Sunday, February 22, 2009

PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL DAN VALVULAR


1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Jantung terletak dalam ruangan mediastinum rongga dada, yaitu di antara paru. Perikardium yang meliputi jantung terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan dalam (pericardium viseralis) dan lapisan luar (pericardium parietalis). Kedua lapisan perikardium ini dipisahkan oleh sedikit cairan pelumas, yang mengurangi gesekan akibat gerakan pemompaan jantung. Perikardium parietalis melekat ke depan sternum, ke belakang pada kolumna verterbralis, dan ke bawah pada diafragma. Perlekatan ini menyebabkan jantung terletak stabil di tempatnya. Perikardium viseralis melekat secara langsung pada permukaan jantung. Perikardium juga melindungi terhadap penyebaran infeksi atau neoplasma dari organ-organ sekitarnya ke jantung. Jantung terdiri dari 3 lapisan. Lapisan terluar (epikardium), lapisan tengah yang merupakan lapisan otot (miokardium), sedangkan lapisan terdalam adalah lapisan endotel (endokardium).
Ruangan jantung bagian atas (atrium) dan pembuluh darah besar (arteria pulmonaris dan aorta) membentuk dasar jantung. Atrium secara anatomi terpisah dari ruangan jantung sebelah bawah (ventrikel) oleh suatu annulus fibrosus (tempat terletaknya keempat katup jantung dan tempat melekatnya katup maupun otot). Secara fungsional, jantung dibagi menjadi pompa sisi kanan dan sisi kiri, yang memompa darah venosa ke sirkulasi paru, dan darah arterial ke peredaran darah sistemik. Pembagian fungsi ini mempermudah konsep kita dalam mempelajari urutan aliran darah secara anatomi: vena kava, atrium kanan, ventrikel kanan, arteria pulmonalis, paru, vena pulmonalis, atrium kiri, ventrikel kiri, aorta, arteria, arteriola, kapiler, venula, vena, vena kava.
Dari skenario 2 Blok Kardiovaskular, ada beberapa masalah penting, yaitu :
Ø Riwayat Penyakit Sekarang, berupa:
- Seorang anak laki-laki, 10 tahun, diantar ke Puskesmas dengan keluhan sering batuk pilek dan cepat lelah.
Ø Riwayat Penyakit Dahulu, berupa:
- Penderita pernah diperiksakan ke dokter anak dan dinyatakan mempunyai kelainan jantung.
Ø Riwayat Penyakit Keluarga, berupa:
- (tidak ada data)
Ø Keterangan Penunjang, berupa:
- Hasil anamnesis: anak tersebut lahir prematur, bila menangis bibir tidak tampak kebiruan, nafsu makan sedikit terganggu, tumbuh kembangnya dalam batas normal.
- Pada pemeriksaan fisik didapatkan data: tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 90 kali/menit.
- Pada inspeksi diperoleh hasil bahwa dinding dada tampak normal, tidak terlihat jari-jari tabuh dan sianosis.
- Pada palpasi diperoleh hasil iktus kordis teraba di SIC V 2 cm lateral linea medioklavikularis kiri, tidak teraba thriil.
- Pada perkusi diperoleh batas jantung di SIC V 2 cm lateral linea medioklavikularis kiri.
- Pada auskultasi diperoleh hasil terdengar bising pansistolik dengan punctum maksimum SIC IV-V parasternal kiri.
- Hasil pemeriksaan laboratorium normal.
- Pemeriksaan hematologi rutin normal.
- Pemeriksaan EKG menunjukkan aksis ke kiri, LVH, dan LAH.
- Pemeriksaan foto toraks didapat CTR adalah 0,60 dengan apeks bergeser ke lateral bawah.
B. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah yang ada pada skenario di atas, dan hal-hal yang akan dibahas, antara lain :
a. Embriologi sistem kardiovaskular
b.Anatomi dan histologi umum sistem kardiovaskular
c. Perkembangan fisiologis sistem kardiovaskular
d. Elektrofisiologi jantung
e. Curah jantung dan sistem nutrisi jantung
f. Aliran darah ke perifer
g.Cadangan jantung
h. Bunyi jantung
C. Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui hal yang aneh dalam pemeriksaan fisik dan keterangan-keterangan mengenai pasien tersebut.
Ø Menegakkan diagnosis melalui berbagai pemeriksaan yang dilakukan.
Ø Mengetahui gejala-gejala penyakit tersebut lebih lanjut.
Ø Pentingnya masalah tersebut untuk dibahas adalah agar kita lebih bisa menambah pengetahuan kita tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem jantung dan pembuluh darah (sistem kardiovaskular) dan penyelesaiaannya.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa mampu menjelaskan:
a. Ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dan melingkupi sistem kardiovaskular meliputi anatomi, histologi dan fisiologi.
b. Sistem keseimbangan suplai oksigen di jantung dengan besarnya kebutuhan oksigen di miokardium.
c. Klasifikasi macam-macam penyakit pada sistem kardiovaskular.
d. Penyebab-penyebab terjadinya gangguan pada sistem kardiovaskular beserta mekanismenya.
e. Faktor-faktor pencetus terjadinya gangguan pada sistem kardiovaskular.
f. Mekanisme terjadinya kelainan pada sel/organ pada penyakit-penyakit sistem kardiovaskular meliputi patogenesis, patologi, dan patofisiologinya.
g. Mekanisme terjadinya gangguan/kelainan pada jantung yang dikarenakan ketidakseimbangan suplai oksigen, aliran darah yang melalui katup jantung dalam keadaan normal dan abnormal, kelainan irama, penyakit infeksi pada jantung, dan gangguan pada sistem vaskular perifer (arteri dan vena).
h. Komplikasi yang ditimbulkan pada penyakit-penyakit di sistem kardiovaskular.
i. Manajemen/penatalaksanaan penyakit pada sistem kardiovaskular meliputi dasar-dasar terapi meliputi medikamentosa, konservatif, diet, operatif, rehabilitasi, dll.
j. Tanda dan gejala penyakit-penyakit pada sistem kardiovaskular.
k. Penegakan diagnosis penyakit pada sistem kardiovaskular.
l. Patogenesis, patologi, dan patofisiologi pada sistem kardiovaskular.
m. Prognosis secara umum tentang penyakit pada sistem kardiovaskular.
n. Penyususnan data dari tanda dan gejala, pemeriksaan fisik, prosedur klinik, dan pemeriksaan laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis sementara dan diagnosis banding pada penyakit sistem kardiovaskular.
o. Prosedur klinik penunjang diagnosis penyakit sistem kardiovaskular, meliputi: EKG, Ekokardiogram, Radiologi Sinar-X, Venografi, USG, Pengukuran Impedansi, Kateterisasi Jantung, Radionucleotide Scanning.
p. Pemeriksaan laboratorium penunjang diagnosis penyakit sistem kardiovaskular meliputi kimia darah: kreatin fosfokinase (CPK/CK), glutamat oksaloasetat transaminase (SGOT/GOT), laktat dehidrogenase (LDH), dll.
q. Prosedur keterampilan klinik untuk mendiagnosis penyakit pada sistem kardiovaskular, meliputi: pemeriksaan fisik (inspeksi, palpasi dan auskultasi: bunyi jantung), tes jasmani/treadmill test.
r. Perancangan tindakan promotif dan preventif penyakit pada sistem kardiovaskular dengan mempertimbangkan faktor-faktor pencetus.
s. Perancangan penatalaksanaan penyakit-penyakit pada sistem kardiovaskular.


2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Embriologi Sistem Kardiovaskular
Jantung merupakan derivat dari mesoderm, mulai berkembang sebelum akhir minggu ketiga kehamilan. Memulai perkembangan dari regio ventral embrio di bawah foregut. Langkah pertama pembentukannya dijelaskan sebagai berikut. Terbentuk sepasang pipa (endothelial/endocardial tubes) dari sel-sel mesoderm. Pipa-pipa ini kemudian menyatu untuk membentuk 1 pipa gabungan (primitive heart tube), lalu primitive heart tube ini berkembang menjadi 5 regio, yaitu ventrikel, bulbus kordis, atrium, sinus venosus, dan trunkus arteriosus. Sejak bulbus kordis dan ventrikel tumbuh lebih cepat daripada yang lain, jantung tumbuh berkembang lebih cepat daripada bagian kordis dan ventrikel tumbuh lebih cepat daripada bagian-bagian superior dan inferiornya, kemudian jantung akan akan berbentuk menyerupai huruf U dan kemudian menjadi S. Lipatan pada jantung akan membentuk regio-regio sehingga atrium dan sinus venosus akan berada di superior dari bulbus kordis, ventrikel dan trunkus arteriosus. (Tortotra dan Anagnostaskos, 2007)
Kira-kira minggu ketujuh, sebuah sekat (septum interatriorum) terbentuk di regio atrium, membagi atrium menjadi bagian kanan dan kiri. Ada jakur terbuka di sekat tersebut, yaitu foramen ovale, yang secara normal dan akan disebut sebagai fosa ovalis. Juga ada septum interventrikulare, mambagi ventrikel menjadi 2 bagian, taitu kanan dan kiri. Bulbus kordis dan trunkus arteriosus terbagi menjadi 2 pembuluh darah (aorta dan trunkus pulmonalis). Sedangkan vena kava superior dan vena kava inferior berkembang dari akhiran vena dari primitive heart tube. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
B. Anatomi dan Histologi Umum Sistem Kardiovaskular
Atrium kanan jantung (atrium cordis dextrum) merupakan ruangan yang berdinding tipis dan berfungsi sebagai tempat menyimpan darah, dan sebagai penyalur darah dari vena-vena sirkulasi sistemik yang mengalir ke ventrikel kanan. Darah yang berasal dari pembuluh vena ini masuk ke dalam atrium kanan melalui vena akva superior, vena kava inferior dan sinus koronarius. Dalam muara vena akva tidak terdapat katup-katup sejati. Yang memisahkan vena dengan atrium adalah lipatan katup atau pita otot yang rudimenter. Oleh karena itu peningkatan tekanan atrium kanan akibat bendungan darah di sisi kanan jantung akan dibalikkan kembali ke dalam vena sirkulasi sistemik. Sekitar 75% aliran balik vena ke dalam atrium kanan akan mengalir secara pasif ke dalam ventrikel kanan melalui kaup trikuspidalis. Sedangkan 25% sisanya akan mengisi ventrikel selama kontraksi atrium. Pengisian ventrikel secara aktif ini disebut dengan atrial kick. Ventrikel kanan (ventrikulus cordis dexter) akan menghasilkan kekuatan yang cukup besar untuk dapat memompa darah yang diterima dari atrium ke sirkulasi pulmonar. Ventrikel kana berbentuk bulan sabit yang unik untuk menghasilkan kontraksi berteknan rendah yang cukup untuk mengalirkan darah ke dalam arteria pulmonalis. Sirkulasi paru merupakan sistem aliran darah bertekanan rendah dengan resistensi yang jauh lebih kecil terhadap aliran darah dari ventrikel kanan, dibandingkan tekanan tinggi sirkulasi sistemik terhadap aliran darah dari ventrikel kiri. Oleh karena itu, beban kerja ventrikel kana jauh lebih ringan daripada ventrikel kiri. Akibatnya, tebal dinding ventrikel kanan hanya sepertiga dari tebal dinidng ventrikel kiri. Untuk menghadapi tekanan paru yang meningkat secara akut (seperti pada emboli paru masif) maka kemampuan pemompaan ventrikel kanan tidak cukup kuat sehingga dapat terjadi kematian. Atrium kiri (atrium cordis sinistrum) menerima darah arterial (teroksigenasi0 dari paru-paru melalui keempat vena pulmonalis. Antara vena pulmonalis dan atrium kiri tidak terdapat katup sejati. Oleh karena itu, perubahan tekanan atrium kiri mudah membalik secara retrogard ke dalam pembuluh paru-paru. Peningkatan akut tekanan atrium kiri akan menyebabkan bendungan apru. Atrium kiri memiliki dinding tipis dan bertekanan rendah. Darah menglair dari atrium kiri ke ventrikel kiri melalui katup mitralis. Ventrikel kiri (ventrikulus cordis sinister) akan menghasilkan tekanan yang cukup tinggi untuk mengatasi tahanan sirkulasi sitemik, dan mempertahankan aliran darah ke jaringan perifer. Ventrikel kiri memiliki otot-otot yang tebal (paling tebal) dengan bentuk yang menyerupai lingkaran sehingga mempermudah pembentukan tekanan yang tinggi selama berkontraksi. Bahkan septum interventrikular pun juga ikut membantu pembentukan tekanan yang tinggi ini. Pada saat kontraksi, tekanan ventrikel kiri meningkat sekitar lima kali lebih tinggi daripada tekanan ventrikel kanan. Bila ada hubungan abnormal antara kedua ventrikel (misalnya robek pada septum interventrikularnya), maka darah akan mengalir dari kiri ke kanan melalui robekan tersebut. Akibatnya terjadi penurunan jumlah aliran darah dari ventrikel kiri melalui katup aorta ke dalam aorta. (DeBeasi, 2007)
