses kecil dan maserasi yang disebabkan oleh fermen proteolitik dalam duh tubuh. Pemasangan spekulum sering sulit dan dirasakan sakit. Pada serviks tampak gambaran yang khas untuk trikomoniasis yaitu strawberry cervix dan hal ini ditemukan pada 2% kasus trikomoniasis. Kadang-kadang reaksi radang sangat minimal sehingga duh tubuh sangat minimal pula bahkan dapat tidak tampak sama sekali. Polakisuria dan disuria biasanya merupakan keluhan pertama pada infeksi traktus urinarius bagian bawah yang simtomatik. Dua puluh lima persen penderita mengalami infeksi pada uretra. Pada keadaan ini saluran kelenjar Skene dapat terkena pula, pada perabaan akan terasa mengeras dan bila ditekan akan mengeluarkan pus. Bartolinitis merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Biasanya kasus yang dilaporkan oleh karena bakteri. Gambaran klinis pada pria agak berbeda. Seperti pada wanita spektrum klinik trikomoniasis pada pria sangat luas mulai dari tanpa gejala sampai pada uretritis yang hebat dengan komplikasi prostatitis. Masa inkubasi biasanya tidak melebihi 10 hari. Pembagian gambaran klinis akan terbagi menjadi beberapa klasifikasi. Pembawa kuman asimtomatik, maksudnya meskipun T. vaginalis dapat ditemukan pada uretra, urin dan cairan prostat pria yang berkontak seksual dengan wanita yang menderita trikomoniasis, namun hanya 10-50% penderita yang menunjukkan ada keluhan dan gejala infeksi. Simtomatik dengan gambaran klinis akut merupakan keadaan yang jarang terjadi. Pernah dikemukakan bahwa uretritis, prostatitis dan epididimitis dapat merupakan manifestasi trikomoniasis pada pria, akan tetapi peranannya masih diragukan, apakah keadaan tersebut sebenarnya disebabkan oleh Chlamydia trachomatis atau Ureaplasma urelyticum. Simtomatik dengan gambaran klinik ringan menunjukkan uretritis ringan yang gambaran klinisnya sulit dibedakan dengan UNG yang disebabkan oleh sebab lain. Hanya pada 50-60% kasus simtomatik didapatkan duh tubuh uretra, sepertiga kasus menunjukkan duh tubuh purulen, sepertiga lainnya masing-masing mukopurulen dan mukoid. Duh tubuh biasanya keluar secara intermiten, sedang disuria dan perasaan gatal pada uretra, masing-masing hanya dikeluhkan oleh kurang dari seperempat kasus. Uretritis oleh karena T. vaginalis pada umunya bersifat self limited. Balanopostitis dapat pula terjadi dan lebih sering pada pria yang tidak disunat dan kurang memperhatikan higienenitas. Keadaan ini ditandai dengan adanya erosi yang nyeri pada glans dan preputium, kadang-kadang disertai duh tubuh purulen, terutama bila disertai infeksi sekunder. (Djajakusumah, 2007)

3. DISKUSI DAN BAHASAN
Sesuai dengan data-data yang ada pada sekenario, dari tanda dan gejala serta inkubasi, penyakit menular seksual yang paling mendekati adalah gonore. Maka dari itu dalam bagian ini akan dibahas lebih lanjut mengenai gonore sampai ke penatalaksanaannya.
Sekali lagi, gonore adalah penyakit infeksi epitel kolumner dan transisional yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae. Tempat anatomik yang dapat terinfeksi langsung oleh gonokokus adalah uretra, rektum, konjungtiva, faring, dan endoserviks. Penyulit lokal adalah endometritis, salpingitis, peritonitis, dan bartolinitis pada perempuan dan abses periuretra dan epididimitis pada laki-laki. Manifestasi sistemik pada gonokoksemia adalah artritis, dermatitis, endokarditis, dan meningitis serta mioperikarditis dan hepatitis.
Neisseria gonorrhoeae adalah kokus Gram negatif yang biasanya ditemukan berpasangan dengan sisi berdekatan yang datar. N. gonorrhoeae membentuk koloni oksidase positif dan dibedakan dari Neisseria lainnya oleh kemampuannya untuk menggunakan glukosa tetapi tidak dapat menggunakan maltosa, sukrosa atau laktosa; melalui probe asam nukleat; dan melalui reaksi imunologik spesifik. Organisme berada dalam koloni yang diperiksa dalam inokulasi 20 jam dari spesimen klinis yang tertutupi oleh fimbria (pili). Pili memperantarai perlekatan ke berbagai sel epitel dan mengganggu fagositosis neutrofil. Setiap pili tersusun dari oengulangan subunit peptida (pilin) yang mempunyai berat molekul sekitar 20.000. Subunit pilin terdiri dari daerah yang tetap dan variabel. Pili mengalami atigen dan variasi fase. Penyusunan kembali kromosom, menyebabkan ekspresi semua dari jumlah besar gen pilin yang tidak lengkap (diam), menyebabkan variasi antigen dalam pili. Bila penyusunan kembali melibatkan kerusakan gen pilin, gonokokus yang dipiliasi (pil+) menghasilkan varian nonpiliasi (pil-), suatu proses yang dikenal sebagai variasi fase. Organisme yang dipiliasi menyebabkan infeksi dan uretritis setelah inokulasi ke dalam uretra relawan, sedangkan organisme nonpiliasi tidak. Variasi antigen pilin mungkin menyebabkan gonokokus melekat ke tipe permukaan epitel yang berbeda dan untuk menghindarkan antibodi host respons terhadap pilin. Variasi fase dari pil+ ke pil- memungkinkan pelepasan dan mempermudah penyebaran. Permukaan luar gonokokus yang trilaminer mengandung beberapa kelas protein, termasuk protein I, II, dan III, dan lipopolisakarida. Seperti pili, protein II (kini ditunjuk sebagai protein membran luar terkait-opasitas, atau OPAs) juga dipikir berfungsi ligand, memperantari perlekatan gonokokus ke berbagai tipe sel manusia. Suatu gonokokus tunggal dapat mempunyai sekitar selusin gen OPA dan dapat menekspresikan nol sampai 3 atau lebih OPA seketika. Gonokokus memiliki OPA tertentu yang melekat dengan neutrofil dan difagositosis oleh neutrofil manusia pada ketiadaan serum. OPA tertentu mungkin bertanggung jawab atas serumpun gonokokus yang jelas pada preparat apus dengan pewarnaan Gram dari eksudat uretra. Koloni opak mengandung organisme yang mengekspresi OPA dan menonjol pada isolat dari uretra laki-laki dan pada isolat serviks yang didapat dari perempuan pada pertengahan siklus. Koloni transparan sering kekurangan OPA dan menonjol pada isolat dari perempuan selama menstruasi dan pada isolat dari darah, cairan sinovial, atau tuba falopii.
Protein I adalah protein membran luar yang utama secar kuantitas; protein I menghambat perbedaan intrastrain pada massa molekul yang bervariasi antara 34.600 dan 37.700 Da. Molekul protein I bergabung dalam suatu struktur trimetrik membentuk saluran transmembran selektif anion (porin) yang mengizinkan pertukaran molekul hidrofilik melalui permukaan luar. Protein I juga berinteraksi dengan komponen membran luar lainnya, seperti protein III dan lipopolisakarida (LPS), untuk membentuk struktur membran luar yang kompleks. Telah diketahui bahwa molekul protein I berpindah dengan cepat dari membran luar gonokokus ke membran sitoplasma yang lebih cair daripada sel manusia, tempat membentuk pori. Proses ini mungkin memulai endotoksin gonokokus, langkah pertama invasi epitel gonokokus.
LPS gonokokus mengandung lemak A dan suatu oligosakarida. Gambaran yang membedakan LPS gonokokus dari LPS enterik adalah struktur oligosakarida bercabang tinggi dan ketiadaan pengulangan subunit antigen-O. Untuk alasan ini, LPS gonokokus sering disebut sebagai LOS (lipooligosakarida). Gonokokus menghasilkan beberapa komponen LOS yang berlainan. Tipe LOS yang dihasilkan dapat diubah oleh suatu mekanisme yang belum dimengerti dengan baik. Asam sitidin monofosfo-N-asetilneuraminat yang berasal dari pejamu dapat digunakan oleh gonokokus untuk sialilat salah satu komponen oligosakarida LOSs. Sialilasi ini menyebabkan perubahan organisme sensitif-serum menjadi organisme resisten-serum dan nyata sekali menurunkan interaksi non-opsonik gonokokus ekspresi-OPA dengan neutrofil manusia. Gonokokus yang diamati pada eksudat uretra adalah gonokokus yang disialilasi, dengan demikian menunjukkan bahwa sialilasi terjadi secara in vivo. Analisis struktur dan biokimia LOS gonokokus baru-baru ini menunjukkan bahwa antigenisitas dan imunogenisitas LOS adalah kompleks karena sebagian kesamaan struktur oligosakarida dengan glikosfingolipid host. Tidak ada polisakarida kapsular yang diisolasi tetapi polifosfat permukaan berat molekul-tinggi telah ditunjukkan bahwa mungkin mempunyai fungsi yang sama dengan polisakarida kapsular pada organisme lainnya.
Penggolongan gonokokus didasarkan atas dasar kebutuhan nutrisi (auxotyping) atau perbedaan antigen protein I (serotyping). Tidak sama dengan pili dan protein II, protein I ditandai oleh semua strain tunggal gonokokus yang merupakan antigen yang stabil, walaupun terdapat heterogenitas antigen protein I antarstrain. Terdapat dua bentuk protein I yang berhubungan secara struktural yang dikenal sebagai IA dan IB, dan strain tunggal yang mengandung salah satu bentuk protein I tetapi tidak keduanya. Gen protein IA dan IB adalah alele dari gen yang sama. Antibodi monoklonus melawan epitop protein IA dan protein IA yang berbeda dapat digunakan untuk klasifikasi gonokokus ke dalam jumlah besar serovarian, yang dikenal sebagai serovar IA1 menjadi IA24 dan IB1 menjadi IB32.
Data epidemiologik menunjukkan bahwa hanya sepertiga laki-laki terinfeksi setelah pemajanan terhadap N. gonorrhoeae, dan di bawah keadaan percobaan inokulum 103 organisme menunjukkan pentingnya untuk menetapkan infeksi uretra pada 50% relawan. Faktor yang mungkin menyebabkan resistensi terhadap infeksi tidak ditentukan. Walaupun demikian, komponen flora uretra atau vagina, seperti Candida albicans, Staphylococcus epidermis, dan tpe laktobasilus tertentu, dapat menghambat N. gonorrhoeae in vitro dan mungkin menyebabkan beberapa resistensi alamiah in vivo.