Katup atrioventrikularis adalah katup yang terletak antara atrium dan ventrikel, baik kanan (katup trikuspidalis/valvula trikuspidalis) maupun kiri (katup mitralis/valvula mitralis). Katup trikuspidalis memiliki 3 daun katup, sedangkan katup mitralis memiliki 2 daun katup. Daun katup dari kedua katup itu tertambat melalui berkas-berkas tipis karingan fibrosa yang disebut chordae tendineae. Korda tendinea ini akan meluas menjadi musculus papillaris (tonjolan otot pada dinding ventrikel). Korda tendinea ini akan menyokong katup pada waktu kontraksi ventrikel untuk mencegah membaliknya daun katup ke dalam atrium. Apabila korda tendinea dan muskulus papilaris mengalami gangguan (ruptur atau iskemia), darah akan kembali ke dalam atrium sewaktu ventrikel berkontraksi. Katup semilunaris (valvula semilunaris) terdiri dari 3 daun katup yang tertambat kuat pada anulus fibrosus. Katup ini berfungsi untuk mencegah aliran kembali darah dari aorta atau arteria pulmonalis ke dalam ventrikel, sewaktu ventrikel dalam keadaan istirahat. Katup aorta terletak antara ventrikel kiri dan aorta, sedangkan katup pulmonalis terletak antara ventrikel kanan dan arteria pulmonalis. Tepat di atas daun katup aorta, terdapat kantung menonjol dari dinding aorta dan arteria pulmonalis, yang disebut sinus Valsava. Sinus ini merupakan muara dari arteria koronaria dan melindunginya dari penyumbatan oleh daun katup pada waktu katup aorta terbuka. (DeBeasi, 2007)
Anulus fibrosus di antara atrium dan ventrikel memisahkan ruangan-ruangan ini secara anatomis dan elektris. Untuk memastikan rangsangan ritmik dan sinkron, serta konraksi otot jantung, terdapat jalur konduksi khusus dalam miokardium. Jalur ini memiliki sifat-sifat tertentu, antara lain otomatisasi (kemampuan untuk menimbulkan impuls secara spontan), ritmisasi (pembangkitan impuls yang teratur), konduktivitas (kemampuan menghantarkan impuls), dan daya rangsang (kemmapuan berespons terhadap stimulasi). Jantung memiliki sifat-sifat ini sehingga mampu menghasilkan impuls secara spontan dan ritmis yang disalurkan melalui sistem konduksi untuk merangsang niokardium dan menstimulasi kontraksi otot. Impuls jantung biasanya berasal dari nodus sinoatrialis (SA). Nodus SA ini disebut pace maker atau pemacu alami jantung. Nodus SA terletak di dinding posterior atrium kanan dekat muara vena kava superior. Impuls jantung kemudian menyebar dari nodus SA menuju jalur konduksi khusus atrium dan ke otot atrium. Suatu jalur antaratrium (yaitu berkas Brachmann) mempermudah penyebaran impuls dari atrium kananke atrium kiri. Jalur internodal (jalur anterior, tengah, dan posterior) menghubungkan nodus SA dengan nodus atrioventrikularis (AV). Impuls listrik kemudian mencapai nodus AV yang terletak di sebelah kanan interatrial dalam atrium kanan dekat muara sinus koronaria. Nodus AV merupakan jalur normal transmisi impuls antara atrium dan ventrikel. Penghantaran impuls terjadi relatif lambat melewati nodus AV karena tipisnya serat di daerah ini dan konsentrasi taut selisih (merupakan mekanisme komunikasi antarsel yang memepermudah konduksi impuls) yang rendah. Hasilnya adalah hambatan konduksi impuls selama 0,9 detik melalui nodus AV. Hambatan hantaran melalui nodus AV menyebabkan sinkronisasi kontraksi atrium sebelum kontraksi ventrikel sehingga pengisian ventrikel menjadi optimal. Hilangnya sinkronisasi ini yang disertai dengan aritmia jantung (misalnya fibrilasi atrium) dapat mengurangi curah jantung sebesar 25 hinga 30%. Hambatan AV juga melindungi ventrikel dari banyaknya impuls atrial abnormal. Normalnya, tidak lebih dari 180 impuls per menit yang dapat mencapai ventrikel. Hal ini sangat penting dalam kelainan irama jantung tertentu seperti fibrilasi atrium, yaitu ketika denyutan atrium dapat mencapai 400 denyut per menitnya. Jadi nodus AV mempunyai 2 fungsi penting, yaitu pengoptimalan waktu pengisian ventrikel dan pembatasan jumlah impuls yang dapat dihantarkan ke ventrikel. Berkas His menyebar dari nodus AV, yang memasuki selubung fibrosa yang memisahkan atrium dari ventrikel. Normalnya, nodus AV-berkas His adalah satu-satunya rute penyebaran impuls dari atrium ke ventrikel dan biasanya hanya dalam arah anterior (yaitu dari atrium ke ventrikel). Berkas His berjalan ke bawah di sisi kana septum interventrikular sekitar 1 cm dan kemudian bercabang menjadi serabut berkas kanan dan kiri (crus dextrum dan crus sinistrum). Serabut berkas kiri berjalan secara vertikal melalui septum interventrikular dan kemudian bercabang menjadi bagian anterior dan bagian posterior yang lebih tebal. Berkas serabut kanan dan kiri kenudian menjadi serabut Purkinje. Hantaran impuls dari serabut Purkinje berjalan cepat sekali. Serabut ini berdiameter relatif besar dan memberikan sedikit reisitensi terhadap penyebaran hantaran. Serabut Purkinje juga memiliki potensial aksi yang dicirikan dengan ledakan cepat pada fase nol. Yang terkahir, serabut Purkinje mengandung taut selisih dalam konsentrasi besar yang disesuikan secara maksimal sehingga menyebabkan hantaran impuls yang cepat. Waktu hantaran melalui sistem Purkinje 150 kali lebih cepat dibandingkan dengan hantaran melalui nodus AV. Penyebaran hantaran melalui serabut Purkinje dimulai dari permukaan endokardium jantung sebelum berjalan ke sepertiga jalur menuju miokardium. Pada miokardium ini, impuls dihantarkan ke serabut otot ventrikel. Impuls kemudian berlanjut menyebar dengan cepat ke epikardium. Dan hal ini menyebabkan aktivasi segera dan kontraksi ventrikel yang terjadi hampir bersamaan. (DeBeasi, 2007)
Eksitasi biasanya dimulai dari nodus SA karena nodus ini memiliki kecepatan pembangkitan impuls yang terbesar, sekitar 60 dampai 100 denyut per menit. Namun pada saat nodus SA tidak bisa menghasilkan impuls dalam kecepatan yang memadai, maka bagian-bagian lain dapat mengambil alih peranannya sebagai pemacu. Nodus AV sanggup menghasilkan impuls dengan kecepatan 40-60 per menit, sedangkan daerah ventrikel dalam sistem Purkinje dapat menghasilkan kecepatan sekitar 15 sampai 40 denyut per menit. Pemacu-pemacu cadangan ini mempunyai fungsi penting untuk mencegah jantung berhenti berdenut (asistolik) bila pemacu alaminya gagal bekerja akibat penyakit atau gagal akibat efek merugikan dari pengobatan tertentu. (DeBeasi, 2007)
Dinding aorta dan arteria besar lainnya mengandung banyak jaringan elastis dan sebagian otot polos. Ventrikel kiri memompa darah masuk ke dalam aorta dengan tekanan tinggi. Dorongan darah secara mendadak ini meregang dinding arteria yang elastis tersebut, pada saat ventrikel beristirahat maka dinding yang elastis tersebut akan kembali pada keadaan semula dan memompa darah ke depan, ke seluruh sistem sirkulasi. Di daerah perifer, cabang-cabang sistem arteria berproliferasi dan terbagi lagi menjadi pembuluh darah kecil. Jaringan arterial ini terisi sekitar 15% volume total darah. Oleh karen itu, sistem arteria ini dianggap merupakan sirkuit bervolume rendah tetapi bertekanan tinggi. Cabang-cabangnya disebut sebagai sirkuit resistensi karena memiliki sifat khas volume-tekanan ini. Dinding pembuluh darah arteriola terutama terdiri dari otot polos dengan sedikit serabut elastis. Dinding otot arteriola ini sangat peka dan dapat berdilatasi atau berkontraksi. Bila berkontraksi, arteriola merupakan tempat resistensi utama aliran darah dalam cabang arterial. Saat berdilatasi penuh, arteriola hampir tidak memberikan resistensi terhadap aliran darah. Pada persambungan antara arteriola dan kapiler terdapat sfingter prekapiler. Pembuluh darah kapiler memiliki dinding tipis yang terdiri dari satu lapis sel endotel. Nutrisi dan metabolit berdifusi dari daerah berkonsentrasi tinggi ke rendah melalui membran yang tipis dan semipermeabel. Dengan demikian oksigen dan nutrisi akan meninggalkan pembuluh darah dan masuk ke dalam ruang interstitial dan sel. Karbondioksida dan metabolit berdifusi ke arah yang berlawanan. Pergerakan cairan antara pembuluh darah dan ruangan interstitial bergantung pada keseimbangan relatif antara tekanan hidrostatik dan osmotik jaringan kapiler. Venula berfungsi sebagai saluran pengumpul dan terdiri atas sel-sel endotel dan jaringan fibrosa. Vena adalah saluran yang berdinidng relatif tipis dan berfungsi menyalurkan darah dari jaringan kapiler melalui sistem vena, masuk ke atrium kanan. Aliran vena ke jantung hanya searah karena katup-katunya terletak strategis di dalam vena. Vena merupakan pembuluh darah dalam sirkulasi sistemik yang paling dapat meregang, pembuluh ini dapat menampung darah dalam jumlah banyak dengan tekanan yang relatif rendah. Sifat aliran vena yang bertekanan rendah dan bervolume tinggi ini menyebabkan sistem vena ini disebut sistem kapasitas. Sekitar 64% volume darah total terdapat dalam sistem vena. Kapasitas jaringan vena dapat berubah. Venokonstriksi dapat menurunkan kapasitas jaringan vena, memaksa darah bergerak maju menuju jantung seperlunya. Pergerakan darah menuju jantung juga dipengaruhi oleh kompresi vena oleh otot rangka dan perubahan tekanan rongga dada dan perut selama pernapasan. Sistem vena berakhir pada vena kava inferior dan superior. Dari situlah semua aliran darah vena mengalir ke dalam atrium. Tekanan dalam atrium kanan sering disebut sebagai tekanan vena sentralis (central venous pressure, CVP) atau tekanan atrium kanan (right atrial pressure, RAP). (DeBeasi, 2007)
Komponen dinding pembuluh darah meliputi lapisan intima, media, dan adventitia. Lapisan intima adalah bagian terdalam dinding arteri yang mengalami kontak langsung dengan suplai darah. Intima terdiri atas selapis sel endotel. Sel endotel dianggap sebagai sel inert yang menungkinkan pergerakan zat ke dalam dan ke luar dinding sel arteri. Namun sekarang diartikan bahwa sel endotel agak dinamis dan memiliki berbagai fungsi. Fungsi sel endotel akan berubah bila terjadi cedera endotel. Salah satu fungsi utama endotel adalah sebagai sawar antara aliran darah dan dinding pembuluh darah bagian dalam. Taut yang erat dan taut selisih yang mengendalikan secara selektif pergerakan zat ke dalam dan ke luar dinding pembuluh darah, menghubungkan sel-sel endotel. Zat-zat juga dapat meningkatkan hubungan ke daerah subintima melalui proses endositosis atau jika larut dalam lemak, melalui membran lipid. Endotel juga memberikan permukaan nontrombotik sehingga mencegah oklusi pembuluh darah. Endotel melakukan fungsi ini dengan menyekresi 2 zat, yaitu prostasiklin (PGI2) dan nitrogen oksida (NO). PGI2 menghambat agregasi trombosit, sedangkan NO menghambat adhesi maupun agregasi trombosit. Selain itu sel endotel bermuatan negatif sehingga secara alamiah akan menolak partikel-partikel yang bermuatan sama. Heparin sulfat melapisi permukaan sel endotel sehingga menghambat terbentuknya bekuan darah. Sel-sel endotel juga menyekresi zat vasoaktif yang mempengaruhi vasodilatasi dan vasokonstriksi. PGI2 dan NO mencegah pembentukan bekuan darah dan juga merupakan vasodilator kuat (NO merupakan vasodilator terkuat sehingga ditemukan dalam waktu lama). Sel-sel endotel juga menyekresi vasokonstriktor yang paling kuat, yaitu endotheelin I. Zat-zat lain yang disekresi oleh sel-sel endotel adalah vasokonstriktor, tromboksan A2, prostaglandin H2, dan angiotensin-2, serta faktor pertumbuhan yang berasal dari platelet (platelet-derived growth faktor, PDGF). Sel-sel endotel mampu beregenerasi setelah cedera. Namun demikian, hanya sel endotel di tepi cedera yang mampu beregenerasi. Sel-sel endotel yang terletak di membrana basalis berdifusi dengan berbagai protein dan sebagian sel-sel otot polos. Daerah ini dikenal sebagai lamina elastika interna dan mambentuk ikatan sebelah luar lapisan media. Lapisan media terletak di bagian tengahdinding arteria dan terdiri atas jalinan lapisan sel otot polos. Setiap sel otot polos dikelilingi oleh membran basalis yang tidak kontinu, sma seperti dengan yang terdapat pada sel endotel. Sel-sel otot polos memberikan integritas struktur pembuluh darah, sel ini juga bertanggung jawab dalam mempertahankan tonus dinding arteri melalui kontraksi yang lambat dan kontinu. Sel-sel otot polos berespons terhadap berbagai zat vasoaktif dengan berdilatasi maupun berkontraksi, yang menyebabkan vasodilatas dan vasokonstriksi. Saat ini telah ditemukan sel-sel reseptoruntuk berbagai zat (LDL, insulin, stimulator pertimbuhan) sehingga sel-sel otot polos mungkin terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan. Lapisan adventitia terletak di bagian terluar dinding arteria yang memberikan kekuatan utama pada pembuluh darah dan terdiri atas berkas fibril kolagen, serabut elastis, fibroblas, dan beberapa sel otot polos. Lapisan adventitia juga mengandung serabut saraf dan pembuluh-pembuluh darah. (DeBeasi, 2007)