Pada manusia, kebanyakan besi ekstraseluler diikat oleh transferin dan laktoferin protein pengikat besi utama. Hasil konsentrasi besi bebas (10-18 M) terlalu rendah untuk mendukung pertumbuhan gonokokus. Di bawah keadaan keterbatasan besi ini, gonokokus memproduksi protein penekan besi (FeRP) yang berfungsi dalam penyingkiran besi dari transferin dan laktoferin. Gonokokus hanya akan meningkat transferin dan laktoferin manusia. Spesifisitas ini telah digunakan untuk menjelaskan kenapa gonokokus menjadi protein obligat manusia. Gonokokus agaknya bersaing dari laktoferin yang terdapat dalam permukaan mukosa untuk mendapatkan besi, yang diperlukan untuk pertumbuhan organisme tersebut. Strain gonokokus yang memerlukan arginin, hipoxantin, dan urasil (AHU) untuk pertumbuhan umumnya tidak mampu untuk menyingkirkan besi dari laktoferin yang menjelaskan yang menjelaskan kecenderungan strain seperti itu menyebabkan infeksi mukosa asimtomatik.
Gonokokus mempengaruhi permukaan epitel pengekskresi mukus dan mukus dapat merupakan barier fisis atau penghambat kompetitif. Perlekatan gonokokus ke sel mukosa sebagian diperantarai oleh pili dan oleh protein II. Antibodi lokal untuk pili atau protein II sebagian dapat menghambat perlekatan. Pili juga menghalangi fagositosis gonokokus oleh neutrofil, dan antibodi untuk pili (seperti antibodi untuk protein II) adalah opsonik. Suatu enzim yang diproduksi oleh Neisseria patogen, protease IgA1 yang menginaktifkan sIgA1, mungkin mengganggu aktivitas antiperlekatan yang diperantarai IgA, menyebabkan peningkatan perlekatan. Menyertai perlekatan dengan epitel kolumner atau transisional, gonokokus melakukan penetrasi melalui atau antara sel untuk mencapai jaringan ikat subepitel. Perpindahan protein I gonokokus ke dalam sel pejamu mungkin memulai endositosis oleh sel epitel. LOS gonokokus menyebabkan kerusakan mukosa pada kultur organ tuba falopii. Kejadian baru-baru ini menunjukkan bahwa LOS gonokokus merangsang produksi TNF pada kultur tuba falopii; penghambatan faktor nekrosis tumor dengan antiserum spesifik mencegah kerusakan jaringan. Fragmen peptidoglikan juga toksik untuk mukosa tuba falopii dan mungkin menyebabkan karakteristik reaksi inflamasi yang hebat dari penyakit gonokokus. Gonokokus juga memproduksi beberapa protease, peptidase, dan fosfolipase yang mungkin memainkan peranan dalam patogenesis. Pada jaringan subepitel, seperti pada darah, gonokokus agaknya berinteraksi dengan antibodi serum, termasuk antibodi IgM alamiah langsung melawan antigen LOS, dengan generasi faktor kemotaksis C5a dan pembentukan kompleks penyerang C5b-C9 bakterisidil. Penyisipan kompleks penyerang ke dalam membran luar dari gonokokus sensitif-serum menyebabkan lisis sel gonokokus, menimbulkan antibodi untuk LOS (seperti antibodi untuk protein I) bakterisidal. Walupun kompleks penyerang juga dibentuk ketika serum berinteraksi dengan gonokokus yang dikarakteristik oleh resistensi serum yang stabil, penyisipan kompleks tersebut ke dalam membran luar organisme mempunyai suatu konfigurasi abnormal yang tidak menyebabkan lisis sel yang cepat. Lebih lanjut, serum manusia juga tampak mengandung antibodi IgG fiksasi-komplemen langsung melawan epitop pada protein III yang menghambat antibodi bakterisidal yang langsung melawan antigen lainnya. Protein III mempunyai homologi ekstensif untuk protein Omp A enterobakteri dan protein kelas 4 meningokokus. Karena Enterobactericeae dan N. meningitidis merupakan mikroorganisme komensal yang sering, adalah mungkin bahwa antibodi penghambat protein III diakibatkan dari pemajanan sebelumnya terhadap protein reaksi silang dan spesies mikroba lainnya. Mekanisme antimikroba bebas oksigen nyata sekali menyebabkan pembunuhan gonokokus intraleukosit menyertai fagositosisnya oleh neutrofil. Walaupun pembunuhan gonokokus intraleukosut yang elektif melalui sistem (assay) in vitro tetapi sedikit jumlah yang dapat berkembang yang bertahan hidup. Apakah gonokokus bertahan hidup dealam neutrofil in vivo masih merupakan hal yang menjadi kontroversi. Penyebaran gonokokus dari serviks ke endometrium dan salpings mungkin meningkat pada perempuan yang menggunakan alat KB intrauterin (IUD).
Masa inkubasi uretritis gonokokus yang biasa pada laki-laki adalah 2-7 hari atau bisa juga 2-5 hari setelah terpajan, walaupun ssering juga selang waktu yang lebih lama, dan sebagian laki-laki tidak mengalami gejala sama sekali. Pernah dilakukan suatu penelitian, satu oksotipe dengan kebutuhan gizi yang jelas telah dikaitkan pada 96% asimtomatik dan hanya 40% infeksi simtomatik. Gejala uretritis adalah ekskresi uretra purulenta, biasanya berkaitan dengan disuria dan eritema meatus. Kira-kira 90-95% pria yang mengalami infeksi gonokokus uretra menderita ekskresi uretra, dan sebagian laki-laki yang mengalami gejala akan mencari pertolongan dan keluar dari kelompok yang menular. Sisanya tidak pernah mengalami gejala atau mengabaikan gejalanya mencakup sekitar dua pertiga laki-laki yang terinfeksi pada suatu saat, dan mereka menjadi sumber utama penularan infeksi pada perempuan. Sebelum pengobatan antibiotik tersedia, gejala uretritis berlangsung selama kira-kira 8 minggu, dan epididimitis unilateral terdapat pada 5 sampai 10 persen laki-laki yang tidak dirawat. Epididimitis kini merupakan penyulit yang jarang, dan prostatitits gonokokus jarang sekali terjadi, jika tidak ada sama sekali. Penyulit lokal lain pada uretritis gonokokus yang kini jarang adalah limfadenitis inguinalis, edema penis akibat limfangitis dorsum atau tromboflebitis, infiltrasi “lunak” radang submukosa pada dinding uretra, abses periuretra atau fistula, radang unilateral atau abses kelenjar Cowper (yang terletak antara ibu jari dan telunjuk jika jari telunjuk berada pada kanalis anus dan ibu jari ditempatkan anterior pada perineum), dan, yang lamgka, vesikulitis seminalis.
Isolat gonokokus pada laki-laki homoseksual cenderung lebih resisten pada antimikroba daripada isolat dari laki-laki heteroseksual. Hal ini disebabkan oleh beberapa strain yang sangat peka dengan cepat dibunuh oleh garam empedu dan asam lemak dalam feses, dan jarang sekali terjadi pada laki-laki homoseksual, sementara gonokokus yang mempunyai gen untuk resistensi multi obat (mtr) lebih resisten terhadap garam empedu dan asam lemak serta terjadi dalam jumlah tinggi pada laki-laki homoseksual. Infeksi rektum dapat asimtomatik sejak awal atau menimbulkan nyeri anorektum, pruritus, tenesmus, dan ekskresi rektum mukopurulenta yang berdarah. Proktoskopi dan pemeriksaan laboratorium yang sesuai adalah penting untuk menyingkirkan beberapa keadaan lain yang menyebabkan gejala serupa. Gejala ini dapat mereda tanpa pengobatan sehingga menimbulkan keadaan karier asimtomatik menahun. Infeksi gonokokus faring terjadi pada kira-kira 20% laki-laki homoseksual atau perempuan heteroseksual yang melakukan felasio dengan laki-laki yang menderita infeksi uretra dan pada sebagian kecil laki-laki heteroseksual yang melakukan cunnilingus. Infeksi faring dapat menimbulkan tonsilitis eksudatif tetapi seringkali tidak memberi gejala; infeksi gonokokus faring asimtomatik biasanya sembuh sendiri dalam beberapa minggu, bahkan tanpa pengobatan.
Gonore akut tanpa penyulit pada perempuan seiring menimbulkan gejala disuria, ekskresi vagina yang meningkat akibat yang meningkat akibat endoservitis eksudatif, perdarahan menstruasi yang abnormal akibat endometritis, dan rasa tidak nyaman pada anorektum. Sementara disuria pada laki-laki muda menimbulkan kecurigaan uretritis gonokokus, gejala yang sama pada perempuan muda sering secara otomatis dianggap sebagai “sistitis”. Sebenarnya, sebagian keadaan tanpa bakteriuria ini adalah infeksi gonokokus atau klamidia pada uretra. Perempuan muda dengan disuria harus diperiksa dengan pemeriksaan panggul. Penekanan uretra melalui dinding vagina anterior pada simfisis pubis dapat mengeluarkan eksudat uretra yang dapat diperiksa dengan pewarnaan Gram dan biakan. Perempuan muda yang memberi gejala pada “piuria steril” (misalnya lebih dari atau sama dengan 10 neutrofil per lapangan mikroskop 100 kali, pada sedimen tersentrifusi dari urin “porsi tengah” yang clean-catch; tanpa uropatogen yang terisolasi dalam urin) harus dievaluasi adanya infeksi gonokokus dan klamidia. Gejala akut uretritis gonokokus pada perempuan dapat mereda secara spontan atau setelah terapi subkuratif dengan sulfonamida atau antiseptik urin. Jumlah perempuan pasien gonore yang tidak pernah mengalami gejala tidak diketahui.