Jantung dipersarafi oleh serabut simpatis dan parasimpatis susunan saraf otonom melalui plexus cardiacus yang terletak di bawah arkus aorta. Saraf simpatis berasal dari bagian cervicale dan thoracale bagian atas truncus sympathycus, dan persarafan parasimpatis berasal dari nervus vagus. Serabut-serabut postganglionik simpatis berakhir di nodus sinusatrial dan nodus atrioventrikular, serabut-serabut otot jantung dan arteria koronaria. Perangsangan saraf simpatis mengakibatkan akselerasi jantung, meningkatkan denyut jantung (daya kontraksi otot jantung) dan dilatasi arteria koroner. Serabut-serabut postganglionik parasimpatis berakhir di nodus sinoatrial dan nodus atrioventrikular dan arteria koronaria. Perangsangan saraf parasimpatis mengakibatkan berkurangnya denyut jantung (daya kontraksi otot jantung) dan konstriksi arteria koroner. Serabut-serabut aferen yang berjalan bersama saraf simpatis membawa implus saraf yang biasanya tidak dapat disadari. Akan tetapi bilai pasokan darah kurang ke otot jantung terganggu maka implus rasa nyeri dapat dirasakan melalui lintasan tersebut. Serabut-serabut aferen yang berjalan bersama nervus vagus mengambil bagian dalam refleks kardiovaskular. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Sekali lagi dijelaskan bahwa sistem kardiovaskular diinervasi oleh sistem saraf parasimpatis dan simpatis. Dua sistem ini memperlihatkan efek yang berlawanan dan beroperasi secara terbalik untuk memberikan perubahan pada fungsi kardiovaskular. Stimulasi parasimpatis melalui nervus vagus menurunkan pembakaran nodus SA, menurunkan kecepatan konduksi melewati nodus AV dan menurunkan daya kontraksi atrium. Inhibisi sistem saraf parasimpatis menimbulkan efek yang berlawanan. Serat simpatis meluas ke sistem konduksi, miokardium dan sel otot polos pembuluh darah. Stimulasi sistem saraf simpatis ini menyebabkan pelepasan norepinefrin dan epinefrin dari medula adrenal. Zat ini secara selektif terikat pada reseptor α dan reseptor β1 dan β2 untuk menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah, peningkatan pembakaran nodus SA, peningktan kecepatan konduksi melalui nodus AV, dan peningkatan daya kontraksi ventrikel. Inhibisi sistem saraf simpatis ini menimbulkan efek yang berlawanan. (DeBeasi, 2007)

C. Perkembangan Fisiologis Sistem Kardiovaskular
Pada fetus semua bahan makanan dan kebutuhan untuk hidup semuanya diperoleh dari ibu melalui placenta, demikian juga dengan semua bahan yang tidak dibutuhkan lagi dikembalikan ke placenta ibu kembali. Darah yang bersal dari placenta mengandung O2 sekitar 60-70%, darah masuk melalui vena umbilikalis dan diteruskan ke duktus venosus masuk kedalam hepar kemudian darah dari hepar ini masuk kedalam vena kava inferior terus ke dalam atrium kanan saat di atrium kanan darah kaya O2 ini diteruskan ke dalam atrium kiri melalui foramen ovale, selanjutnya ke dalam ventrikel kiri dan diteruskan ke aorta namun pada aorta sebagian besar darah ini di gunakan untuk mensuplai pambuluh koroner, ekstremitas atas dan kepala, serta sebagian kecilnnya lagi diteruskan ke aorta desendens. Darah dari otak dan ekstermitas atas ini dikembalikan ke vena kava superior kemudian ke dalam atrium kanan dan diteruskan lagi ke ventrikel kanan, karena tahanan paru-paru masih besar dan kapiler serta alveoli masih menutup maka darah dari truncus pulmonalis tertahan dan sebagian besar diteruskan melaui duktus arteriosus ke aorta descendens untuk bergabung dengan sisa darah dari ventrikel kiri kemudian darah campuran ini diteruskan ke sistemik serta organ dalam bawah kemudian ke vena kava inferior dan sebagian besarnya lagi diteruskan ke dalam arteri umbilikalis dan ke placenta. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Sesaat setelah lahir dan inspirasi pertama pun dimulai, maka alveoli, kapiler paru mulai terbuka serta konstriksi dari truncus pulmonalis menghilang maka paru-paru mulai berfungsi untuk menukarkan gas dan tekanan dari atrium kanan mengecil disertai dengan di ikatnya placenta sehingga aliran darah placenta tidak ada lagi, dan darah dari paru-paru langsung masuk ke dalam atrium kiri, karena tekanan di atrim kiri kini lebih besar daripada tekanan di atrium kanan maka desakan pada sekat sehingga foramen ovale menutup dan darah dilanjutkan lagi ke ventrikel kanan dan kemudian sistemik dan kembali ke dalam atrium kiri karena palacenta telah diikat maka kadar prostaglandin dari placenta sudah tidak ada sehingga duktus venosus dan duktus arteriosus secara anatomi dan fisiologi menutup dan berubah menjadi ligamentum, dan terjadilah aliran darah normal orang dewasa. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
D. Elektrofisiologi Jantung
Aktivitas listrik jantung terjadi akibat aliran ion-ion natrium, kalium, dan kalsium (Na+, K+, dan Ca++) melewati membran sel jantung. Seperti semua sel dalam tubuh, natrium dan kalsium, terutama merupakan ion ekstrasel, dan kalium terutama merupakan ion intrasel. Perpindahan ion-ion ini membran sel jantung dikendalikan oleh berbagai hal, termasuk difusi pasif, sawar yang bergantung pada waktu dan voltase, serta pompa Na+, K+-ATPase. Hasil perpindahan ion antarmembran merupakan suatu perbedaan listrik melewati membran sel sebagai potensial aksi. Potensial aksi yang menggambarkan muatan listrik bagian dalam sel dalam hubungannya dengan muatan listrik bagian luar sel disebut potensial transmembran. Perubahan potensial transmembran akibat perpindahan ion dsebutkan sebagai fase 0 hingga fase 4. Dua tipe utama potensial aksi merupakan potensial aksi respons cepat dan respons lambat. Dua tipe ini diklasifikasikan menurut penyebab depolarisasi primer, yaitu saluran Na+ cepat dan saluran Ca++ lambat. Potensial aksi respons cepat terdapat dalam sel-sel otot ventrikel dan atrium, serta serabut Purkinje. Potensial transmembran dalam sel ini saat istirahat adalah -90 mV, potensial transmembran saat istirahat (disebut sebagai RP, resting potential). Terdapat beberapa faktor yang mempertahankan potensial transmembran saat istirahat yang negatif. Faktor yang pertama adalah permeabilitas selektif membran sel terhadap kalium dibandingkan dengan ion natrium. Kalium dapat bergerak secara bebas bila terdapat perbedaan konsentrasi dengan bagian luar sel. Pada waktu yang sama, meskipun perbedaan konsentrasi dan listrik menyebabkan perpindahan natrium ke bagian dalam sel, permeabilitas sel membran menyebabkan hanya sejumlah kecil natrium yang dapat masuk ke dalam sel. Penyebab kedua potensial aksi transmembran yang negatif adalah pompa Na+, K+-ATPase. Pompa metabolik ini terletak dalam membran sel dan secara kontinu memompa natrium dan kalium apabila terdapat perbedaan konsentrasi. Natrium berpndah ke luar sel dan kalium ke dalam sel dalam rasio 3:2 sehingga memperkuat perbedan listrik melewati membran sel. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Rangsangan yang meningkatkan potensial transmembran menjadi -65 mV disebut juga potensial ambang, berperan dalam memulai depolarisasi. Diperlukan potensial transmembran -65 mV untuk mengaktivasi saluran Na+ cepat. Dengan terjadinya aktivasi, natrium tercurah ke dalam sel sesuai dengan perbedaan listrik dan konsentrasi. Perubahan positif cepat dalam potensial transmembran berhubungan dengan depolarisasi, atau fase 0 potensial aksi. Perubahan positif pada potensial transmembran menjadi 0 mV menyebabkan inaktivasi saluran Na+ menjadi menutup tetapi tidak terjadi sebelum voltase menurun ringan. Dalam pemeriksaan potensial aksi terlihat jelas adanya peningkatan tajam fase 0, yang memperlihatkan begitu cepatnya aktivasi saluran Na+ cepat. Amplitudo dan kecepatan fase 0 berkaitan dengan kecepatan ketika potensial aksi dihasilkan oleh sel-sel lain. Setelah depolarisasi, terjadi repolarisasi awal membran sel yang digambarkan oleh fase 1 potensial aksi. Fase 1 memperlihatkan kembalinya negativitas sebagai perpindahan kalium ke luar sel sesuai dengan perbedaan listrik dan kimiawi. Perpindahan listrik tidak hanya berlangsung dalam waktu pendek hingga saluran Ca++ lambat bergantung voltase sempat terbuka. Saluran ini disebut saluran Ca++ lambat karena walaupun teraktivasi selama fase 0 (apabila potensial transmembran mencapai sekitar -10 mV), perpindahan kalsium ke dalam sel tidak terjadi jelas hingga fase 2. Selama fase 2, terjadi suatu plateau dalam potensial transmembran karena kalsium berpindah ke dalam sel dan menetralkan secara listrik perpindahan kalium ke luar sel. Plateau berlangsung dalam waktu relatif lama karena saluran Ca++ lambat membuka dan lambat menutup. Kalsium memasuki sel jantung pada periode ini juga terlibat dalam kontraksi jantung (gabungan eksitasi-kontraksi). Begitu saluran Ca++ menutup, K+ terus berpindah ke luar sel. Aksi ini menyebabkan kembalinya negativitas potensial transmembran (pada fase 3), yang disebut juga sebagai repolarisasi akhir. Potensial transmembran terus menurun hingga tercapai potensial saat isitrahat (-90 mV), yang disebut sebagi fase 4. Periode refrakter, sejak awitan fase 0 hingga pertengahan fase 3, sel jantung tidak dapat distimulasi ulang. Periode ini disebut sebagai periode refrakter absolut atau efektif. Pada periode ini, saluran Na+ cepat diinaktivasi dan tidak dapat diaktifkan ulang walaupun diberstimulasi kuat. Menuju pertengahan fase 3 dan tepat sebelum fase 4, stimulus yang lebih kuat daripada stimulus normal akan menyebabkan terbentuknya potensial aksi karena saluran Na+ cepat mulai pulih dari inaktivasi. Periode ini disebut juga sebagai periode refrakter relatif. Setelah tercapai fase 4, setiap stimulus yang mampu mencapai ambang dapat menghasilkan suatu potensial aksi (fenomena all or nothing). (Guyton dan Hall, 2007)
Nodus SA maupun AV memperlihatkan potensial aksi respons lambat. Sel-sel nodus ini memiliki lebih sedikit saluran K+ dan lebih bocor terhadap Na+. Oleh karena itu potensial transmembran saat istirahat tidak begitu negatif (-60 mV). Pada potensial transmembran ini, saluran Na+ cepat yang bergantung voltase tetap tidak teraktivasi. Selain keadaan ini, saluran lain dalam membran sel secara herediter mengalami kebocoran terhadap natrium menyebabkan sejumlah natrium bocor ke dalam sel. Potensial membran akhirnya mencapai -40 mV yang merupakan potensial ambang dalam respons lambat. Saluran Ca++ respons lambat yang bergantung voltase menjadi teraktivasi dan influks kalsium menyebabkan depolarisasi sel. Bentuk potensial aksi respons lambat berbeda dari yang terdapat pada potensial aksi repons cepat. Depolarisasi (atau fase 0) terjadi lebih lambat pada sel-sel yang berespons lambat. Tidak terjadi fase 1, fase 2 tidak jauh dari fase 3, dan fase 3 timbul segera setelah fase 0 karena saluran Ca++ lambat menjadi tidak teraktivasi. Pada waktu bersamaan sejumlah besar kalium berpindah ke luar sel, menyebabkan potensial membran saat istirahat kembali menjadi -55 hingga -60 mV (fase 4), yaitu titik ketika saluran K+ menjadi kurang permeabel terhadap kalium. Kemudian natrium terus bocor ke dalam sel, menyebabkan meningkatnya potensial transmembran hingga -40 mV, dan siklus ini akan dimulai lagi. (DeBeasi, 2007)
Serabut sistem hantaran khusus jantung (nodus SA, nodus AV, dan serabut Purkinje) memiliki ciri khas automatisasi, yang berarti bahwa serabut ini dapat mengeksitasi diri sendiri, atau menghasilkan potensial aksi secara spontan. Nodus SA adalah pace maker dominan pada jantung karena mampu mengeksitasi diri sendiri dengan laju lebih cepat daripada nodus AV dan serabut Purkinje. Namun demikian, apabila nodus SA mengalami cedera, nodus AV dan serabut Purkinje kemudian dapat mengambil alih peran pace maker tersebut tetapi dengan laju yang lebih perlahan. Perpindahan ion selama fase 4 menentukan automatisasi nodus SA dan nodus AV. Terjadi depolarisasi lambat pada fase 4 karena natrium berpindah ke dalam sel, yang secara relatif juga terjadi pada kalium. Perpindahan ini meningkatkan potensial transmembran ke nilai ambang, dan kemudian timbul suatu potensial aksi. Potensial aksi ini timbul secara berulang dalam suatu pola siklik teratur yang menunjukkan karakteristik lain dari kerja nodus SA dan nodus AV, sering disebut sebagai ritmisitas. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
E. Curah Jantung dan Sistem Nutrisi Jantung