Infeksi gonokokus asimtomatik pada perempuan meliputi berturut-turut endoserviks, uretra, kanalis analis, dan faring, menurut frekuensinya. Perluasan infeksi dari endoserviks ke tuba falopii terjadi pada sekurang-kurangnya 15% perempuan pasien gonore. Kecenderungan ini terjadi segera setelah mengidap infeksi atau selama menstruasi dan menyebabkan endometritis akut, disertai perdarahan menstruasi abnormal dan nyeri serta nyeri tekan di garis tengah perut bagian bawah, diikuti oleh salpingitis akut, penyulit utama gonore. Infeksi C. trachomatis secara bersamaan dapat meningkatkan angka penyakit radang panggul (PID). Perluasan infeksi ke panggul dapat menimbulkan tanda-tanda peritonitis panggul. Pengobatan antibiotik awal, sebelum masa adneksa terjangkiti, akan memperbaiki fungsi tuba yang normal dan fertilitas pada hampir semua kasus salpingitis gonokokus. Walaupun demikian jika pembengkakan adneksa menyolok terjadi sebelum pengobatan, kerusakan tuba bilateral dapat terjadi 15 sampai 25 persen. Penyebaran gonokokus atau klamidia ke dalam perut bagian atas dapat menyebabkan perihepatitis (sindrom Fitz-Hugh-Curtis), yang bergejala nyeri dan nyeri tekan perut kuadran kanan atas atau bilateral atas serta kadang-kadang bunyi gesekan hepatik. Radang akut kelenjar Bartholini biasanya unilateral dan sering disebabkan oleh infeksi gonokokus. Duktus yang terinfeksi akut akan dikelilingi halo kemerahan dan mengeluarkan nanah pada sepertiga posterior labium majus. Sumbatan pada duktus menyebabkan terbentuknya abses Bartholini. Kista Bartholini menahun jarang sekali disebabkan oleh infeksi gonokokus aktif. Ada bukti bahwa infeksi gonokokus endoserviks peripartum dikaitkan dengan ketuban pecah dini, persalinan praterm, dan endometritis pascapartum.
Gonore pun terjadi pada anak. Selama persalinan, gonokokus dapat menginfeksi konjungtiva, faring, saluran pernapasan, atau kanalis analis neonatus. Risiko infeksi meningkat pada ketuban pecah dini yang lama. Pencegahan oftalmia gonokokus dengan penggunaan profilaktik tetes mata argenatum nitrat 1% atau sediaan oftalmik yang mengandung eritromisin atau tetrasiklin adalah tindakan yang murah pada sebagian besar daerah di dunia. Walaupun demikian, timbulnya resistensi tetrasiklin dari plasmid, membuat ketidakpastian apakah profilaksis tetrasiklin oftalmik dapat efektif dalam pencegahan konjungtivitis neonatus yang disebabkan oleh strain N. gonorrhoeae seperti itu. Karena neonatus dan bayi muda kekurangan antibodi IgM bakterisid terhadap N. gonorrhoeae, mereka berisiko tinggi pada bakteremia gonokokus. Selama tahun pertama kehidupan, infeksi bayi biasanya terjadi karena kontaminasi mata atau vagina oleh orang dewasa secara tidak sengaja. Antara usia 1 tahun dan pubertas, banyak kasus gonore menjangkiti vulvovaginitis pada perempuan yang dilecehkan, dan pertimbangan medikolegal mngharuskan diagnosis bakteriologik secara lengkap dan konsultasi kesejahteraan anak. Auxotyping dan serotyping pada isolat dari korban tindakan seksual dan pelaku tindakan tersebut telah digunakan sebagai bukti di pengadilan.
Insidensi infeksi gonokokus diseminata (DGI) bervariasi berdasarkan waktu dan tempat menurut insidensi lokal infeksi dengan strain gonokokus yang mempunyai sifat menghasilkan bakteremia. Kira-kira dua pertiga pasien infeksi gonokokus diseminata adalah perempuan, dan gejala bakteremia sering dimulai selama menstruasi. Sebagian besar laki-laki dan perempuan dengan gonokoksemia tidak mengalami gejala-gejala infeksi gonokokus urogenitalia, anorektum, atau faring. Pasien khas memberikan gejala dan tanda gonokoksemia atau dengan artritis purulenta yang menjangkiti satu atau dua sendi. Mula gejala gonokoksemia ditandai oleh demam, poliatralgia, dan lesi kulit papula, petekia, pustula, hemoragik, atau nekrotik. Kira-kira 3 sampai 20 lesi seperti itu tampak, biasanya pada ekstremitas distal. Gonokokus dapat diperlihatkan dengan pewarnaan imunofluorescens pada kira-kira dua pertiga lesi kulit gonokokus. Penjangkitan sendi mula-mula secara terbatas ditandai oleh tenosinovitis yang menjangkiti beberapa sendi secara asimetrik. Pergelangan tangan, jari, lutut, dan pergelangan kaki merupakan tempat yang paling sering. Kompleks imun sirkulasi telah ditemukan pada stadium infeksi ini dalam beberapa penelitian. Kadar komplemen serum normal (kecuali pada individu yang menderita defisiensi komplemen), dan peran kompleks imun, jika ada, tidak pasti. Tanpa pengobatan, jangka waktu gonokoksemia bervariasi; gejala sistemik bakteremia dapat mereda secara spontan dalam satu minggu. Sebaliknya jika artritis septik terjadi, seringkali tanpa gejala demam, poliartralgia, atau lesi kulit yang mendahuluinya. Nyeri dan pembengkakan lalu meningkat pada satu atau, jarang sekali, banyak sendi, disertai timbunan cairan sinovial purulenta, yang menyebabkan destruksi progresif sendi jika pengobatan tertunda. Antibodi IgM untuk LOS gonokokus, yang terdapat dalam serum manusia yang normal, adalah bakterisidal untuk kebanyakan strain gonokokus dalam keberadaan