Kontraksi miokardium yang berirama dan sinkron menyebabkan darah dipompa masuk ke dalam sirkulasi paru dan sistemik. Volume darah yang dipompa oleh tiap ventrikel per menit disebut dengan curah jantung. Curah jantung rata-rata adalah 5L/menit. Namun demikian, curah jantung bervariasi untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi bagian jaringan perifer. Kebutuhan curah jantung bervariasi sesuai ukuran tubuh sehingga indikator yang lebih akurat untuk fungsi jantung adalah indeks jantung (cardiac index). Indeks jantung diperoleh dengan membagi curah jantung dengan luas permukaan tubuh, yaitu sekitar 3 L/menit/m2 permukaan tubuh. Volume sekuncup adalah volume darah yang dipompa oleh setiap ventrikel per detik. Sekitar dua per tiga dari volume darah dalam ventrikel pada akhir diastolik (volume akhir diastolik) dikeluarkan selama sistolik. Jumlah darah yang dikeluarkan disebut fraksi ejeksi, sedangkan volume darah yag tersisa di dalam ventrikel pada akhir sistolik disebut sebagai volume akhir sistolik. Penekanan fungsi ventrikel menghambat pengosongna ventrikel sehingga mengurangi volume sekuncup dan fraksi ejeksi, yang berakibat pada peningkatan volume sisa pada ventrikel. Curah jantung tergantung dari hubungan yang terdapat antara dua buah variabel: frekuensi jantung dan volume sekuncup. Curah jantung adalah frekuensi jantung dikalikan dengan volume sekuncup. Meskipun terjadi perubahan pada salah satu variabel, curah jantung dapat tetap dipertahankan konstan melalui penyesuaian kompensatorik dalam variabel lainnya. Misalnya, bila denyut jantung melambat, maka periode relaksasi vebtrikel di antra denyut jantung lebih lama sehingga meningkatkan waktu pengisian ventrikel. Dengan sendirinya volume ventrikel menjadi lebih besar dan darah yang dapat dikeluarkan per denyut nadi menjadi lebih banyak. Sebaliknya, jika volume sekuncup menurun maka curah jantung dapat distabilkan dengan meningkatkan kecepatan denyut jantung. Namun, penyesuaian kompensasi ini hanya dapat mempertahankan curah jantung dalam batas-batas tertentu. Perubahan dan stabilisasi curah jantung bergantung pada mekanisme yang mengatur kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup. Pengaturan ini akan dilakukan oleh komponen-komponen tertentu. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Frrkuensi jantung sebagian besar berada di bawah pengaturan ekstrinsik sistem saraf autonom, yang mana serabut saraf parasimpatis dan simpatis mempersarafi nodus SA dan AV, mempengaruhi kecepatan dan frekuensi penghantaran impuls. Stimulasi serabut saraf simpatis akan mempercepat denyut jantung. Pada saat jantung normal dalam keadaan istirahat, maka pengaruh sistem parasimpatis akan dominan dalam mempertahankan kecepatan denyut jantung sekitar 60 hingga 80 denyut per menit. Apabila dipengaruhi oleh hormonal dan saraf pada jantung dihambat, kecepatan intrinsiknya menjadi sekitar 100 denyut per menit (DeBeasi, 2007)
Untuk pengaturan volume sekuncup, diatur oleh preload (beban awal), afterload (beban akhir), dan kontraktilitas jantung. Beban awal (preload) adalah derajat peregangan serabut miokardium segera sebelum kontraksi. Peregangan serabut miokardium bergantung pada volume darah yang meregangkan ventrikel pada akhir diastolik. Aliran balik darah vena ke jantung menentukan volume akhir diastolik ventrikel, yang kemudian memperkuat peregangan serabut miokardium. Mekanisme Frank-Starling menyatakan bahwa dalam batas fisiologis, semakin besar peregangan serabut miokardium pada akhir diastolik, semakin besar kekuatan kontraksi pada saat sistolik. Peragangan serabut miokardium pada akhir diastolik menyebabkan tumpang tindih antara miofilamen aktin dan miosin, memperkuat hubungan jembatan penghubung pada saat sistolik. Jadi, bisa dikatakan bahwa pertambahan beban awal akan meningkatkan kekuatan kontraksi sampai batas tertentu dan dengan demikian juga akan meningkatkan volume darah yang dikeluarkan dari ventrikel. Beban akhir (after load) adalah tegangan serabut miokardium yang harus terbentuk untuk kontraksi dan pemompaan darah. Faktor-faktor yang mempengaruhi beban akhir jantung dapat dirumuskan sesuai dengan persamaan Laplace, yaitu tegangan dinding adalah hasil perkalian antara tekanan intraventrikel dan ukuran, yang kemudian dibagi dengan ketebalan dinding ventrikel. Dari rumus tersebut dapat dilihat suatu hubungan bahwa tegangan dinding akan berbanding lurus dengan tekanan intraventrikel dan ukuran ventrikel, sedangkan akan berbanding terbalik dengan ketebalan dinding ventrikel. Kontraktilitas adalah perubahan kekuatan kontraksi yang terbentuk yang terjadi tanpa tergantung pada perubahan panjang serabut miokardium. Peningkatan kontraktilitas merupakan hasil intensifikasi hubungan jembatan penghubung pada sarkomer. Kekuatan ini berkaitan dengan konsentrasi ion kalsium bebas intrasel. Kontraksi miokardium secara langsung sebanding dengan jumlah kalsium intrasel. Peningkatan frekuensi denyut jantung dapat meningkatkan kekuatan kontraksi. Apabila jantung berdenyut lebih sering, kalsium tertimbun dalam sel jantung, menyebabkan peningkatan kekuatan kontraksi. Stimulasi jantung melalui sistem saraf simpatis, pengikatan norepinefrin terhadap reseptor beta-1, membebaskan kalsium intrasel dan meningkatkan kekuatan kontraksi. Peningkatan kontraksi, tanpa memandang berbagai penyebabnya, akan meningkatkan volume sekuncup yang memperkuat curah jantung. Sebaliknya, penurunan kontraktilitas, seperti yang dapat terjadi pada infark miokardium, terapi penyekat beta, atau asidosis, akan menurunkan volume sekuncup dan mempengaruhi curah jantung. Sekali lagi, volume sekuncup dipengaruhi oleh 3 hal tersebut dan masing-masing saling mempengaruhi serta tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Misalnya, peningkatan beban akhir dapat menyebabkan lebih sedikitnya darah yang dipompa dari jantung pada saat sistolik. Volume darah yang tetap terdapat dalam jantung setelah sistolik berperan dalam beban awal kontraksi jantung berikutnya. Sesuai dengan mekanisme Frank-Starling, peningkatan beban awal meregangkan serabut miokardium sehingga kontraksi menjadi lebih kuat. Peningkatan kekuatan kontraksi (dalam hal kontraktilitas) yang meningkatkan volume sekuncup tercapai dalam denyutan berikutnya. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Untuk sistem nutrisi jantung dilakukan oleh sistem koroner dan sistem kolateral. Efisiensi jantung sebagai pompa bergantung pada nutrisi dan oksigenasi otot jantung terutama melalui sirkulasi koroner. Sirkulasi koroner meliputi seluruh pemurkaan epikardium jantung, membawa oksigen dan nutrisi ke miokardium melalui cabang-cabang intramiokardial yang kecil-kecil. Arteria koronaria sendiri adalah percabangan pertama sirkulasi sistemik. Muara arteria koronaria ini terdapat di balik daun katup aorta kanan dan kiridi dalam sinus valsava. Sirkulasi koroner terdiri dari arteria koronaria kanan dan kiri. Arteria koronaria kiri mempunyai dua cabang besar, yaitu arteria descendens anterior kiri dan arteria sirkumfleksa kiri. Arteria descendens anterior kiri memvaskularisasi dinding anterior ventrikel kiri, sedangkan arteria sirkumfleksa kiri memvaskularisasi dinding lateral ventrikel kiri. Arteria koronaria kanan memvaskularisasi ventrikel dan atrium kanan. Sebesar 85%, arteria koronaria kanan mempercabangkan cabang arteria descendens posterior dan ventrikular kanan posterior. Pembuluh darah ini memvaskularisasi dinding posterior dan inferior ventrikel kiri, secara beurutan. Sistem ini disebut dengan sistem dominan kanan. Dan 15% sisanya, separuhnya memiliki sistem dominan kiri atau dominan campuran. Pada orang yang memiliki sistem dominan kiri, arteria sirkumfleksa kiri mempercabangkan arteria descendens posterior dan ventrikular kiri posterior. Pada sistem dominan campuran, arteria koronaria kanan mempercabangkan arteria descendens posterior dan arteria sirkumfleksa kiri mempercabangkan ventrikular kiri posterior. Setiap pembuluh darah koroner besar memiliki cabang epikardium dan intramiokardium yang khas. Arteria descendens anterior kiri mempercabangkan cabang-cabang septal yang memvaskularisasi dua per tiga anterior septum dan cabang diagonal yang berjalan di atas permukaan anterolateral ventrikel kiri. Cabang marginal arteria sirkumfleksa kiri memvaskularisasi permukaan lateral ventrikel kiri. Daerah sistem hantaran juga disuplai oleh arteria koronaria yang berbeda. Sekitar 60% nodus SA disuplai oleh arteria koronaria kanan dan 40% sisanya oleh arteria sirkumfleksa kiri. Sedangkan 90% nodus AV disuplai oleh arteria koronaria kanan dan 10% sisanya oleh arteria sirkumfleksa kiri. Berkas cabang kanan dan bagian posterior berkas cabang kiri oleh arteria descendens anterior kiri dan arteria korornaria kanan. Bagian anterior berkas cabang kiri menerima nutrisi dari cabang septum arteria descendens anterior kiri. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Terdapat anastomosis antara cabang arteria yang sangat kecil dalam sirkulasi koronaria. Walaupun saluran antarkoroner tidak berfungsi dalam sirkulasi normal, tetapi menjadi sangat penting sebagai rute alternatif atau sirkulasi kolateral untuk mendukung miokardium melalui aliran darah. Setelah terjadi oklusi mendadak, sistem ini akan berfungsi dalam beberapa hari atau lebih dari itu. Jadi sistem kolateral ini sering berperan penting dalam mempertahankan fungsi miokardium saat terdapat oklusi pembuluh darah. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
Tiga pembagian sistem vena jantung meliputi sinus koronarius, vena koronaria anterior, dan vena thebesia. Sinus koronarius dan cabang-cabangnya merupakan sistem vena yang terbesar dan terpenting, berfungsi mengalirkan sebagian besar darah vena melalui ostium sinus koronarius dan ke dalam atrium kanan. Vena-vena jantung anterior mengalirkan sebagian besar darah vena ventrikel kanan secara langsung ke dalam atrium kanan. Vena thebesia mengalirkan sebagian kecil darah vena dari semua daerah miokardium secara langsung ke dalam bilik jantung. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
F. Aliran Darah ke Perifer
Dinamika aliran darah perifer mungkin merupakan unsur fisiologi sirkulasi yang paling penting karena 2 alasan. Pertama, distribusi dari curah jantung di perifer bergantung pada sifat jaringan vaskular. Kedua, volume curah jantung bergantung pada jumlah darah yang kembali menuju jantung. Sesungguhnya, jantung mengeluarkan volume darah yang sebanding dengan aliran balik melalui pembuluh vena. Aliran darah melalui pembuluh darah bergantung pada dua variabel yang saling berlawanan, yaitu tekanan antara kedua ujung pembuluh darah dan resistensi terhadap aliran darah. Hal ini dijelaskan melalui hukum Ohm, yaitu: , di mana Q adalah aliran darah, ∆P adalah perbedaan tekanan, dan R adalah resistensi aliran. Aliran darah akan berbanding lurus dengan perbedaan tekanan, dan akan berbanding terbalik dengan resistensi aliran. Dan semua aliran darah dalam sirkulasi bisa juga dikatakan sebagai curah jantung. Darah mengalir melalui seluruh sirkulasi dari arteri ke ujung pembuluh vena sebagai respons terhadap perbedaan tekanan. Perbedaan tekanan ditentukan melalui tekanan darah arteri rata-rata (mean arterial pressure, MAP) dan tekanan atrium kanan (right atrial pressure, RAP) atau tekanan vena sentral (central venous pressure, CVP). MAP adalah tekanan yang terbentuk dalam pembuluh arteri besar sepanjang waktu dan merupakan cerminan komplians dan volume darah rata-rata dalam sistem arteri. RAP bergantung pada keseimbangan antara aliran balik vena dan fungsi pemompaan atrium kanan. MAP normalnya adalah 100 mmHg dan dapat diperkirakan dari tekanan daah sistolik (SBP, systolic blood pressure) dan diastolik (DBP, diastolic blood pressure). Rumus yang digunakan adalah:
MAP = (SBP + 2 x DBP) : 3
MAP = DBP + [(SBP-DBP) : 3]
RAP akan mendekati 0 mmHg. Perbedaan tekanan antara ujung arteri dan vena sirkulasi sistemik adalah sekitar 100 mmHg (hasil dari MAP dikurangi RAP). Perubahan MAP atau RAP mempengaruhi aliran darah melalui perubahan perbedaan tekanan antara kedua titik ini, dan semakin besar perbedaan tekanan, maka akan semakin besar aliran darah. (DeBeasi, 2007)
Resistensi merupakan obstruksi aliran darah. Resistensi berkaitan erat dan berbanding terbalik dengan ukuran lumen pembuluh darah, sedikit perubahan lumen pembuluh darah menyebabkan perubahan besar dalam resistensi. Aliran darah sangat sensitif terhadap perubahan ukuran lumen pembuluh darah dalam hukum Poiseuille:
Radius pembuluh darah yang dipangkatkan 4 (r4) mempengaruhi aliran darah, sedikit perubahan radius menyebabkan perubahan besar dalam aliran darah: R ≈ 1 : r4. Arteriol merupakan tempat utama terjadinya resistensi pembuluh darah. Perubahan tonus otot polos arteriol di bawah pengaruh sistem saraf dan kondisi jaringan lokal, mengatur radius pembuluh darah. Perubahan radius arteriol mengubah resistensi terhadap aliran darah, dan akhirnya akan mengubah jumlah aliran darah ke jaringan kapiler. Faktor lain yang dapat mempengaruhi resistensi dan aliran darah adalah panjang pembuluh darah (l)dan viskositas darah (η). Namun demikian pengaruhnya secara normal tidak bermakna karena biasanya bersifat konstan. Pengecualian terhadap karakteristik ini adalah perubahan viskositas darah yang terjadi pada hematokrit yang abnormal. Dari sekian rumus mengenai aliran darah, hanya resistensi lah yang tidak dapat diukur secaa langsung. Rumus untuk menghitung resistensi (SVR, systemic vascular resistance), adalah:
CO adalah curah jantung atau cardiac output. (DeBeasi, 2007)
Kecepatan (V) aliran darah (Q) sepanjang sistem pembuluh darah bergantung pada luas penampang pembuluh darah (A), yang dirumuskan:
Dengan mengalirnya darah ke sistem ateri perifer, kecepatan juga menurun karena percabangan yang progresif dan relatif meningkat pada luas penampang percabangan pembuluh darah. Pada tingkat kapiler, peningkatan yang besar terjadi pada luas penampang pembuluh sehingga menurunkan kecepatan aliran darah. Perlambatan ini memungkinkan pertukaran makanan dan metabolit pada kapiler. Aliran darah didistribusi pada banyak sistem organ sesuai dengan kebutuhan metabolisme dan tuntutan fungsional jaringan. Kebutuhan jaringan terus menerus mengalami perubahan sehingga aliran darah harus terus menerus disesuaikan juga. Dengan meningkatnya metabolisme jaringan, maka aliran darah harus ditingkatkan untuk memasok oksigen dan nutrisi serta untuk membuang hasil akhir metabolisme. Misalnya, selama latihan yang cukup berat maka aliran darah menuju otot rangka harus ditingkatkan. Pengaturan ini dilakukan secara ekstrinsik dan intrinsik. Pengaturan ekstrinsik untuk meningkatkan aliran darah ke organ sasaran dilakukan dengan memperbesar curah jantung atau dengan memindahkan darah dari suatu sistem organ yang relatif tidak aktif ke sistem organ lain yang lebih aktif. Aktivitas sistem saraf simpatis dapat menghasilkan kedua respons tersebut. Pertama, rangasangan simpatis akan meningkatkan curah jantung melalui peningkatan frekuensi denyut jantung dan kekuatan kontraksi. Kedua, sistem saraf simpatis adrenergik juga akan meluas sampai jaringan pembuluh darah perifer, terutama rteriol. Perubahan perangsangan simpatis ini secara selektif akan merangsang reseptor alfa dan beta, menyempitkan beberapa arteriole tertentu dan akan melebarkan yang lain untuk redistribusi darah ke kapiler jaringan yang membutuhkan. Setiap kapiler memiliki cadangan yang cukup untuk aliran yang meningkat, karena biasanya hanya sebagian kapiler saja yang diperfusi. Aliran dapat ditingkatkan dengan membuka kapiler yang tidak mendapat perfusi dan dilatasi lebih lanjut pada arteriol yang mendapat perfusi. Pengaturan intrinsik aliran darah yaitu perubahan aliran darah sebagai respons terhadap perubahan keadaan jaringan lokal, pengaturan ini sangat berperan penting dalam jaringan yang memiliki keterbatasan toleransi untuk penurunan aliran darah, misalnya jantung atau otak. Kadar oksigen dan nutrisi lain merupakan indikator penting dalam kecukupan aliran darah. Mekanisme pengaturan intrinsik ini menyebabkan penurunan ketersediaan oksigen dan nutrisi (karena penurunan suplai atau peningkatan kebutuhan), hal ini diatasi dengan meningkatkan aliran darah ke jaringan. Ada dua teori yang menjelaskan bahwa perubahan aliran ini berkaitan dengna kebutuhan oksigen dan nutrisi. Pertama, teori vasodilator, menyatakan bahwa jika metabolisme ditingkatkan atau bila hantaran nutrisi menurun, terjadi peningkatan penghasilan zat-zat vasodilator oleh jaringan yang bersangkutan. Vasodilator bisa berupa adenosin, karbondioksida, ion K+, dan hidrogen. Kedua, teori kurang nutrisi atau oksigen, menyatakan bahwa nutrisi berperan penting dalam mempertahankan tonus pembuluh darah yang dihasilkan oleh kontraksi sel otot polos. Bila kekurangan nutrisi (baik karena metabolisme yang meningkat, atau hantaran nutrisi yang berkurang), sel-sel otot polos tidak mampu berkontraksi. Hal ini biasanya akan menyebabkan vasodilatasi. Dan masih kemungkinan, bahwa kedua teori tersebut tidak bekerja sendiri-sendiri, teori-teori tersebut saling mempengaruhi dalam bekerja bersama. (DeBeasi, 2007)
G. Cadangan Jantung
Dalam keadaan normal, jantung mampu meningkatkan kapasitas pompanya di atas daya pompa dalam keadaan istirahat. Cadangan jantung ini memungkinkan jantung normal meningkatkab=n curahnya hingga lima kali lebih banyak. Peningkatan curah jantung dapat terjadi dengan meningkatkan frekuensinya dan volume sekuncup. Frekuensi denyut jantung biasanya dapat ditingkatkan dari 60 hingga 100 denyut per menit pada keadaan istirahat hingga mencapai 180 denyut per menit, terutama melalui rangsangan simpatis. Frekuensi denyut jantung yang lebih dari ini sangat berbahaya karena 2 alasan. Alasa yang pertama adalah dengan peningkatan frekuensi, maka fase diastolik menjadi lebih singkat sehingga waktu pengisian ventrikel jantung berkurang. Dengan demikian volume sekuncup akan berkurang sehingga tidak bisa lagi meningkatkan frekuensi jantung. Alasan yang kedua adalah frekuensi denyut jantung yang tinggi dapat mempengaruhi proses oksigenasi miokardium karena kerja jantung meningkat sedangkan fase diastolik (yaitu saat-saat pengisian pembuluh darah koroner) menjadi berkurang. Volume sekuncup dapat bertambah melalui peningkatan pengosongan ventrikel akibat kontraksi yang lebih kuat maupun melalui peningkatan pengisian diastolik yang diikuti dengan peningkatan volume pemompaan. Namun, peningkatan kekuatan kontraksi maupun peningkatan volume ventrikel akan memperbesar kerja jantung dan meningkatkan kebutuhan oksigen. Selain itu pengaruh peningkatan pengisian diastolik terhadap daya kontraksi dan volume sekuncup dibatasi oleh derajat peregangan serabut miokardium. (DeBeasi, 2007)
Apabila jantung terus menerus dihadapkan dengan beban volume atau tekanan yang berlebihan, maka otot ventrikel dapat berdilatasi untuk meningkatkan daya kontraksi sesuai hukum Starling, atau mengalami hipertrofi untuk meningkatkan jumlah otot dan kekuatan memompa. Walaupun dua proses tersebut tadi merupakan suatu kompensasi ilmiah tetapi akhirnya dalam waktu yang lama akan menimbulkan dekompensasi jantung. Dilatasi meningkatkan kerja jantung dengan meningkatkan tegangan yang harus dibangun oleh ventrikrl untuk menghasilkan tekanan tertentu sesuai hukum Laplace. Dengan meningkatnya tekanan diastolik ventrikel, kemampuan sarkomer untuk beradaptasi dapat terlampaui dan kekuatan kontraksi menjadi berkurang. Padahal keadan hipertrofi meningkatkan massa otot yang membutuhkan suplai nutrisi sehingga meningkatkan kebutuhan oksigen. (DeBeasi, 2007)
H. Bunyi Jantung
Auskultasi dada memungkinkan pengenalan bunyi jantung normal, bunyi jantung abnormal, bising, dan bunyi-bunyi ekstrakardia. Bunyi jantung normal timbul akibat getaran volume darah dan bilik-bilik jantung pada penutupan katup. Bunnyi jantung pertama berkaitan dengan penutupan katup atrioventrikularis (AV), sedangkan bunyi jantung kedua berkaitan dengan penutupan katup semilunaris. Oleh karena itu bunyi jantung pertama (S1) terdengar pada sistole ventrikel, pada saaat ini tekanan intraventrikel akan meningkat lebih tinggi dibanding tekanan intratrial dan akan menutup katup mitralis dan trikuspidalis. Pada kasus stenosis mitralis akan terdengar bunyi S1 yang abnormal dan lebih keras akibat kekakuan daun-daun katup. Bunyi jantung kedua (S2) akan terdengar pada permulaan relaksasi ventrikel karena tekanan intraventrikel turun sampai di bawah tekanan arteria pulmonalis dan aorta sehingga katup katup semilunaris akan tertutup. Biasanya ejeksi ventrikel kanan sedikit lebih lama daripada ventrikel kiri sehingga katup akan menutup secara asinkron. Katup aorta akan menutup sebelum tertutupnya katup pulmonalis sehingga keadaan ini akan menimbulkan pemisahan (splitting) bunyi penutupan fisiologis. Inspirasi akan memperbesar splitting fisiolois karena pengembalian darah melalui pembuluh vena ke jantung kenan meningkat sehingga julah darah yang dkeluarkan dari ventrikel kanan juga akan meningkat. Pada waktu ekspirasi, splitting tidak begitu jelas atau hilang sama sekali. Ada lagi bentuk splitting (spiltting paradoksikal) yang abnormal menunjukkan penutupan katup pulmonalis sebelum penutupan katup aorta. Dijumpai respons yang berlawanan terhadap pernapasan, yaitu splitting yang paling jelas saat ekspirasi dan berkurang saat inspirasi. Splitting paradoksikal seperti ini ditemukan pada paradoksikal seperti ini ditemukan pada waktu pengaktifan ventrikel kiri mengalami hambatan (seperti pada blok berkas cabang kiri) atau pada ejeksi ventrikel kiri yang memanjang (seperti pada stenosis aorta). (DeBeasi, 2007)
Terdapat dua bunyi jantung lain yang kadang-kadang dapat terdengar selama diastolik ventrikel. Bunyi jantung ketiga dan keempat (S3, S4) dapat menjadi manifestasi fisiologis tetapi biasanya berkaitan dengan penyakit jantung tertentu, adanya tampilan S3 dan S4 disebut sebagai irama gallop. Hal ini dikarenakan bahwa adanya tambahan bunyi jantung lain tersebut merangsang timbulnya irama gallop seperti derap lari kuda. Bunyi S3 terjadi selama periode pengisian ventrikel cepat sehingga disebut sebagai gallop ventrikular apabila abnormal. Walaupun bunyi jantung ini dapat normal pada anak dan dewasa muda tetapi biasanya merupakan suatu temuan patologis yang dihasilkan oleh disfungsi jantung, terutama kegagalan ventrikel. Bunyi S4 timbul pada waktu sistolik atrium dan disebut sebagai gallop atrium. Bunyi ini biasanya sangat pelan atau tidak terdengar sama sekali, bunyi ini akan timbul sesaat sebelum bunyintung pertama. Gallop atrium terdengar bila resistensi ventrikel terhadap pengisian atrium meningkat akibat berkurangnya peregangan dinding ventrikel atau peningkatan volume ventrikel. (DeBeasi, 2007)
Bising jantung timbul akibat aliran turbulen dalam bilik dan pembuluh darah jantung. Aliran turbulen ini terjadi bila melalui struktur yang abnormal (penyempitan lubang katup, insufisiensi katup, atau dilatasi segmen arteri), atau akibat aliran darah yang cepat sekali melalui struktur yang normal. Bising jantung bisa dijelaskan menurut waktu relatifnya terhadap siklus jantung, intensitasnya, dan lokasi atau daerah tempat bunyi itu terdengar paing keras, dan sifat-sifatnya. Bising diastolik terjadi sesudah bunyi S2 saat relaksasi ventrikel. Bising stenosis mitralis dan insufisiensi aorta terjadi selama diastolik. Bising sistolik dianggap sebagai bising ejeksi, yaitu bising yang terjadi selama middiastolik sesudah fase awal kontraksi isovolumetrik atau bisa juga dianggap sebagai bising insufisiensi yang terjadi pada seluruh sistolik. Bising yang terjadi pada seluruh sistolik disebut sebagai pansistolik atau holosistolik. Bising stenosis aorta merupakan bising ejeksi yang khas, sedangkan insufisiensi mitralis akan menghasilkan bising pansistolik. (O’Rourke dan Braunwald, 2007)
Dan ada juga bising identifikasi dan deskiripsi bunyi-bunyi ekstrakardia juag penting dilakukan. Biasanya, pembukaan katup tidak menimbulkan bunyi tetapi pada daun katup yang menebal dan kaku pada stenosis mitralis, timbul bunyi yang dapat didengar dan disebut sebagai opening snap, bunyi ini terjadi pada awal diastolik. Sedangkan inflamasi perikardium akan menyebabkan friction rub yang terdengar seperti bunyi gesekan. (O’Rourke dan Braunwald, 2007)

3. DISKUSI DAN BAHASAN
Dalam bagian ini akan dibahas lebih lanjut mengenai hasil bising jantung dan beberapa penyakit pada sistem kardiovaskular yang merupakan penyakit kongenital atau bawaan dan penyakit kariovaskular yang berupa penyakit valvular. Sudah dijelaskan sedikit mengenai bunyi jantung dan bising jantung pada bagian sebelumnya. Pada bagian ini akan dibahas lebih detail mengenai bising sistolik dan bising diastolik.
Bising holosistolik (pansistolik) terjadi jika ada aliran antara kedua bilik jantung yang mempunyai perbedaan tekanan yang sangat besar selama sistolik, seperti ventrikel kiri dengan atrium kiri atau ventrikel kanan. Perbedaan tekanan terjadi sejak awal kontraksi dan berakhir ketika relaksasi hampir lengkap. Karena itu, bising holosistolik dimulai sebelum ejeksi aorta pada daerah intensitas maksismal, dimulai dari S1 dan berakhir setelah S2. Bising sistolik menyertai regurgitasi mitral atau trikuspid, defek septum ventrikel dan pada beberapa keadaan tertentu pintasan aorta-paru. Meskipun bising nada tinggi yang khas pada regurgitasi mitral biasanya berlanjut selama sistolik, bentuk bising juga bisa bermacam-macam. Bising holosistolik pada regurgitasi mitral dan defek septum ventrikel diperkuat oleh latihan singkat dan berkurang dengan menurunkan tekanan sistolik ventrikel kiri dengan inhalasi amil nitrit. Bising pada regurgitasi trikuspid disertai dengan hipertensi paru bersifat holosistolik dan seringkali meningkat selama inspirasi. Namun, tidak semua pasien dengan regurgitasi mitral atau trikuspid atau defek septum ventrikel mengalami bising holosistolik.
Bising midsistolik, disebut juga bisisng ejeksi sistolik, seringkali dalam bentuk kresendo-dekresendo, muncul ketika darah dipompa keluar melalui sistem aliran keluar aorta atau paru. Bising mulai segera setelah S1 ketika tekanan ventrikel meningkat sehingga cukup untuk membuka katup semilunaris. Ejeksi selanjutnya mulai dan bersamaan itu timbul bising; ketika ejaksi meningkat, nising bertambah, dan ketika ejaksi menurun, bising berkurang. Akhir bising sebelum tekanan ventrikel menurun cukup menungkinkan tertutupnya katup aorta atau paru (pulmonal). Pada keadaan katup semilunar normal, peningkatan kecepatan aliran, seperti yang terjadi pada keadaan curah jantung yang meningkat, ejeksi ke dalam pembuluh darah yang lebar setelah katup atau peningkatan penghantaran bunyi melalui dinding dada yang tipis, dapat menyebabkan terjadinya bising ini. Bising fungsional yang paling ringan, adalah bising midsistolik yang berasal dari sistem aliran keluar paru. Obstruksi valvuler atau subvalvuler pada ventrikel maupun juga dapat menyebabkan bising midsistolik ini, intensitasnya berhubungan dengan aliran darah. Bising pada stenosis aorta merupakan prototipe bising midsistolik di sisi kiri. Lokasi dan penyebaran bising ini dipengaruhi oleh arah pancaran berkecepatan tinggi dalam pangkal aorta. Pada stenosis katup aorta (valvular), bising biasanya paling kuat pada sela iga kedua kanan, dengan penyebaran ke leher. Pada stenosis aorta supravalvular bising kadang paling keras bahkan lebih tinggi nadanya, dengan penyebaran yang tidak sebanding dengan arteri karotis kanan. Pada kardiomiopati hipertrofik, bising midsistolik berasal dari ruangan ventrikel kiri dan biasanya palingmkuat pada tepi kiri bawah sternum dan apeks, dengan relatif sedikit penyebaran ke karotikus. Jika katup aorta tidak dapat bergerak (mengapur), bunyi penutupan aorta (A2) dapat lembut dan tidak terdengar sehingga lama dan bentuk bising sulit ditentukan. Bising midsistolik juga terjadi pada pasien dengan regurgitasi mitral atau yang lebih jarang, pada regurgitasi trikuspid akibat disfungsi otot papiler jantung. Bising seperti ini yang disebabkan oleh regurgitasi mitral seringkali dikacaukan dengan bising yang berasal dari aort, terutama pada pasien usia lanjut. Umur pasien dan daerah dengan intensitas bising maksimal akan membantu menentukan makna bising midsistolik. Karena itu, pada orang dewasa muda dengan dinding dada yang tipis dan kecepatan aliran darah yang tinggi, bising midsistolik yang samar-samar atau sedang yang hanya terdengar di daerah paru biasanya tidak mempunyai makna klinis, sedamgkan bising yang agak kuat di daerah aorta dapat menunjukkan stenosis aorta kongenital. Pada pasien klanjut usia, jarang ditemukan bising aliran paru, sedangkan bising sistolik aorta sering dan dapat disebabkan oleh pelebaran aorta, derajat tertentu stenosis aorta valvular yang bermakna atau karena deformitas nonstenosis katup aorta. Bising midsistolik paru dan aorta diperkuat dengna inhalasi amil nitrit dan selama siklus jantung setelah denyut ventrikel prematur, sedangkan bising karena regurgitasi mitral tidak berubah atau lebih lembut. Bising sistolik aorta berkurang dengan tindakan yang meningkatkan hambatan aorta, seperti fenilefrin intravena. Ekokardiografi atau kateterisasi jantung mungkin perlu untuk membedakan bising fungsional yang berlebihan dengan bising karena stenosis katup semilunar kongenital.
Bising sistolik dini mulai dengan bunyi jantung pertama dan berakhir dengan midsistolik. Bising ini dapat disebabkan oleh defek septum ventrikel yang sangat kecil, defek yang besar disertai hipertensi paru atau regurgitasi berat mitral atau trikuspid akut. Pada defek septum ventrikel besar dengan hipertensi paru, pintasan pada akhir sistolik dapat kecil atau tidak ada, menyebabkan terjadinya bising sistolik dini. Bising sejenis dapat terjadi pada defek spetum ventrikel yang sangat kecil, pintasan terganggu pada akhir sistolik. Bising sistolik dini merupkan ciri-ciri regurgitasi trikuspid yang terjadi tanpa hipertensi paru.
Bising sistolik lanjut adalah bising yang halus atau agak kuat pada apeks, dengan nada tinggi, yang dimulai segera setelah ejeksi dan tidak menutupi bunyi jantung apapun. Bising ini mungkin berhubungan dengan disfungsi otot papiler karena infark atau iskemi atau karena distorsi otot akibat pelebaran ventrikel kiri. Bising ini hanya muncul selama terjadi angina tetapi umum terdengar pada pasien dengan infark miokard atau penyakit miokard difus. Bising sistolik lanjut yang mengikuti klik middiastolik berhubungan dengan regurgitasi mitral sistolik lanjut yang disebabkan oleh prolaps katup mitral ke dalam atrium kiri.
Bising diastolik dini mulai dengan atau segera setelah S2 begitu tekanan ventrikel yang berkaitan cukup turun sampai di bawah tekanan aorta atau arteri pulmonalis. Bising nada tinggi pada regurgitasi aorta atau paru karena hipertensi paru biasanya dekresendo karena terdapat penurunan progresif volume atau kecepatan regurgitasi selama diastolik. Bising nada tinggi yang terdengar samar pada regurgitasi aorta sulit didengar keculai khusus dicari dengan menekan cukup kuat bagian diafragma stetoskop pada batas midsternal kiri ketika pasien duduk, bersandar tegak dan menahan napas setelah ekspirasi penuh. Bising diastolik pada regurgitasi aorta meningkat dengan elevasi akut dari tekanan arterial seperti yang terjadi pada latihan genggam tangan; bising ini berkurang dengan menurunnya tekanan arterial dengan inhalasi amil nitrit. Bising diastolik pada regurgitasi pulmonal kongenital tanpa hipertensi paru adalah nada rendah sampai sedang. Mulainya bising ini terlambat karena pada mulainya penutupan katup paru aliran regurgitasi adalah minimal karena perbedaan tekanan yang berlawanan betanggung jawab terhadap regurgitasi pada saat ini tidak berarti.
Bising middiastolik, biasanya berasal dari katup AV, terjadi selama pengisian terjadi selama pengisian ventrikel dini dan disebabkan oleh disproporsi ukuran lubang katup dan kecepatan aliran. Biing seperti ini mungkin cukup keras (derajat III) meskipun hanya terdapat stenosis katup AV ringan tempat terdapat aliran darah yang normal atau meningkat. Sebaliknya, bising mungkin halus atau bahkan tidak ada meskipun obstruksi berat jika curah jantung jelas menurun. Jika stenosis jelas terjadi, bising diastolik akan diperpanjang dan lamanya bising lebih dapat daripada intensitas bising sebagai indeks beratnya obstruksi katup. Bising middiastolik nada rendah pada stenosis mitral, khas mengikuti opening snap. Bising ini harus dicari secara khusus degan meletakkan bagian bel stetoskop pada tempat impuls ventrikel kiri, yang paling baik didapati jika pasien berbaring miring ke kiri. Seringkali bising stenosis mitralis hanya terjadi pada apeks ventrikel kiri, dan hal ini mungkin intensitasnya meningkat oleh latihan terlentang ringan atau dengan inhalasi amil nitrit. Bising middiastolik dapat terjadi melewati katup mitral pada defek septum ventrikel, duktus arteriosus paten atau regurgitasi mitral dan melewati katup trikuspid pada defek septum atrium atau regurgitasi trikuspid. Bising ini berhubungan dengan aliran melalui katup AV yang sangat deras, biasanya mengikuti S3 dan cenderung terjadi pada pintasan kiri ke kanan yang lebar atau regurgitasi katup AV berat. Bising middiastolik yang halus kadang-kadang mungkin terdengar pada pasien dengan demam rematik akut (bising Carey-Coombs). Hal ini dianggap karena radang daun katup mitral atau aliran darah atrium kiri yang berlebihan sebagai akibat dari regurgitasi mitral. Pada regurgitasi bert dan akut, tekanan diastolik ventrikel kiri mengakibatkan bising middiastolik yang disebabkan oleh “regurgitasi mitral diastolik”. Pada regurgitasi aorta kronik yang berat, bising seringkali terjadi yang middiastolik atau prasistolik (bising Austin Flint). Bising ini tampak berasal dari daun katup mitral anterior ketika darah secara simultan masuk ke ventrikel kiri dari pangkal aorta dan atrium kiri.
Bising prasistolik mulai sepanjang waktu pengisian ventrikel yang mengikuti kontraksi atrium dan karenanya muncul pada irama sinus. Bising ini biasanya disebabkan oleh stenosis katup AV dan mempunyai kualitas serupa dengan gemuruh pengisian middiastolik tetapi biasanya kresendo, mencapai intensitas puncak pada saat S1 keras. Bising prasistolik berhubungan dengan gradien katup AV, yang mungkin minimal sampai waktu kontraksi atrium kanan atau kiri. Hal ini cenderung menunjukkan bising prasistolik daripada middiastolik yang paling khas pada stenosis trikuspidalis dan irama sinus. Miksoma atrium kanan atau kiri kadang-kadang menyebabkan bising middiastolik atau prasistolik yang menyerupai bising stenosis katup mitral atau trikuspid.