komplemen. Gonokokus yang diisolasi dari pasien dengan infeksi gonokokus diseminata mempunyai resistensi yang stabil terhadap serum manusia yang normal. Strain ini biasanya mengandung protein IA membran luar dan sangat rentan terhadap penisilin. Strain ini sering memerlukan arginin, hipoxantin, dan urasil untuk pertumbuhan, dan termasuk oksotipe AHU. Pasien dengan defisiensi komponen komplemen C5, C6, C7, dan C8 adalah rentan secara unik terhadap gonokoksemia dan meningokoksemia karena tidak dapat meningkatkan respons bakterisidal serum terhadap gonokokus dan meningokokus. Walupun mungkin 5% pasien dengan episode pertama dari gonokoksemia atau meningokoksemia adalah defisiensi komplemen, proporsi lebih tinggi antara pasien dengan gonokoksemia atau meningokoksemia berulang. Strain yang diisolasi dari pasien ini mungkin tidak resisten terhadap serum manusia normal. Walaupun demikian, gonokokus yang diisolasi dari pasien infeksi gonokokus diseminata tanpa defisiensi komplemen adalah resisten terhadap serum manusai normal yang dikelompokkan. Isolat dari pasien tenosinovitis dan lesi kulit bahkan lebih merupakan resisten-serum daripada yang diisolasi dari pasien dengan artritis purulen, memberikan kesan bahwa dua sindroma DGI yang berbeda mungkin ditentukan oleh karakteristik organisme penyebab. Kemungkinan biakan darah positif menurun setelah 48 jam sakit, dan kemungkinan penemuan gonokokus dari cairan sinovial meningkat bersamaan jangka waktu sakit yang lebih lama. Gonokokus jarang ditemukan pada efusi dini yang mengandung kurang dari 20.000 leukosit per mikroliter tetapi biasanya ditemukan pada efusi yang mengandung lebih daripada 80.000 leukosit per mikroliter. Pada pasien perorangan, gonokokus jarang ditemukan dari darah dan cairan sinovial bersamaan. Gejala infeksi gonokokus diseminata yang umum lainnya adalah mioperikarditis ringan dan hepatitis toksik. Walaupun endokarditis dan meningitis jarang, tetapi merupakan penyulit yang berat. Endokarditis diperkirakan secara patologik atau pada kelainan bising jantung, fenomena emboli besar, miokarditis berat, pemburukan fungsi ginjal, atau jumlah lesi kulit yang sangat besar.
Infeksi gonokokus menghasilkan beberapa sindroma klinis umum yang mempunyai beberapa etiologi atau yang menyerupai keadaan lain. Khususnya, epidemiologi dan gejala-gejala klinis infeksi Chlamydia trachomatis sangat mirip dengan infeksi gonokokus. Diagnosis banding uretritis, epididimitis, dan proktitis pada laki-laki; vaginitis dan servisitis pada perempuan; dan artritis akut pada orang dewasa muda atau mungkin juga penyakit radang panggul.
Diagnosis dugaan pada gonore dapat dibuat jika diplokokus Gram negatif ditemukan dalam leukosit pada apusan pewarnaan Gram pada uretra atau eksudat endoserviks. Diagnosis tidak pasti jika hanya diplokokus Gram negatif ekstrauretra atau atipik yang terlihat dan diagnosis negatif jika tidak ada diplokokus Gram negatif. Jika kriteria ini dijalankan oleh ahli mikrobiologi yang berpengalaman, sensitivitas dan spesifisitas pewarnaan Gram pada eksudat uretra mendekati 100%. Diagnosis dugaan gonore tidak dapat berdasarkan diplokokus Gram negatif pada apusan faring karena spesies Neisseria lain adalah flora normal pada tempat ini. Di daerah tempat gonokokus resisten ditemukan, biakan harus dilakukan untuk memungkinkan pengujian isolat pada resistensi antimikroba. Spesifisitas pewarnaan Gram pada eksudat serviks purulenta juga tinggi tetapi sensitivitasnya hanya sekitar 50%. Media selektif misalnya medium Thayer-Martin (TM), medium TM modifikasi dan medium Martin-Lewis, yang berisi antibiotik yang secara selektif menghambat sebagian besar kuman lain, paling bermanfaat untuk menemukan gonokokus dari uretra, endoserviks, dan faring. Spesimen rektum ditanam pada medium TM modifikasi atau media ekuivalen yang mengandung trimetoprim laktat, yang menekan sejumlah besar kuman seperti spesies Proteus. Konsentrasi vankomisin dalam medium selektif tidak boleh melebihi mikrogram permililiter, dan bahkan dengan konsentrasi ini dapat menghambat beberapa gonokokus. Setelah inokulasi, medium harus ditaruh dalam ruangan dengan kelembaban 70% dan dalam atmosfer yang berisi 3 sampai 10 persen karbondioksida untuk memungkinkan pertumbuhan gonokokus. Hal ini dapat dicapai dengan lilin, dengan pembuatan karbondioksida secara kimiawi dalam paket yang kemudian ditutup setelah inokulasi, atau dengan inkubator karbondioksida khusus. Media kemudian ditaruh di ruang dengan suhu 35 sampai 37 derajat Celcius selama 24 sampai 48 jam, dan koloni yang diduga sebagai gonokokus harus ditetapkan dengan reaksi oksidase, pengecatan Gram, dan tes penggunaan gula, tes enzim cepat, probe asam nukleat, atau reaksi aglutinasi dengan menggunakan antibodi spesifik terhadap N. gonorrhoeae. Empat tes terkahir tersebut sangatlah penting untuk isolasi dari faring dan rektum, untuk kultur yang diambil dari populasi yang mempunyai prevalensi rendah untuk gonore, seperti pada pasien pranatal, dan untuk korban perkosaan atau paksaan seksual pada anak.
Pada laki-laki dalam masa inkubasi atau infeksi uretra kronik asimtomatik tanpa eksudat atau sebagai tes kesembuhan setelah pemberian terapi, satu usapan halus dimasukkan kurang lebih 2 cm ke dalam uretra anterior dan digunakan medium TM atau medium selektif lainnya. Kultur dari rektum dan faring harus diambil dari laki-laki homoseksual dengan suspek gonore. Tes yang paling efisien untuk gonore pada perempuan adalah kultur endoserviks, yang positif pada pengambilan sekali pada kurang lebih 80 sampai 90 persen dari perempuan dengan gonore. Hasil diagnostik ini akan bertambah dengan pengambilan kedua dan dengan kultur dari rektum, uretra, dan faring.
Kultur darah standar medium kaldu (triptik soya, Kolumbia, infus otak-jantung) harus digunakan pada kultur darah dan juga dianjurkan untuk kultur cairan sinovia. Media broth harus diventilasi dan diinkubasi dibawah tekanan karbondioksida yang makin meningkat. Cairan sinovia dapat pula dikultur dengan agar coklat daripada dengan medium selektif karena sangat tidak mungkin terkontaminasi dengan bakteri komensal. Dalam pus dari lesi kulit N. gonorrhoeae dapat ditunjukkan dengan pengecatan imunofluoresens, tetapi tes ini jarang digunakan. Teknik yang digunakan untuk mendeteksi infeksi gonokokus dengan pengujian serum tunggal untuk antibodi terhadap N. gonorrhoeae sangat terbatas karena ketidakmampuannya membedakan infeksi yang lama dengan infeksi yang baru terjadi dan tes yang positif palsu dihasilkan dari infeksi N. meningitidis. Atas alasan ini, tes seologik untuk infeksi gonore mempunyai nilai prediksi yang sanagt rendah dan tidak digunakan dalam klinis praktis.
Pendekatan diagnostik lainnya adalah deteksi antigen gonokokus dari sekret uretra dan serviks dengan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Pada laki-laki dengan uretritis, pendekatan diagnostik melalui pengecatan Gram cukup memadai, cepat, dan murah. Pada perempuan, tes semacam itu mungkin dapat diterima sebagai alternatif dalam mengekkan kultur untuk diagnosis infeksi gonokokus endoserviks pada situasi kultur yang tidak memungkinkan. Akan tetapi, nilai prediksi positif dari tes antigen memerlukan penilaian yang hati-hati, terutama daerah dengan prevalensi gonokokus yang rendah. Probe asam nukleat pernah pula digunakan untuk mendeteksi gonokokus pada spesimen uretra dan serviks. Meskipun demikian, evaluasi tambahan diperlukan. Implikasi medikolegal dan psikososial dari hasil positif palsu dignosis gonore akan sangat merepotkan bagi dokter dan pasien.
Satu lagi, tes Thomson yang sangat berguna untuk mengetahui sampai di mana infeksi sudah berlangsung. Dahulu pemeriksaan ini perlu dilakukan karena pengobatan pada waktu itu adalah oengobatan setempat. Syarat yang harus diperhatikan pada tes ini adalah sebaiknya dilakukan setelah bangun pagi, urin dibagi dalam 2 gelas, dan tidak boleh menahan kencing dari gelas I ke gelas II. Syarat mutlak ialah kandung kencing harus mengandung air seni paling sedikit 80-100 mL, jika kurang maka gelas II sukar dinilai karena baru menguras uretra bagian anterior.
Pada pengobatan, yang perlu diperhatikan adalah efektivitas, harga, dan sesedikit mungkin efek toksiknya. Jalur penatalaksanaan tergantung pada fasilitas diagnostik yang ada. Pemilihan regimen pengobatan sebaiknya mempertimbangkan pula tempat infeksi, resistensi galur N. gonorrhoeae terhadap antimikrobial, dan kemungkinan infeksi Chlamydia trachomatis yang terjadi secara bersamaan. Oleh karena sering terjadi koinfeksi dengan C. trchomatis, maka pada seseorang dengan gonore dianjurkan pula untk diberi poengobatan secara bersamaan dengan regimen yang sesuai untuk C. trachomatis. Antimikroba yang sering dipakai dalam pengobatan gonore adalah penisilin, ampisilin dan amoksisilin, sefalosporin, spektinomisin, kanamisin, tiamfenikol, dan golongan kuinolon. Obat dengan dosis tunggal yang tidak efektif lagi untuk pengobatan gonore saat ini adalah tetrasiklin, streptomisin, dan spiramisin.