Bising kontinyu mulai saat sistolik, mencapai puncak ketika mendekati S2, dan berlanjut sepanjang atau sebagian diastolik. Bising ini berasal dari aliran yang terus menerus karena hubungan antara daerah bertekanan rendah dan tinggi yang menetap selama akhir sistolik dan awal diastolik. Duktus arteriosus paten menyebabkan bising kontinu selama tekanan dalam arteri pulmonalis jauh lebih rendah dari tekanan dalam aorta. Bising diperkuat dengan peningkatan tekanan arterial sistemik dan berkurang dengan inhalasi amil nitrit. Jika terdapat hipertensi paru, bagian diastolik menghilang, meninggalkan bising terbatas pada sistolik. Bising yang terus menerus tidak biasa terjadi pada defek septum aortaparu, karen amalformasi ini umumnya disertai dengan hipertensi paru berat. Hubungan yang dihasilkan dengan pembedahan dan anastomosis arteri subklavia-paru mengakibatkan bising yang sama dengan bising pada duktus arteriosus paten. Bising kontinu dapat berasal dari fistula arteriovenosa sistemik, fistula arteriovenosa koroner, anomali asal arteri koronaria kiri yaitu dari arteri pulmonalis dan hubungan antara sinus Valsava dan sisi kanan jantung. Bising yang terus menerus juga dapat terjadi pada pasien dengan defek septum atrium kecil dengan tekanan atrum kiri yang tinggi. Bising yang menyertai fistula arteriovenosa paru mungkin kontinu tapi biasanya hanya sistolik. Bising yang kontinu juga mungkin disebabkan oleh gangguan pola aliran dalam sistemik yang konstriksi (misalnya, ginjal) atau arteri pulmonalis ketika terdapat perbedaan tekanan nyata antara dua sisi segmen yang menyempit; bising kontinu pada punggung mungkin terjadi pada koarktasio aorta; embolisme paru bisa menyebabkan bising kontinyu pada pembuluh darah yang tertutup sebagian. Pada arteri yang tidak konstriksi, bising kontinyu mungkin disebabkan oleh aliran cepat melalui bantalan yang berlekuk-lekuk. Bising yang khas seperti ini terjadi dalam sirkulasi kolateral arteri bronkial pada pasien sianotik dengan obstruksi aliran keluar paru yang berat. “Mammary souffle”, bising jantung inosen (innocent murmur) yang terdengar di atas payudara selama kehamilan lanjut dan pascamelahirkan dini, mungkin sistolik atau kontinu. Dengung vena servikalis adalah bising kontinu yang biasanya dapat didengar di atas sisi medial fossa supraklavikularis kanan pada pasien dengan posisi tegak. Dengung biasanya lebih keras selama diastolik dan dapat hilang seketika dengan kompresi digital pada vena jugularis internal ipsilateral. Penjalaran dengung vena yang keras pada area bawah klavikula mengakibatkan kesalahan diagnosis pada duktus arteriosus paten.
Bising gesek perikardium, yang dapat mempunyai komponen kasar prasistolik, sistolik, dan diastolik dini, dapat dikacaukan dengan adanya bising atau bunyi di luar jantung yang hanya terdengar saat sistolik. Paling baik siperiksa saat pasien berposisi tegak, sedikit membungkuk ke depan dan dapat diperkuat selama inspirasi.
Berdasarkan data-data di skenario, berdasar atas diskusi kelompok akan ditetapkan 3 macam penyakit yang mendekati kasus di skenario walaupun belum mendapatkan diagnosis pastinya. Penyakit-penyakit tersebut, yaitu duktus arteriosus persisten (PDA, patent ductus arteriosus), defek septum ventrikel (VSD, ventricle septal defect), dan regurgitasi mitral (MR, mitral regurgitation).
Beberapa dari penyakit tersebut merupakan bentuk dari kelainan kongenital. Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasiI konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya sering diakibatkan oleh kelainan kongenital yang cukup berat, hal ini seakan-akan merupakan suatu seleksi alam terhadap kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan. Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenital besar, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya. Bayi berat lahir rendah dengan kelainan kongenital berat, kira-kira 20% meninggal dalam minggu pertama kehidupannya. Disamping pemeriksaan fisik, radiologik dan laboratorik untuk menegakkan diagnose kelainan kongenital setelah bayi lahir, dikenal pula adanya diagnosisi pre/- ante natal kelainan kongenital dengan beberapa cara pemeriksaan tertentu misalnya pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban dan darah janin.
Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui. Pertumbuhan embryonal dan fetaI dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor genetik, faktor lingkungan atau kedua faktor secara bersamaan. Kelainan genetik dan kromosom; kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh atas kelainan kongenital pada anaknya. Di antara kelainan-kelainan ini ada yang mengikuti hukum Mendel biasa, tetapi dapat pula diwarisi oleh bayi yang bersangkutan sebagai unsur dominan ("dominant traits") atau kadang-kadang sebagai unsur resesif. Penyelidikan daIam hal ini sering sukar, tetapi adanya kelainan kongenital yang sama dalam satu keturunan dapat membantu langkah-langkah selanjutya. Dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi kedokteran , maka telah dapat diperiksa kemungkinan adanya kelainan kromosom selama kehidupan fetal serta telah dapat dipertimbangkan tindakan-tindakan selanjutnya. Beberapa contoh kelainan kromosom autosomal trisomi 21 sebagai sindroma down (mongolism). Kelainan pada kromosom kelaminsebagai sindroma turner. Faktor mekanik; tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat menyebabkan kelainan hentuk organ tubuh hingga menimbulkan deformitas organ cersebut. Faktor predisposisi dalam pertumbuhan organ itu sendiri akan mempermudah terjadinya deformitas suatu organ. Sebagai contoh deformitas organ tubuh ialah kelainan talipes pada kaki sepcrti talipes varus, talipes valgus, talipes equinus dan talipes equinovarus (clubfoot). Faktor infeksi; infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yang terjadi pada periode organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam periode organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan suatu organ rubuh. Infeksi pada trimesrer pertama di samping dapat menimbulkan kelainan kongenital dapat pula meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus. Sebagai contoh infeksi virus pada trimester pertama ialah infeksi oleb virus Rubella. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita infeksi Rubella pada trimester pertama dapat menderita kelainan kongenital pada mata sebagai katarak, kelainan pada sistem pendengaran sebagai tuli dan ditemukannya kelainan jantung bawaan. Beberapa infeksi lain pada trimester pertama yang dapat menimbulkan kelainan kongenital antara lain ialah infeksi virus sitomegalovirus, infeksi toksoplasmosis, kelainan-kelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah adanya gangguan pertumbuhan pada system saraf pusat seperti hidrosefalus, mikrosefalus, atau mikroftalmia. Faktor obat; beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada trimester pertama kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Salah satu jenis obat yang telah diketahui dagat menimbulkan kelainan kongenital ialah thalidomide yang dapat mengakibatkan terjadinya fokomelia atau mikromelia. Beberapa jenis jamu-jamuan yang diminum wanita hamil muda dengan tujuan yang kurang baik diduga erat pula hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital, walaupun hal ini secara laboratorik belum banyak diketahui secara pasti. Sebaiknya selama kehamilan, khususnya trimester pertama, dihindari pemakaian obat-obatan yang tidak perlu sama sekali; walaupun hal ini kadang-kadang sukar dihindari karena calon ibu memang terpaksa harus minum obat. Hal ini misalnya pada pemakaian trankuilaiser untuk penyakit tertentu, pemakaian sitostatik atau prepaat hormon yang tidak dapat dihindarkan; keadaan ini perlu dipertimbangkan sebaik-baiknya sebelum kehamilan dan akibatnya terhadap bayi. Faktor umur ibu; telah diketahui bahwa mongoIisme lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa menopause. Faktor hormonal; faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan kejadian kelainan kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme atau ibu penderita diabetes mellitus kemungkinan untuk mengalami gangguan pertumbuhan lebih besar bila dibandingkan dengan bayi yang normal. Faktor radiasi; radiasi ada permulaan kehamiIan mungkin sekali akan dapat menimbulkan kelainan kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi yang cukup besar pada orang tua dikhawatirkan akan dapat mengakibatkan mutasi pada gene yang mungkin sekali dapat menyebabkan kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkannya. Radiasi untuk keperluan diagnostik atau terapeutis sebaiknya dihindarkan dalam masa kehamilan, khususnya pada hamil muda. Faktor gizi; pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa kehamilan dapat menimbulkan kelainan kongenital. Pada manusia, pada penyelidikan-penyelidikan menunjukkan bahwa frekuensi kelainan kongenital pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan makanan lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir dari ibu yang baik gizinya. Pada binatang percobaan, adanya defisiensi protein, vitamin A ribofIavin, folic acid, thiamin dan lain-Iain dapat menaikkan kejadian &elainan kongenital. Faktor-faktor lain; banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Faktor janinnya sendiri dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia, hipotermia, atau hipertermia diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Seringkali penyebab kelainan kongenitai tidak diketahui.
Namun demikian, sebagian besar penyebab cacat bawaan atau kelainan congenital belum diketahui dengan pasti. Sebagian garis besar cacat bawaan disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan, ada 4 kategori penyebab cacat bawaan, antara lain: lingkungan 6 %, multifaktoral, gabungan antara faktor genetik dan lingkungan 20 %, single mutant atau medelian trait 7,5 %, dan kelainan kromosom.
Patogenesa terjadinya defek pada janin ada 4 cara, antara lain:
· Deformasi adalah suatu anomali yang disebabkan oleh tekanan mekanik yang luar biasa pada janin yang dedang berkembang. Keadaan ini biasanya terjadi 20 minggu kehamilan sampai trimester akhir kehamilan, contoh dari proses deformasi antara lain bayi kemba, posisi bayi yang tidak normal, oligohidramnion, dll.
· Disrupsi, terjadi bila ada kerusakan yang mempengaruhi atau menghentikan morfogenesis suatu bagian tubuh yang sedang berlangsung. Disrupsi ini terjadi oleh berbagai faktor yang bersifat teratogen, seperti infeksi virus intrauterin, penyakit ibu, obat-obatan, zat kimia dan cederadan cedera panas.
· Malformasi merupakan kelianan perkembangan instrinsik dalam struktur tubuh selama kehidupan prenatal, mekanisme terjadinya malformasi belum banyak diketahui, tetapi kemungkinan menyangkut berbagai kesalahan dalam proses porliferasi sel, embrional, diferensiasi, migrasi dan kematian program.
· Displasia merupakann kesalahan struktural akibat morfogenesis abnormal yang hanya mengenai jaringan tertentu, misalnya displasia ektodermal (yang terkena rambut, gigi, kulit, kelenjar keringat dan air mata), diplasia jaringan ikat, diplasia skeletal yang tidak proporsional.
Patent ductus arteriosus (PDA) merupakan suatu penyakit kongenital dengan keadaan tidak menutupnya duktus arteriosus sejak fetus. Adanya PDA memungkinkan aliran pirau dari kiri ke kanan (dari aorta ke arteri pulmonalis). Besarnya aliran tergantung dari ukuran PDA dan besarnya tahanan arteri pulmonalis. Adanya aliran yang berlebih melalui arteri pulmonalis, memungkinkan terjadinya hipertensi pulmonal dengan tahanan vaskular paru yang tinggi. Sianosis terlihat bila telah terjadi penyakit vaskular paru yang mana aliran pirau berubah dari kanan ke kiri (Sindrom Eisenmenger), terjadi kurang dari 10% kasus. Risiko terjadinya endokarditis infektif pada PDA sangat tinggi, terutama sesudah usia dekade pertama. Keluhan timbul bila aliran ke paru cukup besar sehingga penderita sering batuk, tampak lelah waktu minum susu, sesak napas, dan pertumbuhan fisik yang lambat. Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan beberapa keabnormalitasan dari PDA ini. Pernapasan cepat (takipneu) bila aliran pirau besar. Sianosis pada kuku jari tangan kiri dan kedua kaki bila telah terjadi sindrom Eisenmenger. Nadi perifer terasa menghentak akibat tekanan nadi (pulse pressure) yang besar. Terdengar bising kontinu yang khas (machinary murmur) dan dapat teraba getaran (thrill) di sela iga II kiri yang menjalar ke bawah kalvikula kiri. Bila telah terjadi hipetensi pulmonal, bunyi jantung kedua mengeras dan bising diastolik melemah atau menghilang. Gambaran foto toraks tampak kardiomegali akibat pembesaran atrum dan ventrikel kiri. Aorta membesar dan arteri pulmonalis menonjol. Corakan vaskularisasi paru meningkat (pletora). Tetapi bila telah terjadi hipertensi pulmonal yang disertai perubahan vaskular paru, maka corakan tersebut di daerah tepi akan berkurang (pruned tree).