4. KESIMPULAN
¨ Pasien (pria usia 25 tahun, belum menikah) yang datang ke bagian ilmu kesehatan kulit dan kelamin RSUD dr. Moewardi Solo, adalah keluhan utama 3 hari sebelumnya berhubungan dengan wanita tuna susila (WTS) dan sekarang keluar duh tubuh purulenta dari orificium urthrae externum disertai inflamasi dan adanya disuria. Badan dirasakan panas, nyeri pada kelenjar limfonodi inguinalis dextra et sinistra.
¨ Keterangan penunjang yang penting adalah bahwa penderita berhubungan dengan WTS setiap satu bulan sekali dan sudah dilakukan selama 6 bulan, jadi selama ini penderita sudah pernah berhubungan dengan WTS sebanyak 6 kali.
¨ Melihat dari tanda dan gejala serta inkubasi, penyakit menular seksual yang paling mendekati adalah gonore
¨ Tanda dan gejala dari gonore pada pria (sesuai pasien di skenario) antara lain dijelaskan sebagai berikut. Tempat masuk kuman pada pria di uretra menimbulkan uretritis. Yang paling sering adalah uretritis anterior akuta dan dapat menjalar ke proksimal, mengakibatkan komplikasi lokal, asendens, serta diseminata. Keluhan subjektif berupa rasa gatal, panas di bagian distal uretra di sekitar orifisium uretra eksternum, kemuidan disusul disuria, polakisuria, keluar duh tubuh dari ujung uretra yang kadang-kadang disertai darah, dapat pula disertai nyeri pada waktu ereksi. Pada pemeriksaan tampak orifisium uretra eksternum kemerahan, edema, dan ektropion. Tampak pula duh tubuh yang mukopurulen. Pada beberapa kasus dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening inguinal unilateral atau bilateral.
¨ Sedangkan tanda dan gejalanya pada wanita antara lain dijelaskan sebagai berikut. Pada wanita, penyakit akut maupun kronik, gejala subjektif jarang ditemukan dan hampir tidak pernah didapati kelainan objektif. Pada umumnya wanita datang berobat jika sudah ada komplikasi. Sebagian besar penderita ditemukan pada waktu pemeriksaan antenatal atau pemeriksaan keluarga berencana. Infeksi pada wanita, pada mulanya hanya mengenai serviks uteri. Dapat asimtomatik, kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri pada panggul bawah. Pada pemeriksaan serviks tampak merah dengan erosi dan sekret mukopurulen. Duh tubuh akan terlihat lebih banyak, bila terjadi servisitis akut atau disertai vaginitis yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis.
¨ Fasilitas penegakan diagnosis (dengan menggunakan pemeriksaan tambahan) yang bisa digunakan adalah pemeriksaan sediaan langsung dengan pengecatan Gram, pemeriksaan kultur/biakan beserta tes definitif (meliputi tes oksidasi dan tes fermentasi), pemeriksaan dengan tes beta laktamase, dan tes Thomson.
¨ Pengobatan gonore bisa dilakukan dengan pemberian antimikroba. Antimikroba yang sering dipakai dalam pengobatan gonore adalah penisilin, ampisilin dan amoksisilin, sefalosporin, spektinomisin, kanamisin, tiamfenikol, dan golongan kuinolon. Obat dengan dosis tunggal yang tidak efektif lagi untuk pengobatan gonore saat ini adalah tetrasiklin, streptomisin, dan spiramisin.
¨ Penyakit gonore harus selalu diperhatikan karena sampai sekarang penyakit ini masih menjadi sebuah problema besar dalam hal infeksi menular seksual di negara berkembang, termasuk Indonesia yang masih menunjukkan aktivitas seksual yang tidak sehat dan kurangnya higienitas dalam menjaga kesehatan organ reproduksi.

5. DAFTAR PUSTAKA
Daili, S. F. 2007. Gonore. Dalam: Daili, S. F., W. I. B. Makes, F. Zubier, J. Judanarso. 2007. Infeksi Menular Seksual. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 65-76

Daili, S. F., J. Judanarso. 2007. Herpes Genitalis. Dalam: Daili, S. F., W. I. B. Makes, F. Zubier, J. Judanarso. 2007. Infeksi Menular Seksual. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 125-39

Djajakusumah, T. S. 2007. Trikomoniasis. Dalam: Daili, S. F., W. I. B. Makes, F. Zubier, J. Judanarso. 2007. Infeksi Menular Seksual. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 179-88

Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Holmes, K. K., S. A. Morse. 2007. Infeksi Gonokokus. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 2. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 724-30

Hutapea, N. O. Sifilis. Dalam: Daili, S. F., W. I. B. Makes, F. Zubier, J. Judanarso. 2007. Infeksi Menular Seksual. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 84-102

Lumintang, H. 2007. Infeksi Genital Nonspesifik. Dalam: Daili, S. F., W. I. B. Makes, F. Zubier, J. Judanarso. 2007. Infeksi Menular Seksual. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 77-83

Makes, W. I. B. 2007. Ulkus Molle. Dalam: Daili, S. F., W. I. B. Makes, F. Zubier, J. Judanarso. 2007. Infeksi Menular Seksual. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 103-8

Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.

Zubier, F. 2007. Kondiloma Akuminata. Dalam: Daili, S. F., W. I. B. Makes, F. Zubier, J. Judanarso. 2007. Infeksi Menular Seksual. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 140-5