Ventricle septal defect (VSD) adalah kelainan jantung bawaan berupa lubang pada septum interventrikular. Lubang tersebut bisa hanya satu atau lebih (Swiss cheeseVSD) yang terjadi akibat kegagalan fungsi septum interventrikular semasa janin dalam kandungan. Berdasarkan lokasi lubang, VSD diklasifikasikan dalam 3 tipe, yaitu: perimembraneus dan sekitarnya, subarterial doubly committed (bila lubang terletak di daerah septum infundibuler), muskuler (bila lubang terletak di daerah septum muskuler inlet, outlet, ataupun trabekuler). Adanya lubang pada septum interventrikular memngkinkan terjadinya aliran darah dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan sehingga aliran darah yang ke paru bertambah. Presentasi klinis tergantung besarnya ukuran VSD serta besarnya tahanan pembuluh darah paru. Pada usia tahun pertama (terutama 6 bulan pertama), besar aliran pirau dapat berubah-ubah sesuai dengan penurunan tahanan pembuluh darah paru akibat maturasi paru yang berlangsung cepat pada periode tersebut. Penurunan maksimal biasanya terjadi pada usia 1-6 minggu tetapi kadang-kadang baru terjadi pada usia 12 minggu. Aliran pirau dari kiri ke kanan akan bertambah dengan menurunnya tahanan pembuluh darah paru sehingga gagal jantung pada bayi dengan VSD yang besar biasanya terjadi pada usia 2-3 bulan. Bila aliran pirau kecil umumnya tidak menimbulkan keluhan, tetapi bila besar akan menimbulkan berbagai keluhan seperti kesulitan waktu minum atau makan karena cepat lelah atau sesak dan sering mengalami batuk serta infeksi saluran napas berulang. Ini mengakibatkan pertumbuhan yang lambat. Dalam perjalanannya, beberapa tipe VSD dapat menutup spontan (tipe perimembranus dan muskular), terjadi hipertensi pulmonal, hipertrofi infundibulum, atau prolaps katup aorta yang dapat disertai regurgitasi (tipe subarterial dan perimembranus). Endokarditis infektif pada kelainan jantung bawaan ini juga merupakan komplikasi yang cukup sering dijumpai. Penderita VSD dengan aliran pirau yang besar biasanya terlihat takipneu. Aktivitas ventrikel kiri meningkat dan dapat teraba thriil sistolik. Komponen pulmonal bunyi jantung kedua mengeras bila telah terjadi hipertensi pulmonal. Terdengar bising holosistolik yang keras di sela iga 3-4 parasternal kiri yang menyebar sepanjang parasternal dan apeks. Pada aliran pirau yang besar, dapat terdengar bising middiastolik di daerah katup mitral akibat aliran yang berlebihan. Tanda-tanda gagal jantung kongestif dapat ditemukan pada bayi atau anak dengan aliran pirau yang besar. Bila telah terjadi penyakit vaskuler paru dan sindrom Eisenmenger, penderita tampak sianosis dengan jari-jari berbentuk tabuh, bahkan mungkin disertai tanda-tanda gagal jantung kanan. Pada foto toraks terlihat kardiomegali akibat pembesaran ventrikel kiri. Gambaran vaskularisasi paru meningkat (pletora) kecuali bila telah terjadi penyait vaskuler paru dimana terlihat gambaran pruned tree yang disertai penonjolan arteri pulmonalis.
Demam reumatik adalah penyakit autoimun yang merusak atau menghancurkan katup-katup jantung. Urutan kelainan hampir selalu dimulai dengan infeksi streptokokus hemolitik grup A. Bakteri ini pada awalnya menyebabkan nyeri tenggorokan, scarlet fever, atau infeksi telinga tengah. Tetapi streptokokus melepaskan beberapa protein yang berbeda untuk melawan antibodi yang terbentuk oleh sistem retikuloendotelial manusia. Antibodi bereaksi tidak hanya dengan protein streptokokus tetapi juga dengan protein pada jaringan tubuh yang lainnya, seringkali menimbulkan kerusakan imunologis yang berat. Reaksi ini berlanjut terus selama antibodi menetap dalam darah selama 1 tahun atau lebih. Demam reumatik menyebabkan kerusakan terutama di daerah yang peka, seperti katup jantung. Derajat kerusakan katup jantung berbanding langsung dengan kadar dan lamanya antibodi tersebut dalam tubuh. Pada demam reumatik, terjadi pertumbuhan lesi berbenjol yang mengandung fibrin dan disertai perdarahan luas di sepanjang tepi katup jantung yang meradang. Karena katup mitral menerima lebih banyak trauma sewaktu kerja dibanding katup-katup lainnya, maka katup inilah yang sering mengalami kerusakan serius, sedangkan katup aorta merupakan katup kedua yang sering mengalami cedera. Bila katup jantung kanan yang terkena, baik trikuspid maupun pulmonal, biasanya tidak begitu berat, kemungkinan karena tekanan stres yang rendah yang bekerja pada katup-katup ini lebih kecil dibandingkan tekanan stres yang tinggi yang bekerja pada katup-katup jantung kiri.
Lesi pada demam reumatik akut seringkali terjadi secara bersamaan pada daun katup yang berdekatan. Selain itu, bagian tepi daun yang bebas, yang pada keadaan normal bersifat seperti lembaran film dan berkibar bebas sering kali menjadi massa parut yang kaku. Katup yang daun-daunnya saling melekat demikian hebat sehingga darah tidak dapat melaluinya biasanya dikatakan mengalami stenosis. Sebaliknya, bila tepi-tepi katup banyak mengalami kerusakan oleh jaringan parut sehingga katup itu tidak dapat menutup ketika ventrikel berkontraksi, maka terjadi regurgitasi (aliran balik) darah ketika katup seharusnya tertutup. Biasanya tidak ada stenosis yang terjadi tanpa disertai oleh sedikitnya beberapa derajat regurgitasi, demikian pula sebaliknya. Stenosis atau tidak adanya satu atau lebih daun katup kadang-kadang juga terjadi sebagai kelainan kongenital. Keadaan tidak adanya daun katup sama sekali jarang terjadi; stenosis kongenital bersifat lebih sering.
Mitral regurgitation (MR) adalah penyakit jantung valvular yang disebabkan oleh reumatik dan nonreumatik (degeneratif, endokarditis, penyakit jantung koroner, penyakit jantung bawaan, taruma, dan sebagainya). MR atau insufisiensi mitral akibat reuma terjadi karena katup tidak bisa menutup sempurna waktu sistol. Perubahan-perubahan katup mitral tersebut adalah kalsifikasi, penebalan dan distorsi daun katup. Hal ini mengakibatkan koaptasi yang tidak sempurna waktu sistol. Selain itu, pemendekan korda tendinea menagkibatkan katup tertarik ke ventrikel terutama bagian posterior, dan dapat juga terjadi dilatasi anulus atau ruptur korda tendinea. Selama fase sistol terjadi aliran regurgitan ke atrium kiri, sedangkan aliran ke aorta berkurang. Waktu diastol darah mengalir dari atrium kiri ke ventrikel. Darah dari atrium kiri tersebut berasal dari paru-paru melalui vena pulmonalis dan juga darah regurgitan yang berasal dari ventrikel kiri waktu sistol sebelumnya. Ventrikel kiri cepat distensi, apeks bergerak ke bawah secara mendadak, menarik katup, kordae dan otot papilaris. Hal ini menimbulkan vibrasi membentuk bunyi jantung ketiga. Pada insufisiensi mitral kronik, regurgitasi sistolik ke atrium kiri dan vena-vena pulmonalis dapat ditoleransi tanpa meningkatnya tekanan di baji dan aorta pulmonalis. Pasien sering mengeluhkan sesak napas dan lekas capek merupakan keluhan awal yang secara berangsur-angsur berkembang menjadi ortopneu, paroksismal dispneu nokturnal dan edema perifer. Fasies mitral lebih jarang terjadi jika dibandingkan dengan stenosis mitral karena tekanan paru akan lebih rendah. Pada palpasi, tergantung derajat regurgitasinya, mungkin didapatkan aktivitas jantung kiri yang meningkat akibat kelebihan beban venrikel kiri. Pada auskultasi akan tedengar bising pansistolik yang bersifat meniup (blowing) di apeks, menjalar ke aksila, dan mengeras pada ekspirasi. Bunyi jantung pertama melemah, katup tidak menutup sempurna pada akhir diastol dan pada saat tersebut tekanan atrium dan ventrikel kiri sama. Terdengar bunyi jantung ketiga akibat pengisian yang cepat ke ventrikel kiri pada awal diastol dan diikuti diastolic flow murmur karena volume atrium kiri yang besar mengalir ke ventrikel kiri. Gambaran foto toraks pada MR ringan tanpa gangguan hemodinamik nyata, besar jantung pada foto toraks biasanya normal. Pada keadaan yang lebih berat akan terlihat pembesaran jantung akibat pembesaran atrium kiri dan ventrikel kiri, dan mungkin terlihat tanda-tanda bendungan paru. Kadang-kadang terlihat pula perkapuran pada anulus mitral.

4. KESIMPULAN
¨ Hal yang aneh yang terjadi pada seorang anak laki-laki, 10 tahun, keluhan sering batuk pilek dan cepat lelah, nafsu makan sedikit terganggu.
¨ Pada hasil pemeriksaan fisik diperoleh: pada inspeksi diperoleh hasil bahwa dinding dada tampak normal, tidak terlihat jari-jari tabuh dan sianosis, pada palpasi diperoleh hasil iktus kordis teraba di SIC V 2 cm lateral linea medioklavikularis kiri, tidak teraba thriil, pada perkusi diperoleh batas jantung di SIC V 2 cm lateral linea medioklavikularis kiri, pada auskultasi diperoleh hasil terdengar bising pansistolik dengan punctum maksimum SIC IV-V parasternal kiri.
¨ Hanya saja ada hal yang perlu diperhatikan, kelainan jantung bawaan yang dimungkinkan oleh keadaan prematuritas.
¨ Tanda dan gejala dari duktus arteriosus persisten (PDA) antara lain: keluhan timbul bila aliran ke paru cukup besar sehingga penderita sering batuk, tampak lelah waktu minum susu, sesak napas, dan pertumbuhan fisik yang lambat. Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan beberapa keabnormalitasan dari PDA ini. Pernapasan cepat (takipneu) bila aliran pirau besar. Sianosis pada kuku jari tangan kiri dan kedua kaki bila telah terjadi sindrom Eisenmenger. Nadi perifer terasa menghentak akibat tekanan nadi (pulse pressure) yang besar. Terdengar bising kontinu yang khas (machinary murmur) dan dapat teraba getaran (thrill) di sela iga II kiri yang menjalar ke bawah kalvikula kiri. Bila telah terjadi hipetensi pulmonal, bunyi jantung kedua mengeras dan bising diastolik melemah atau menghilang.
¨ Tanda dan gejala dari defek septum interventrikular (VSD) antara lain: penderita VSD dengan aliran pirau yang besar biasanya terlihat takipneu. Aktivitas ventrikel kiri meningkat dan dapat teraba thriil sistolik. Komponen pulmonal bunyi jantung kedua mengeras bila telah terjadi hipertensi pulmonal. Terdengar bising holosistolik yang keras di sela iga 3-4 parasternal kiri yang menyebar sepanjang parasternal dan apeks. Pada aliran pirau yang besar, dapat terdengar bising middiastolik di daerah katup mitral akibat aliran yang berlebihan. Tanda-tanda gagal jantung kongestif dapat ditemukan pada bayi atau anak dengan aliran pirau yang besar. Bila telah terjadi penyakit vaskuler paru dan sindrom Eisenmenger, penderita tampak sianosis dengan jari-jari berbentuk tabuh, bahkan mungkin disertai tanda-tanda gagal jantung kanan.
¨ Tanda dan gejala dari regurgitasi mitral (MR), antara lain: Fasies mitral lebih jarang terjadi jika dibandingkan dengan stenosis mitral karena tekanan paru akan lebih rendah. Pada palpasi, tergantung derajat regurgitasinya, mungkin didapatkan aktivitas jantung kiri yang meningkat akibat kelebihan beban venrikel kiri. Pada auskultasi akan tedengar bising pansistolik yang bersifat meniup (blowing) di apeks, menjalar ke aksila, dan mengeras pada ekspirasi. Bunyi jantung pertama melemah, katup tidak menutup sempurna pada akhir diastol dan pada saat tersebut tekanan atrium dan ventrikel kiri sama. Terdengar bunyi jantung ketiga akibat pengisian yang cepat ke ventrikel kiri pada awal diastol dan diikuti diastolic flow murmur karena volume atrium kiri yang besar mengalir ke ventrikel kiri.
¨ Penyakit-penyakit jantung bawaan perlu mendapatkan perhatian khusus karena penyakit-penyakit ini berhubungan dengan kondisi saat kehamilan.

5. DAFTAR PUSTAKA
Braunwald, E. 2007. Penyakit Katup Jantung. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1185-200

DeBeasi, L. C. 2007. Anatomi Sistem Kardiovaskular. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 1. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 517-29.

DeBeasi, L. C. 2007. Fisiologi Sistem Kardiovaskular. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2007. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 1. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 530-46.

Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Friedman, W. F. dan J. S. Child. 2007. Penyakit Jantung Kongenital pada Orang Dewasa. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1169-78.

Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

O’Rourke, R. A. dan Braunwald, E. 2007. Pemeriksaan Sistem Kardiovaskular. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J. D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et. al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1074-80.

Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York: Harper&Row, Publishers.

No comments: